Anda di halaman 1dari 16

Referat

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Oleh:

Dwitissa Novaria Ananda, S.Ked

04054821820048

Pembimbing:

dr. Sarah Diba, Sp.KK, FINSDV

BAGIAN/KSM/KELOMPOK STAF MEDIK DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Oleh

Dwitissa Novaria Ananda, S.Ked

04054821820048

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/KSM/KelompokStafMedik Dermatologi
dan Venereologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin/Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang Periode 30 Maret – 15 April 2020.

Palembang, 31 Maret 2020

Pembimbing,

dr. Sarah Diba, Sp.KK, FINSDV, FAADV

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT Tuhan Yang MahaEsa
karena atas rahmat dan berkat-Nya referat yang berjudul “Staphylococcal Scalded
Skin Syndrome” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Referat ini dibuat untuk
memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Departemen
Dermatologidan Venereologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Sarah Diba,
Sp.KK, FINSDV, FAADV atas bimbingannya sehingga penulisan referat ini
menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam


penulisan referat ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Penulis,

Dwitissa Noviaria Ananda, S.Ked

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................
i

HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................


ii

KATA PENGANTAR .....................................................................................


iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................


iv

PENDAHULUAN ...........................................................................................
1

ETIOPATOGENESIS .....................................................................................
2

GEJALA KLINIS ............................................................................................


4

DIAGNOSIS.....................................................................................................
5

DIAGNOSIS BANDING.................................................................................
7

PENATALAKSANAAN .................................................................................
9

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI ................................................................


10

SIMPULAN......................................................................................................
10

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................


11

iv
STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME
Dwitissa Novaria Ananda, S.Ked
Bagaian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP DR. Mohammad Hoesin Palembang

I. PENDAHULUAN
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) adalah infeksi kulit oleh.
Staphylococcus aureus (S. aureus) tipe tertentu yang menyebabkan epidermolisis.
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome pertama kali dilaporkan Ritter von
Rittershain pada tahun 1956 dan dikenal sebagai penyakit Ritter von Rittershain
dan sering disingkat menjadi penyakit Ritter saja atau dermatitis eksfoliativa
neonatorum.1
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome paling dominan menyerang bayi
baru lahir usia 3-15 hari dan anak usia dibawah 5 tahun.3 Staphylococcal scalded
skin syndrome lebih sering pada bayi baru lahir dibanding dewasa.4 Penelitian
Staiman A di Amerika Serikat terdapat 589 kasus SSSS selama tahun 2008-2012,
rerata perkiraan kejadian tahunan 7,67 kasus per-juta anak.7
Biasanya infeksi SSSS didahului oleh infeksi S. aureus pada bagian tubuh
lainnya, seperti infeksi mata, hidung, dan telinga. Exfoliative toxin (ET),
khususnya Exfoliative toxin A (ETA) dan Exfoliative toxin B (ETB), memiliki
afinitas terhadap glikoprotein desmoglein-1 di desmosom yang terletak di lapisan
stratum granulosum. Exfoliative toxin A dan B menghancurkan desmoglein-1
sehingga adhesi sel ke sel antara keratinosit rusak dan menyebabkan
epidermolisis.3
Gejala awal SSSS pada anak diawali dengan iritabilitas, malaise dan
demam.4 Diagnosis SSSS ditegakkan berdasarkan anamnesis, adanya kelainan
kulit berupa eritema yang timbul mendadak pada wajah, leher, aksila, dan lipat
paha, kemudian menyebar dalam waktu 24 jam, lalu diikuti timbul bula besar
dinding kendur. Uji dermatologi manual akan ditemukannya tanda nikolsky
positif.1 Pemeriksaan penunjang berupa spesimen biopsi kulit juga diperlukan
untuk menyingkirkan diagnosis banding.4

1
Terapi utama SSSS adalah jenis agen antibiotik methicillin-sensitive dan
penicillinase-resistant beta-lactam seperti cloxacillin, dicloxacillin, oxacillin,
flucloxacillin, dan nafcillin merupakan tatalaksana antibiotik lini pertama. Aspek
penting lainnya dalam manajemen SSSS adalah pengaturan suhu, resusitasi
cairan, analgesia, balutan lesi steril, dan pencegahan infeksi sekunder.2
Referat ini membahas mengenai etiopatogenesis, gambaran klinis,
diagnosis dan tatalaksana SSSS, sehingga diharapkan dapat memberkan informasi
mengenai pendekatan holistik dalam penatalaksanaan SSSS.

II. ETIOPATOGENESIS
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh exfoliative toxin
(ETs) yaitu exfoliative toxin A (ETA) dan B (ETB) dihasilkan dari strain
toksigenik bakteri S. aureus (faga grup 2).3 Staphylococcus aureus adalah
patogen oportunistik dan penyebab utama berbagai penyakit infeksi klinis.
Dalam menginfeksi inang, S. aureus mengekspresikan serangkaian faktor
seperti toksin, enzim, adhesin, dan protein untuk bertahan hidup dalam kondisi
ekstrem dan kemampuan menyebar melalui jaringan. Pada SSSS toksin berdifusi
dari fokus infeksi, dan tidak adanya antibodi antitoksin spesifik, sehingga terjadi
penyebaran toksin secara hematogen.6 Toksin ini dihasilkan pada fase
pertumbuhan bakteri dan diekskresikan dari kolonisasi staphylococcus sebelum
diabsorpsi melalui sirkulasi sistemik. Toksin mencapai stratum granulosum
epidermis melalui difusi pada kapiler dermal.3
Fungsi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang terletak pada
stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus
memungkinkan proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut.
Desmosom adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural
berhubungan dengan filamen intermediet intraseluler (Gambar 1). Desmosom
ini diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat
pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa
gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih. Desmoglein (Dsg) merupakan
komponen transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya
pada adhesi antar sel epitel tetapi juga pada morfogenesis sel epitel. Terdapat 3

2
isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3. Desmoglein-2 terdapat pada
semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan miokard,
sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.7

Gambar 1. Anatomi desmosom 8

Exfoliative toxin A dan B menyebabkan bula dan pengelupasan kulit


dengan cara menghambat desmosom pada lapisan sel granular epidermal
sehingga terjadi pemisahan intradesmosomal. Exfoliative toxin A dan B
memiliki target kerja pada Dsg-1 yang merupakan desmosom glikoprotein
transmembran, berfungsi mempertahankan adhesi antar sel epidermis.(9) Toksin
yang dihasilkan S.aureus yaitu ETA dan ETB akan mengikat dan merusak
molekul desmosom desmoglein-1 sehingga membentuk celah pada ikatan adhesi
antara stratum spinosum dan granulosum (Gambar 2). Secara histologis ikatan
ETs pada keratinosit kultur isolasi kulit menyebabkan terbentuknya vesikel yang
mengisi ruang antarsel, diikuti cairan interseluler yang mengisi ruang antara
stratum granulosum dan spinosum.7

3
Gambar 2. Patofisiologi SSSS7

Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus


proksimal kemudian dikatabolisme sel tubulus proksimal. Kecepatan filtrasi
glomerulus (GFR) bayi < 50% GFR orang dewasa normal. Hal ini menjelaskan
pada bayi, pasien gagal ginjal kronik, dan pasien menjalani hemodialisa
merupakan faktor predisposisi terjadinya SSSS.5

III. GEJALA KLINIS


Fokus infeksi sebelum terjadinya SSSS antara lain faringitis purulen,
rinitis, konjungtivitis, luka atau infeksi umbilikal pada neonatus. Gejala
prodromal berupa demam dan iritabel. Ruam pertama kali tampak berupa makula
eritem di sekitar mulut dan hidung. Eritem kemudian menyebar generalisata dan
kemudian tampak seperti "sandpaper" (Gambar 1). Predileksi pada daerah fleksor,
terutama lipat paha, aksila, dan leher. Setelah 1-2 hari kulit menjadi berkerut dan

4
dapat timbul bula/lepuh, mudah mengelupas (Nikolsky’s sign) disertai kulit nyeri
apabila disentuh. Selanjutnya 2-3 hari permukaan kulit menjadi kering dan
berkrusta. Lesi akan sembuh pada hari ke 10-14.8

Gambar 3. Fase awal SSSS11

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Staphylococcal Scalded Skin Syndrome dapat ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis anak dengan SSSS biasanya akan di awali dengan iritabilitas, malaise,
demam dan riwayat infeksi pada mata, telinga, atau saluran pernapasan.4 Pada
pemeriksaan fisik, ditemukan kelainan kulit yaitu eritema yang timbul pada
wajah, leher, aksila, dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam.
Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula besar berdinding kendur. Pada
pemeriksaan uji dermatologi manual ditemukan uji nikolsky positif yaitu
terjadinya pengelupasan kulit akibat penekanan bula atau menggores kulit yang
sehat disekitar bula. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai
pengelupasan lembaran kulit sehingga tampak daerah erosif (Gambar 2).1

5
Gambar 2. Staphylococcus Scalded Skin Syndrome11

Pemeriksaan penunjang antara lain bisa dengan permeriksaan kultur


bakteri dan biopsi kulit (histopatologi). Pada pemeriksaan kultur bakteri,
spesimen dapat diambil dari kulit maupun darah, konjungtiva, hidung,
nasofaring, dan pusar. Pada penelitian Handler, kultur darah biasanya tidak
membantu dalam diagnosis SSSS pada anak, karena biasanya negatif. Kultur
dikatakan positif bila ditemukan biakan S.aureus.3

Tabel 1. Bagan Pemeriksaan Penunjang (Nikolsky Sign)12

Erythematous Rash

Nikolsky Sign

Yes No

Febrile Afebrile Febrile Afebrile

TSS (Mucous
SSSS Anaphylaxis
(Staphylococcal Membrane)
Scombroid
Scalded Skin TEN Kawasaki Disease (
poisoning
Syndorome) Children, Swollen
Alcohol flush
TEN Hand)
Scarlet Fever
(Sanpaper rash)

Pada pemeriksaan histopatologi SSSS akan ditemukan kerusakan


desmosom akibat racun eksfoliatif staphlyoccocus yang membelah ikatan

6
peptida spesifik Dsg-1. Gambaran histopatologi SSSS memperlihatkan
gambaran pembelahan intraepidermal tanpa nekrosis (Gambar 3). Biopsi kulit
untuk pemeriksaan histologis sangat membantu dalam penegakkan diagnosis
SSSS jika hasil kultur masih meragukan. 7

Gambar 4. Pembesaran histopatologi pada daya rendah (A) dan daya tinggi (B)
tampak perpecahan intraepidermal di tingkat stratum
granulosum, yang merupakan karakteristik kulit melepuh staphylococcal
sindrom (SSSS).12

V. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding penyakit ini yaitu Nekrosis Epidermal Toksik
(NET), epidermolysis bullosa, dan impetigo bulosa karena memiliki gejala klinis
sama dengan SSSS.1
Penyakit ini sangat mirip NET. Perbedaannya, SSSS umumnya pada anak
usia < 5 tahun, kelainan kulit mulai tampak di wajah, leher, aksila, dan lipat paha;
mukosa dan organ dalam umumnya tidak terlibat, dan angka kematiannya lebih
rendah. Kedua penyakit tersebut agak sulit dibedakan. Perlu dilakukan
pemeriksaan histopatologi secara frozen section agar hasil cepat diketahui, karena
prinsip terapi kedua penyakit tersebut berbeda. Perbedaan terletak pada letak
celah. Letak celah SSSS di stratum granulosum, sedangkan NET di sub
epidermal. Perbedaan lain, pada NET terdapat sel nekrosis di sekitar celah dan
banyak terdapat sel radang.1 Staphylococcal scalded skin syndrome memiliki
tingkat keparahan lebih rendah dan tidak melibatkan erosi membran mukosa jika
disbanding NET. Pada SSSS, hasil pemeriksaan preparat Tzanck area lepuh yang
dipecahkan akan didapatkan sejumlah sel epitel dengan inti sel besar dan sel-sel

7
akantolitik tetapi tidak ditemukan sel-sel inflamasi sedangkan NET hanya
memiliki sel epitel sedikit dan tidak memiliki sel akantolitik tetapi banyak
terdapat sel inflamasi.9
Diagnosis banding klinis juga termasuk epidermolysis bullosa (penyakit
bawaan bermanifestasi sebagai lepuh atau erosi kulit dan dalam beberapa kasus
terjadi di lapisan epitel organ lain). Impetigo bulosa (vesikel berisi air rapuh
disertai lepuh/lecet disebabkan oleh strain pathogen S.aureus).9 Staphylococcal
scalded skin syndrome dan impetigo bulosa merupakan penyakit kulit melepuh
disebabkan ET, tetapi ET pada impetigo bulosa hanya terdapat pada area infeksi
sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari isi lepuh. Pada SSSS, ET tersebar
secara hematogen dan berpotensi menyebabkan kerusakan epidermal pada bagian
tempat terjauh. 3

Tabel 2. Diagnosis Banding 14


Clinical Features TEN SSSS

Usually Seen Adults Young Children


A few adults with renal failure
Mortality 25-35% 4% in Children and infants
Up to 63% in adults SSSS
Blister Coloration White Tan or Brown

Mucosal Involvement Yes No

Affected Skin Layer Epidermal-dermal junction Subcorneal (desmoglein 1)


(keratinocytes)
Pathophysiological Unknown Bacterial exotoxin
mechanism
Histologic findings Dermal-epidermal blister with focal Subcorneal blister, splitting
dyskeratosis
Full-thickness epidermal necrosis
Treatment Elimination of an offending drug Appropriate antibiotics usage to treat the
(ususally an antibiotics) underlying bacteria
I. PENATALAKSANAAN

Terapi untuk SSSS harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus.


Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian antibiotik anti-
staphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat, antibiotik oral dapat

8
diberikan sebagai pengganti setelah beberapa hari. Pada kebanyakan kasus SSSS
jenis agen antibiotik methicillin-sensitive dan penicillinase-resistant beta-lactam
seperti cloxacillin, dicloxacillin, oxacillin, flucloxacillin, dan nafcillin merupakan
tatalaksana antibiotik lini pertama. Dosis antibiotik penisilinase, misalnya
kloksasilin dosis 3 x 250 mg untuk orang dewasa sehari per oral. Pada neonatus
(penyakit Ritter) dosisnya 3 x 50 mg sehari. Jika pasien tidak merespons agen-
agen ini, maka pasien tersebut merupakan Methicillin-strain Resistance
Staphylococcus aureus (MRSA), sehingga antobiotik resisten penisilinase, seperti
penisilin dan vancomycin dapat diberikan. 2 Pada terapi SSSS kortikosteroid tidak
perlu diberikan karena dapat memperburuk keadaaan penyakit. Terapi topikal
dapat diberikan sofratule atau krim antibiotik. Terapi topikal asam fusidat atau
mupirocin sebagai terapi tambahan di area lepuh untuk memberantas kolonisasi
bakteri. Area kulit yang rusak dan terkelupas dapat diobati dengan emolien untuk
menenangkan dan melembabkan kulit. Kompres daerah lesi untuk membersihkan
dari jaringan-jaringan epidermis yang telah nekrosis. Aspek penting lainnya dalam
manajemen SSSS adalah pengaturan suhu, resusitasi cairan, analgesia, balutan lesi
steril, dan pencegahan infeksi sekunder. Paracetamol adalah analgesik pilihan
dalam kasus SSSS. Secara umum, pasien SSSS akan dikeluarkan dari rumah sakit
dengan 6-7 hari tetapi disarankan untuk melanjutkan rawat jalan hingga 15 hari.8
Selain itu juga harus diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit.1
Mirip dengan luka bakar yang luas, pasien SSSS diberikan terapi pengganti cairan
untuk mengkompensasi kehilangan cairan dan mencegah hipovolemia. Pada
pasien anak fresh frozen plasma (FFP) diberikan bolus 10% dari volume
sirkulasi anak (70 mL / Kg) juga dapat dipertimbangkan, ditambah cairan
pemeliharaan dextrose 4% dalam saline 0,18% tergantung berat badan pasien.3
Anak dengan imunodefisiensi dapat menerima dosis fresh frozen plasma
(FFP) (10 mL/kg) untuk menetralisir eksotoksin antibodi. Terapi ini telah berhasil
digunakan pada beberapa kasus anak, tetapi belum banyak uji coba FFP dalam
kasus SSSS. Pada anak yang belum berhasil dengan FFP, pemberian
imunoglobulin intravena selama 5 hari (IVIG) (0,4 g/kg per hari) dapat
dipertimbangkan untuk menetralkan eksotoksin. 3

9
II. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome dapat menyebabkan kematian
terutama pada bayi >1 tahun kisaran 1-10%. Penyebab utama kematian ialah
ketidakseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis.1 Sepsis dan pneumonia merupakan
komplikasi tersering dari penyakit ini. 8
Prognosis SSSS pada orang dewasa tergantung pada status kekebalan
tubuh, penatalaksanaan tepat, perjalanan infeksi, dan komplikasi. Karena kondisi
komorbiditas, mortalitas SSSS pada orang dewasa dapat mencapai 60%.(9)
Staphylococcal scalded skin syndrome pada pasien dewasa memiliki tingkat
morbiditas dan mortalitas signifikan. 16

III. KESIMPULAN
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome merupakan penyakit epidermolisis
disebabkan ET (ETA dan ETB) S. aureus. Gejala berupa kemerahan meluas
pada kulit diikuti terbentuknya bula, mudah pecah, dan tampak seperti terbakar.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme,
identifikasi ET, dan biopsy histopatologi. Terapi SSSS bertujuan mengeradikasi
infeksi S. aureus dengan pemberian antibiotik, pemantauan cairan, dan
perawatan kulit. Prognosis pada anak lebih baik dibanding dewasa. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis
merupakan komplikasi SSSS yang sering terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). In: Widaty S,


Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi D dkk,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. p. 76–7.

2. Meshram GG, Kaur N, Hura KS. Staphylococcal scalded skin syndrome: A


pediatric dermatology case report. SAGE Open Med Case Reports.
2018;6:2050313X1775089.

10
3. Handler MZ, Schwartz RA. Staphylococcal scalded skin syndrome:
diagnosis and management in children and adults. J Eur Acad Dermatology
Venereol. 2014;28(11):1418–23.

4. Staiman A, Hsu D, Silverberg J. Epidemiology of Staphylococcal Scalded


Skin Syndrome in United States Children. Br J Dermatol. 2018;3:704–8.

5. Saida K, Kawasaki K, Hirabayashi K, Akazawa Y, Kubota S, Kasuga E, et


al. Exfoliative toxin A staphylococcal scalded skin syndrome in preterm
infants. Eur J Pediatr. 2015;174(4):551–5.

6. Leung AKC, Barankin B, Leong KF. Staphylococcal-scalded skin


syndrome: evaluation, diagnosis, and management. World J Pediatr
[Internet]. 2018;14(2):116–20. Available from:
https://doi.org/10.1007/s12519-018-0150-x

7. Mariutti R, Tartaglia N, Seyffert N, de Paula Castro T, Arni R, Azevedo V,


et al. Exfoliative toxins of Staphylococcus aureus. Rise Virulence Antibiot
Resist Staphylococcus aureus InTech. 2017;8:127–43.

8. Mishra AK, Yadav P, Mishra A. A Systemic Review on Staphylococcal


Scalded Skin Syndrome (SSSS): A Rare and Critical Disease of Neonates.
Open Microbiol J. 2016;10(1):150–9.

9. Badon H, King J, Robert T, Brodell, Byrd A. Necrolysis, Distinguishing


Features: Staphylococcal Scalded Skin Syndrome vs. Toxic Epidermal.
aUniversity Mississippi Med Center, Jackson. 2018;2(2):135–9.

10. Rahayu T, Tumbelaka AR. Gambaran Klinis Penyakit Eksantema Akut


Pada Anak. Sari Pediatr. 2016;4(3):104.

11. James W, Elston D, McMahon P. Andrews’ diseases of the skin clinical


atlas. Philadelphia: Elsevier; 2018. 185, 189 p.

12. Murphy-Lavoie H, LeGros TL. Emergent diagnosis of the unknown rash:


An algorithmic approach. Emerg Med. 2010;42(3).

13. Davidson J, Polly DOS, Talati AJ, Patel T, Hayes PJ, Fisher KR. Recurrent
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome in an Extremely Low-Birth-Weight
Neonate. 2017;1(212):134–7.

14. Franco L, Pereira P. Staphylococcal scalded skin syndrome. Indian Pediatr.


2016;53(10):939.

15. Oyake S, Oh-I T, Koga M. Staphylococcal scalded skin syndrome in a


healthy adult. J Dermatol. 2018;28(3):145–8.

11
16. Desai P, Amin H, Tambe V. A case of staphylococcal scalded skin
syndrome in an adult. Am J Respir Crit Care Med. 2019;199.

12

Anda mungkin juga menyukai