Anda di halaman 1dari 8

HUKUM ACARA PRAKTER PERADILAN TATA USAHA NEGARA

KETERANGAN SAKSI DALAM PEMBUKTIAN HUKUM ACARA


PERADILAN TATA USAHA NEGARA

KELOMPOK 3 :
1. Kadek Indah Bijayanti : 1704551244
2. Shinta Putri Maulidia Hutomo : 1704551246
3.Komang Indra Dewangga Putra : 1704551247
4.Ida Bagus Yoga Darma Putra : 1704551248
5. Ida Bagus Mahendra Praditama : 1704551250
6.Ngurah Vinanta Diputra Kelakan : 1704551251
7.Cintyahapsari Lanthikartika : 1704551253
8.Terresia Zanetta : 1704551256
9.Gabriel Malatang Sianturi : 1704551257

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
Dalam suatu proses beracara di Peradilan, salah satu tugas hakim adalah untuk
menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara. Hubungan
hukum inilah yang harus dibutktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan. Pada
prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh
salah satu pihak yang kebenarannya di bantah oleh pihak lain . Untuk membuktikan dalil-
dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa diperlukan alat bukti. Alat bukti
adalah keterangan-keterangan yang diajukan untuk terbuktinya fakta-fakta yang sebelumnya
tidak jelas. Alat-alat bukti harus diajukan selama proses sedang berjalan yaitu di persidangan.
Jadi, alat-alat bukti tidak dapat Menang atau kalahnya para pihak yang berperkara ditentukan
dalam tahap pembuktian karena pembuktian merupakan landasan bagi para hakim dalam
menentukan memutuskan suatu perkara. Dengan demikian tujuan pembuktian adalah untuk
memperoleh putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Atau dengan kata lain
tujuan dari pembuktian adalah mencari atau menemukan kebenaran suatu peristiwa yang
digunakan sebagai dasar putusan hakim yang mempunyai akibat hukum.1 . Hukum
pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya
fakta yang menjadi dasar hukum dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan.
Menurut Indroharto fakta tersebut terdiri fakta berikut :
a. Fakta hukum,yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensi
(keberadaannnnya) tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.

b. Fakta biasa, yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut


menentukan adanya fakta hukum tertentu.2

Pasal 100 ayat (2) UUPTUN menentukan bahwa kejadian yang telah diketahui
umum,tidak perlu dibuktikan. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang telah
diketahui oleh umum jika dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh hakim dalam
mengambil keputusan, fakta tersebut tidak perlu dibuktikan. Menurut Indroharto disamping
fakta yang diketahui umum ada juga fakta yang dapat menjadi dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusannya yang tidak perlu dibuktikan, yaitu :

a. hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi

1
Sudikno mertokusumo, hukum acara perdata Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1998, hal 165.
2
Indroharto 1993. Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II, Penerbit Pustaka Sinar Harapan , Jakarta Cetakan I.
b. fakta yang prosesual yang terjadi selama pemeriksaan

c. eksistensi hukum3

Pada tahap pembuktian ini kepada pihak-pihak diberikan kesempatan seluas- luasnya
untuk mengajukan bukti-bukti untuk dapat mendukung dalil-dalil Gugatan atau dalil
bantahannya. Pasal 100 UU Peradilan TUN mengatur tentang alat-alat bukti yang dapat
diajukan oleh pihak-pihak berdasarkan sebagai berikut : “

(1) Alat bukti ialah :

a. Surat atau tulisan

b. Keterangan ahli

c. Keterangan saksi

d. Pengakuan para pihak

e. Pengetahuan Hakim

(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.”

Terkhusus pada keterangan saksi diatur dalam Pasal 104 UU No. 5 tahun 1986 , menentukan
keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal
yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi. Dari ketentuan yang terdapat dalam dalam
Pasal 104 tersebut dapat diketahui bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan tentang sesuatu hal yang dialaminya, dilihat atau didengarnya tentang sengketa
yang diperiksa dipengadilan. Pendapat dari Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah
kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan
dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.

Dalam memberikan keterangan di muka persidangan tidak semua orang yang bisa
dihadapkan sebagai saksi. Hal ini diatur dalam Pasal 88 dan 89 UU No. 5 Tahun 1986 siapa
saja yang tidak boleh dihadirkan sebagai saksi dalam pemeriksaan sengketa tata usaha
negara. Oleh Indroharto yang dimaksud dengan keterangan saksi itu adalah keterangan yang
didengar oleh hakim selama pemeriksaan perkara dilakukan. 4 Keterangan saksi dianggap

3
Amir, L. (2015). Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Dan Perkara
Pidana. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 6(1).
4
Jurnal Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara dan Perkara Pidana, hal 7.
sebagai alat bukti apabila keterngan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau
didengar oleh saksi sendiri.5
Alat bukti berupa keterangan dalam peradilan TUN terdiri atas keterangan saksi dan
keterangan ahli, terdapat beberapa perbedaan mendasar diantara keduanya :
Keterangan Saksi Keterangan Ahli
Seseorang saksi dipanggil ke muka Seorang saksi ahli dipanggil ke muka
pengadilan untuk mengemukakan pengadilan untuk mengemukakan
keterangan tentang hal yang ia lihat dengan keterangan berdasarkan keahliannya
atau alami sendiri terhadap suatu peristiwa
Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis
maka akan menjadi alat bukti tertulis .
Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan Kedudukan seorang ahli dapat diganti
saksi lain kecuali sama sama melihat , dengan ahli yang lain sesuai dengan
mendengar dan menyaksikan peristiwa itu keahliannya

Dalam UU PTUN sebagai undang undang yang mengatur hukum acara dari tata usaha maka
pengaturan mengenai saksi dapat dilihat pada pasal pasal berikut ini :
1) Pasal 86 UU Peradilan TUN pada pokoknya mengatur sebagai berikut:
a. Atas permintaan salah satu pihak, atau karena jabatannya, Hakim Ketua Sidang
dapat memerintahkan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan.
b. Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
meskipun telah dipanggil dengan patut dan Hakim cukup mempunyai alasan untuk
menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat memberi
perintah supaya Saki dibawa oleh polisi ke persidangan.
c. Seorang saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan tidak diwajibkan datang di Pangadilan tersebut, tetapi pemeriksaan
saksi itu dapat diserahkan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman saksi.
2) Pasal 88 UU Peradilan TUN mengatur orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi
yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa.
b. Isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai.
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun.
5
Pasal 104 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
d. Orang sakit ingatan.
3) Pasal 89 UU Peradilan TUN mengatur hal-hal tentang saksi yang pada pokoknya sebagai
berikut :
a. Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan
kesaksian ialah :
 Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu
pihak.
 Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan
merahasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan,
atau jabatannya itu.
b. Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu,
diserahkan kepada pertimbangan Hakim.
4) Bagaimana cara saksi memberikan kesaksian di Pengadilan TUN diatur antara lain di
dalam Pasal 87 dan Pasal 90 dan Pasal 94 UU Peradilan TUN yaitu :
a. Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
b. Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir, umur
atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama atau
kepercayaannya, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan
penggugat atau tergugat.
c. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut agama atau kepercayaannya dan didengar dalam persidangan Pengadilan
dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.
d. Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat di dengar
keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa.
e. Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena
halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang
di tempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar
saksi tersebut.
f. Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui
Hakim Ketua Sidang.
g. Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua Sidang tidak ada
kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.
5) Pasal 91 UU Peradilan TUN mengatur apabila Saksi tidak faham bahasa Indonesia.
6) Pasal 92 UU Peradilan TUN mengatur apabila Saksi bisu, tuli atau tidak dapat menulis.
7) Pasal 93 UU Peradilan TUN mengatur bahwa Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib
datang sendiri di persidangan.
8) Pasal 104 UU Peradilan TUN mengatur bahwa keterangan saksi dianggap sebagai alat
bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh
saksi sendiri.
Dalam proses pembuktian, hakim akan mendegarAsas Pembuktian Bebas Terbatas
tersebut dianut dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan
“hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti
berdasarkan keyakinan hakim”. Asas pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut dalam rangka usaha mencari kebenaran materiil. Dengan memperhatikan
segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal – hal
yang diajukan oleh para pihak, hakim peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri
:

a. Apa yang harus dibebani pembuktian;


b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak
yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri;
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk digunakan dalam pembuktian, dan ;
d. Kekuatan pembuktian yang telah diajukan.

Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang
berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta
dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian. Selanjutnya, undang-undang
menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh
mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi
saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.6

Keterangan saksi dapat didengar tanpa hadirnya pihak yang bersengketa, apabila yang
bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kekuatan yang terbesar yang diberikan pada keteranga saksi adalah
keterangan yang diberikan dipersidangan dan dibawah sumpah. Dalam keadaan itu terhadap
6
Dr. Fence M. Wantu, SH., MH.,2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Reviva
Cendekia:Jakarta, hl.44
saksi dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan oleh semua pihak. Sudah tentu seseorang yang
menjadi saksi harus berhati-hati dan jujur pada waktu memberikan keteranga untuk
pembuktian.7

DAFTAR PUSTAKA

7
Yanasmoro Aji, A., & Laba, I. N. (2018). Kajian Hukum Sistem Pembuktian Dalam Peradilan
Tata Usaha Negara. Wicaksana: Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 2(2), 27-42.
Sudikno Mertokusumo, 1998, hukum acara perdata Indonesia, liberty, Yogyakarta
Indroharto 1993. Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Buku II, Penerbit Pustaka Sinar Harapan , Jakarta Cetakan I.
Amir, L. (2015). Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Dan Perkara
Pidana. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 6(1)
Tanpa Nama Penulis, Tanpa Tahun Terbit , Jurnal Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa
Tata Usaha Negara dan Perkara Pidana
Dr. Fence M. Wantu, SH., MH.,2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Reviva
Cendekia:Jakarta
Yanasmoro Aji, A., & Laba, I. N.2018. Kajian Hukum Sistem Pembuktian Dalam Peradilan
Tata Usaha Negara. Wicaksana: Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 2(2), 27-42.

Anda mungkin juga menyukai