Disusun oleh
YOGYAKARTA
2015
Maha Bharata terdiri dari 18 Parwa yang terdiri dari 100.000 seloka
yang ditulis oleh Krsna Dvipayana Vyasa dalam waktu 3 tahun lamanya.
(V.Dharma 1984 Penerbit: Jaya M Dharma). Dalam buku (Mahabharata,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, tulisan Nyoman S Pendit)
dikatakan bahwa: Dalam Aswalayana Strautasutra dikatakan bahwa
Mahabharata edisi awal terdiri dari 24.000 sloka :
1) Adi Parwa : Memuat asal usul dan sejarah keturuna keluarga Kaurawa
dan Pandawa, kelahiran, watak, dan sifat Dritarasta, dan Pandu juga
anak-anak mereka; timbulnya permusuhan dan pertentangan diantara
dua saudara sepupu, yaitu Kaurawa dan Pandawa; dan berhasilnya
Pandawa memenangkan Dewi Drupadi, putri kerajaan Panchala, dalam
suatu sayembara.
10) Saupthika Parwa : Perbuatan tidak terpuji Aswatama pada malam hari
membunuh putra Pandawa dan Srikandi. Akhirnya Aswatama
dikalahkan oleh Arjuna.
11) Stri Parwa : Para istri menangisi para suami mereka yang gugur dalam
pertempuran. Melaksanakan Pitra Yadnya.
Dalam buku ini digambarkan konflik, adanya aksi dan reaksi, nafsu
melawan nafsu, kritik terhadap hidup dan kebiasaan, tatacara dan cita-cita
yang berubah-ubah. Dasar-dasar moral, kewajiban dan kebenaran
disampaikan secara tegas dan jelas. Buku ini telah memainkan peran
pentingdalam kehidupan manusia hamper selama lima belas abad dalam
kata-kata mutiara, persembahyangan, meditasi, drama, dan hiburan,
sumber inspirasi nyanyian, lukisan, puisi, pola hidup manusia dari lembah
Kashmir sampai Pulau Bali. (Pendit, 2003 Hal.xxi).
Dalam teori etika Barat kita mengenal empat teori etika yaitu teori
Utilitarisme,Deontologi, Teori Hak dan Teori Keutamaan. Teori Etika
Utilitarisme, dimana menurut teori ini sesuatu perbuatan adalah baik jika
membawa manfaat, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat.
Teori ini juga disebut teori konsekuensialisme atau teori teologis atau teori
tujuan. Perbuatan yang dimaksudkan baik, tetapi tidak menghasilkan apa-
apa, tidak pantas disebut baik. Teori deontologist mengatakan bahwa yang
dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Kita idak perlu bertanya
lebih lanjut mengenai konsekuensi dari pelaksanaan kewajiban itu.
Perbuatan yang baik tidak menjadikan perbuatan itu baik.
Perbuatan itu baik karena wajib untuk dilakukan. Teori Hak yaitu
didasarkan pada martabat setiap manusia yang pada dasarnya sama. Maka
dari itu manusia sacera individual, siapapun dia tidak dapat dikorbankan
untuk tujuan yang lain. Manusia merupakan tujuan pada dirinya sendiri.
Teori Keutamaan tidak mempermasalahkan apakah suatu perbuetan itu
adil atau jujur atau murah hati dan sebagainya, tapi apakah seseorang itu
bersikap adil ataukah jujur dan sebagainya. Seseorang adalah baik bila ia
memiliki keutamaan, atau hidup berkeutamaan. (K. Bertens, 2000,
Pengantar Etika Bisnis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Hal.66-77).
Dengan melihat keempat teori ini maka etika yang terkandung
dalam Ramayana atau Mahabharata adalah Etika Deontologi oleh karena
hampir sebagian besar bahwa kewajiban itu harus dilaksanakan, walaupun
menghasilkan suatu akibat yang kurang atau tidak adil, sebagai contoh
adalah bahwa janji, sumpah maupun kewajiban harus dilaksanakan apakah
akibatnya baik atau tudak baik. Seorang Ksatria harus melaksanakan
Dharma Ksatrianya atauu kewajibannya sebagai seorang ksatria, walaupun
harus membunuh gurunya sendiri atau kakeknya sendiri. (N. Pendit,
2003).
3. ZAMAN SUTRA-SUTRA (Tahun 200 M)
Weda di zaman Epos dianggap sebagai ilmu yang kuno diperlukan
pengetahuan bahasa untuk dapat mengerti dengan baik isinya. Disamping
itu bahasa Sansekerta cukup sulit umtuk dipahami karena ditulis dalam
huruf Dewanagari, sehingga tradisi lisan dalam menjelaskan Weda
(Wedangga)perlu ditulis dalam bentuk proposa yang disusun secsrs
singkat sebagai buku pegangan yang mudah dimengerti dan dipergunakan
yang disebut Sutra. Oleh karena itu masing-masing pemikiran filsafat
menciptakan Sutranya sendiri.
Sutra ini dalam bentuk tulisan-tulisan filosofiyang singkat sebagai
suatu kesimpulan sehingga sutra ini sulit ditangkap tanpa adanya
komentar-komentar, yang pada akhirnya justru komentar-komentar itu
yang lebih penting dari sutra itu sendiri. Mulai muncul pemikiran-
pemikiran fisafat yang kritis dalam memecahkan problem-problem filsafat
yang ada. Munculnya enam pemikiran filsafatyang disebut sebagai Sad
Dharsana (Nyaya, Vaisesika, Yoga, Purwa Mimamsa, Wedanta), tidak
dapat ditentukan mana yang belakangan, karena terjadinya pemikiran
silang yang saling mempengaruhi yang satu dengan yang lainnya. Yoga
menerima Samkhaya, Vaisesika memperkenelkan Nyaya dan Vaisesika,
sebaliknya Nyaya mengacu Vedanta dan Samkhya serta Purwa Mimamsa
secara langsung atau tidak langsung mendahului yang lain-lain. Tapi Prof.
Garbe menganggap Nyaya adalah yang tertua. (S. Radhakrshnan, Vol. II:
1927: 58).