Anda di halaman 1dari 6

RESUME JURNAL

HIPEREMESIS GRAVIDARUM , PERDARAHAN POST PARTUM DAN


KANKER SERVIKS

Disusun oleh :

Lela Meilani : 181440122

POLTEKKES KEMENKES PANGKALPINANG

PRODI DIII KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


STUDI FENOMENOLOGI KEJADIAN HIPEREMESIS GRAVIDARUM PADA
IBU HAMIL TRIMESTER I

Mual muntah adalah gejala yang normal dalam kehamilan. Namun, apabila
berlebihan sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari dan keadaan umum menjadi
buruk yang disebut hiperemesis gravidarum. Mual dan muntah pada kehamilan terjadi
karena pengaruh hCG, penurunan tonus otot-otot traktus digestivus sehingga seluruh
traktus digestivus mengalami penurunan kemampuan bergerak (Kusmiyati, 2015).
Peningkatan kadar Human Chorionic Gonadotropin (hCG) akan menginduksi ovarium
untuk memproduksi estrogen yang dapat merangsang mual dan muntah (Wiknjosastro,
2009).
Hiperemesis gravidarum merupakan keadaan mual muntah yang terjadi pada
masa kehamilan akibat faktor hormonal, faktor usia, aktivitas yang melelahkan, asupan
nutrisi dan beban psikologis. Pada awalnya, ibu hamil yang mengalami mual muntah
memeriksakan diri ke bidan atau puskesmas selanjutnya jika keluhan tidak hilang maka
akan memeriksakan ke dokter atau dilakukan rawat inap di rumah sakit. Kondisi
kesehatan ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dan perkembangan janin
dalam kandungan dalam batas normal dan tidak ada penyakit penyerta sehingga tidak
dilakukan rawat inap.
Pengobatan terhadap hiperemesis gravidarum masih tergantung pada terapi
farmakologis. Bahwa terapi non farmakologis dapat digunakan dan aman bagi ibu hamil
yang mengalami mual muntah. Mereka merasa bahwa dengan obat yang diberikan oleh
bidan dan dukungan yang diterima dari keluarga mampu mengatasi keluhan mual
muntah. Harapan ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum terhadap keluarga
maupun tenaga kesehatan adalah dapat memberikan dukungan serta bantuan pelayanan
agar keluhannya segera hilang. Dalam mengatasi hiperemesis gravidarum ini masih
terdapat beberapa hambatan salah satunya adalah kurangnya pengetahuan tentang
hiperemesis gravidarum dan cara mengatasinya sehingga masih ada yang memiliki
persepsi tidak benar tentang hiperemesis gravidarum dan menganggapnya sebagai hal
yang normal. Bahkan ibu hamil dan keluarga menolak saat akan dirujuk karena tidak
paham akan bahaya hiperemesis gravidarum bagi ibu dan janin.
Disarankan bagi bidan hendaknya lebih aktif dalam memberikan penyuluhan
tentang hiperemesis gravidarum serta cara mengatasinya terutama menggunakan terapi
non farmakologis berdasarkan evidence based. Dalam upaya mengatasi hiperemesis
gravidarum hendaknya ibu lebih aktif mencari informasi dari berbagai sumber dan
mengungkapkan secara terbuka kepada keluarga maupun sumber dukungan lain agar
keluhan segera dapat diatasi.
PERDARAHAN POST PARTUM DINI E.C RETENSIO PLASENTA
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan sebanyak 99% kematian ibu
akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara-negara berkembang. Jika
dibandingkan dengan rasio kematian ibu di sembilan negara maju dan 51 negara
persemakmuran rasio kematian ibu di negaranegara berkembang merupakan yang tertinggi
dengan 450 kematian ibu per 100 ribu kelahiran bayi hidup.
Perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi
setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal yang
terjadi setelah kala III hingga 24 jam pertama. Perdarahan lebih dari normal apabila telah
menyebabkan perubahan tanda vital ditandai dengan keluhan lemah, berkeringat dingin,
menggigil, takipneu, tekanan darah sistolik 100 x/menit, kadar Hb.
Berdasarkan penyebabnya retensio plasenta dapat dibagi menjadi secara fungsional
dan patologi anatomi. Secara fungsional dapat dibagi menjadi 2 yaitu disebabkan karena his
yang kurang kuat atau plasenta yang sukar terlepas dari tempatnya (insersi di sudut tuba);
bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat
kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta adhesive. Secara
patologi anatomi dapat dibagi menjadi plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta.
Sebab-sebab plasenta belum lahir bisa oleh karena plasenta belum lepas dari dinding uterus
atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan. Apabila plasenta belum lahir sama sekali,
tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi
untuk mengeluarkannya.
Berdasarkan teori tatalaksana yang dilakukan untuk perdarahan post partum adalah
ask for HELP. Segera memninta pertolongan, atau pasien dirujuk ke rumah sakit. Kedua, Assess
and resuscitate. Keempat, massage the uterus. Kelima, oxytocin infusion/Prostaglandin.
PERSEPSI TENTANG KANKER SERVIKS DAN UPAYA PREVENSINYA
PADA PEREMPUAN YANG MEMILIKI KELUARGA DENGAN RIWAYAT
KANKER
Kanker serviks telah menjadi masalah besar pada kesehatan perempuan karena selain
menimbulkan kesakitan juga mengakibatkan banyak kematian. Kanker serviks sebagai penyakit
yang ganas. Keganasan kanker serviks dapat menyebabkan perempuan yang terkena
kehilangan rahim bahkan mengalami kematian. Tidak dapat mengandung dan melahirkan
karena harus kehilangan rahim akibat operasi pengangkatan rahim diyakini informan dapat
menimbulkan masalah dalam rumah tangga dan keluarga, terutama jika perempuan tersebut
belum mempunyai anak dan suami serta mertua sangat menginginkan anak kandung.
Kehilangan rahim juga diyakini informan akan memengaruhi kesehatan fisik dan psikologis
perempuan karena rahim merupakan identitas perempuan.
Keganasan kanker, termasuk kanker serviks sangat mudah didapat, baik melalui
televisi, internet dan melalui pengalaman di masyarakat. Semua anggota keluarga yang
terkena kanker bahkan akhirnya meninggal karena penyakit tersebut. Pengalaman dengan
anggota keluarga yang terkena kanker semakin menguatkan belief mereka bahwa kanker
serviks memang merupakan penyakit yang sangat ganas yang dapat menyebabkan kematian.
Walaupun semua anggota memiliki riwayat keluarga dengan kanker, hanya Lidwina
dan Wati yang menyadari bahwa mereka berisiko terkena kanker serviks.
Terjadinya peningkatan kematian akibat kanker serviks diduga disebabkan
keterlambatan dalam penanganan. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang
yang terinfeksi HPV terkena kanker serviks, yaitu: riwayat kehamilan; perilaku seksual;
penggunaan kontrasepsi; merokok; nutrisi; dan genetik. Selain riwayat kehamilan dan perilaku
seksual, faktor penggunaan kontrasepsi; merokok; nutrisi; dan genetik juga merupakan faktor
yang dikaitkan dengan risiko terkena kanker serviks.
Selain faktor-faktor di atas, faktor gen juga turut memengaruhi terjadinya kanker.
Rasjidi mengatakan bahwa gen merupakan informasi genetika yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Artinya, perempuan yang memiliki riwayat keluarga dengan
kanker lebih berisiko terkena kanker termasuk kanker serviks dibanding dengan perempuan
yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan kanker
Meskipun ganas dan dapat menyebabkan kematian, kanker serviks dapat dicegah.
Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengontrol perilaku seksual diri
sendiri dan pasangan; memerhatikan kontrasepsi yang digunakan; tidak merokok; serta
mengkonsumsi makanan yang bergizi. Karena penyakit ini sangat dikaitkan dengan HPV, maka
infeksi virus ini dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi. Di samping itu, upaya deteksi dini
juga dapat dilakukan, yaitu dengan menjalani tes IVA (Inspeksi Visual Dengan Aplikasi Asam
Asetat) dan tes pap smear.

Anda mungkin juga menyukai