Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PANCASILA

PERSPEKTIF HISTORIS KETUHANAN YANG


BERKEBUDAYAAN DAN KETUHANAN DALAM
PERUMUSAN PANCASILA

Disusun oleh :
Nabilla Putri Rieswana 11191020000003
Andini Anugrah Putri 11191020000008
Dendi Aji 11191020000014
Khoerunnisa 11191020000036
Sri Gambir Puspa Negoro 11191020000038

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
MARET/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang maha kuasa karena

berkat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Pancasila yang berjudul Perspektif

Historis Ketuhanan yang Berkebudayaan dan Ketuhanan dalam Perumusan

Pancasila yang di berikan kepada guru pembimbing, Bapak Drs. Agus Darmaji, M.

Fils. selaku pengajar mata kuliah Pancasila.

Kami telah menyusun makalah ini dengan maksimal, namun tak dapat

dipungkiri adanya kekurangan dalam makalah ini. Oleh sebab itu, kami harapkan

kritik dan saran dari Ibu, teman-teman, dan pembaca agar kami dapat menjadi lebih

baik dalam pembuatan makalah selanjutnya.

Ciputat, Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................... Error! Bookmark not defined.


DAFTAR ISI .......................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................1
1.3 Tujuan ........................................................................................................2
1.4 Manfaat ......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ....................................... Error! Bookmark not defined.
2.1 Perspektif Historis Ketuhanan yang Berkebudayaan ................................3
2.2 Ketuhanan dalam Perumusan Pancasila ..................................................11
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................17
3.2 Saran ........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman dalam
berbagai aspek seperti suku, ras, dan agama. Kenakeragaman yang ada di
Indonesia dapat dijadikan sebagai alat pemersatu atau pemecah-belah
bangsa tergantung bagaimana langkah menyikapinya. Dalam sejarah,
keanekaragaman agama pernah menjadi ancaman kesatuan negara dengan
adanya gerakan yang ingin mendirikan negara berbasis agama. Selain itu,
kehidupan beragama juga turut andil dalam perumusan pancasila, yang
tertulis dalam sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
landasan moral luhur, landasan yang menjamin warga negara untuk
memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing dengan bertanggungjawab.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sila pertama memiliki perspektif
historis dan aspek ketuhanan turut andil dalam perumusan Pancasila yang
tidak semua orang tahu. Oleh karena itu, di dalam makalah ini kajian
mengenai Perspektif Historis Ketuhanan yang Berkebudayaan dan
Ketuhanan dalam Perumusan Pancasila akan dibahas, agar sebagai warga
negara yang baik kita mengetahui bagaimana melakukan kehidupan
beragama dalam bernegara dengan baik.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana aspek Ketuhanan yang Berkebudayaan dalam
perspektif historis?
2. Bagaimana aspek Ketuhanan turut andil dalam Perumusan
Pancasila?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui aspek Ketuhanan yang Berkebudayaan dalam
perspektif historis
2. Untuk mengetahui aspek Ketuhanan dalam Perumusan Pancasila

1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui aspek Ketuhanan yang Berkebudayaan dalam
perspektif historis
2. Dapat mengetahui aspek Ketuhanan dalam Perumusan Pancasila

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perpektif Historis Ketuhanan yang Berkebudayaan

Agama tidak hanya mengurusi urusan pribadi saja, melainkan terlibat


dalam urusan publik. Secara historis, hidup religius dengan menerima
keragaman telah lama diterima dan dianggap hal yang wajar oleh penduduk
Nusantara.
Masing-masing agama yang ada di Nusantara ternyata memiliki catatan
sejarah kekerasan, sekalipun agama Islam Indonesia sendri yang dikenal
sebagian besar penduduk menganut agama tersebut. Namun, sejarah kekerasan
tersebut disapu oleh nilai kedamaian dan toleransi yang kuat. Meskipun selalu
ada doktrin dan mazhab radikal, namun pengaruhnya relatif terbatas dan
tertutupi oleh komunitas-komunitas Islam. Melihat hal tersebut, Indonesia
diyakini dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri dalam menciptakan
keharmonisan antara ragam agama dan negara.

A. Perspektif Historis
Ribuan tahun sejak zaman purbakala hingga masa kemerdekaan,
Indonesia telah melalui pengaruh-pengaruh agama lokal, dan diperkirakan
pada abad 14 pengaruh hinduisme dan budhisme masuk, kemudian pada
abad 7 tibalah pengaruh islam, dan pada abad ke 4 muncul pengaruh agama
lain yaitu kristen. Sebelum zaman purbakala ternyata masyarakat prasejarah
Nusantara terdahulu telah menganut dan mengembangkan kepercayaan
sendiri yang disebut dengan corak Animisme dan Dinamisme yang disebut
dengan zaman batu. Animisme berasal dari bahasa latin yaitu anima atau
“roh” yang merupakan corak kepercayaan setiap benda di bumi ini baik
makhluk hidup ataupun makhluk tak hidup harus dihormati karena dianggap
dapat mengganggu manusia jika tidak dilakukan, dan sebaliknya jika kita

3
menghormati hal itu, maka makhluk tersebut dianggap dapat melindungi
kita dari roh jahat. Bahkan aliran Animisme ini memercayai bahwa setiap
roh orang yang telah tiada dapat masuk ke dalam tubuh hewan. Kepercayaan
Animisme biasanya berhubungan dengan Dinamisme (aliran kepercayaan
yang menganggap bahwa segala sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan
yang dapat memengaruhi manusia dalam mempertahankan hidupnya baik
berupa kegagalan ataupun keberhasilan).

Aliran kepercayaan Animisme dan Dinamisme ini yang sepenuhnya


masih bergantung pada alam dan masih menyembah fenomena alam seperti
bulan, bintang, matahari, petir, angin, laut, ratu kidul, dan sebagainya yang
merupakan bahan sembahannya, seiring dengan berjalannya waktu mulai
tergantikan cara hidup manusia. Ketika manusia mulai dapat bertani,
timbullah kepercayaan baru yaitu menyembah kepada dewi-dewi seperti
dewi Laksmi, Dewi Sri, Saripohaci, dan lainnya karena dianggap merekalah
yang memiliki kuasa dalam bidang pertanian, kepercayaan ini membentuk
keagamaan politeistik. Sekitar abad ketiga dan keempat masehi, pengaruh-
pengaruh agama sejarah dari india (Hindu dan Buddha), kemudian pada
abad ke-7 dan tersebar sejak abad 13 masuk pengaruh Islam dari Timur
Tengah yang dibawa masuk oleh para pedagang dan berbagai ras seperti
Arab, India, China, dan lain-lain. Di waktu yang hampir bersamaan
pengaruh keagamaan dari China (Konghucu) masuk, dan sejak abad ke-16
pengaruh kristen dari eropa menyusul pula.

Pengaruh dan penyebaran agama yang telah masuk ternyata tidak


membuat keagamaan politeistik masyarakat prasejarah Nusantara tidaklah
serta-merta musnah, bahkan keagamaan ini mengalami perkembangan dan
muncul aliran-aliran baru, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh
masyarakat Sunda di Kanekes, Banten. Kepercayaan lainnya yaitu agama
Cigugur (dan penamaan lainnya) atau Sunda Wiwitan aliran Madrais di
Kuningan, Jawa Barat, agama Buhun di Jawa Barat, Kejawen di Jawa

4
Tengah dan Jawa Timur, agama Parmalim, agama asli Batak, agama
Kaharingan di Kalimantan, Kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa
Sulawesi Utara, Tolottang di Sulawesi Selatan, Naurus di Pulau Seram
Maluku, dan kepercayaan lainnya. Hampir semua sistem religio-politik
tradisional agama memiliki peran sentral dalam pendefinisian institusi-
institusi sosial. Komunitas agama berperan penting sebagai pemasok
wahana, isi, dan tujuan kegiatan publik dalam ketiadaan asosiasi-asosiasi
terbuka. Penguasa keagamaan menghormati seluruh otoritas keagamaan
sebagai bentuk tunuk kepada Tuhan. Situasi tersebut merupakan gambaran
umum yang berlaku di Nusantara sebelum terjadinya proses modernisasi
melalui campur tangan Belanda ke dalam bidang keagamaan.

B. Negosiasi antara Sekularisasi dan Religiosasi Negara


Mulanya bagian-bagian kepulauan Nusantara selama hampir 200
tahun sekitar tahun 1602-1800 dikontrol oleh otoritas VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie). Otoritas ini tidak memiliki kepentingan untuk
menggauli persoalan keagamaan dan institusi tradisional kaum pribumi.
Asumsi evolusi modernisme yang dianut orang Belanda terdapat semacam
perasaan superioritas, bahwa ketika masyarakat modern naik, maka
kepercayaan dan ketaatan keagaaman akan rendah atau surut. Pihak
kolonial beranggap bahwa terdapat campur tangan yang berlebih dalam
persoalan keagamaan kaum pribumi yang dapat terjadi pro dan kontra. Hal
tersebut dapat memicu pemberontakan dan bahkan dapat menghalangi
proses evolusi sosial.

Upaya pemerintah kolonial dalam membekukan potensi-potensi


perlawanan yang mendasar pada agama terdapat ketegangan antara
pandangan sekuler pemerintah kolonial dengan upayanya, hal tersebutlah
membuat politik "netralitas" terhadap agama berdiri pada tumpuan yang
rapuh. Konsolidasi pemerintahan kolonial sangat berkepentingan untuk
melepaskan peran sosial-politik keagamaan terutama Islam. Upaya dalam

5
melepaskan peran politik Islam dengan membatasi urusan peribadatan
menyebabkan gangguan pada sistem religio-politik tradisional. Proses
sekularisasi politik diawali dengan upaya pemutusan peran politik
keagamaan. Selain itu ada pula tanggapan Penjajahan dan intervensi
pemerintah kolonial terhadap keagamaan juga mengarah kepada politisasi
agama yang membuat usaha-usaha "religiosasi" ruang publik bangkit.

C. Sekularisasi Politik Indonesia


Berkuasanya pemerintah Liberal pada paruh abad ke-19 merupakan
tonggak terpenting dari proses sekularisasi, rezim liberal dalam upaya
mendapatkan landasan dukungan swasta dan kelas menengah, rezim ini
berkewajiban dalam memperkenalkan "ruang publik" sekuler di Hindia
Belanda. Ruang publik ini beralih bentuk dalam bentuk institusi dan
kolektivitas sosial baru seperti sekolah sekuler, klub-klub dan asosiasi
dengan gaya Eropa, lembaga penelitian, pers vernalular, dan berbagai
kapitalisme penerbitan, serta sarana komunikasi modern. Dari hal
tersebutlah muncul wacana kemajuan yang berkiblat Eropa yang dilafalkan
oleh kaum inteligensi, sebagai elite baru Bumiputera keluaran pendidikan
modern, yang menjadi pesaing kaum ulama tradisional, hal ini mulai meriah
pada awal abad ke-20.

Kaum inteligensia sebagian besar menganut pandangan dunia sekuler.


Usaha kolonial dalam membuat suatu elite berpendidikan modern dengan
anutan nila-nilai dan prinsip-prinsip sekuler yang ramah terhadap tuan
kolonial dapat membuat kecenderungan-kecenderungan antitesis tatkala
berhadapan dengan berbagai tindakan diskriminatif dan segregatif.
Kalangan progresif dari kaum inteligensia condong memikat posisi
"mimicry" yang memuat kemungkinan olok-olok (mockery) dan sekaligus
ancaman mimikri. Pergantian kependudukan Jepang tidak mencegah proses
sekularisas. Walaupun terkesan lebih menyesuaikan terhadap Islam, sejauh
mengikat politik Islam, pemerintahan Jepang mengikuti tingkah laku

6
kolonial sebelumnya. Dalam pola yang sama, Snouck Hurgronje
melepaskan Islam dari politik, pihak Jepang dengan jelas menyebutkan
bahwa mereka tidak akan membiarkan perkawinan antara Islam dan politik.
Hal ini dapat dibuktikan dengan penyusunan anggota Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dimana pendiriannya ini
didukung oleh pemerintahan Jepang pada 29 April 1945. Dimana jumlah
anggota BPUPK yang semula dari 63 menjadi 69, dan sekitar 13 orang wakil
golongan Islam. Mayoritas para politisi "sekuler" (baca: netral agama)
dalam panitia ini menggambarkan preferensi pihak Jepang untuk
memberikan kedaulatan negara pada orang-orang Indonesia yang menurut
mereka mampu memimpin negara modern. Harry J. Benda bergumam, elite
nasionalis sekuler mendapatkan keuntungan karena superioritasnya dalam
pendidikan Barat dan pembelajaran politik yang "bisa secara tepat disebut
sebagai keunggulan yang bersifat monopoli diantara para pesaingnya.

D. Religiosasi Politik Indonesia


Proyek sekularisasi masyarakat dan politik Nusantara oleh pemerintah
kolonial pada faktanya tidak meredakan fungsi publik agama. Pertemuan
komunitas agama dengan kolonialisme beserta proyek sekularisasinya
justru memicu munculnya kecondongan ideologisasi agama dan mobilisasi
tugasnya dalam arena publik-politik. Ketika aktivitas corporate (masyarakat
sipil) belum berkembang di Nusantara, kebutuhan mengenai sebuah
komunitas, ajaran moral dan bimbingan kehidupan publik dipenuhi
terutama oleh jaringan komunitas epistemik keagamaan. Komunitas-
komunitas keagamaan memberi fasilitas, isi, dan tujuan kepada pribumi
ketika kolonialisme membawa ancaman bagi kehidupan masyarakat.
Sepanjang abad ke-19 komunitas agama menjadi simpul pemberontakan
politik yang memberi dasar bagi timbulnya kesadaran “nasionalisme purba”
(archaic nationalism).

7
Pada awal abad ke-20 muncul inteligensia sebagai elite baru dan
diikuti oleh munculnya pergeseran dari gerakan mileniarisme menuju
gerakan ideologis, dalam hal ini kedudukan politik agama tidak menurun.
George rude menyatakan bahwa sejauh apapun gerakan sosial harus
mempunyai sebuah ideologi supaya dapat melaksanakan mobilisasi sosial,
maka ideologi ini hanya dapat diserap secara efektif jika memang sudah
ditanam pada lahan yang dipersiapkan sebelumnya. Deretan panjang dalam
perlawanan pribumi didasari oleh keagamaan, yang diikuti oleh tumbuhnya
kesadaran sosio-politik dalam klub-klub dan perhimpunan keagamaan yang
baru, dan menjadi lahan yang subur bagi pemodalan ideologi-ideologi baru
yang memusat pada berdirinya kesadaran nasionalisme tua (proto-
nationalism).

Pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20 awal, “ulama intelek” dan
“intelek agama” (dari kalangan modernis dan tradisionalis) memainkan
posisi yang berharga dalam memajukan ruang publik modern di Nusantara.
Hal ini terbentang mulai dari rumah penerbitan (dengan teknik litografis,
kemudian tipografis), pers (dalam huruf Jawi dan kemudian Rumi),
madrasah, sekolah, serikat dagang, perkumpulan-perkumpulan bergaya
Eropa, dan akhirnya partai politik. Sebagian monumen terpentingnya yaitu
Sarekat dagang Islam (SDI, berdiri 1908/1909) untuk pergerakan ekonomi,
Muhammadiyah (berdiri 1912) yang disusul oleh Nadhlatul Ulama (1926)
untuk pergerakan pendidikan, dan Sarekat Islam (SI, berdiri 1911/1912)
untuk pergerakan politik. Kemudian muncul SI yang merupakan kelanjutan
dari SDI merupakan titik yang paling memutuskan dalam perkembangan ide
kebangsaan Islam selaku bentuk proto-nasionalisme. Kata Islam pertama
kalinya secara terang difungsikan sebagai nama perhimpunan yang
menerangkan bahwa Islam sekarang telah digunakan sebagai basis identitas
kolektif dan sebagai sebuah ideologi bagi pergerakan proto-nasionalisme.
Selaku perhimpunan yang lahir dari lingkaran kaoem mardika (yang tidak
tergantung pada ekonomi kolonial), perhimpunan ini merepresentasikan

8
meluasnya gerakan kemajuan melampaui milieu priyayi. Lahirnya sebuah
kerajaan di sekitar ibukota membubuhi berubahnya pusat gerakan-gerakan
Islam di daerah-daerah pedesaan ke kota. Kepemimpinannya dipegang oleh
para pedagang dan kemudian inteligensia menggambarkan adanya alih
bentuk kepemimpinan politik Islam dari ulama kharismatik kepada bukan
ulama.

Nilai-nilai egalitarianisme Islam memberi andil dalam bangkitnya


kesadaran proto-nasionalisme, seperti dikemukakan dengan baik oleh von
der mehden: “identifikasi individu dengan nilai-nilai nasionalisme pertama-
tama mengharuskan diruntuhkannya tatanan sosial pedesaan dan daerah
yang partikularistik, feodal, dan sering bersifat hirarkis”. Penegasan Islam
terutama pada kaum muda Islam baik pada individualisme maupun
rasionalisme dalam sebuah masyarakat yang hierarkis, feodal, parokial, dan
didominasi orang asing sangat membantu bagi pembentukan suatu fantasi
pertatutan sosial baru. Kehadiran SI dapat memersatukan ragam imajinasi
sosio-politik, SI dengan cepat menjadi perhimpunan pribumi pertama yang
menjangkau gugusan kepulauan Nusantara, yang bekerja dengan ideologi
nasionalis berwarna agama. Meningkatnya radikalisme SI merupakan
dampak dari konflik didalam dan antargerakan membuka ruang baru dan
teknik belajar sosial bagi gerakan-gerakan sosial selanjutnya dalam
konteks-konteks sosio-historis yang berbeda. Dengan begitu, ideologi dan
pergerakan Sarekat Islam membagi landasan bagi pengembang kemunculan
pergerakan dan partai politik sejak tahun 1920-an, dibawah kepemimpinan
inteligensia (umumnya yang berpendidikan tinggi).

Ketika masa 10 tahun ini, nama dan kemerdekaan Indonesia


diperkenalkan sebagai kode kebangsaan baru dan simpul perjuangan
nasional, komunitas-komunitas agama bermain aktif dan berkompetisi di
dalamnya, menjatuhkan diri dalam berbagai pergerakan dan partai politik.
Berkembangnya politik identitas berawal dari politik segregasi kolonial

9
yang memisahkan warga menjadi prakondisi. Fase awal kemunculan partai-
partai politik, ideologi, topangan komunitas agama-agama sangat
dibutuhkan. Diberbagai wilayah, agama merupakan kejadian massal,
sedangkan politik masih merupakan sesuatu yang terpandang, dan bahkan
agama sering dipergunakan untuk melaksanakan mobilisasi politik.
Berbagai organisasi pergerakan dari berbagai kerangka keagamaan mulai
melalukan pembauran diri ke dalam keindonesiaan dengan membubuhkan
kata “Indonesia” dalam namanya pada paruh kedua 1920-an. Setelah
beberapa kali mengubah nama, akhirnya Sarekat Islam memutuskan untuk
mengubah namanya menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) pada
tahun 1929. Peguyuban Kristen-Katolik pribumi mulai membebaskan diri
dari bayang-bayang Eropa. Pada tahun 1923, orang-orang katolik di jawa
menegakkan perhimpunan politik, Pakempalan Politik Katolik Djawi
(PPKD), yang kemudian memertautkan diri dengan keindonesiaan dibawah
nama Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) pada juli 1938. Pada tahun
1930 peguyuban protestan mulai menegakkan Partai Kaum Masehi
Indonesia (PKMI) di Jakarta, hal ini membuat munculnya Federasi
Perkumpulan Kristen Indonesia (FPKI) di Yogyakarta pada tahun yang
sama, sebagai persiapan berdirinya sebuah partai politik Kristen Indonesia.
Komunitas agama lain seperti Hindu-Buddha memersatukan diri dengan ke-
Indonesia-an melalui partisipasi anggota-anggotanya dalam berbagai
pergerakan dan partai politik yang ada.

Ketika kemerdekaan tercapai, inteligensia sekuler benar-benar


mengungguli kepemimpinan negara, namun bobot pengaruh organisasi
sosial dan politik keagamaan terlalu tangguh untuk diabaikan. Seperti
dipaparkan oleh Clifford Geertz. Dalam masyarakat modern yang
mempunyai tradisi politik-kewarganegaraan yang loyo dan persyaratan
teknis bagi pemerintahan berorientasi kesejahteraan (welfare government)
yang ampuh masih kurang dipahami, ikatan-ikatan primodial cenderung,
seperti yang diperhatikan Nehru, secara berkali-kali dan dalam berbagai

10
kasus hampir secara berkesinambungan diangkat dan dianut secara luas
sebagai asas untuk menarik garis batas pemisah dari unit-unit politik yang
otonom. Untuk menjaga harmoni antara pendukung ide-ide agama dan
“sekuler” kenegaraan perlu dilakukan usaha-usaha kompromi untuk
menjaga ke harmonian tersebut. Hasil dialektika dari dua aliran sejarah itu
membuat Indonesia sebagai negara yang unik, yang dilukiskan William E.
Shepard (1987) sebagai “sekularisme religius” (religious secularism),
dimana proses sekularisasi harus bernegosiasi dengan proses religiosasi.

2.2 Ketuhanan dalam Perumusan Pancasila

Sejak tahun 1920-an, sebelum negara Indonesia dinyatakan merdeka


terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan bersama dalam hal ragam
etnis dan agama. Hal itu dikarenakan ide kebangsaan tidak akan pernah terlepas
dari Ketuhanan. Sebagaimana Soekarno menulis di Suluh Indonesia :
“Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-timuran dan sekali-kali bukanlah
nasionalisme kebaratan yang menurut perkataan C.R.Das adalah suatu
nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu nasionalisme
perdagangan yang untug dan rugi. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang
membuat kita menjadi "perkakasnya Tuhan" dan membuat kita hidup dalam
roh”.
Pernyataan tersebut tentunya berbanding terbalik dengan gagasan
nasionalisme ala Eropa yang meminggirkan Tuhan “Negara tidak bisa
dipisahkan dari golongan Islam karena dengan memegang teguh ajaran Islam
negara akan mencapai tujuan yang diinginkan rakyaknya”. Berbeda dengan
golongan kebangsaan yang memandang bahwa negara seharusnya netral
terhadap agama. Bagi golongan kebangsaan, negara tidak bisa disangkut
pautkan dengan agama begitupun sebaliknya agama tidak bisa disangkut
pautkan dengan negara. Akan tetapi, tidak semua golongan islam sepenuhnya
memaksakan kehendak dibangunnya negara Islam. Begitupula dengan gagasan
golongan kebangsaan yang tidak semua memisahkan urusan negara dengan

11
agama. Keduanya mesti berjalan beriringan satu sama lain tanpa ada sikap iri
dengki yang memicu permusuhan antar golongan.
Terdapat banyak perbedaan pandangan dalam konteks agama dan negara
untuk membangun bangsa. Hal tersebut tidak menjadikan beberapa etnis atau
golongan menolak nilai-nilai ketuhanan. Salah satunya pada sidang BPUPK
pada tanggal 29 mei - 1 Juni yang memandang Ketuhanan sebagai fundamen
yang penting bagi negara Indonesia merdeka. Dibalik pandangan itu, terdapat
satu pandangan yang menyetujui islam sebagai dasar negara, salah satunya yaitu
Ki Bagoes Hadikoesoemo (31 Mei) yang menyatakan bahwa "Islam tidak
bertentangan dan sangat sesuai dengan kebangsaan kita".
Pandangan lain menolak gagasan Negara Islam, salah satunya dalam
pidato Soepomo (31 Mei) yang menyatakan bahwa : ”Mendirikan negara Islam
di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan negara persatuan. Mendirikan
negara Islam di indonesia berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan
diri dengan golongan terbesar, yaitu dengan golongan Islam. Jikalau di
Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul soal-soal
"minderhen", soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen
dan lain lain... golongan-golongan agama kecil itu tentu tidak bisa
mempersatukan dirinya dengan negara.
Kedua pandangan tersebut tentulah sangat berbenturan, hubungan antara
negara dan agama tidak terlepas dari penyatuan atau pemisahan. Maka dari itu,
Mohammad Hatta dan Soekarno mencari alternatif secara konseptual dan
praktis. Menurut Mohammad Hatta : Pandangan ini salah, karena perhubungan
"kerk en Staat berlainan dengan perhubungan "Islam dan Negara". "Kerk" juga
"Staat" pada asalnya, mempunyai organisasi dari atas ke bawah, yang
menguasai hidup orang banyak. Kalau ada pertentangan antara "Staat" sebagai
Negara dengan "Staat" sebagai "Kerk" yang kedua-duanya mau berkuasa atas
umat yang sama, itu tidak mengherankan. Tetapi, antara "Islam" dan "Negara"
tidak ada pertentangan, oleh karena Islam adalah agama, pimpinan jiwa, dan
bukan negara. Paling jauh boleh dikatakan dengan ucapan yang agak paradoxal:

12
"Islam adalah masyarakat". Ia mempunyai lingkungannya dalam masyarakat,
tetapi ia tidak mempunyai organisasi seperti gereja. Sebab itu ia bukan "Staat".
Dalam sejarah islam tidak mengenal pemisahan atau pertentangan antara
agama. Meskipun agama dan negara tidak terpisah, otoritas negara dan otoritas
agama dalam islam bisa dibedakan. Dari hal tersebut, Hatta menyimpulkan
bahwa : Kita tidak akan mendirikan Negara dengan dasar perpisahan antara
"agama" dan "negara', melainkan kita akan mendirikan negara modern di atas
dasar perpisahan anatara urusan agama dengan urusan negara. Kalau urusan
agama juga dipegang oleh Negara, maka agama menjadi perkakas negara, dan
dengan itu, hilang sifatnya yang murni. Dengan itu, Hatta memberikan
kesimpulan bahwa hubungan negara dan agama bukan pada perpisahan tetapi
lebih kepada fungsi agama dan negara.
Soekarno, mencoba memberikan jalan keluar dari permasalahan tersebut
dengan tidak mendukung gagasan islam sebagai islam sebagai dasar negara,
tetapi memberikan peluang bagi golongan Islam untuk mengorganisasikan diri
secara politik yang akan memengaruhi keputusan-keputusan politik di lembaga
perwakilan.
Dalam perjalanannya, sebagian golongan Islam merasa keberatan dengan
peletakan Ketuhanan pada sila terakhir, karena menurutnya prinsip tersebut
merupakan skala prioritas. Dengan itu, Soekarno menjelaskan dalam bunya
yang berjudul Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, jilid IV-V (1958: 3), sebagai
berikut:
Urutan-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila daripada
Panca Sila itu ialah: Ke-Tuhanan yang Maha Esa; Kebangsaan nomor dua; Peri-
Kemanusiaan nomor tiga; Kedaulatan Rakyat nomor empat; Keadilan sosial
nomor lima. Ini sekedar urut-urutan kebiasaan saja. Ada kawan-kawan yang
mengambil urut-urutan lain yaitu meletakkan sila Peri-Kemanusiaan sebagai
sila yang kedua dan sila Kebangsaan sebagai sila ketiga. Bagi saya prinsipil,
tidak ada keberatan untuk mengambil urut-urutan itu.
Setelah pidato Soekarno, Ketua BPUPK membentuk panitia Kecil yang
disebut dengan Panitia Delapan yang dipimpin oleh Soekarno. Panitia delapan

13
terdiri dari 6 orang wakil golongan kebangsaan dan 2 orang wakil golongan
Islam. Panitia ini bertugas untuk mengumpulkan usulan anggota yang akan
dibahas pada sidang berikutnya yaitu pada 10-27 Juli 1945. Dalam pertemuan
tugas panitia kecil, mereka dapat mengumpulkan usul-usul dari 40 lin yang akan
dibahas pada sibang BPUPK. Dalam kaitan masalah dasar negara, hanya 3 lin
yang menyetujui Islam sebagai dasar negara.
Pada tanggal 1 Juli terjadi perubahan pada susunan Pancasila. Prinsip
“Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir menjadi sila pertama dan ditambah
dengan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Dengan terjadinya perubahan tersebut, Muhammad Hatta
beranggapan bahwa “ideology Negara tidak berubah karenanya, melainkan
Negara ini, memperkokoh fundamennya, Negara dan politik Negara mendapat
dasar moral yang kuat”. Dengan begitu, fundamenl moral menjadi landasan dari
fundamen politik. Prinsip ketuhanan lebih dinomor satukan dari pada yang lain.
Akan tetapi, juga tidak menomor duakan prinsip yang lain sebagai prinsip dasar
dibangunnya sebuah Negara.
Pada tanggal 11 Juli, terdapat tanggapan tajam dari Latuharhary. Dia
menyatakan keberatan atas “tujuh kata” sebagai anak kalimat dari Ketuhanan.
Soekarno menanggapi dan berkata “Barangkali tidak perlu diulangi bahwa
preambule adalah hasil jerit payah untuk menghilangkan perselisihan paham
antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan
Islam.”
Pada 13 Juli, terjadi perdebatan sengit seputar “tujuh kata” Piagam
Jakarta. K.H. Wachid Hasyim mengusulkan agar presiden ialah orang Indonesia
yang beragama Islam. Pandangan tersebut dibela oleh Soekiman yang
berpendapat bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Persoalan juga belum tuntas
sampai pada tanggal 15 Juli Abdoelrachim Pratalykrama dari golongan
kebangsaan menyatakan bahwa “Presiden ialah orang Indonesia asli yang
beragama Islam.
Pada 18 Agustus 1945 dilaksanakan pertemuan pertama PPKI dan
memilih Soekarno sebagai presiden yang didampingi oleh Muhammad Hatta

14
sebagai wakil presiden Republik Indonesia. Pada hari itu pula, PPKI menyetuji
naskah “Piagam Jakarta” sebagai pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata”
di belakang sila ketuhanan. Tujuh kata tersebut diganti dengan kata-kata “Yang
Maha Esa”. Pada pertemuan pertama tersebut, disetujui pula Pasal 6 ayat 1:
”Presiden ialah orang Indonesia asli” dan menghilangkan kata-kata “yang
beragama Islam”. Karena pencoretan “tujuh kata”, pokok pikiran kelima
Pembukaan UUD, yang memberikan keistimewaan kepada penduduk yang
beragama islam, juga dihilangkan dari penjelasan tentang UUD 1945. Hal
tersebut menyebabkan Negara Indonesia kembali pada gagasan semula yaitu
Negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan.
Aspirasi politik islam tercegat dalam PPKI yang berlanjut dengan
penolakan awal terhadap gagasan pembentukan departemen agama. Terdapat
beberapa pihat yang menentang gagasan tersebut karena mereka berpendapat
bahwa gagasan tersebut akan menimbulkan perselisihan. Karena itu, dimulai
dari Kabinet Presidensial Soekarno sampai Kabinet Parlementer Sjahrir
pertama tidak ada departemen agama. Departemen agama baru dibentuk pada
Kabinet Sjahrir kedua. Dibentuknya departemen agama tersebut bertujuan
untuk meredam kekecewaan politik para pemimpin Islam.
Ancaman dari luar membuat masyarakat sadar akan keterbukaan peluang
bagi para pemimpin Islam untuk menduduki peran penting dalam kekuasaan,
obsesi politik identitas pun menurun dan digantikan oleh solidaritas kewargaan.
Hal tersebut tercermin dalam pandangan yang lebih positif terhadap Pancasila.
Para tokoh Islam juga tidak mempermasalahkan persoalan “tujuh kata” dalam
Piagam Jakarta. Mereka memiliki kelapangan hati untuk menjungjung tinggi
perdamaian, dan merasa adanya kesetaraan hak dan kewajiban tanpa
memandang latar agama.
Karena masih terdapat beberapa perbedaan kubu, Komosi I membuat
kesepakatan bahwa Dasar Negara dari konstitusi baru harus memenuhi hal
sebagai berikut :
1. Sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia,
2. Dijiwai semangat Revolusi 17 Agustus 1945,

15
3. Musyawarah hendaknya menjadi dasar dalam segala perundingan dan
penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan,
4. Terjaminnya kebebasan beragama dan beribadat,
5. Berisikan jaminan-jaminan sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang
luas, dan keadilan sosial.

Setiap kubu juga diwajibkan untuk bisa menerima Pancasila dan sepakat
untuk diberi nama Pancasila sebagai Dasar Negara.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Persepektif Historis Ketuhanan yang Kebudayaan. Sebuah Agama tidak


mengurusi masalah pribadi saja, namun semua aspek publik akan terlibat
didalamnya. Hal ini telah terjadi sejak zaman purbakala hingga masa kemerdekaan.
Bergulirnya pengaruh pengaruh agama yang ada mencatat sejarah yang nyata.
Mulai dari pengaruh aliran Animisme dan Dinamisme hingga pengaruh agama
Hinduisme, Bidhisme, Islam hingga agama agama lain seperti kristen. Seiring
perkembangan zaman, terjadilah negosiasi anatara Sekularisasi dan Regionalisasi
Negara. Hal ini terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Berbagai pandemi telah
terjadi. Seperti pengaruh kolonial dengan asumsi evolusi modernisme yang memicu
pemberontakan hingga membuat politik netralisasi dan penjajahan serta intervensi
pemerintah kolonial terhadap keagamaan

Kemudian terjadi pula sekularisasi politik ketika berkuasanya pemerintah


liberal hingga munculnya kaum intelegensi yang menganut pandangan dunia
sekuler. Selain itu, Regiolisasi Politik Indonesia juga terjadi dengan munculnya
kecendrungan ideologi agama dan perannya dalam arena publik politik. Pergeseran
dari gerakan mileniarisme menuju ideologis juga tidak bisa dicegah. Ulama intelek
dan agama intelek juga ikut memberikan pengaruh dalam mengembangakn ruang
publik modern di Nusantara. Hingga akhirnya bobot pengaruh organisasi sosial dan
politik keagaman terlalu kuat untuk diabaikan. Sampai kemerdekaan
tercapai,;masuklah persepsi Ketuhanan dalam perumusan pancasila, yang lebih
banyak menimbulkan pro dan kontra dari para intelek bangsa indonesia.

17
3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini, penulis bepesan kepada pembaca

1. Untuk tidak puas dengan makalah ini. Namun pembaca bisa mencari
kembali sumber yang lebih lengkap dan akurat terkait topik yang penulis
sampaikan.
2. Untuk meminimalisir kesalahpahaman, pembaca bisa menjadikan makalah
in sebagai sumber studi banding dengan sumber lain atau bertanya kepada
yang lebih parhan terkait topik yang disampaikan penulis. Karena penulis
menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.

18
DAFTAR PUSTAKA

Yudi Latif. 2012. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas


Pancasila. Jakarta: Gramedia.

19

Anda mungkin juga menyukai