Anda di halaman 1dari 10

Klp: IV

1. Orang yang pertama kali menjadi mujtahid dan sebelum mencapai derajad
ijtihad, kepada siapakah ia bertahajud?

 Orang yang pertama kali menjadi mujtahid

IMAM SYAFI'I ORAN PERTAMA SEBAGAI MUJTAHID KONTEMPORER


Allah Swt. telah menurunkan syari'at-Nya kepada umat manusia melalui nabi
Muhammad Saw.

 sebelum mencapai derajad ijtihad, kepada siapakah ia bertahajud?

Syiah menerima ijtihad yang bermakna inferensi (istinbâth) hukum-hukum syariat


dari nash-nash, lahiriyah al-Qur’an dan Sunnah. Jenis ijtihad semacam ini telah menyebar
semenjak masa Imam Maksum As di kalangan para sahabat para imam. Bahkan pada
masa Rasulullah Saw sendiri ijtiihad telah dipraktikan oleh sebagian sahabat Rasulullah
Saw. Misalnya Rasulullah Saw mengutus sebagian sahabat seperti Mush’ab bin Umair
dan Muadz bin Jabal untuk pergi ke daerah-daerah sekitar melakukan dakwah dan
mengajarkan hukum-hukum agama. Rasulullah Saw bersabda, “Hindarilah mengeluarkan
fatwa tanpa ilmu yang dapat mengundang laknat para malaikat (ke atas kalian).”[1]
Perkara ini mengindikasikan bahwa memberikan fatwa dari mufti dan juris (fakih) dan
konsekuensinya taklid dan mengikuti fatwa tersebut dari sisi masyarakat juga telah
mengemuka pada masa Rasulullah Saw. Merujuk kepada fakih pasca wafatnya Rasulullah
Saw terus berlanjut sebagaimana sebelumnya hingga mencapai zaman keemasannya dan
bersemi pada masa Imam Baqir As dan Imam Shadiq As.

2. * Tingkat mijtahid berpengaruh pada ijtihad yang di hasilkan dan apakah


mujtahid tersebut lansung menduduki salah satu tingkat secara bertahap?
 Takdapat.
 apakah mujtahid tersebut lansung menduduki salah satu tingkat secara bertahap?

Tingkatan pertama adalah Mujtahid Mustaqil (independen, mandiri). Untuk


mencapai tingkatan ini, harus dipenuhi seluruh persyaratan ijtihad yang telah
disebutkan. Ulama pada tingkatan inilah yang mempunyai otoritas mengkjaji
ketetapan hukum langsung dari al-Quran dan Sunnah, melakukan qiyas,
mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, menetapkan dalil istihsan dan
berpendapat dengan dasar Saddudz Dzara’i. Dengan kata lain, mereka berwenang
menggunakan seluruh metode istidlal yang mereka ambil sebagai pedoman, tidak
mengekor kepada mujtahid lain. Mereka merumuskan metodologi ijtihadnya
sendiri dan menerapkannya pada masalah-masalah furu’ (cabang). Pendapatnya
kemudian disebarluaskan ke seluruh masyarakat.

3. Jelaskan macam-macam mujtahid yaitu mujtahid mustaqil, tingkat ini sudah


tidak ada lagi, apa yang melatar belakangi dan pengebabnya?(takdapat)

4. Berikan satu contoh hadis ahkam?


HADIS AHKAM
1.       Thaharah
ُ‫إن ْال َما َء طَهُو ٌر اَل يُنَجِّ ُسه‬
َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬
َ َ‫ال ق‬ ِّ ‫َوع َْن أَبِي َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِر‬
ِ ‫ي َر‬ .5
‫ص َّح َحهُ أَحْ َمد‬
َ ‫أَ ْخ َر َجهُ الثَّاَل ثَةُ َو‬ ‫َش ْي ٌء‬

Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Sesungguhnya (hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak ada
sesuatu pun yang menajiskannya."

Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad.

2.     Salat
ْ َ‫ر إِ َذا زَ ال‬w
‫ت‬ ُّ َ‫ت ا‬
ِ w‫لظ ْه‬ َّ ِ‫ض َي هَّللَا ُ َع ْنهُ َما; أَ َّن نَب‬
ُ ‫ َو ْق‬ ( :‫ا َل‬wwَ‫لم ق‬ww‫ه وس‬ww‫ي هَّللَا ِ صلى هللا علي‬ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللَا ِ ب ِْن َع ْم ِر ٍو َر‬ .6
‫ت‬ُ ‫ َو َو ْق‬  ُ‫ ْمس‬w‫لش‬ َّ َ‫فَ َّر ا‬w‫َص‬
ْ ‫ا لَ ْم ت‬ww‫ ِر َم‬w‫ص‬ ْ ‫ت اَ ْل َع‬ ْ ‫رْ اَ ْل َع‬w‫ض‬
ُ ‫ َو َو ْق‬ ‫ ُر‬w‫ص‬ ُ ْ‫ا لَ ْم يَح‬ww‫ َم‬ ‫ َو َكانَ ِظلُّ اَل َّرج ُِل َكطُولِ ِه‬  ُ‫اَل َّش ْمس‬
‫ْح‬
ِ ‫ب‬w ‫لص‬ ُّ َ‫اَل ِة ا‬w ‫ص‬
َ ‫ت‬ ُ ‫ َو َو ْق‬ ‫ ِط‬w ‫ل اَأْل َوْ َس‬w
ِ w‫ف اَللَّ ْي‬ِ ْ‫صاَل ِة اَ ْل ِع َشا ِء إِلَى نِص‬
َ ‫ت‬ ُ ‫ َو َو ْق‬ ‫ق‬ ِ ‫صاَل ِة اَ ْل َم ْغ ِر‬
ُ َ‫ب َما لَ ْم يَ ِغبْ اَل َّشف‬ َ
ْ ‫ِم ْن طُلُوع اَ ْلفَجْ ِر َما لَ ْم ت‬
‫ َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬ )  ُ‫َطلُ ْع اَل َّش ْمس‬ ِ

Dari Abdullah Ibnu Amr Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Waktu Dhuhur ialah jika matahari telah condong (ke barat) dan
bayangan seseorang sama dengan tingginya selama waktu Ashar belum tiba waktu Ashar
masuk selama matahari belum menguning waktu shalat Maghrib selama awan merah
belum menghilang waktu shalat Isya hingga tengah malam dan waktu shalat Shubuh
semenjak terbitnya fajar hingga matahari belum terbit." Riwayat Muslim.

3.     ZAKAT
 ) " ُ‫ اَ ْل ُخ ُمس‬:‫از‬w
ِ ‫ " َوفِي اَل ِّر َك‬:‫ا َل‬wَ‫لم ق‬w‫ه وس‬w‫لى هللا علي‬w‫و َل هَّللَا ِ ص‬w‫ه ( أَ َّن َر ُس‬w‫ي هللا عن‬w‫َوع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ رض‬ .7
ٌ َ‫ُمتَّف‬
ِ ‫ق َعلَيْه‬

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Zakat rikaz (harta peninggalan purbakala) adalah seperlima." Muttafaq Alaihi.

4.      PUASA
‫ُور‬ َّ َ‫إ ِ َّن فِي ا‬wَ‫ َّحرُوا ف‬w‫لم ( ت ََس‬w‫ه وس‬w‫لى هللا علي‬w‫و ُل هَّللَا ِ ص‬w‫ال َر ُس‬w
ِ ‫ح‬w‫لس‬ َ َ‫ ق‬:‫ك رضي هللا عنه قَا َل‬ ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ِ ‫َوع َْن أَن‬ .8
ٌ َ‫ ُمتَّف‬ ) ً‫بَ َر َكة‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬

Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam makan sahur itu
ada berkahnya." Muttafaq Alaihi.

5.      HAJI
َ w‫ َرةُ إِلَى اَ ْل ُع ْم‬w‫ ( اَ ْل ُع ْم‬:‫ال‬w
َ َّ‫ر ِة َكف‬w
‫ا‬ww‫ارةٌ لِ َم‬ َ ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ رضي هللا عنه أَ َّن َرس‬
َ wَ‫لم ق‬ww‫ه وس‬ww‫لى هللا علي‬ww‫ُول هَّللَا ِ ص‬ .9
ٌ َ‫ ُمتَّف‬ ) َ‫ْس لَهُ َج َزا ٌء إِاَّل اَ ْل َجنَّة‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ َو ْال َحجُّ اَ ْل َم ْبرُو ُر لَي‬,‫بَ ْينَهُ َما‬

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya, dan tidak ada pahala bagi
haji mabruru kecuali surga." Muttafaq Alaihi.

6.      NIKAH
ٍ wَ‫رْ أَةُ أِل َرْ ب‬ww‫ ( تُ ْن َك ُح اَ ْل َم‬: ‫ا َل‬wَ‫لم ق‬ww‫ه وس‬ww‫لى هللا علي‬w‫ه َع ِن النَّبِ ِّي ص‬w‫ي هللا عن‬w‫ َرةَ رض‬wْ‫َوع َْن أَبِي هُ َري‬
, ‫ا‬wَ‫ لِ َمالِه‬: ‫ع‬w .10
ٌ َ‫ ُمتَّف‬ ) ‫ك‬
‫ق َعلَ ْي ِه َم َع بَقِيَّ ِة اَل َّس ْب َع ِة‬ ْ َ‫ت اَلدِّي ِن ت َِرب‬
َ ‫ت يَدَا‬ ْ َ‫ ف‬, ‫ َولِ ِدينِهَا‬, ‫ َولِ َج َمالِهَا‬, ‫َولِ َح َسبِهَا‬
ِ ‫اظفَرْ بِ َذا‬

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan,
kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan
berbahagia." Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.

7.      MAKANAN DAN MINUMAN

 ) ‫ َرا َد‬w‫ ُل اَ ْل َج‬w‫ نَأْ ُك‬,‫ت‬


ٍ ‫زَ َوا‬ww‫ ْب َع َغ‬w‫لم َس‬ww‫ه وس‬ww‫لى هللا علي‬ww‫و ِل هَّللَا ِ ص‬w‫ ( َغ َزوْ نَا َم َع َر ُس‬:‫َوع َْن اِ ْب ِن أَبِي أَوْ فَى قَا َل‬ .11
ٌ َ‫ُمتَّف‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬

Ibnu Abu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami berperang bersama Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebanyak tujuh kali, kami selalu makan belalang. Muttafaq
Alaihi

8.      KURBAN DAN AQIQAH


َ‫ة‬wَ‫ اَ ْلبَ َدن‬:‫ ِة‬wَ‫ا َم اَ ْل ُح َد ْيبِي‬ww‫ ( نَ َحرْ نَا َم َع اَلنَّبِ ِّي صلى هللا عليه وسلم َع‬:‫ض َي هَّللَا ُ َع ْنهُ َما قَا َل‬
ِ ‫َوع َْن َجابِ ِر ب ِن َع ْب ِد هَّللَا ِ َر‬ .12
‫ َر َواهُ ُم ْسلِم‬ ) ‫ َو ْالبَقَ َرةَ ع َْن َس ْب َع ٍة‬,‫ع َْن َس ْب َع ٍة‬

Jabir Ibnu Abdullah berkata: Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi
untuk tujuh orang. Riwayat Muslim.

ُ‫ه‬w ‫ذبَ ُح َع ْن‬wْ wُ‫ ت‬,‫ ( ُكلُّ غُاَل ٍم ُمرْ تَهَ ٌن بِ َعقِيقَتِ ِه‬:‫ال‬
َ َ‫َوع َْن َس ُم َرةَ رضي هللا عنه أَ َّن َرسُو َل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم ق‬ .13
َ ‫ َو‬,ُ‫ َر َواهُ اَ ْل َخ ْم َسة‬ ) ‫ َويُ َس َّمى‬,ُ‫ َويُحْ لَق‬,‫يَوْ َم َسابِ ِع ِه‬
ّ ‫ص َّح َحهُ اَلتِّرْ ِم ِذ‬
‫ي‬

Dari Samurah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam


bersabda: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya; ia disembelih hari ketujuh (dari
kelahirannya), dicukur, dan diberi nama." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits
shahih menurut Tirmidzi.

9.      JIHAT
‫ِّث‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ َر‬
ْ ‫ د‬w‫ َولَ ْم ي َُح‬,‫ ُز‬w‫اتَ َولَ ْم يَ ْغ‬ww‫ َم ْن َم‬ ( ‫لم‬ww‫ه وس‬ww‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا علي‬:‫ض َي هَّللَا ُ َع ْنهُ قَا َل‬ .14
ٍ ‫ َماتَ َعلَى ُش ْعبَ ٍة ِم ْن نِفَا‬,‫نَ ْف َسهُ بِ ِه‬
 ‫ َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬ ) ‫ق‬

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:


"Barangsiapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk
jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan." Muttafaq Alaihi.

10.  JINAYAH DAN PUTUSAN PENGADILAN

َ ‫ا يُ ْق‬ww‫لم ( أَ َّو ُل َم‬ww‫ه وس‬ww‫ال َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا علي‬


َ‫ى بَ ْين‬w‫ض‬ َ َ‫ ق‬:‫َوع َْن َع ْب ِد هَّللَا ِ ْب ِن َم ْسعُو ٍد رضي هللا عنه قَا َل‬ .15
ٌ َ‫ ُمتَّف‬ ) ‫اس يَوْ َم اَ ْلقِيَا َم ِة فِي اَل ِّد َما ِء‬
 ‫ق َعلَ ْي ِه‬ ِ َّ‫اَلن‬

Dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Masalah pertama yang akan diputuskan antara manusia pada hari kiamat ialah masalah
darah." Muttafaq Alaihi.

5. maksud dari mujtahid hafizil mashab yaitu mujtahid yang sama sekali tidak
memiliki mujtahid fiqh?

Tugas dan Wewenang Mujtahid


Berdasarkan fikih Syiah, seseorang yang mencapai level ijtihad dan memiliki beberapa syarat
dinamakan hakim syar'i,[6] dan memiliki wewenang-wewenang dan tugas-tugas
tertentu. Syaikh Anshari menyimpulkan tugas-tugas fakih dalam tiga kriteria pokok; ifta
(pemberian fatwa), hukumah (penghakiman) dan wilayah (otoritas) atas harta dan jiwa.[7]

Ayatullah Makarim Syirazi dalam sebuah kajian tentang wewenang-wewenang fakih, pada
awalnya menyebutkan ifta' dan qadhawat (penghakiman) sebagai tugas fakih, kemudian di
bawah kajian 'kedudukan wilayatul faqih' mengisyaratkan kepada tujuh tugas dari fukaha
yang dibahas dalam ilmu fikih, diantaranya adalah:


Berwilayah (otoritas) atas harta orang-orang yang tidak dibolehkan untuk
menggunakan hartanya (mahjur) seperti orang-orang yang gaib, anak-anak kecil yang
tidak mempunyai wali dan sebagian orang-orang gila dan safih,

berwilayah untuk mengambil dan menggunakan uang yang didapatkan dari
kewajiban-kewajiban harta seperti khumus, zakat dan wakaf-wakaf umum,


Berwilayah untuk menjalankan hukuman-hukuman syariat (hudud syar'iyah) diluar
kedudukan qadha',


Berwilayah untuk melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar pada kasus-kasus yang
membutuhkan pemukulan, pelukaan dan pengeksekusian seseorang,


Berwilayah atas persoalan-persoalan politik dan pemerintahan, menjaga keamanan
perbatasan-perbatasan negara dan melakukan perlawanan dalam menghadapi para musuh
serta semua perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan umum,


Berwilayah atas jiwa dan harta masyarakat,


Berwilayah atas pembuatan hukum dan undang-undang.[8]

Beberapa fukaha juga meyakini bahwa mendirikan salat Jumat termasuk dari otoritas khusus
seorang fakih.[9] Muhammad Husain Naini dalam kitab Tanbih al-Ummah meyakini
penanganan perkara hasbiyah sebagai bagian dari wewenang fukaha, dan hal ini
diperkenalkan sebagai bagian dari hal-hal yang diyakini secara pasti (qath'i) dalam mazhab
Syiah.[10]

Klasifikasi Mujtahid atau Fakih


Berdasarkan ragam klasifikasi yang terkait dengan terma mujtahid, mujtahid dapat dibagi
menjadi beberapa klasifikasi:


Mujtahid Mutlak: Seorang mujtahid yang mampu melakukan istinbath dan melalui
penalaran syariat ia melakukan inferensi hukum dalam kebanyakan hukum-hukum
syariat. [11]

Mujtahid Mutajazzi: Seseorang yang memiliki kemampuan untuk melakukan
istinbath hukum-hukum syariat pada sebagian masalah fikih. [12]Sebagian fakih
berpandangan tidak dibenarkan bertaklid kepada mujtahid mutajazzi; sebagian lainnnya
berpendapat boleh bertaklid kepada seorang mujtahid mutajazzi dalam istinbath hukum
yang ia lakukan. [13]


Mujtahid bil fi'il: Mujtahid yang di samping memiliki kemampuan melakukan
istinbath hukum, dalam tataran praktis juga ia melakukan istinbath dalam banyak
hukum. [14]


Mujtahid bil quwwa: Mujtahid yang mampu melakukan istinbath hukum-hukum
syariat namun pada tataran praktis ia tidak banyak melakukan inferensi hukum. [15]


Mujtahid A'lam: Fakih yang memenuhi segala persyaratan dalam melakukan
istinbath hukum syariat dan dibanding dengan fakih yang lain ia lebih memiliki
kemampuan. [16]Sebagian fakih menilai wajib hukumnya untuk bertaklid kepada mujtahid
a'lam apabila ia dapat mengidentifikasinya dan sebagian lainnya mewajibkan taklid
kepada mujtahid a'lam berdasarkan prinsip kehati-hatian. [17]


Mujtahid Jami' al-Syaraith: Mujtahid yang memiliki syarat-syarat yang diperlukan
untuk dapat ditaklidi orang lain. Sebagian syarat itu adalah: laki-laki, berakal, dari
keturunan halal dan menganut mazhab Imamiyah, hidup, adil dan a'lam. [18]

Klp V
1. Metode ijtihad yang ideal dan bisa digunakan pada masa sekarang ini

Agama Islam telah menjamin keberadaan prinsip kemerdekaan berpikir bagi setiap
individu. Atau dengan ungkapan lain, terdapat pengakuan Islam akan hak individu untuk
berpikir independen dan hak individu itu untuk mengikuti hasil yang dicapai oleh
pemikirannya , dan hanya mengikuti kata hatinya. Inilah prinsip yang diakui dalam kitab-
kitab Ushul Fiqh dengan nama ijtihad.


Menurut praktik para sahabat, pengertian ijtihad ialah penelitian dan pemikiran untuk
mendapat sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam, baik melalui suatu Nash, yang disebut dengan qiyas (ma’qul nash), maupun
melalui maksud dan tujuan hikmah Syariat, yang disebut dengan mashlahat

Bila dicermati lebih dalam, sebenarnya tradisi ijtihad jama’i dari segi komposisi ulama-ulama
yang terlibat di dalamnya telah mengalami pergeseran dari yang awalnya cuma melibatkan
ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu (ilmu fiqh), berubah kepada ulama/ilmuwan lintas
interdisipliner. Adapun untuk mempraktikkan ijtihad jama’i di era sekarang, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan:

1. Masalah menentukan kelengkapan syarat-syarat sebagai seorang mujtahid yang akan


ikut dalam ijtihad seperti ini diserahkan kepada penguasa Muslim yang mengatur
orang Islam. Orang yang dipilih itu mewakili umat di masyarakat tempai ia berada.
2. Di samping para ulama, dilibatkan pula para pakar berbagai bidang ilmu sesuai
dengan permasalahan yang akan dibahas.

3. Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam sidang, maka diambil pendapat dari ulama
terbanyak.

4. Penguasa hendaklah memberikan instruksi untuk menerapkan hasil ijtihad jama’i ini
ke dalam kehidupan sehingga putusan ijtihad jama’i itu mempunyai kekuatan
mengikat (Satria Efendi, 2005: hal 259).

Dari segi subjek orang yang berijtihad pada era sekarang yang cocok ialah dengan ijtihad jama’i.
Para ulama di era globalisasi ini sangat terbantu dengan metode ijtihad jama’i dengan beragam
pakar ilmu di dalamnya, karena masalah yang dihadapi sudah sangat beragam misalnya, fiqh
kedokteran, fiqh lingkungan hidup, fiqh Jurnalistik, fiqh bisnis, fiqh anti korupsi dan ilmu-ilmu
sosial yang berhubungan dengan persoalan yang akan di bahas.
Pertanyaannya sekarang, metode ijtihad seperti apa yang tepat untuk merespon persoalan fiqh
tersebut? Mari kita pertimbangkan gagasan pembaharu fiqh kontemporer, Syeikh Yusuf
Qardhawi. Menurut mantan tokoh senior Ikhwanul Muslimin ini, metode ijtihad yang ideal untuk
abad sekarang ada dua macam, yakni:

1. Ijtihad Intiqoi: Memilih satu dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada
warisan Fiqh Islam, yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum.
2. Ijtihad Insya’i: Pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan, yang
persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik itu
persoalan lama atau baru

2.apa penyebab atau latar belakang kekosongan mujtihad?(tak dapat)

3.bagaimana cara kita menentukan/mengetahui kebenaran suatu ijtihad?

Dalam ushul fiqih, ada bahasan tentang apakah kebenaran itu satu atau berbilang.
Yang dimaksud kebenaran di sini adalah kebenaran ijtihadi, bukan kebenaran mutlak
dalam perkara ushul (aqidah maupun syariah).

Ada madzhab yang menyatakan bahwa seluruh mujtahid itu benar dalam ijtihadnya,
walaupun kesimpulan hukum mereka masing-masing berbeda. Ada juga madzhab
yang menyatakan bahwa pendapat yang benar hanya satu, sisanya salah. Yang terakhir
ini merupakan madzhab jumhur.

Hanya saja, sebagaimana kata imam Ahmad: “Mujtahid yang ijtihadnya benar, dapat
dua pahala. Sedangkan mujtahid yang ijtihadnya salah, dapat satu pahala.” Artinya,
walaupun keliru. Ia tidaklah berdosa, malah dapat pahala.
Nah, saya coba tarik ini pada pembahasan ‘klaim kebenaran’. Bolehkah kita
mengklaim kebenaran mutlak ada pada kita dan kelompok kita? Jawabannya adalah,
-sebagaimana dijelaskan oleh para ulama-:
Dalam perkara ushul (pokok agama), boleh bahkan wajib mengklaim kebenaran
mutlak seperti ini. Misal: Allah itu ahad, tidak beranak dan diperanakkan; Shalat lima
waktu itu wajib; Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu Nabi dan Rasul terakhir,
tidak ada lagi Nabi setelahnya.

Dalam perkara-perkara ijtihadi, baik dalam persoalan keyakinan (misal: apakah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat melihat Allah secara langsung di dunia, atau tidak)
maupun fiqih, boleh dan wajar menyatakan pendapatnya benar, dan selainnya keliru.
Namun ini tak boleh dimutlakkan, apalagi dijadikan landasan untuk permusuhan.

Kebenaran dalam perkara ijtihadi ini adalah kebenaran yang tidak mutlak. Kebenaran
yang masih mengandung kemungkinan salah. Sebagaimana dikatakan oleh para
ulama: “Pendapatku benar, namun mengandung kemungkinan keliru. Pendapat
selainku keliru, namun memiliki kemungkinan benar.”

Sayangnya, kadang:

1. Ada yang menjadikan perbedaan dalam ranah ijtihadi ini sebagai dasar al-wala wal-
bara. Yang sependapat, adalah saudara kita fil iimaan. Sedangkan yang berbeda,
berarti ia adalah musuh kita yang wajib ditinggalkan dan dihindari.

2. Ada juga yang menjadikannya landasan manhaj. Yang berbeda, berarti bukan ahlus
sunnah.

3. Ada juga yang tak paham ushul dan furu’, hingga memasukkan perkara-perkara
ijtihadi ke dalam bahasan ushul. Sampai-sampai ia kafirkan, atau minimal sesatkan,
pihak yang berbeda. Jika pun tak halalkan darahnya, ia halalkan kehormatan mereka.
Lalu, muncullah sumpah-serapah dan berbagai tuduhan tak berdasar pada muslim
yang lain.

4.maksud dari kensekuensi yuridas dari istilah melalui ijtihad ini akan menimbulkan
panilaian nasit ijtihad itu bisa salah/benar dan contohnya? Tak dapat
5.apa yang dimaksud dengan kekosongan ijtihad dan apa contohnya?
* Dimungkinkan terjadi kekosongan ijtihad seperti ini, jika ijtihad masa lalu masih dianggap
cukup untuk menjawab masalah hukum dikalangan umat Islam
* Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang pada suatu masa dimungkinkan
terjadi kekosongan ijtihad seperti ini.
Contoh mencium istri ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa .

Anda mungkin juga menyukai