Anda di halaman 1dari 5

340 AMJ September 2016

Tinea Capitis pada Siswa Sekolah Dasar di Yogyakarta


Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Dilla Aprilia, 1 Lies Marlysa Ramali, 2 Ramlan Sadeli 3


1 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, 2 Departemen Dermatovenereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran / Dr. Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin Bandung, 3 Departemen
Mikrobiologi dan Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Abstrak

Latar Belakang: Infeksi jamur adalah penyakit umum di negara tropis dan subtropis. Iklim yang hangat dan lembab menyediakan lingkungan
yang menguntungkan bagi organisme yang menyebabkan mikosis superfisial. Salah satu infeksi jamur yang biasa terjadi pada anak-anak
adalah tinea capitis. Tinea capitis adalah infeksi jamur pada rambut dan kulit kepala yang disebabkan oleh dermatofita. Predileksi usia
penyakit ini adalah anak usia 3 hingga 14 tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi keberadaan tinea capitis di kalangan
siswa sekolah dasar di Jatinangor, Sumedang, Indonesia.

Metode: Penelitian deskriptif cross-sectional ini melibatkan 391 siswa dari kelas satu hingga enam di empat sekolah dasar di
Jatinangor, pada periode September hingga Oktober 2013. Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lampu kayu, dan pemeriksaan
mikroskopis langsung dilakukan untuk mendiagnosis penyakit tersebut. Data yang dikumpulkan dianalisis dan disajikan dalam bentuk
distribusi frekuensi dan persentase yang ditunjukkan dalam tabel.

Hasil: Dari 391 siswa yang berpartisipasi dalam penelitian ini, 194 adalah laki-laki dan 197 adalah perempuan. Rentang usia adalah 6 hingga 16 tahun.
Berdasarkan hasil skrining, 74 siswa diketahui memiliki keluhan tentang rambut dan kulit kepala mereka dan hanya 49 siswa yang dapat melanjutkan
studi karena mereka tidak memiliki hasil positif dari tinea capitis.

Kesimpulan: Tidak ada temuan positif dari tinea capitis menurut anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lampu Wood dan
pemeriksaan mikroskopis langsung. Pemeriksaan lebih lanjut dengan kultur dengan agar dekstrosa Sabouraud harus dilakukan. [ AMJ.2016;
3 (3): 340–4]

Kata kunci: Dermatofitosis, siswa sekolah dasar, tinea capitis

pengantar saling terinfeksi. 2,6 Kebersihan dikenal sebagai faktor


predisposisi paling penting dari perkembangan penyakit.
Lingkungan yang penuh sesak dan status sosial ekonomi
Infeksi jamur adalah masalah yang relatif umum terutama
yang rendah juga dianggap sebagai faktor yang
di daerah tropis dan subtropis di dunia. Iklim yang hangat
mempengaruhi tinea kapitis. 3,5
dan lembab menyediakan lingkungan yang
menguntungkan bagi organisme yang menyebabkan
mikosis superfisial. 1 Diagnosis dini tinea capitis diperlukan karena jika
Salah satu infeksi jamur yang biasa terjadi pada tidak terdeteksi dan tidak diobati, dapat menyebabkan
anak-anak adalah tinea capitis. 1–4 Tinea capitis adalah kerusakan rambut dan struktur pilosebaceous, dan
infeksi jamur pada rambut dan kulit kepala yang dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut seperti
disebabkan oleh dermatofita. Trichophyton dan alopecia dan bahkan berbagai bentuk reaksi
Microsporum adalah penyebab penyakit ini. 1,3,4 Ini hipersensitif. 1,7 Sebagai negara tropis, Indonesia akan
umumnya ditemukan pada anak-anak berusia 3-14 menjadi tempat yang potensial untuk terjadinya penyakit
tahun. Manusia (antropofilik) dan hewan (zoofilik) adalah ini. Ketersediaan data terbaru tentang tinea kapitis
sumber penularan penyakit ini. 3,5 masih terbatas terutama di Indonesia sehingga studi
tentang tinea kapitis masih perlu dilakukan. Tujuan dari
Risiko infeksi pada anak sekolah meningkat seiring penelitian ini adalah untuk mendeteksi keberadaan tinea
dengan jumlah total anak yang terinfeksi karena mereka
dapat dengan mudah

Korespondensi: Dilla Aprilia, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang Km.21, Jatinangor, Sumedang,
Indonesia, Telepon: +62817201898 Email: dilla.aprilia.s@gmail.com

Jurnal Medis Althea. 2016; 3 (3)


Dilla Aprilia, Lies Marlysa Ramali, Ramlan Sadeli: Tinea Capitis pada Siswa Sekolah Dasar di Yogyakarta 341
Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

kapitis pada siswa sekolah dasar di Jatinangor, Jawa Penelitian deskriptif dilakukan. Pengumpulan data
Barat. dilakukan setelah persetujuan dari Kantor Pendidikan
Sumedang dan kepala sekolah dari masing-masing
Metode sekolah telah diperoleh. Informed consent diberikan
kepada kepala sekolah masing-masing sekolah dan
Penelitian ini dilakukan pada bulan September hingga orang tua siswa. Penelitian ini dibagi menjadi dua
Oktober 2013 di empat sekolah dasar, yaitu Cikopo I, langkah. Pertama, peneliti melakukan penyaringan
Sinarjati, Cikuda, dan Jatiroke, di Jatinangor, Sumedang, terhadap jumlah siswa. Anamnesis dan pemeriksaan
Jawa Barat. Subjek penelitian adalah siswa, anak laki-laki fisik seperti inspeksi dilakukan kepada siswa untuk
dan perempuan dari kelas satu hingga enam. Berdasarkan memisahkan siswa sehat dari siswa dengan keluhan
multistage sampling, diperoleh 391 siswa. rambut dan kulit kepala. Selain itu, pemeriksaan fisik
lebih lanjut dan pemeriksaan lampu Wood oleh tim
Kriteria inklusi didefinisikan sebagai siswa kelas satu dermatovenereologis dilakukan untuk menentukan
sampai enam di sekolah dasar di Jatinangor. Kriteria diagnosis rambut dan kulit kepala siswa. Gambar
eksklusi dari penelitian ini adalah siswa yang tidak fluoresensi kuning-hijau mencerminkan organisme
bersekolah dan siswa yang menolak untuk berpartisipasi ectothrix dan
dalam penelitian ini. Penampang melintang

Gambar 1 Prosedur Studi

Jurnal Medis Althea. 2016; 3 (3)


342 AMJ September 2016

di sisi lain, tidak ada gambar fluoresensi yang infeksi. Hifa dan artrospora ditemukan pada kuretase
mencerminkan organisme endotel. Jika ada temuan kulit kepala sampel.
positif dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan Interpretasi spesimen dikonfirmasi oleh para ahli
pemeriksaan lampu Wood, sampel rambut dan kulit mikrobiologi. Temuan positif didiagnosis dari kombinasi
kepala dikumpulkan untuk pemeriksaan lebih lanjut. manifestasi klinis dan pemeriksaan mikroskopis. Data
Sampel rambut dikumpulkan dengan menarik 1-2 helai yang dikumpulkan dianalisis dan disajikan dalam bentuk
rambut menggunakan pinset atau tangan. Sampel kulit distribusi frekuensi dan persentase yang ditunjukkan
kepala dikumpulkan dengan menggunakan selotip dan dalam tabel.
pisau bedah tumpul. Kemudian sampel dimasukkan ke
dalam amplop spesimen untuk diangkut ke Laboratorium
Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasil
Padjadjaran.
Penelitian ini diikuti oleh 391 siswa sekolah dasar yang
Sebelum sampel yang dikumpulkan diperiksa lebih berasal dari empat sekolah dasar di Jatinangor.
lanjut dengan mikroskop langsung, persiapan sampel Distribusi siswa diklasifikasikan berdasarkan sekolah,
dilakukan. Helai rambut atau kuret kulit kepala jenis kelamin, dan usia (Tabel 1).
diletakkan di kaca objek berlabel, setetes kapas
Lactophenol biru diberikan dan akhirnya kaca objek Dari 391 siswa, tujuh puluh empat siswa ditemukan
ditutup dengan kaca penutup. Sampel yang disiapkan memiliki keluhan tentang kondisi rambut dan kulit kepala
dipanaskan menggunakan Bunsen Burners. Jika mereka (Tabel
arthrospora ditemukan di sekitar batang rambut, itu 2). Dari 74 siswa dengan keluhan, 14 siswa tidak
menunjukkan infeksi ectothrix. Jika arthrospora diizinkan oleh orang tua mereka untuk melanjutkan studi
ditemukan di dalam batang rambut, itu menunjukkan dan 11 siswa tidak hadir selama hari ujian. Situasi ini
endothrix hanya menyebabkan 49 siswa

Tabel 1 Karakteristik Anak-anak Sekolah Dasar


Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Sekolah

Cikuda 85 21.7

Sinarjati 126 32.2

Jatiroke I 98 25.0

Cikopo I 82 20.9

Boy

Gender 194 49.6

Gadis 197 50.4

Usia (tahun) 6
27 6.9

7 54 13.8

8 61 15.6

9 77 19.7

10 71 18.2

11 62 15.9

12 29 7.4

13 5 1.3

14 4 1.0

15 0 0
16 1 0,3

Jurnal Medis Althea. 2016; 3 (3)


Dilla Aprilia, Lies Marlysa Ramali, Ramlan Sadeli: Tinea Capitis pada Siswa Sekolah Dasar di Yogyakarta 343
Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Tabel 2 Jumlah Total Siswa dengan Keluhan tentang Kondisi Rambut dan Kulit Kepala mereka

Keluhan * Frekuensi (n) Persentase (%)

Iya 74 18.9

Tidak 317 81.1

Total 391 100


Catatan: * Keluhan: siswa dengan keluhan tentang rambut dan kulit kepala termasuk gatal, rambut rontok, ketombe, kerak, bercak putih, luka, eritema, dan
jenis lesi lainnya

Tabel 3 Distribusi Gangguan Rambut dan Kulit Kepala di kalangan Siswa

Diagnosa Frekuensi (n) Persentase (%)

Tidak Ada Kelainan 25 6.4

Pediculosis capitis 16 4.1

Gigitan serangga 2 0,5

Pityriasis alba 1 0.3

Seborrheic dermatitis 2 0.5

Atopic dermatitis 1 0.3

Xerosis cutis 1 0.3

Pit sika 1 0.3

Total 49 100

lanjutkan untuk pemeriksaan lebih lanjut. anak-anak sekolah yang dipilih secara acak di Madrid
Lebih lanjut fisik pemeriksaan dan berusia antara 2 dan 16 tahun. Selanjutnya, Ghannoum
Kayu lampu pemeriksaan oleh itu et al. 11 menentukan prevalensi kultur kulit kepala yang
Tim dermatovenereologis, menemukan bahwa sebagian positif dermatofita di antara anak-anak sekolah dasar di
besar siswa yang dipilih tidak memiliki kelainan rambut Cleveland, Ohio. Dari 8 sekolah dasar Cleveland, 937
dan kulit kepala. Selain itu, Pediculosis capitis adalah anak-anak dibiakkan untuk kehadiran dermatofita, dan
kasus terbanyak yang ditemukan (Tabel 3). Dari 49 122 anak-anak (13%) memiliki biakan kulit kepala yang
siswa, tidak ada hasil positif dari tinea capitis. positif-dermatofita.

Berbagai macam angka dalam tingkat prevalensi


Diskusi tinea kapitis dapat ditemukan di seluruh dunia. Juga
diketahui bahwa infeksi lebih umum di negara
berkembang daripada di negara maju. 8 Indonesia yang
Tinea capitis, infeksi jamur pada kulit kepala, adalah infeksi
merupakan negara tropis dengan kelembaban tinggi dan
dermatofita yang paling umum pada anak-anak. 5 Distribusi
iklim yang hangat dapat menjadi tempat yang baik untuk
tinea capitis telah menyebar ke seluruh dunia tetapi
perkembangan penyakit ini. Anak-anak sekolah dasar
biasanya terjadi di negara-negara tropis dan sub-tropis. 1 Sebuah
juga dianggap sebagai subjek yang paling rentan karena
studi oleh Ayaya et al. 8 di sebuah sekolah dasar di Kenya
tingkat prevalensi tinea kapitis tertinggi diketahui antara
menunjukkan bahwa tingkat prevalensi tinea capitis adalah usia 3 hingga 14 tahun. 5
33,3%. Sementara itu, Woldeamanuel et al. 9 di Ethiopia
melaporkan bahwa 463 (90,3%) siswa didiagnosis secara
klinis dengan tinea kapitis dari 513 siswa yang didiagnosis
dengan dermatofitosis. Namun, dalam penelitian ini, tidak ada diagnosis
positif tinea capitis. Di sisi lain, infeksi lain ditemukan
dan kebanyakan dari mereka adalah pediculosis capitis.
Di negara-negara non-tropis, studi oleh Cuetara et al. 10
di Spanyol mengungkapkan bahwa 0,52% anak memiliki Ada beberapa keterbatasan selama
dermatofita dengan 0,33% anak memiliki tinea kapitis proses penelitian ini. Kultur dengan agar dekstrosa
sebagai jenis dermatofita yang paling umum. Penelitian Sabouraud tidak dilakukan, sedangkan, kultur dapat
dilakukan dengan sampel yang terdiri dari 10.000 mengidentifikasi agen etiologi infeksi tinea kapitis.

Jurnal Medis Althea. 2016; 3 (3)


344 AMJ September 2016

Furthermore, the possibility of respondent or volunteer 4. Gupta AK, Ryder JE, Nicol K, Cooper EA. Superficial
bias might happened because there were 14 students fungal infections: an update on pityriasis versicolor,
who were not permitted and 11 students were not seborrheic dermatitis, tinea capitis, and
present during the examination. onychomycosis. Clin Dermatol. 2003;21(5):417–25.

As a conclusion, the presence of tinea capitis can 5. Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest
not yet be found. Even though there is no positive B, Paller A, Leffell D. Fungal diseases. Fitzpatrick’s
diagnosis of tinea capitis, concerned still need to be put dermatology in general medicine. 8th ed. San
towards the students’ hygiene because the possible Diego: McGraw-Hill Companies Incorporated; 2012.
discovery of other skin diseases such as pediculosis p. 1807–
capitis. The researcher suggested to conduct a program 22.
for clean and healthy lifestyle including the education 6. Naafs B, Padovese V. Rural dermatology in
and evaluation. It aims to ensure that in the future tinea the tropics. Clin Dermatol.
capitis and any other skin diseases will not occur in the 2009;27(3):252–70.
school environment. In a further study, culture may be 7. Isa-Isa R, Arenas R, Isa M. Inflammatory tinea
conducted so that the etiologic agents of tinea capitis capitis: kerion, dermatophytic
can be found. granuloma, and mycetoma. Clin Dermatol.
2010;28(2):133–6.
8. Ayaya S, Kamar K, Kakai R. Etiology of tinea capitis in
schoolchildren. East Afr Med J. 2001;78(10):531–5.
References
9. Woldeamanuel Y, Leekassa R, Chryssanthou
1. Uneke C, Ngwu B, Egemba O. Tinea capitis and E, Menghistu Y, Petrini B. Prevalence of tinea
pityriasis versicolor infections among school capitis in Ethiopian schoolchildren. Mycoses.
children in the Southeastern Nigeria: the public 2005;48(2):137–41.
health implications. The Internet 10. Cuetara M, Palacio A, Pereiro M, Amor
Journal of Dermatology. E, Alvarez C, Noriega A. Prevalence of undetected
2005;4(2):1¬–7. tinea capitis in a school survey in Spain. Mycoses.
2. Van Schoor J. Superficial fungal infections. SA 2009;40:131–7.
Pharmacist’s Assistant. 2011;11(4):13– 11. Ghannoum M, Isham N, Hajjeh R, Cano
4. M, Al-Hasawi F, Yearicka D, et al. Tinea capitis in
3. Hainer BL. Dermatophyte infections. Am Fam Cleveland: survey of elementary school students. J
Physician. 2003;67(1):101–10. Am Acad Dermatol. 2003;48(2):189–93.

Althea Medical Journal. 2016;3(3)

Anda mungkin juga menyukai