Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

Dasar pemahaman. Pekan ini kita membahas kewenangan dan kewajiban manusia terhadap bumi
yang merupakan lingkungan hidup kita, sebagaimana yang dimaksudkan Allah kepada Adam
pada awal penciptaan. Tetapi sebelum kita beranjak lebih jauh, baiklah kita kenali dulu makna
dua istilah yang menjadi tema pembahasan pelajaran pekan ini, yaitu penatalayanan dan
lingkungan.

Penatalayanan. Ini merupakan sebuah kata bentukan yang terdiri atas dua kata yang
disandingkan, penataan dan pelayanan. Kata penatalayanan adalah padanan untuk kata
stewardship dalam bahasa Inggris, yang definisinya–menurut Dictionary.com yang mengutip
kamus terbitan Random House–adalah: (1) jabatan dan tugas-tugas pelayan atau pengurus,
seorang yang bertugas mewakili orang lain, khususnya dalam mengelola harta benda, keuangan,
kekayaan, dsb; (2) tanggungjawab untuk mengawasi dan melindungi sesuatu yang dianggap
berharga untuk dirawat dan dipelihara. Sedangkan Wikipedia menerangkan bahwa
“penatalayanan” merupakan suatu keyakinan teologis bahwa manusia bertanggungjawab atas
dunia ini, yang bagi umat Kristen landasan alkitabiahnya terdapat dalam Kej. 2:15, Im. 25:1-5,
dan khususnya perumpamaan Tuhan Yesus dalam Mat. 25:14-30.

Lingkungan. Ini adalah padanan untuk kata environment (Inggris). Menurut definisi dari situs
KamusBahasaIndonesia.org, kata ini berarti daerah atau kawasan yang berada di dalamnya;
bagian wilayah; golongan; dan semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia dan hewan.
Lingkungan terbagi ke dalam lima bagian, yakni lingkungan alam, lingkungan hidup, lingkungan
kebudayaan, lingkungan mati, dan lingkungan sosial. Wikipedia Indonesia menerangkan bahwa
“Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam
seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun
di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan
bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.” Lingkungan terbagi ke dalam komponen
“abiotik” (tidak bernyawa: tanah, udara, iklim, dsb) dan “biotik” (bernyawa: tumbuhan, hewan,
manusia, dan mikro organisme). Ilmu yang mempelajari tentang lingkungan adalah ekologi.

Pelajaran Sekolah Sabat pekan ini, sebagaimana dimaksud oleh penyusun pelajarannya, ialah
untuk membahas tentang hubungan antara manusia–sebagai makhluk ciptaan yang tertinggi dan
paling cerdas–dengan Bumi ciptaan Allah beserta lingkungannya, baik komponen biotik maupun
abiotik. “Di dalam ciptaan ini Ia menempatkan manusia, yang dengan sengaja dihubungkan
dengan Diri-Nya, orang lain, dan dunia sekitarnya. Karena itu, sebagai umat Advent, kita
menganggap pelestarian dan pemeliharaannya berkaitan erat dengan pelayanan kita kepada-
Nya…” [alinea kedua: dua kalimat terakhir].

Dalam perkataan lain, Gereja Advent menyadari bahwa sebagai umat Tuhan kita mengemban
tanggungjawab untuk memelihara dan merawat lingkungan hidup di mana kita tinggal, percaya
bahwa kita ditempatkan di dunia ini untuk menjadi penatalayan-penatalayan atas ciptaan Tuhan–
yaitu orang-orang yang melaksanakan tugas perawatan dan pemeliharaan alam ini demi Sang
Pencipta.
Pena inspirasi menulis: “Bahwa apa yang menjadi dasar dari integritas bisnis dan kesuksesan
sejati adalah pengakuan akan kepemilikan Allah. Sang Pencipta dari segala sesuatu, Dialah
pemilik yang asli. Kita adalah para penatalayan-Nya. Apa yang kita miliki adalah sebuah
kepercayaan dari Dia untuk digunakan sesuai petunjuk-Nya. Ini merupakan kewajiban yang
terletak atas setiap manusia. Hal ini menyangkut seluruh lingkup aktivitas manusia. Apakah kita
mengakuinya atau tidak, kita adalah penatalayan-penatalayan yang memperoleh talenta dan
fasilitas dari Allah serta ditempatkan di dunia untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang
ditentukan oleh Dia” (Ellen G. White, The Adventist Home, hlm. 367).

Minggu, 3 Maret
MANDAT DARI SANG PENCIPTA (Kekuasaan yang Diberikan pada Penciptaan)

Keunggulan dan kekuasaan. Alkitab mengajarkan bahwa manusia bukan saja makhluk ciptaan
yang paling mulia di Bumi ini, tapi juga paling cerdas dan paling berkuasa. Tentu saja
keunggulan-keunggulan itu dikaruniakan bukan tanpa sesuatu maksud, tetapi semua itu diberikan
kepada manusia berkenaan dengan tugas dan fungsi kita sebagai pelaksana dalam hal perawatan
dan pemeliharaan ciptaan Allah di planet ini.

Setelah menciptakan Bumi dan isinya, pada hari yang keenam Allah kemudian berfirman:
“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas
segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kej. 1:26; huruf miring ditambahkan).
Perhatikan, Allah telah berencana untuk memberikan kepada manusia kekuasaan atas alam
ciptaan-Nya ini sebelum Adam diciptakan, itulah sebabnya Dia menciptakan manusia itu
menurut gambar dan rupa-Nya sendiri. Dengan kata lain, penciptaan manusia didesain menurut
citra Allah dan dilengkapi dengan keunggulan-keunggulan melebihi seluruh ciptaan lainnya, oleh
karena manusia hendak diberi kuasa atas semua ciptaan lain di planet ini!

“Menurut Kejadian 1:26, kekuasaan Adam meluas sampai ke semua ciptaan lainnya yang ada–di
laut, di darat, dan di udara. Kekuasaan mencakup maksud memerintah atau memiliki kuasa atas
makhluk-makhluk ini. Tidak dikatakan tentang kekuasaan atas kekuatan alam itu sendiri tetapi
hanya atas makhluk ciptaan. Dan, menurut ayat itu lagi, kuasa memerintah ini bersifat sejagat.
Intinya, Adam harus menjadi penguasa bumi” [alinea pertama].

Dalam ketakjubannya pemazmur menulis, “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan
dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya
hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau
membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah
kakinya” (Mzm. 8:4-7; huruf miring ditambahkan). Adam mulai menjalankan kekuasaannya itu
ketika dia memberi nama kepada makhluk-makhluk hidup lainnya (Kej. 2:19). “Wewenang
memberi nama pada burung-burung dan binatang-binatang merupakan penegasan akan status
Adam sebagai penguasa atas hewan-hewan” [alinea kedua: kalimat terakhir].

Prinsip penatalayanan. Segera setelah Adam diciptakan, Allah menempatkannya di rumah


alamiah yang asri, Taman Eden. “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya
dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15; huruf miring
ditambahkan). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan mengusahakan dalam ayat ini adalah
‫ ָעבַד‬,`abad (dilafalkan: ävad), yang berarti bekerja atau melayani; sedangkan kata asli untuk
memelihara adalah ‫שָׁ מַר‬, shamar (dilafalkan: syämar), yang artinya mengawasi atau melindungi.
Sebelum Adam mempraktikkan wewenangnya dengan memberi nama kepada binatang-binatang
itu, dia lebih dulu menerima tanggungjawabnya sebagai pemelihara dan pelindung alam ini.

Kewajibannya atas alam tersebut menempatkan Adam selaku “penatalayan” Allah (=pelaksana
tugas untuk dan atas nama Allah), dan dengan demikian kewajiban tersebut mengandung prinsip
penatalayanan. “Taman itu merupakan hadiah kepada Adam, sebuah ungkapan kasih Allah, dan
sekarang Adam telah diberi tanggungjawab atasnya, sebuah contoh lain dari kekuasaan yang
Adam terima pada saat Penciptaan” [alinea terakhir: kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang kekuasaan yang Allah berikan kepada Adam?
1. Adam telah diciptakan menurut citra Allah, disertai dengan keunggulan-keunggulan, oleh
sebab manusia itu akan memangku kekuasaan atas bumi ini dan semua ciptaan lainnya.
2. Kekuasaan yang Allah berikan kepada manusia itu agar dia dapat melaksanakan pekerjaan
serta tugas-tugas atas alam ini, untuk dan atas nama Sang Pencipta sebagai Pemilik. Dengan
demikian maka manusia sesungguhnya adalah “penatalayan-penatalayan” Allah.
3. Dengan menyadari status asli yang diberikan Allah kepada manusia pada saat penciptaan,
seyogianya kita manusia akan memiliki pandangan dan sikap yang lebih bertanggungjawab
terhadap kelestarian alam ciptaan Allah ini.

Senin, 4 Maret
PERLAKUAN TERHADAP HEWAN (Memelihara Ciptaan Lainnya)

Pernyataan kepemilikan Allah. Di seluruh Alkitab dan dalam berbagai peristiwa Allah
mengumandangkan kepemilikan-Nya atas alam semesta, termasuk Bumi dan segala isinya.
Ketika bangsa Israel diperintahkan untuk mempersembahkan kurban lembu jantan dan domba
jantan secara rutin dan teratur sebagai bagian dari peribadatan, sesungguhnya umat itu tidak
membawa hewan-hewan kurban sebagai pemberian mereka kepada Allah. Sebab, sebagaimana
dikatakan-Nya, “Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari
kandangmu, sebab punya-Kulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung. Aku
kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah dalam kuasa-Ku” (Mzm.
50:9-11).

Allah memiliki dunia ini dan segala hewan yang ada di dalamnya oleh karena Dialah yang telah
menciptakan semua itu. Sebagai Pencipta alam semesta Allah layak menerima puji-pujian dan
penghormatan dari seluruh makhluk ciptaan-Nya, sebagaimana diakui oleh kedua puluh empat
tua-tua seperti yang disaksikan Yohanes Pewahyu dalam suatu penglihatan (Why. 4:11).
“Penciptaan hewan-hewan bukanlah sebuah kebetulan atau gagasan yang muncul belakangan.
Allah sengaja menciptakan mereka. Adalah kehendak-Nya bahwa semuanya itu harus ada, dan
prinsip ini harus menuntun perlakuan kita atas mereka” [alinea pertama].

Sekarang, apa hubungannya antara menjadi penyayang binatang dengan vegetarisme? Sebagian
orang yang berpandangan ekstrem telah mengaitkan pola makan tanpa daging sebagai bukti
nyata dari sikap menyayangi binatang. Bahkan, seorang pendukung vegetarisme dalam forum di
situs veggieboards menuding bahwa orang yang mengaku penyayang binatang tapi masih makan
daging adalah munafik. Namun, tentu saja kita tidak bisa menjadi terlalu naif dalam hal ini.
Menjadi penyayang binatang adalah masalah kesadaran moral, sedangkan pilihan untuk menjadi
vegetaris adalah soal pertimbangan kesehatan. Seorang yang non-vegetaris bisa saja adalah
seorang yang peduli dunia satwa, sementara seorang vegetaris yang ketat mungkin saja adalah
seorang yang tidak suka binatang. Pandangan manusia terhadap hewan yang hidup di alam bebas
dengan daging hewan di atas meja makan tentu berbeda sekali.

Pena inspirasi menulis: “Seorang yang mempunyai Kristus tinggal di hatinya tidak akan berlaku
kasar sekalipun kepada ternaknya, karena mereka itu adalah makhluk ciptaan Tuhan. Seorang
yang memiliki pengaruh kasih karunia Allah yang menghaluskan dan melembutkan di hatinya
tidak akan memukul, menyakiti, atau menyepak ternaknya dengan cara yang tidak mempunyai
rasa kasihan. Dia akan ingat bahwa malaikat-malaikat Tuhan menuntut tanggungjawab atas kata-
katanya yang keras dan kasar serta tindakannya yang kejam. Surga tidak akan pernah dihuni oleh
orang-orang yang bertabiat seperti itu” (Ellen G. White, Manuscript Releases, jld. 21, hlm. 331).

Status manusia dan evolusionisme. Banyak orang yang sangat bangga jika mengetahui dirinya
berasal dari garis keturunan tertentu yang secara tradisional memiliki status sosial terpandang di
masyarakat, tetapi tidak ada yang merasa bangga jika dikatakan dirinya berasal dari sejenis
hewan semacam kera, sekalipun itu adalah “kera sakti” seperti Hanoman dalam tradisi
kepercayaan Hinduisme. Meskipun paham evolusi mengakui manusia (homo sapiens) sebagai
puncak pengembangan organisme yang paling tinggi dan sempurna, namun menyebut asal-usul
manusia adalah dari hewan bukanlah gambaran yang menggembirakan buat saya. Meskipun
manusia memang terbuat dari debu dan pada akhirnya akan kembali kepada debu (Kej. 3:19),
tetapi manusia adalah ciptaan tangan Allah dan nyawanya berasal dari mulut Allah sendiri (Kej.
2:7).

“Namun, pada saat yang sama, sebagian orang telah melangkah terlalu jauh dengan mengklaim
bahwa pada hakekatnya manusia tidak lebih penting daripada binatang, dan oleh sebab itu
manusia tidak harus diberi perlakuan istimewa. Dalam banyak cara hal ini merupakan alur
pemikiran yang secara logis mengalir dari suatu model evolusi tentang asal-usul manusia. Lagi
pula, jika kita dan binatang hanya dipisahkan oleh waktu dan nasib, mengapa kita harus menjadi
lebih istimewa dari mereka?” [alinea ketiga: tiga kalimat pertama].

“Kemanusiaan itu sendiri adalah sebuah martabat,” kata Immanuel Kant (1724-1804), filsuf dan
antropolog Jerman yang terkenal dengan teorinya bahwa dalam diri manusia ada suatu kewajiban
moral yang sangat penting dan mutlak (categorical imperative). Prof. Holmes Rolston III, guru
besar ilmu filsafat dari Universitas Colorado, yang dianggap sebagai salah seorang filsuf modern
dan terkenal dengan kontribusi pandangannya dalam masalah etika lingkungan serta hubungan
antara ilmu pengetahuan dan agama, menulis: “Martabat manusia adalah hasil dari (1) sifat dari
dan dalam kodrat manusia, dan (2) budaya di mana manusia itu menumbuhkan tabiat mereka.
Manusia menghidupkan kehidupan yang berujud. Perwujudan ini, bukan berarti tidak dihargai,
adalah penting tapi tidak mencukupi. Hayat kemanusiaan kita membuka lebar ruang-ruang
terhadap kemungkinan baru di mana martabat kita dapat (bahkan harus) lebih terdidik dalam
kebudayaan. Dalam hal ini, dengan memadukan keterbatasan biologis kita dengan penghalusan
kebudayaan, secara radikal kita berbeda dari hewan” (Sumber:
http://lamar.colostate.edu/~hrolston/human-uniqueness.pdf).

Apa yang kita pelajari tentang perlakuan terhadap makhluk ciptaan lainnya?
1. Allah telah menciptakan hewan dan menyatakan bahwa makhluk-makhluk itu adalah milik-
Nya. Kalau kita adalah orang-orang yang menghormati Tuhan tentu kitapun akan menghargai
milik-Nya, sebab apa yang kita lakukan terhadap kepunyaan Tuhan pada dasarnya adalah
perlakuan terhadap Dia.
2. Manusia lebih tinggi statusnya dari hewan, karena Allah telah menciptakan dan
menentukannya demikian. Dengan menghargai ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya, termasuk hewan,
kita menghormati martabat kemanusiaan kita sendiri yang luhur dan bermoral.
3. Perlakuan yang baik terhadap hewan menunjukkan rasa tanggungjawab kita selaku pelindung
dan pemelihara ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya. Sebaliknya, memperlakukan hewan dengan kasar
dan kejam menjadikan kita sebagai orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Selasa, 5 Maret
MERAYAKAN PENCIPTAAN (Hari Sabat dan Lingkungan)

Hubungan kita dengan penciptaan. Manusia adalah bagian dari penciptaan, karena itu kita
memiliki hubungan dengan Sang Pencipta dan juga dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Bagaimana
kita memahami hubungan-hubungan ini akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku kita
terhadap ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain itu. Ibaratnya, sikap dan perilaku kita terhadap
saudara-saudara kandung seyogianya berbeda dengan sikap dan perilaku kita terhadap orang-
orang lain yang bukan saudara atau tidak memiliki hubungan keluarga. Sebagaimana kedekatan
kita dengan keluarga sendiri adalah karena sama-sama berasal dari satu keturunan, kedekatan
kita dengan ciptaan-ciptaan lain adalah karena sama-sama berasal dari satu Pencipta.

“Bagi sebagian orang ciptaan itu untuk dimanfaatkan, digunakan, bahkan dijarah sampai ke
tingkat manapun demi untuk memenuhi keinginan dan kemauan kita. Sebaliknya bagi yang lain
adalah menyembah ciptaan itu sendiri (baca Roma 1:25). Lalu ada pandangan alkitabiah yang
seharusnya memberi kita sudut pandang yang berimbang dalam cara di mana kita berhubungan
dengan dunia yang Tuhan ciptakan untuk kita” [alinea kedua].

Belakangan ini banyak bencana alam terjadi yang berkaitan dengan kerusakan alam akibat ulah
manusia. Pemanasan global, penipisan lapisan ozon, efek rumah kaca, anomali iklim, banjir dan
kebakaran hutan adalah sebagian dari isu-isu yang telah menjadi keprihatinan para pemerhati
lingkungan hidup sejak lama. Selain kerusakan alam, perilaku manusia juga telah menyebabkan
banyak spesis flora dan fauna yang terancam punah, setidaknya di tingkat lokal. Tidak sedikit
jenis buah-buahan maupun hewan yang sekarang sangat sulit untuk ditemukan, termasuk yang
tergolong endemik (hanya terdapat di daerah tertentu saja). Saya tidak tahu, berapa banyak anak-
anak dan cucu kita sekarang ini yang tidak pernah mengenal lobi-lobi (di daerah saya disebut
tome-tome), buah berbentuk kelereng besar yang rasanya manis-kecut? Atau melihat burung
gagak berbulu hitam pekat dengan paruh yang kukuh, jenis burung yang berperan dalam kisah
nabi Nuh (Kej. 8:7) dan nabi Elia (1Raj. 17:6) itu? Di Amerika, burung-burung gagak masih bisa
dijumpai mencari makan di pinggir jalan, suasana yang pernah saya alami pada masa kanak-
kanak di kampung halaman lebih dari enampuluh tahun lalu. Entahlah kini.
Sabat, hari perayaan penciptaan. Seperti pernah kita bahas terdahulu, kalau manusia dapat kita
sebut sebagai “pangeran penciptaan” maka Sabat hari yang ketujuh dalam pekan adalah
“mahkota penciptaan.” Istilah-istilah ini menjadi lebih bermakna terutama bila kita mengingat
perkataan Yesus, “Hari Sabat diadakan untuk manusia…” (Mrk. 2:27). Hari Sabat yang diadakan
oleh Sang Pencipta di penghujung minggu penciptaan adalah karunia tersendiri bagi manusia,
satu hari untuk dinikmati dengan cara berhenti dari segala aktivitas dan rutinitas sehari-hari.
“Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah
Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari
ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan
penciptaan yang telah dibuat-Nya itu” (Kej. 2:2-3; huruf miring ditambahkan).

Pencantuman hukum Sabat hari yang ketujuh dalam Sepuluh Perintah (Hukum Keempat) adalah
penegasan kembali akan pentingnya kedudukan hari Sabat dalam penciptaan, di mana manusia
harus meniru apa yang Allah lakukan pada hari itu, yakni berhenti, memberkati, dan
menguduskan. Dalam Sepuluh Perintah itu sangat jelas disebutkan alasan Allah memerintahkan
manusia untuk berhenti “melakukan segala pekerjaan” (Kel. 20:9). “Sebab enam hari lamanya
TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh;
itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya” (ay. 11; huruf miring
ditambahkan). Perhatikan tiga hal yang disebutkan dalam kitab Kejadian diulangi kembali dalam
kitab Keluaran.

“Oleh mengarahkan kita kepada fakta bahwa Allah menciptakan kita dan dunia yang kita tempati
ini, hari Sabat merupakan pengingat yang terus-menerus bahwa kita bukanlah ciptaan yang
sepenuhnya otonom yang bisa berbuat apa saja yang diinginkan terhadap orang lain dan kepada
dunia itu sendiri. Sabat seharusnya mengajarkan kita bahwa kita sesungguhnya adalah
penatalayan-penatalayan, dan bahwa penatalayanan menuntut tanggungjawab” [alinea terakhir:
dua kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang kedudukan hari Sabat dalam penciptaan?
1. Hari Sabat dan kita manusia sama-sama adalah “produk” dari penciptaan. Manusia ada, dan
hari Sabat itu juga ada, oleh sebab Allah yang mengadakannya. Dalam pengertian tertentu, hari
Sabat merupakan “mahkota penciptaan” yang dikenakan kepada manusia sebagai “pangeran
penciptaan.”
2. Dalam Sepuluh Perintah Allah (Hukum Moral), perintah untuk berhenti pada hari Sabat
dicantumkan supaya manusia selalu mengingat akan penciptaan alam semesta yang Alllah telah
lakukan. Dengan kata lain, Sabat hari yang ketujuh adalah semacam “hari perayaan penciptaan”
yang harus diperingati setiap minggu.
3. Perhentian pada Sabat hari ketujuh juga mengingatkan kita akan tanggungjawab kita sebagai
penatalayan-penatalayan Allah untuk tugas perawatan dan pelestarian alam sebagai lingkungan
hidup manusia maupun terhadap ciptaan-ciptaan lainnya.

Rabu, 6 Maret
TANGGUNGJAWAB PRIBADI (Penatalayan Terhadap Kesehatan Kita)

Kemerosotan kondisi manusia. Manusia telah diciptakan dalam keadaan sempurna dan pada
mulanya keadaannya “sungguh amat baik.” Bahwa sekarang ini kondisi umum manusia jauh dari
sempurna dan amat rentan terhadap macam-macam penyakit, itu adalah akibat dari suatu sebab:
dosa. Dalam dunia biologi kondisi ini dikenal dengan sebutan dysgenics, sebuah istilah yang
mulai digunakan tahun 1915 sebagai suatu kajian ilmiah tentang kemerosotan genetik dalam
populasi manusia moderen, khususnya di kalangan bangsa-bangsa Barat.

Sementara sebagian pakar kesehatan mengaitkan kondisi ini dengan kelainan genetik, para
ilmuwan penganut ajaran evolusi menyebutnya sebagai akibat dari apa yang mereka sebut
“pengenduran seleksi alam” (relaxation of natural selection), yaitu “proses oleh mana alam pada
setiap generasi menyingkirkan yang tidak sehat dengan menurunkan kesuburan mereka dan
dengan kematian dini.” Francis Galton, keponakan Charles Darwin yang masih muda, adalah
orang yang paling memikirkan masalah ini. Dia pun mengajukan solusi untuk mengatasinya
dengan cara menggantikan seleksi alam itu dengan apa yang dia sebut “seleksi yang sengaja
dirancang” (consciously designed selection) “melalui mana masyarakat akan mengontrol dan
memperbaiki kualitas genetika mereka sendiri.” Untuk itu dia menyodorkan istilah eugenics
(1883). Tetapi belakangan ditetapkan bahwa istilah yang dipakai untuk kemerosotan genetika
adalah dysgenics, sedangkan eugenics digunakan untuk memperbaiki kondisi tersebut. (Sumber:
Richard Lynn–http://www.ulsterinstitute.org/preview/DYSGENICS_chapter1.pdf).

“Berlawanan dengan model evolusi–di mana penyakit dan kematian adalah bagian dari sarana
utama penciptaan–hal-hal ini datang hanya setelah kejatuhan, sesudah masuknya dosa. Jadi,
hanya dengan latar belakang riwayat Penciptaan maka kita dapat memahami dengan lebih baik
ajaran Alkitab tentang kesehatan dan penyembuhan” [alinea pertama: dua kalimat terakhir].

Memelihara bait Tuhan. Prinsip alkitabiah menyatakan bahwa segala ciptaan, termasuk manusia,
adalah milik Allah sebagai Pencipta. Artinya, manusia tidak dapat memperlakukan ataupun
memanfaatkan tubuhnya sesuka hati seperti miliknya sendiri. Kembali lagi, dalam hal ini berlaku
konsep penatalayanan, bahwa kita hanyalah penatalayan Allah atas tubuh kita–merawat tubuh
kita sendiri untuk dan atas nama Sang Pencipta. Dalam perkataan lain, tubuh oleh mana kita
hidup ini adalah “titipan” Allah untuk dipelihara, dirawat, dan digunakan bagi maksud-maksud
Allah selaku Pemilik dari tubuh kita ini. Hal ini merupakan tanggungjawab pribadi.

Tulis rasul Paulus: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam
di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah — dan bahwa kamu bukan milik kamu
sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah
dengan tubuhmu!” (1Kor. 6: 19, 20). Sekali lagi, kedua ayat ini menegaskan kembali
kepemilikan Allah atas diri kita karena dua hal, oleh penciptaan dan penebusan.

“Tubuh kita adalah wahana bagi otak kita, dan adalah melalui pikiran kita Roh Kudus
berkomunikasi dengan kita. Jika kita ingin memiliki persekutuan dengan Allah, kita harus
merawat tubuh dan pikiran kita. Kalau kita menyalahgunakan tubuh kita, maka kita merusak diri
kita, baik secara fisik maupun rohani. Menurut ayat-ayat ini, seluruh pertanyaan tentang
kesehatan itu sendiri, dan bagaimana kita merawat tubuh kita, yakni ‘bait Allah,’ merupakan
masalah moral yang mengandung akibat-akibat yang abadi” [alinea kedua].

Apa yang kita pelajari tentang penatalayanan terhadap kesehatan kita?


1. Pada mulanya manusia telah diciptakan dalam keadaan sangat sempurna dan amat baik.
Kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengubah segalanya, mendatangkan kemerosotan atas
seluruh ciptaan dengan semua akibatnya secara turun-temurun.
2. Manusia boleh berusaha dan mengikhtiarkan segala cara untuk memperbaiki keadaan dirinya
yang merosot akibat dosa, tetapi apapun itu tidak akan pernah bisa mengembalikan kondisi
semula sebelum berdosa. Tetapi ada pengharapan, bila Yesus datang kedua kali semuanya akan
dipulihkan.
3. Sementara menantikan saat itu, kita mengemban tanggungjawab pribadi untuk merawat tubuh
kita ini agar selalu sehat. Perawatan tubuh yang benar bukanlah dengan motivasi penampilan
diri, melainkan atas kesadaran bahwa tubuh kita ini adalah “bait Allah” di mana Roh Tuhan
tinggal.

Kamis, 7 Maret
MERAWAT MILIK TUHAN (Prinsip-prinsip Penatalayanan)

Pemberian Allah yang baik dan sempurna. Adalah suatu kenyataan yang membesarkan hati
bahwa meskipun manusia sudah berdosa dengan melawan perintah Allah, namun Tuhan tidak
pernah berhenti mengaruniakan hal-hal yang baik kepada manusia. Mengapa? Karena Tuhan
tetap memperlakukan kita sebagai para penatalayan-Nya. Dan rasul Yakobus menyaksikan,
“Setiap pemberian yang baik dan hadiah yang sempurna datangnya dari surga, diturunkan oleh
Allah, Pencipta segala terang di langit. Ialah Allah yang tidak berubah, dan tidak pula
menyebabkan kegelapan apa pun” (Yak. 1:17, BIMK; huruf miring ditambahkan).

Perhatikan, sang rasul menekankan perihal sifat Allah “yang tidak berubah” sebagai jaminan
bahwa setiap pemberian dan anugerah dari pada-Nya itu selalu “baik” dan “sempurna.” Kata asli
untuk baik di sini adalah ἀγαθός, agathos, sebuah kata-sifat yang juga mengandung arti berguna
dan unggul. Sedangkan kata asli untuk sempurna pada ayat ini adalah τέλειος, teleios, kata-sifat
yang artinya tidak ada kekurangan yang perlu ditambahkan. Jadi, semua pemberian Allah kepada
manusia selalu memiliki keunggulan serta berguna, dan setiap anugerah ataupun hadiah dari
pada-Nya itu selamanya tidak mengandung kekurangan apapun. Tidak ada hadiah, pemberian,
atau anugerah apapun dari dunia ini yang sebanding dengan apa yang diberikan oleh Tuhan
kepada kita.

Konsep penatalayanan alkitabiah. Sekarang, coba kita berintrospeksi dan menyelidiki hidup kita
masing-masing: pemberian dan hadiah apa saja yang Allah sudah berikan kepada anda dan saya
selama hidup? Seberapa besar manfaat dari pemberian itu dalam kehidupan kita, dan bagaimana
kita melihat keunggulan dari pemberian itu dibandingkan dengan apa yang orang lain miliki atau
tidak miliki? Talenta dan bakat? Kecerdasan dan kemampuan berpikir? Kesehatan dan kekuatan
fisik? Pengaruh dan reputasi? Kekayaan dan kemakmuran? Waktu dan kesempatan?
Pemeliharaan dan pimpinan Tuhan? Rumahtangga dan keluarga? Kita sering menyebut
pemberian dan anugerah Tuhan itu dengan berkat, dan semakin anda merenungkannya kian
bertambah pula daftar berkat-berkat Tuhan dalam hidup anda.

Nah, bagaimana anggapan anda dengan semua pemberian Tuhan tersebut, apakah itu
dihadiahkan kepada anda untuk dinikmati sendiri dan demi kepentingan pribadi anda saja?
Nasihat rasul Petrus adalah, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah
diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1Ptr. 4:10; huruf
miring ditambahkan). Kata asli yang diterjemahkan denganpengurus dalam ayat ini adalah
οἰκονόμος, oikonomos, sebuah kata-benda maskulin dalam bahasa Grika yang berarti pengelola
(Bhs. Inggris: manager). “Pada akhirnya, karena Allah adalah Pencipta kita, dan oleh sebab
segala sesuatu yang kita miliki adalah karunia dari Dia, maka kita diwajibkan di hadapan-Nya
untuk menjadi penatalayan-penatalayan yang baik atas apapun yang telah dipercayakan kepada
kita” [alinea pertama: kalimat terakhir].

Melalui perumpamaan tentang talenta (Mat. 25:14-30), Yesus menuntut kita untuk menjadi
pengelola-pengelola yang baik dan bertanggungjawab atas milik Tuhan yang dikaruniakan
kepada kita. Dalam perumpamaan ini ada beberapa pesan pekabaran yang kita dapatkan: (1)
Karunia-karunia yang tidak sama itu, baik jumlah maupun jenisnya, mencerminkan keadilan
Tuhan yang mengetahui kesanggupan seseorang; (2) Setiap orang diberi waktu dan kesempatan
yang sama untuk menggunakan talentanya; (3) Pemberian atau karunia itu hanya titipan dari
Tuhan, bukan milik kita; (4) Karunia atau talenta itu dipercayakan kepada kita supaya
digunakan, bukan untuk disimpan; dan (5) Tuhan menuntut hasil keuntungan atau nilai tambah
dari karunia-karunia itu, bukan sekadar kembali modal.

“Masing-masing mempunyai tempatnya dalam rencana kekekalan surga. Masing-masing harus


bekerjasama dengan Kristus untuk keselamatan jiwa-jiwa. Tidak lebih pasti tempat yang
disediakan bagi kita di istana surgawi daripada tempat khusus yang ditentukan di dunia ini di
mana kita harus bekerja bagi Tuhan” [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang prinsip-prinsip alkitabiah tentang penatalayanan?


1. Allah tetap mengaruniakan kepada manusia berbagai pemberian sejak masa penciptaan hingga
sekarang ini, dan semua itu pun tetap sempurna dan baik. Hal ini karena Tuhan tidak pernah
berubah, baik kemarin, sekarang, dan selama-lamanya (Ibr. 13:8; Mal. 3:6).
2. Setiap orang yang dipercayakan dengan pemberian dari Allah dengan sendirinya menjadi
pengelola (manajer) atas milik Tuhan yang dititipkan kepadanya. Pertanggungjawaban kita harus
berupa hasil-hasil dari penggunaan karunia tersebut.
3. Pemberian dan karunia dari Tuhan diberikan dalam jumlah dan jenis yang berbeda-beda,
sesuai dengan penilaian Tuhan akan kesanggupan kita masing-masing. Keadilan tidak berarti
harus sama rata; keadilan berarti proporsional.

Jumat, 8 Maret
PENUTUP

Hidup untuk melayani. Sementara bagi banyak orang hidup itu adalah untuk dinikmati, bagi kita
sebagai umat Tuhan hidup itu adalah untuk melayani. Pemahaman ini didasarkan pada keyakinan
bahwa kita adalah milik Tuhan, oleh penciptaan maupun penebusan, dan keberadaan kita bukan
semata-mata untuk diri kita sendiri melainkan untuk melayani Tuhan.

“Pengikut-pengikut Kristus telah ditebus untuk melayani. Tuhan kita mengajarkan bahwa tujuan
hidup yang sebenarnya ialah pelayanan. Kristus sendiri adalah seorang pekerja, dan kepada
semua pengikut-Nya Ia memberikan hukum tentang pelayanan–melayani Allah dan sesama
manusia. Di sini Kristus menyajikan kepada dunia suatu pengertian tentang kehidupan yang
lebih tinggi dari apa yang pernah mereka ketahui” [empat kalimat pertama].
Anda dan saya–maupun setiap orang yang menyadari dan merasakan tanggungjawab ini–dapat
melayani Tuhan dengan apa yang telah dikaruniakan-Nya kepada kita masing-masing, yaitu
berbagai potensi dan sumberdaya pribadi yang kita miliki. Allah itu maha adil, Dia tidak
menuntut kita untuk melayani-Nya tanpa lebih dulu melengkapi kita dengan berbagai karunia
dan pemberian yang bermanfaat dalam pelayanan dimaksud. Melayani adalah gaya hidup umat
Kristen sejati, dalam pelayanan vertikal kepada Tuhan dan pelayanan horisontal terhadap sesama
manusia.

Sesungguhnya, pelayanan itu bukanlah memberikan sesuatu dari sumberdaya kita, melainkan
memanfaatkan sesuatu dari perbendaharaan Tuhan yang ada dalam diri kita. Sebab anda dan saya
hanyalah penatalayan atas milik Tuhan, layaknya seorang manajer yang diangkat untuk
mengelola “bisnis” Tuhan di dunia ini. Minimal kita bisa melayani Dia dengan merawat dan
memelihara lingkungan hidup di mana kita berada. Sebagaimana semboyan PBB untuk
pelestarian alam, Think globally, act locally, sembari peduli terhadap kondisi Bumi secara
menyeluruh kita dapat berbuat sesuatu yang sederhana di lingkungan kita sendiri.

“Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia
menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku…” (1Tim. 1:12).

Anda mungkin juga menyukai