Anda di halaman 1dari 3

UTS HTLN

1. Dilihat dari mekanisme pengisian jabatan komisioner KPK, apakah dewan


pengawas dapat dibenarkan?
KPK sebaiknya terlebih dahulu memperbaiki dan memperkuat kerangka
kelembagaan, integritas dan akuntabilitas dalam KPK. Pada dasarnya
kelemahan yang mendasar dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tidak adanya
lembaga atau dewan pengawas eksternal independen KPK untuk memastikan
tidak adanya penyalahgunaan wewenang, yang menjadikan KPK sebagai alat
politik dimana hal tersebut melanggar hukum dan etika dan tetap dapat menjaga
independensi dan integritasnya.
Tanpa adanya dewan pengawas, KPK menjadi sangat terbuka untuk
bertindak tebang pilih, melindungi koruptor dan kepentingan politik bagi orang
yang berkuasa karena pengawasan internal sendiri tidak bisa mencegah dan
menindak perilaku tersebut.
Dewan pengawas KPK nantinya akan berwenang untuk menyelidiki
kebenaran suatu peristiwa yang serius tetapi sering kali disebut hanya sebagai
dugaan – dugaan tindakan tebang pilih atau diskriminatif dan menunda
pengungkapan. Dewan Pengawas KPK ini dibentuk agar pimpinan dan pegawai
KPK tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi. Komisi independen dan
komisioner KPK sendiri, seperti Komisi Yudisial dan KPK tidak kebal terhadap
korupsi dan sering gagal dalam menindak kasus tersebut. Secara teori, KPK
dengan kekuasaan dan diskresi yang besar tetapi dengan akuntabilitas dan
pengawasan yang lemah yang menyebabkan rawan korupsi serta
penyalahgunaan wewenang. Sehingga, untuk menanggulangi hal tersebut,
dewan pengawas berwenang menginvestigasi atau mengajukan rekomendasi
kepada Presiden untuk memproses bahkan memecat oknum KPK yang terlibat
dalam korupsi. Dewan Pengawas juga diberi kewenang untuk memberikan
rekomendasi kepada Presiden dan DPR agar pejabat dalam KPK tesebut tidak
dipilih kembali.
Maka dari itu, menurut saya, dengan adanya Dewan Pengawas dalam
pengisian jabatan komisioner KPK dapat dibenarkan karena sesungguhnya
jabatan tersebut memiiki fungsi yang penting dalam mengawasi segala pihak
internal dalam KPK.
2. Apakah pengawasan oleh Dewan Pengawas dalam penyadapan dan penerbitan
SP3 dalam kerangka penegakan hukum, dapat dibenarkan secara hukum?
Dalam pembentukan Dewan Pengawas ini sebenarnya ditujukan untuk
setidaknya dapat mengontrol kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan
dan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dan bukan
melakukan penyadapan atau penebitan SP3 secara langsung. Terkait dengan
penyadapan, sesungguhnya dikhawatirkan akan menghambat operasi
penyelidikan dan penyidikan apabila dilakukan secara terbuka dan orang yang
ditengarai terlibat tindak pidana korupsi akan melarikan diri. Lebih tepat apabila
ada penambahan deputi di bidang monitoring dan koordinasi antar lembaga
karena penyadapan dapat dilakukan juga oleh Kepolisian dan Kejaksaan serta
penguatan posisi pada Dewan Penasihat KPK yang sudah ada dengan
melakukan pengawasan terhadap kinerja kelembagaan KPK dan menelaah
laporan pelanggaran kode etik.
Dalam kerangka penegakan hukum lebih baik apabila ada undang-undang
khusus terkait yang diterapkan bagi semua lembaga yang memiliki kewenangan
untuk melakukan kewenangan tersebut dibandingkan adanya pengawasan
tertentu dalam hal penyadapan dan penerbitan SP3. Namun begitu, perlu
diperjelas juga apabila adanya pengawasan, siapa pihak yang melakukan
pengawasan dan jika terdapat lembaga Dewan Pengawas, harus terbebas dari
intervensi manapun, terlebih khusus pengawasan di bidang penyadapan dan
penerbitan SP3.
Hal ini juga akan membuat KPK menjadi lembaga yang tidak lagi
independen karena dalam penentuan anggota Dewan Pengawas, Presiden
lebih memiliki peran yang besar. Keberadaan Dewan Pengawas juga
memungkinkan hilangnya kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang
disebabkan dilakukannya penyadapan harus menunggu izin dari Dewan
Pengawas. Adanya potensi untuk tebang pilih dalam penjeratan tersangka
terutama yang memiliki latar belakang yang berseberangan dengan pemerintah.
Tugas Dewan Pengawas sebaiknya hanya menngawasi kinerja dan
prosedur etik dari pimpinan atau pegawai KPK dan tidak perlu masuk dalam
teknis penanganan perkara, seperti izin untuk melakukan penyadapan dan
penerbitan SP3 karena hal tersebut hanya akan mengambil peran pimpinan
KPK dan menunjukkan upaya untuk mengintervensi proses penegakan hukum.
3. Apakah mengalihkan status pegawai KPK menjadi ASN merupakan gagasan
yang ideal? Bagaimana praktek status kepegawaian di lembaga independen
lainnya?
Salah satu poin dari revisi UU KPK adalah mengubah status kedudukan
KPK menjadi bagian dari lembaga eksektutif dan bukan lagi lembaga
independen. Sehingga berdampak secara tidak langsung juga ikut mengubah
status para pegawai KPK menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara) dan tidak ada
persyaratan yang krusial untuk pegawai KPK menjadi ASN. Hal tersebut
sebenarnya melemahkan independensi KPK dan resiko independensi terhadap
pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya
serta menyebabkan pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam
menjalankan tugasnya karena status ASN.
Adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebaiknya melakukan
koordinasi terlebih dahulu dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) terkait
status pegawai lembaga antirasuah tersebut. Penentuan mekanisme peralihan
status pegawai KPK juga tergantung pada komisioner yang baru. Perubahan
status kepegawaian KPK tersebut juga menjadikan mereka wajib tunduk pada
ketentuan UU ASN.
Terkait dengan status kepegawaian KPK menjadi ASN sebenarnya juga
telah diterapkan di lembaga negara lain, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi serta lembaga independen lainnya, seperti Komisi Pemilihan Umum
dan Badan Pengawasan Pemilu. Tetapi dalam hal implementasinya perlu masa
transisi yang memadai dan dijalankan dengan penuh kehati-hatian, dikarenakan
pegawai KPK seperti penyelidik dan penyidik KPK yang saat ini masih menjabat
dan mengikuti proses transisi menjadi ASN yang juga berasal dari PNS di
lembaga negara lainnya.
Status kepegawaian KPK yang dikonversi ke dalam ASN, KPK juga harus
tetap mengontrol dalam proses rekrutmen, pelatihan, promosi, mutasi dan
demosi karena apabila tidak dalam kontrol KPK dan dikontrol di luar KPK akan
mudah untuk dicabut. Poin yang menjadi keresahan juga apabila Pegawai KPK
sebagai bagian dari ASN akan membunuh indepedensi pegawai KPK dengan
terikatnya pegawai KPK di dalam struktur dan disiplin pegawai ASN serta
mematikan integritas pegawai KPK karena KPK secara independen dapat
mengatur sendiri struktur kepegawaiannya berdasarkan Pasal 24 ayat (2) dan
(3) UU KPK dan menyebabkan terpisahnya struktur kepegawaian KPK dengan
struktur kepegawaian ASN secara umum.

Anda mungkin juga menyukai