Apa Ya
Apa Ya
Disusun Oleh :
Kelompok 4
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya maka kami bisa menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.
penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang berperan penting
dalam proses penulisan makalah yang berjudul Kebijakan dan Strategi Pembangunan
Wilayah Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terutama kepada dosen pembimbing yang
sekaligus menjadi dosen mata kuliah Hukum dan Peraturan Kelautan yang telah memberi
bimbingan dan arahan kepada penulis.
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
penulisan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1
BAB IV PENUTUP....................................................................................13
A. Kesimpulan....................................................................................13
B. Saran.............................................................................................13
Daftar Pustaka..........................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara geografis Indonesia membentang dari 60ºLU sampai 110ºLS dan
920º sampai 1420ºBT, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya
kurang lebih 17.504 pulau. Tiga perempat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2 ),
dengan panjang garis pantai 95.161 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Melalui
Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia menyatakan kepada dunia
bahwa laut Indonesia (laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia)
menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Dan Indonesia sebagai negara kepulauan,
telah diakui dunia internasional melalui konvensi hukum laut PBB ke tiga, United
Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kemudian diakui
oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan
UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,9 juta km2 , terdiri atas
3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas
perairan ini belum termasuk landas kontinen (continental shelf). Hal ini menjadikan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (the biggest Archipelago in
the World). Selain kaya dengan lautnya indonesia juga beragam sumberdaya
alamnya, sumberdaya alam tersebut dibagi menjadi dua yaitu sumberdaya alam
yang dapat diperbaharui, contohnya sumberdaya perikanan,mangrove dan
terumbu karang dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, contohnya
gas alam dan bahan tambang lainnya. Selain menyediakan dua sumberdaya
tersebut, wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi, seperti : transportasi
dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, jasa lingkungan,
rekreasi dan pariwisata, serta kawasan permukiman dan tempat pembuangan
limbah.
Pembangunan yang begitu pesat di kawasan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia pada dekade yang lalu memang telah dapat menaikkan taraf hidup
masyarakat di segala bidang. Akan tetapi pembangunan yang berlangsung cepat
tersebut terkadang membawa dampak. Begitupun terhadap lingkungan wilayah
pantai dengan berbagai pembangunan yang dilakukan telah menimbulkan
kerusakan ataupun bencana ekolohis di kawasan pantai dan pesisir. Padahal
pesisir merupakan wilayah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia di bumi.
Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia
memiliki kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam
konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Alasannya,
kawasan ini memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta
memudahkan terjadinya pedagangan antar daerah, pulau dan benua. Disamping
itu masing-masing kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam
pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Konsekuensi dari
perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan dan instrumen
kelembagaan yang berbeda satu sama lain dalam mengelola wilayah pesisir, laut
dan pulau-pulau kecilnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut,
1. Apa yang dimaksud kebijakan dan strategi pembangunan wilayah laut,
pesisir, dan PKK?
2. Apa saja potensi dan permasalahan wilayah laut, pesisir, dan PKK?
3. Bagaimana kebijakan dan strategi pembangunan wilayah laut, pesisir, dan
PKK?
4. Bagaimana pengembangan kelembagaan dalam perencanaan pengelolaan
wilayah laut, pesisir, dan PKK?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah,
1. Mengetahui pengertian kebijakan dan strategi pembangunan wilayah laut,
pesisir, dan pulau-pulau kecil
2. Mengetahui macam-macam potensi dan permasalahan wilayah laut,
pesisir, dan pulau-pulau kecil
3. Mengetahui kebijakan dan strategi pembangunan wilayah laut, pesisir, dan
pulau-pulau kecil
4. Mengetahui pengembangan kelembagaan dalam perencanaan pengelolaan
wilayah laut, pesisir, dan pulau pulau kecil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan Pembangunan
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan keputusan. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah
(problem-oriented) dan juga berorientasi kepada tindakan (action-oriented),
sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat
prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara
terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan (Suharto, 2006).
. Kebijakan adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana
terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan
(kesempatan-kesempatan) di mana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna
dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud (Agustino, 2012).
Berdasarkan penjelasan kebijakan diatas, maka kebijakan ini dapat
diartikan sebagai suatu lingkup tindakan/kegiatan aktor dan pelaku pembuat
kebijakan publik yang mempunyai maksud dan tujuan untuk mengatasi berbagai
masalah dan juga menciptakan kesempatan-kesempatan yang ditetapkan atau
disahkan oleh pemerintah dan dilaksanakan baik pemerintah sendiri atau kelompok
lain untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut.
Kebijakan Kelautan Indonesia adalah pedoman umum kebijakan kelautan
dan langkah pelaksanaannya melalui program dan kegiatan kementerian/lembaga
di bidang kelautan yang disusun dalam rangka percepatan implementasi Poros
Maritim Dunia, bunyi Pasal 1 ayat (1) Perpres.
Kebijakan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota dan
Kabupaten akan menjadi pedoman untuk perumusan kebijakan pokok
pemanfaatan ruang guna mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan
keseimbangan pembangunan di daratan, wilayah pesisir dan lautan.
Kebijakan pengelolaan kawasan pesisir adalah segala bentuk usaha,
kegiatan, pekerjaan dan political yang diarahkan kepada pendayagunaan potensi
kelautan dan pemanfaatannya secara terencana, rasional, serasi dan seimbang
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memperluas kesempatan
berusaha dan membuka lapangan pekerjaan.
B. Strategi Pembangunan
Strategi merupakan salah satu yang dibutuhkan oleh setiap manusia,
organisasi, perusahaan, dan permerintah untuk melakukan tindakan secara
terencana dan terarah dalam mencapai tujuannya. Strategi ialah suatu seni
menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai
sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi
yang paling menguntungkan (J.Salusu, 2006).
Kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi merupakan
kerangka dasar organisasi dengan menggunakan sumberdaya yang ada dalam
organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, selalu berinterkasi dengan lingkungan
untuk mendapatkan hubungan yang menguntungkan. Strategi yang dibuat harus
menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah sehingga strategi menjadi
fleksibel untuk diterapkan dalam lingkungan.
Pembangunan merupakan suatu proses multidimensi yang mencerminkan
perubahan stuktur masyarakat secara keseluruhan baik itu stuktur nasional, sikap
masyarakat dan kelembagaan nasional. Perubahan tersebut bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan dan
memberantas kemiskinan sehingga diharapkan terwujudnya kondisi kehidupan
yang lebih baik secara material maupun spiritual (Todaro,2000).
Pembangunan sebagai usaha untuk meningkatkan harkat martabat
masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari
perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Membangun masyarakat berarti
memampukan atau memandirikan mereka. Dimulainya proses pembangunan
dengan berlandaskan pada pembangunan masyarakat, yang diharapkan dapat
memacu partisipasi masyarakat dalam peningkatan pembangunan tersebut
(Kartasamita, 1996).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, asas pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah berasaskan keberlanjutan,
konsistensi, keterpaduan, kepastian hokum, kemitraan, pemerataan, peran serta
masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan berasaskan keadilan.
Adapun tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah:
a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta system ekologisnya secara
berkelanjutan;
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah
daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil;
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan;
dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran
serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan strategi pembangunan
adalah kerangka dasar pemerintah dengan menggunakan sumberdaya yang
ada untuk meningkatkan harkat martabat masyarakat yang berada dalam
kondisi tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan yang diharapkan dapat memacu partisipasi masyarakat
dalam peningkatan pembangunan.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Potensi dan Permasalahan Wilayah Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Sumberdaya pesisir laut dan pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia
sangat beragam baik jenis maupun potensinya. Potensi sumberdaya tersebut ada
yang dapat diperbaharui (renewable resources) seperti sumberdaya perikanan
(perikanan tangkap, budidaya), mangrove, energi gelombang, pasang surut, angin,
dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) dan energi yang tidak dapat
diperbaharui (non-renewable resources) seperti sumberdaya minyak dan gas bumi
dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat
berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan untuk
pembangunan kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan,
dan sebagainya.
Secara umum, jenis ekosistem di wilayah pesisir ditinjau dari
penggenangan air dan jenis komunitas yang menempatinya dapat dikategorikan
menjadi 2 (dua) ekosistem, yaitu ekosistem yang secara permanen atau berkala
tergenang air dan ekosistem yang tidak pernah tergenang air. Sedangkan jika
ditinjau dari proses terbentuknya, ekosistem wilayah pesisir dapat dikelompokkan
menjadi ekosistem yang terbentuk secara alami dan ekosistem yang sengaja
dibentuk atau ekosistem buatan.
Jenis ekosistem wilayah pesisir yang secara permanen ataupun secara
berkala tertutupi air dan terbentuk melalui proses alami antara lain ekosistem
terumbu karang (coral reef), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun
(sea grass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach),
pulau-pulau kecil dan laut terbuka, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan contoh
dari ekosistem pesisir yang hampir tidak pernah tergenang air, namun terbentuk
secara alami adalah formasi pescaprae dan formasi baringtonia. Di samping
ekosistem yang terbentuk secara alami di atas, pada wilayah pesisir juga dijumpai
ekosistem buatan, seperti tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata,
kawasan industri dan kawasan pemukiman.
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon,
dan selebihnya berupa terna (5jenis), perdu (9 jenis), liana (9 Jenis), epifit (29
jenis) dan parasit (2 jenis) (Nontji, 1987).
Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia
adalah Bakau, Api-api, Pedada, Tanjang, Nyirih , Tenger dan Buta-buta. Hutan
mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah
pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien
bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan berbagai macam biota,
penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah,
pencegah intrusi air laut dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai
fungsi ekonomis yang sangat tinggi, seperti sebagai penyedaia kayu, obat-obatan,
alat dan teknik penangkapan ikan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan,
minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin, dan
tempat rekreasi. Padang Lamun (sea grass) adalah tumbuhan berbunga yang
sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Lamun
hidup di perairan dangkal agak berpasir sering juga dijumpai di terumbu karang.
Padang lamun ini merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya.
Padang lamun di Indonesia terdiri dari tujuh marga lamun. Tiga marga lamun dari
suku Hydrocaritaceae yaitu Enhalus, Thalassia dan Halophila, dan empat marga
dari suku Pomatogetonaceae yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium dan
Thalassodendron.
Dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan, suatu pembangunan di
wilayah tertentu (kabupaten, provinsi, negara, kawasan regional, atau dunia) dapat
berlangsung secara berkelanjutan jika permintaan total manusia terhadap
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan suatu
ekosistem wilayah pembangunan untuk memproduksi sumberdaya alam dan jasa-
jasa lingkungan tersebut dalam kurun waktu tertentu. Permasalahan lingkungan
akan muncul jika permintaan manusia terhadap sumberdaya alam atau jasa
lingkungan tertentu melebihi kemampuan ekosistem wilayah untuk menyediakan
sumberdaya alam atau jasa lingkungan. Gejala overfishing (tangkap lebih) yang
menimpa beberapa jenis stok ikan di beberapa daerah disebabkan oleh karena laju
(tingkat) penangkapan yang melebihi potensi lestari stok ikan.
Tingginya permintaan terhadap sumberdaya alam, juga seringkali
diakibatkan oleh kemiskinan penduduk. Hingga saat ini sebagian besar
masyarakat pesisir masih dililit kemiskinan. Fenomena kemiskinan tersebut akan
mengarah kepada keterpaksaan untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan
lautan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan
peledak dan racun atau pestisida dengan melihat keberlanjutan sumberdaya alam
yang ada.
Erosi dan sedimentasi serta banjir dan kekeringan merupakan fenomena
(peristiwa) alamiah. Oleh karenanya, peristiwa erosi di suatu lokasi dan
sedimentasi di lokasi lain yang hanya disebabkan oleh dinamika alam, biasanya
sistem alam (ekosistem) akan membentuk suatu keseimbangan baru yang tidak
akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan kerugian serius terhadap kehidupan
umat manusia. Demikian juga halnya dengan fenomena banjir dan kekeringan.
Akan tetapi, ketika erosi dan sedimentasi serta banjir dan kekeringan diperparah
akibat ulah manusia, seperti penggundulan hutan, melakukan kegiatan pertanian
dan pemukiman (vila) pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40 derajat,
melakukan kegiatan petanian di sepanjang daerah aliran sungai tanpa upaya
konservasi tanah yang memadai, dan membuat kegiatan rekayasa dan konstruksi
pantai (coastal engineering and construction) tanpa mengindahkan dinamika hidro-
oseanografi setempat, maka terjadilah peristiwa erosi dan sedimentasi serta banjir
dan kekeringan yang dapat merugikan.
Manusia sebagai pengguna sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
pesisir memiliki kontribusi terhadap permasalahan pembangunan pesisir. Sumber
dari akar permasalahan sebagai berikut:
1) Orientasi Keuntungan Ekonomi Jangka Pendek
Selama ini pembangunan yang dilakukan lebih banyak (dominan)
berorientasi untuk meraih keuntungan ekonomi jangka pendek (seperti
industri, pemukiman, pertambangan) tanpa mempertimbangkan
keuntungan jangka panjang (konservasi). Akibatnya, apabila terjadi konflik
antara pemanfaatan sumberdaya untuk tujuan jangka pendek dengan
tujuan jangka panjang, maka seringkali pembangunan yang bertujuan
jangka panjang tersisihkan. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada kasus
reklamasi pantai indah kapuk, reklamasi pantai Manado dan beberapa
kasus-kasus lainnya.
2) Kesadaran Akan Nilai Strategis Sumberdaya Dapat Pulih dan Jasa
Lingkungan Bagi Pembangunan Ekonomi Masih Rendah
Dari sisi nilai strategis sumberdaya hayati laut, sektor kelautan
sebenarnya juga masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan
dunia swasta, karena dianggap nilai strategisnya masih kurang menarik
dibandingkan nilai ekonomi jangka pendek dan menengah sektor industri,
pertambangan dan pemukiman. Akibatnya, beberapa kawasan pesisir
harus direklamasi untuk kepentingan kegiatan pembangunan seperti di
atas. Padahal bila dihitung nilai ekonominya tidak kalah dengan nilai
ekonomi sektor lainnya. Sebagai contoh hasil studi penghitungan nilai
ekonomi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan Indonesia, untuk hasil
produksi hutan mangrove misalnya, didapatkan nilai sebesar 10-20 US
dollar per ha per tahun (pada tahun 1978) dan nilai hasil produk perikanan
dari kawasan ini (tahun 1978) sebesar 50 US dollar per ha pertahun
(Hamilton dan Snedaker, 1984).
Berdasarkan data yang diambil oleh Asian Wetland Bureau (AWB)
tahun 1992, Indonesia memiliki 2,7 juta ha dengan menggunakan
perhitungan kasar didapat nilai hasil produksi hutan mangrove adalah
sebesar 27-54 juta US dollar per tahun atau dengan nilai kurs 5.000 Rupiah
per dollar adalah sebesar 135 - 270 milyar rupiah, sementara nilai hasil
produk perikanan dari hutan mangrove didapat nilai sebesar 135 juta US
dollar atau sebesar 675 milyar rupiah. Bandingkan dengan bantuan
Singapura terhadap Indonesia ketika terjadi krisis moneter hanya sebesar
10 juta US dollar atau 50 milyar rupiah saja, atau hampir sama dengan nilai
hasil produksi hutan mangrove saja, bahkan tidak sampai seper sepuluh
dari nilai hasil produk perikanan hutan mangrove. Sementara sumberdaya
yang dimiliki oleh sektor kelautan tidak hanya hutan mangrove saja, namun
masih terdapat terumbu karang, padang lamun dan rumput laut.
3) Tingkat Pengetahuan dan Kesadaran Tentang Implikasi Kerusakan
Lingkungan Terhadap Kesinambungan Pembangunan Ekonomi Masih
Rendah.
Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran akan implikasi
kerusakan lingkungan terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi
telah menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya permasalahan
lingkungan. Karena sifatnya ekternalitas, maka pelaku kerusakan
lingkungan tidak menyadari akan bahaya dari dampak yang ditimbulkan
oleh kegiatan pembangunan. Demikian juga halnya dengan adanya
tenggang waktu yang cukup lama, dampak yang timbul dari suatu kegiatan
akan dirasakan pada masa yang akan datang. Hal ini akan berbeda, jika
sekiranya dampak tersebut bersifat internalitas, artinya pelaku pengrusakan
lingkungan turut merasakan dampak negatif yang terjadi. Oleh karena itu,
yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
bahwa dampak yang ditimbulkan oleh mereka telah menyengsarakan pihak
lain.
4) Ketiadaan Alternatif Pemecahan Masalah Lingkungan
Tindakan destruktif yang dilakukan oleh masyarakat terhadap
sumberdaya pesisir dan lautan disebabkan oleh tiga hal, yaitu: pertama,
ketidaktahuan dan ketidaksadaran bahwa kegiatan yang dilakukan telah
mengancam kesinambungan sumberdaya pesisir dan lautan, Rendahnya
kesadaran atau karena ketidaktahuan masyarakat, bahwa kegiatan yang
bersifat destruktif akan mengancam kesimbangunan sumberdaya telah
menjadi pemicu terjadi berbagai fenomena kerusakan lingkungan, seperti
kerusakan terumbu karang, hutan mangrove dan sebagainya; kedua tidak
adanya alternatif matapencaharian. Dalam banyak kasus, sebenarnya
masyarakat pesisir dan lautan telah memiliki pengetahuan dan tingkat
kesadaran yang tinggi bahwa kegiatan yang desktruktif akan menimbulkan
masalah lingkungan yang akan berdampak negatif terhadap kehidupan dan
lingkungan mereka. Namun, karena mereka tidak memiliki alternatif lain
untuk menyambung hidup, maka kegiatan yang bersifat merusak
lingkungan tetap mereka lakukan. Kasus ini banyak terjadi di perairan teluk
Lampung dimana masyakat pesisir disana melakukan pemboman ikan di
kawasan terumbu karang; ketiga adanya peluang untuk melakukan
kegiatan yang bersifat destruktif. Belum optimalnya lembaga atau instansi
yang mengatur dan mengawasi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
menjadi peluang untuk melakukan kegiatan destruktif .
5) Pengawasan, Pembinaan, dan Penegakkan Hukum Masih Lemah.
Pengawasan, pembinaan dan penegakan hukum yang masih lemah
telah memicu timbulnya berbagai permasalahan lingkungan. Kurangnya
pengawasan dan penegakkan terhadap pelaksanaan hukum baik di tingkat
bawah (masyarakat) maupun tingkat atas (pemerintah) membuat
kecenderungan kerusakan lingkungan lebih parah. Hal ini dapat dilihat dari
tidak adanya suatu lembaga khusus yang independen dengan otoritas
penuh melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang mengatur
pengelolaan sumberdaya alam.
Saat ini di Indonesia telah banyak hukum dan peraturan yang mengatur
tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan Lautan yang berkelanjutan.
Namun pada kenyataannya hukum dan peraturanperaturan tersebut
banyak yang tidak diimplementasikan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya
penegakkan hukum, egoisme sektoral dan lemahnya koordinasi antara
sektor.
Peningkatan pencemaran diberbagai kawasan pesisir, salah satu
penyebabnya adalah karena kurangnya pengawasan terhadap sistem
pembuangan limbah. Demikian juga, bila terjadi pelanggaran terhadap
hukum, kadangkala sanksi yang diberikan relatif lebih ringan dibandingkan
dengan kerusakan yang ditimbulkan, akibatnya kecenderungan untuk
melakukan pelanggaran terus meningkat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan kebijakan dan strategi
pembangunan wilayah laut, pesisir, dan PKK adalah serangkaian tindakan yang
diusulkan oleh pemerintah atau organisasi dibidang kelautan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam membuat
kerangka dasar pemerintah dengan menggunakan sumberdaya yang ada untuk
meningkatkan harkat martabat masyarakat yang berada dalam kondisi tidak
mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan yang
diharapkan dapat memacu partisipasi masyarakat dalam peningkatan
pembangunan.