Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit Gagal Ginjal Akut/Acute Kidney Injury (AKI)


A. Definisi
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit (Brady et al, 2005).
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsidasarnya normal (AKI “klasik”)
atau tidak normal (acute onchronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal
ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas
parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu
menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk
kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini dan
spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat menggambarkan
prognosis pasien (Mehta et al, 2003)
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para
nefrolog dan intensives di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi
AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman
masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI
menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi
prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif
yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum; (4)
penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum
adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat
dilakukan di mana saja (Rusli R, 2007).
B. Etiologi AKI
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1)
penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi
saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari
tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert, 2010)
AKI Prarenal I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular
- Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,
obstruksi
- usus
- Kehilangan darah
- Kehilangan cairan ke luar tubuh
- Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui
saluran
- kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui
kulit
- (luka bakar)
II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati
- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung
III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer
- Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan
- (contoh: barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
- Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
takrolimus,
- amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal lokal
- Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
- Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi
- kronik, PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna),
- penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2
inhibi
- tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,
- sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia
AKI Renal I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli,
- diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis
(trombosis,
- kompresi)
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
- Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal)
- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
- pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,
hemolisis,
- asam urat, oksalat, mieloma)
IV. Nefritis interstitial
- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi
(bakteri,
- viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
- idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular
- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamida
VI. Rejeksi alograf ginjal
AKI I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
pascarenal
eksternal
II. Obstruksi leher kandung kemih
- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis

C. Tanda dan gejala AKI (Nursalam, 2006)


a. Pasien tampak sangat menderita dan mual, muntah dan diare
b. Kulit dan membaran mukosa kering akibat dehidrasi dan nafas mungkin berbau urine
(fetouremik)
c. Manifestasi system saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot dan kejang)
d. Perubahan pengeluaran produksi urine sedikit, dapat mengandung darah
e. Anoreksia (disebabkan oleh akumulasi produk sisa nitrogen)
f. Sakit dan nyeri pada tulang dan sendi (karena kehilangan kalsium dari tulang)
g. Kelelahan (akibat anemia)
h. Hipertensi, peningkatan BB dan edema

D. Patofisiologi AKI
Patofisiologi Aki dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan komponen tubular seperti yang
terdapat didalam gambar (Bonventre, 2008) berikut ini:

Gambar 1. Patofisiologi AKI (Bonventre, 2008)


Patofisiologi dari AKI dapat dibagi menjadi komponen mikrovaskular dan tubular,
bentuk lebih lanjutnya dapat dibagi menjadi proglomerular dan komponen pembuluh medulla
ginjal terluar. Pada AKI, terdapat peningkatan vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi pada
respon yang menunjukkan ginjal post iskemik. Dengan peningkatan endhotelial dan
kerusakan sel otot polos pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang
menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi pembuluh dengan aktivasi leukosit dan
berpotensi terjadi inflamasi.
Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas dengan diikuti oleh
apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan kembali terjadi kebocoran filtrate
glomerulus melalui membrane polos dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan
mediator vasoaktif inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan
kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai hasil kerjasama
vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke tubulus, sehingga menyebabkan mediator
vasoaktif inflamatori meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit
Bonventre (2008)

E. Pemeriksaan penunjang AKI


Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular
cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit
pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented
“muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier et al, 2004).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI,
seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Kelainan analisis urin (Robert Sinto, 2010)
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah
pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung
dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto
polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum
jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut
terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik,
seperti glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain (Brady HR, 2005).

F. Komplikasi
a. Kelebihan cairan intravascular
b. Hiponatremia
c. Hiperkalemia
d. Asidosis metabolic
e. Hiperfosfatemia
f. Hipokalsemia
g. Hiperuresemia

G. Penatalaksanaan (Muttaqin, 2008)


a. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan
kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah
dimodifikasi oleh Sutarjo seperti pada tabel berikut:
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)
b. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obatobatan
tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat
Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa
Henle. Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik
lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak
klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai
upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan
dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi
pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus
diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah:
(Mohani, 2008)
c. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan
dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan
pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin
bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
d. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan
oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-
6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari.
Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk
meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil
(keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan
dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert,
2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler
sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan
menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat
meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien
(Sja’bani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam
tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal.
Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal,
menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG
dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan
vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu
terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak
terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin.
Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara umum yang
meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi,
diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak
terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia
miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain.
Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan
respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar
menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat
digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi)
untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert, 2010).
1.8 Pathway
II. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Penyakit Gagal Ginjal Akut (Acute
Kidney Injury)
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
2.1.2 Pemeriksaan fisik dan data focus
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
Pengkajian lainnya dalam Taylor dan Ralph (2015)
2.1.4 Status neurologik meliputi tingkat kesadaran, orientasi dan status mental
2.1.5 Status pernapasan meliputi frekwensi dan kedalaman pernapasan,
kesimetrisan ekspansi dada, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, batuk,
sputum, palpasi fremitus, perkusi lapang paru, auskultasi bunyi napas, kadar
gas darah arteri, studi fungsi paru
2.1.6 Status kardiovaskuler meliputi meliputi warna dan suhu kulit, frekwensi dan
irama jantung, tekanan darah, hemoglobin dan hematokrit, hitung sel darah
merah, hitung sel darah putih, hitung thrombosit, waktu prothrombin, waktu
tromboplastin, besi serum
2.1.7 Status aktivitas meliputi kemampuan berfungsi seperti rentang gerak dan
kekuatan otot, aktivitas kehidupan sehari-hari, pekerjaan
2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
2.2.1 Definisi (Herdman dan Kamitsuru, 2015)
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul akibat
kerusakan jaringan actual atau potensial atau yang digambarkan sebagai
kerusakan (International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-
tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang tidak
dapat diantisipasi atau diprediksi.
2.2.2 Batasan karakteristik (Herdman dan Kamitsuru, 2015)
2.2.2.1 Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri
untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkannya (misal Neonatal
Infan Pain Scale, Pain Assesment Checklist for Senior with Limited
Ability to Communicate)
2.2.2.2 Diaforesis
2.2.2.3 Dilatasi pupil
2.2.2.4 Ekspresi wajah nyeri (misal mata kurang bercahaya, tampak kacau,
gerakan mata berpencar atau tetap pada satu focus, meringis)
2.2.2.5 Fokus menyempit (misal persepsi waktu, proses berpikir, interaksi
orang dan lingkungan)
2.2.2.6 Fokus pada diri sendiri
2.2.2.7 Keluhan tentang intensitas menggunakan standar nyeri (misal skala
Wong-Baker FACES, skala analog visual, skala penilaian numeric)
2.2.2.8 Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan
instrument nyeri (misal McGill Pain Questionnaire Brief Pain
Inventory)
2.2.2.9 Laporan tentang prilaku nyeri/perubahan aktivitas (misal anggota
keluarga, pemberi asuhan)
2.2.2.10 Mengekspresikan prilaku (misal gelisah, merengek, menangis,
waspada)
2.2.2.11 Prilaku distraksi
2.2.2.12 Perubahan pada parameter fisiologis (misal tekanan darah,
frekwensi jantung, frekwensi pernafasan, saturasi oksigen dan end
tidal karbondioksida)
2.2.2.13 Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
2.2.2.14 Perubahan selera makan
2.2.2.15 Putus asa
2.2.2.16 Sikap melindungi area nyeri
2.2.2.17 Sikap tubuh melindungi
2.2.3 Faktor yang berhubungan (Herdman dan Kamitsuru, 2015)
2.2.3.1 Agens cedera biologis (misal infeksi, iskemia, neoplasma)
2.2.3.2 Agens cedera fisik (misal abses, amputasi, luka bakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur bedah, trauma, olahraga berlebihan)
2.2.3.3 Agens cedera kimiawi (misal luka bakar, kapsaisin, metilen
klorida, agens mustard)
Diagnosa II: Kelebihan volume cairan (00026) (Herdman dan Kamitsuru, 2015)
2.2.4 Definisi
Peningkatan retensi cairan isotonik
2.2.5 Batasan karakteristik
2.2.5.1 Ada bunyi jantung S3
2.2.5.2 Anasarka
2.2.5.3 Ansietas
2.2.5.4 Asupan melebihi haluaran
2.2.5.5 Azotemia
2.2.5.6 Bunyi napas tambahan
2.2.5.7 Dispnea
2.2.5.8 Dispnea nokturnal paroksismal
2.2.5.9 Distensi vena jugularis
2.2.5.10 Edema
2.2.5.11 Efusi pleura
2.2.5.12 Gangguan pola napas
2.2.5.13 Gangguan tekanan darah
2.2.5.14 Gelisah
2.2.5.15 Hepatomegali
2.2.5.16 Ketidakseimbangan elektrolit
2.2.5.17 Kongesti pulmonal
2.2.5.18 Oliguria
2.2.5.19 Ortopnea
2.2.5.20 Penambahan berat badan dalam waktu sangat singkat
2.2.5.21 Peningkatan tekanan vena sentral
2.2.5.22 Penurunan hematokrit
2.2.5.23 Penurunan hemoglobin
2.2.5.24 Perubahan berat jenis urine
2.2.5.25 Perubahan status mental
2.2.5.26 Perubahan tekanan arteri pulmonal
2.2.5.27 Refleks hepatojugular positif
2.2.6 Faktor yang berhubungan
2.2.6.1 Gangguan mekanisme regulasi
2.2.6.2 Kelebihan asupan cairan
2.2.6.3 Kelebihan asupan natrium
2.3 Perencanaan
Diagnosa I: Ketidakefektifan pola napas (00032)
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria) berdasarkan NOC dalam
Morhead, Johnson, Maas dan Swanson (2013) adalah sebagai berikut:
2.3.1.1 Outcome untuk mengukur penyelesaian dari diagnosis
 Respon penyapihan ventilasi mekanik: dewasa
 Status pernapasan
 Status pernapasan: ventilasi
2.3.1.2 Outcome tambahan untuk mengukur batasan karakteristik
 Respon alergik: sistemik
 Status pernapasan: kepatenan jalan napas
 Status pernapasan: pertukaran gas
 Keparahan syok: anafilaksis
2.3.1.3 Outcome yang berkaitan dengan faktor yang berhubungan atau
outcome menengah
 Keparahan respirasi asidosis akut
 Keparahan respiratori alkalosis akut
 Tingkat kecemasan
 Kognisi
 Kobnservasi energy
 Kelelahan: efek yang mengganggu
 Tingkat kelelahan
 Status neurologi: otonomik
 Status neurologi: sensori tulang punggung/fungsi motorik
 Tingkat nyeri
 Organisasi (pengelolaan) bayi premature
 Manajemen diri: asma
 Manajemen diri: penyakit paru obstruktif kronik
 Perilaku berhenti merokok
 Berat badan: massa tubuh
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional berdasarkan NIC dalam Bulechek,
Butcher, Dochterman dan Wagner (2013) adalah sebagai berikut:
2.3.2.1 Manajemen jalan napas
 Buka jalan napas dengan teknik chin lift atau jaw thrust, sebagai
mana mestinya
 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi kebutuhan aktual/potensial pasien untuk
memasukkan alat membuka jalan napas
 Masukkan alat nasopharyngeal airway (NPA) atau
oropharingeal airway sebagaimana mestinya
 Lakukan fisioterapi dada sebagai mana mestinya
 Buang sekret dengan memotivasi pasien untuk melakukan batuk
atau menyedot lendir
 Motivasi pasien untuk bernapas pelan, dalam, berputar dan
batuk
 Instruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk efektif
 Bantu dengan dorongan spirometer sebagaiman mestinya
 Auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya suara napas tambahan
2.4.2.2 Monitor pernapasan
 Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernapas
 Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu pernapasan, dan retraksi pada supraclaviculas
dan intercosta
 Monitor suara napas tambahan seperti ngorok atau mengi
 Monitor pola napas
 Monitor saturasi oksigen
 Pasang sensor pemantauan oksigen non invasive
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Perkusi toraks anterior dan posterior, dari apeks ke basis paru,
kanan dan kiri
 Catat lokasi trakea
 Monitor kelelahan otot-otot diagfragma dengan pergerakan
paroksismal
 Auskultasi suara napas, catat area dimana terjadi penurunan atau
tidak adanya ventilasi dan keberadaan suara napas tambahan
2.4.2.3 Penghisapan lendir
2.4.3.4 Manajemen jalan napas buatan
2.4.3.5 Manajemen ventilasi mekanik: invasive
2.4.3.6 Manajemen ventilasi mekanik: non invasive
Diagnosa II: Kelebihan volume cairan (00026)
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil (outcome criteria) berdasarkan NOC dalam
Morhead, Johnson, Maas dan Swanson (2013) adalah sebagai berikut:
2.3.3.1 Outcome untuk mengukur penyelesaian dari diagnosis
 Keseimbangan cairan
2.3.3.2 Outcome tambahan untuk mengukur batasan karakteristik
 Tingkat agitasi
 Tingkat kecemasan
 Status jantung paru
 Tingkat delirium
 Keseimbangan elektrolit
 Keparahan hipertensi
 Status pernapasan
 Status pernapasan: pertukaran gas
 Status pernapasan: ventilasi
 Eliminasi urine
 Tanda-tanda vital
 Berat badan: massa tubuh
2.3.3.3 Outcome yang berkaitan dengan faktor yang berhubungan atau
outcome menengah
 Keefektifan pompa jantung
 Perilaku patuh: diet yang disarankan
 Keseimbangan elektrolit, asam dan basa
 Keparahan cairan berlebihan
 Keparahan hipernatremia
 Fungsi ginjal
 Pengetahuan: manajemen gagal jantung
 Pengetahuan: manajemen hipertensi
 Status nutrisi: asupan makanan dan cairan
 Status nutrisi: asupan nutrisi
 Manajemen diri: gagal jantung
 Manajemen diri: hipertensi
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional berdasarkan NIC dalam Bulechek,
Butcher, Dochterman dan Wagner (2013) adalah sebagai berikut:
2.3.4.1 Monitor elektrolit
 Monitor serum elektrolit
 Monitor serum albumin dan kadar protein total, sesuai dengan
indikasi
 Monitor ketidakseimbangan asam basa
 Identifikasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan
elektrolit
 Kenali dan laporkan adanya ketidakseimbangan elektrolit
 Monitor adanya kehilangan cairan dan elektrolit, jika diperlukan
 Monitor manifestasi ketidakseimbangan elektrolit pada sistem
saraf
 Monitor kepatenan ventilasi
 Monitor kadar osmolaritas serum dan urine
 Monitor rekaman EKG
 Catat adanya perubahan sensasi pada daerah perifer
 Catat kekuatan otot
 Monitor adanya mual, muntah dan diare
2.3.4.2 Manajemen hipervolemia
 Timbang berat badan setiap hari
 Monitor status hemodinamik
 Monitor pola pernapasan
 Monitor suara paru abnormal
 Monitor suara jantung abnormal
 Monitor distensi vena jugularis
 Monitor edema perifer
 Monitor data laboratorium yang menunjukkan adanya
hemokonsentrasi, adanya potensi peningkatan tekanan onkolitik
plasma dan penyebab yang mendasari terjadinya hipervolemia
 Monitor intake dan output
 Berikan obat yang diresepkan untuk mengurangi preload (misal
furosemide)
 Monitor tanda berkurangnya preload
 Monitor adanya efek pengobatan yang berlebihan (misal
dehidrasi, hipotensi dan lain-lain)
III. DAFTAR PUSTAKA
1. Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, Joanne M., dan Wagner, Cheryl
M. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi 6. Jakarta: CV. Mocomedia

2. Herdman, T. Heather & Kamitsuru, Shigemi (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi


dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC

3. Itsdana (2012). https://www.scribd.com/doc/108460976/MAKALAH-Gagal-Ginjal-


Akut-Dan-Kronik-Final

4. Morhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, Meridiean L., dan Swanson, Elizabeth (2013).
Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi 5. Jakarta: CV. Mocomedia

5. Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi (2016). Asuhan Keperawatan Praktis
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus Jilid 1.
Jogjakarta: MediAction

6. Nursalam, M. (2006) Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Perkemihan. Salemkamedika

7. Taylor, Cynthia M. dan Ralph, Sheila Sparks (2015). Diagnosis Keperawatan dengan
Rencana Asuhan Edisi 10. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai