Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH COMPOUNDING AND DISPENSING

“TERAPI ANTIBIOTIK”

Dosen Pengampu: Nurul Akhatik., Dra. M.Si

Disusun Oleh
Kelompok 5 – Kelas E
1. Mahadma Bhima Whinata 19344163
2. Astri Rahayu 19344162
3. Krisdiawati 19344170
4. Yosa Adi 19344160
5. Fajri Susanti 19344179
6. Koriana1 19344167
7. Andi Nurdiana 19344187
8. Mariany Yulita Wona 19344198
9. M. Rahmat 19344152
10. Aditya Yulindra 19344147

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
INSTITUT SAIN DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
berjudul “Terapi Antibiotik”. Makalah ini disusun dalam rangka pemenuhan tugas
Mata Kuliah Compounding and Dispnesing.
Meluasnya penggunaan antibiotik yang tidak tepat menimbulkan berbagai
pemasalahan dan merupakan acaman global bagi kesehatan, terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Untuk itu penggunaan antiiotik secara rasiona dan bijak
merupakan kunci pengendalian penyebaran bakteri yang resisten terhadap antibiotik,
dan keterlibatan seluruh profesional kesehatan sangat dibutuhkan, terutama peran
apoteker.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini
namun penulis berharap makalah ini dapat berguna bagi setiap pembaca.

Jakarta, April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan.................................................................................................2
1.4 Manfaat...............................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................2
2.1 Pengertian Antibiotik..........................................................................3
2.2 Penggolongan Antibiotik....................................................................3
2.3 Pengkajian Terapi Antibiotik..............................................................4
2.4 Obat Antibiotik Pada Ibu Hamil.........................................................16
2.5 Resitensi Obat Golongan Antibiotik...................................................19
2.6 Tujuan Pemberian Antibiotik Profilaksis...........................................22
BAB III PERAN APOTEKER DALAM RESITENSI ANTIBIOTIK
3.1 Peran Apoteker Dalam Pengendalian
Resistensi Antibiotik...........................................................................24
3.2 Prinsip Pencegahan Penyebaran Mikroba
Resisten...............................................................................................25
BAB IV PENUTUP...........................................................................................28
4.1 Kesimpulan.........................................................................................28
4.2 Saran...................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................29

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejalan dengan program World Health Organization/WHO, Indonesia
sebagai bagian dari komunitas dunia berkomitmen untuk mengamankan
antibiotik untuk generasi selanjutnya. Pertumbuhan resistensi dan multipel
resistensi mikroba terhadap antibiotik berdampak pada meningkatnya
morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan(Nugroho, 2012)

Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit


terbanyak. Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang
bijak akan meningkatkan kejadian resistensi. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa telah muncul mikroba yang resisten antara lain
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), resistensi multi obat
pada penyakit tuberkulosis (MDR TB) dan lain-lain. Dampak resistensi
terhadap antibiotic adalah meningkatnya morbiditas, mortalitas dan biaya
kesehatan.(Abdullah, 2012)

Resistensi mikroba terhadap antimikroba (disingkat: resistensi


antimikroba, antimicrobial resistance, AMR) telah menjadi masalah
kesehatan yang mendunia, dengan berbagai dampak merugikan dapat
menurunkan mutu pelayanan kesehatan. Muncul dan berkembangnya
resistensi antimikroba terjadi karena tekanan seleksi (selection pressure) yang
sangat berhubungan dengan penggunaan antimikroba, dan penyebaran
mikroba resisten (spread). Tekanan seleksi resistensi dapat dihambat dengan
cara menggunakan secara bijak, sedangkan proses penyebaran dapat dihambat
dengan cara mengendalikan infeksi secara optimal (Desrini, 2015)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengengertian dari antibiotik?
2. Bagaimana penggolongan antibiotik?
3. Bagaimana Pengkajian Terapi Antibiotik?
4. Bagaimana penanganan obat antibiotik pada ibu hamil?

1
5. Bagaimana mekanisme resisten pada obat antibiotik dan cara penanganan
resisten antibiotik?
6. Apa tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis?

1.3 Tujuan
Tersedianya panduan bagi Apoteker dalam melaksanakan pelayanan
kefarmasian pada terapi antibiotik

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah untuk mengetahui pengertian
antibiotik, penggolongan obat antibiotik, pengkajian terapi antibiotic, cara
penanganan antibiotik pada ibu hamil, akibat resisten pada obat antibiotik
serta tujuan pemberian antibiotik profilaksis

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Antibiotik


Antibiotik berasal dari kata Yunani tua, yang merupakan gabungan
dari kata anti (lawan) dan bios (hidup). Kalau diterjemahkan bebas menjadi
"melawan sesuatu yang hidup". Antibiotika di dunia kedokteran digunakan
sebagai obat untuk memerangi infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau
protozoa. Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba,
terutama fungi/jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi
mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau
sintetik penuh. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik tidak diturunkan
dari produk mikroba (Abdullah, 2012)
Antibiotika ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi,
yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi jenis mikroba lain.
Antibiotika ( latin : anti = lawan, bios = hidup ) adalah zat-zat kimia yang
dihasilkan miroorganisme hidup tertua fungi dan bakteri ranah. Yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuahan banyak bakteri
dan beberapa virus besar, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relative kecil
(Gellaty, 2013).

2.2 Pengolongan Antibiotik


1.    Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur Penicilium chrysogeneum dari bermacam-
macam jenis yang dihasilkan (hanya berbeda mengenai gugusan samping
R benzil penisilin ternyata paling aktif. Sefalosforin diperoleh dari jamur
cephalorium acremonium, berasal dari sicilia (1943) penisilin bersifat
bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesi dinding sel.
Penisilin terdiri dari (Basic Pharmacology & Drug Notes. 2019) :
1.    Benzil Penisilin Dan Fenoksimetil Penisilin
a.       Benzil Penisilin

3
1)   Indikasi: infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis,
bronchitis kronis, salmonelosis invasive, gonore.
2)   Kontraindikasi: hipersensitivitas ( alergi ) terhadap
penisilin
3)   Efek samping: reaksi alergi berupa urtikaria, demam,
nyeri sendi,   angioudem, leukopoia, trombositopenia,
diare pada pemberian per oral.
b.    Fenoksimetil Penisilin
Indikasi: tonsillitis, otitis media, erysipelas, demam
rematik, prpopiliaksis infeksi pneumokokus.
2.      Pensilin Tahan Penisilinase (Basic Pharmacology & Drug
Notes. 2019)
a.       Kloksasilin
1)     Indikasi: infeksi karena stapilokokus yang
memproduksi  pensilinase.
2)       Peringatan: gangguan fungsi ginjal, lesi eritematous
pada glandular fever, leukemia limfositik kronik, dan
AIDS, riwayat infeksi.
3)      Interaksi: obat ini berdifusi dengan baik dengan
jaringan dan cairan tubuh. tetapi penetrasi ke dalam
cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak
mengalami infeksi.
4)      Kontraindikasi: hipersensitivitas ( alergi ) terhadap
penisilin.
5)      Efek samping : reaksi alergi berupa urtikaria, demam,
nyeri sendi, angioudem, leuk opoia, trombositopenia,
diare pada pemberian per oral.
b.      Flukoksasilin
1)      Indikasi  :infeksi karena stapilokokus yang
memproduksi pensilinase.

4
2)      Peringatan :gangguan fungsi ginjal, lesi eritematous
pada glandular fever, leukemia limfositik kronik, dan
AIDS.
3)      Interaksi : obat ini berdifusi dengan baik dengan
jaringan dan cairan tubuh. Tapi penetrasi ke dalam
cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak
mengalami infeksi.
4)       Kontraindikasi : hipersensitivitas ( alergi ) terhadap
penisilin.
5)      Efek samping : reaksi alergi berupa urtikaria, demam,
nyeri sendi, angioudem, leukopoia, trombositopenia,
diare pada pemberian per oral.
3. Pensilin Spectrum Luas (Basic Pharmacology & Drug Notes.
2019)
a.       Ampisilin
Ibu hamil               : Kategori
Ibu menyusui        :  Kategori A
1)      Indikasi: Infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis,
bronchitis kronis, salmonelosis invasive, gonore.
2)       Peringatan: Riwayat alergi, gangguan fungsi ginjal,
lesi eritematous pada glandular fever, leukemia
limfositik kronik, dan AIDS.
3)      Interaksi: Obat ini berdifusi dengan baik dengan
jaringan dan cairan tubuh. Tapi penetrasi kedalam
cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak
mengalami infeksi. Absorbsi sebagian besar
dipengaruhi oleh makanan. Pengobatan lebih baik
diberikan pada saat lambung kosong, 1 jam sebelum
atau 2 jam sesudah makan.
4)      Kontraindikasi: Hipersensitivitas ( alergi ) terhadap
penisilin.

5
5)      Efek samping: Reaksi alergi berupa urtikaria, demam,
nyeri sendi, angioudem, leukopoia, trombositopenia,
diare pada pemberian per oral.
6)      Pengaturan dosis Oral: 250-500 mg tiap 6 jam,
diberikan 30 menit sebelum makan. Infeksi saluran
kemih: 500 mg tiap 8 jam. Injeksi intramuskuler,
intravena atau infus: 500 mg tiap 4-6 jam. Anak di
bawah 10 tahun: setengah dosis dewasa.
7)      Sediaan Ampisilin (generik): kapsul 250mg, 500mg;
sirup kering 125mg/5ml, 250mg/5ml; serbuk untuk
injeksi 500mg, 1g. Ampicillin: kapsul 250mg, 500mg;
tablet 250mg, 500mg; sirup kering 125mg/5ml
250mg/5ml; serbuk untuk injeksi 1g, 2g. Ampi:
kapsul 250mg, 500mg; sirup kering 125mg/5 ml.
b.      Amoksisilin
Ibu Hamil        : Ketegori B
Ibu Menyusui  : Kategori A
1)        Indikasi: infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis,
bronchitis kronis, salmonelosis invasive, gonore.
2)        Peringatan: gangguan fungsi ginjal, lesi eritematous
pada glandular fever, leukemia limfositik kronik, dan
AIDS
3)        Interaksi: obat ini berdifusi dengan baik dengan
jaringan dan cairan tubuh. Tapi penetrasi ke dalam
cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak
mengalami infeksi.
4)        Kontraindikasi: hipersensitivitas ( alergi ) terhadap
penisilin.
5)        Efek samping: reaksi alergi berupa urtikaria, demam,
nyeri sendi, angioudem, leukopoia, trombositopenia,
diare pada pemberian per oral.
6)        Pengaturan Dosis:

6
Dewasa:     1x 500mg tablet tiap 12 jam atau 250mg
tablet tiap 8 jam.
Suspensi: dewasa, untuk yang sulit menelan,
125mg/5ml atau 250mg/5ml suspensi menggantikan
tablet 500mg.
Anak : Kurang dari 3 bulan: 30mg/kg/hr dibagi tiap
12 jam didasarkan pada komponen amoksisilin.
Dianjurkan menggunakan suspensi 125 mg/5ml 3
bulan atau lebih : didasarkan pada komponen
amoksisilin. Jangan menggunakan tablet 250mg jika
berat<40kg.  40kg atau lebih: sesuai dosis dewasa
Amoksisilin dapat diminum dengan atau tanpa 
makanan. Neonatus dan bayi 12 minggu (3 bulan)
atau lebih muda: karena fungsi ginjal yang belum
optimal mempengaruhi eliminasi amoksisilin, dosis
paling tinggi yang dijinkan adalah 30mg/kg/hr dibagi
tiap 12 jam.
7)      Sediaan Amoksisilin (generik): kaplet 500mg; kapsul
250mg; sirup kering  125mg/5ml, 250mg/5ml; serbuk
untuk injeksi 1g. Amoksan: drops 125mg/1,25 ml;
kapsul 250mg, 500mg; sirup kering 125mg/5ml,
250mg/5ml; serbuk untuk injeksi 1g.
Kalmox: kapsul 500mg; sirup kering 125mg/5ml.
4. Penisilin Anti Pseudomona Pensilin Spectrum Luas (Basic
Pharmacology & Drug Notes. 2019)
a. Tikarsilin        
Indikasi : infeksi yang disebabkan oleh pseoudomonas
dan proteus.
b. Piperasilin
Indikasi : infeksi yang disebabkan oleh pseoudomonas
aerugenosa.
c.       Sulbenisilin

7
 infeksi yang disebabkan oleh pseoudomonas
aerugenosa.
2.    Aminoglikosida
Aminoglokosida bersifat bakterisidal dan aktif terhadap
bakteri gram posistif dan gram negative. Gentamisin,
Amikasin dan kanamisin  juga aktif terhadap pseudomonas
aeruginosa. Streptomisin aktif terhadap mycobacterium
tuberculosis dan penggunaannya sekarang hampir terbatas
untuk tuber kalosa Penisilin Anti Pseudomona Pensilin
Spectrum Luas (Basic Pharmacology & Drug Notes. 2019)
1)        Gentamisin
a.       Indikasi : septicemia dan sepsis pada neonatus, meningitis
dan infeksi SSP lainnya. Infeksi bilier, pielonefritis dan
prostates akut, endokarditis, pneumonia nosokomial, terapi
tambahan pada miningitis karena listeria.
b.       Kontraindikasi: kehamilan, miastenia gravis.
c.       Efek samping: nefrotoksisitas yang biasanya terjadi pada
orang tua atau pasien gangguan fungsi ginjal. Jika terjadi
gangguan fungsi ginjal maka interval pemberian harus
diperpanjang.
d.       Mekanisme kerja obat: Aminoglikosida bersifat
bakterisidal dan digunakan terutama pada infeksi bakteri
gram positif dan negatif. Aktivitas bakterisid melalui
penghambatan sintesis protein bakteri.
e.       Pengaturan dosis Gentamisin: Dosis pada pasien infeksi
serius dengan fungsi ginjal normal 3 mg/kg/hari dalam
dosis terbagi tiga setiap 8 jam.
Anak-anak :  6-7,5 mg/kg/hari (2-2,5 mg/kg setiap 8 jam)
Infant dan neonatus :   7,5 mg/kg/hari (2,5 mg/kg setiap 8
jam)
Neonatus umur < 1 minggu :  5 mg/kg hari (2,5 mg setiap
12 jam).

8
Durasi terapi   : biasanya 7-10 hari. Dosis pada pasien infeksi
serius dengan fungsi   ginjal normal 3 mg/kg/hari dalam dosis
terbagi tiga setiap 8 jam.
f.       Sediaan Gentamisin (generik):cairan injeksi 10 mg/ml;40 mg/ml
(K)
Garamycin®: cairan injeksi 20 mg/ml; 40 mg/ml; 60 mg/ml; 80
mg/ml (K)
g.      Perhatian: gangguan funsi ginjal, bayi dan usia lanjut (sesuaikan
dosis, awasi fungsi ginjal, pendengaran dan vestibuler dan
periksa kadar plasma), hindari penggunaan jangka panjang.
Aminoglikosida dapat menembus sawar plasenta, sehingga
pemberian pada wanita hamil sedapat mungkin dihindari
(Kategori C). Apabila bila menyusui ekresi gentamisin dalam
ASI sangat minimal (Kategori A).
2)    Amikasin
Indikasi : infeksi generatif yang resisten terhadap gentamisin.
3)    Kanamisin
Indikasi: infeksi berat kuman gram negative yang resisten
terhadap gentainisin
3.    Makrolida
Eritromisin memiliki spectrum antibakteri yang hampir sama
dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternative
penisilin. Indikasi eritremisin mencakup indikasi saluran napas,
pertusis, penyakit gionnaire dan enteritis karena kampilo bakteri
Penisilin Anti Pseudomona Pensilin Spectrum Luas (Basic
Pharmacology & Drug Notes. 2019)
1)      Eritromisin
a)    Indikasi: sebagai alternatif untuk pasien yang alergi
penisilin untuk pengobatan enteritis kampilobakter,
pneumonia, penyakit legionaire, sifilis, uretritis non
gonokokus, prostatitis kronik, akne vulgaris, dan
profilaksis difteri dan pertusis.

9
b)   Kontraindikasi: penyakit hati.
c)    Efek samping: Mual, muntah, dan diare.Untuk infeksi
ringan efek samping ini dapat dihindarkan dengan
pemberian dosis rendah.
d)   Mekanisme kerja obat: Antibiotik golongan makrolida
terikat secara reversible pada sisi P ribosom subunit 50s
dari bakteri dan dapat menghambat RNA-dependent
protein synthesis dengan cara merangsang pemutusan
peptidyl t-RNA dari ribosom. Antibiotik ini dapat bersifat
bakteriostatik maupun bakterisid, tergantung faktor
konsentrasi obat.
e)    Interaksi obat / Makanan : Jika diberikan bersamaan
dengan antasida, konstanta kecepatan      eliminasi
eritromisin dapat turun, dan berikan 2 jam sebelum atau
sesudah makan. Eritromisin estolat dan etilsuksinat, dan
eritromisin base dalam bentuk tablet lepas lambat tidak
dipengaruhi oleh makanan.
f)    Pengaturan dosis: Oral : Dewasa dan Anak di atas 8 tahun,
250-500 mg tiap 6 jam atau 0,5-1 g tiap 12 jam. Anak
sampai 2 tahun, 125 mg tiap 6 jam; 2-8 tahun 250 mg tiap
6 jam.
Infus intravena: infeksi berat pada dewasa dan anak, 50
mg/kg/hari secara infus  kontinyu atau dosis terbagi tiap 6
jam; infeksi ringan 25 mg/kg/hari bila pemberian per oral
tidak memungkinkan.
g)      Sediaan Erybiotic : 250 mg/kapsul; 500 mg/kaplet; 200
mg/5 ml sirop.
Erysanbe : 250 mg/kapsul; 500 mg/kaplet; 200 mg/5 ml
sirop kering; 200 mg/tablet kunyah.
Erythrocin : 250 mg/kapsul; 500 mg/kaplet; 250 mg/5 ml
sirop; 200 mg/tablet; 100 mg/2,5 ml sirop tetes.

10
h)      Perhatian Kehamilan: eritromisin dapat melewati plasenta
tetapi menghasilkan kadar yang rendah dalam jaringan.
Gunakan jika hanya benar-benar perlu (Kategori B).
Menyusui: eritromisin diekskresikan melalui ASI.
Meskipun demikian, belum  ditemukan adanya efek
samping pada bayi (Kategori A).
2)      Azitromisin
Indikasi: infeksi saluran napas, otitis media, infeksi
klamida daerah genital tanpa kompliasi.
3)      Klaritromisin
Indikasi : infeksi saluran napas, infeksi ringan dan
sedang pada kulit dan jaringan lunak; terapi tambahan untuk
eradikasi helicobacter pylori pada tukak
4. Sefalosforin
Sefalosforin merupakan antibiotic betalaktam yang bekerja
dengan cara menghambat sintesis dinding mikroba. Farmakologi
sefalosforin mirip dengan penisilin, ekseresi terutama melalui
ginjal dan dapat di hambat probenisid. Sefalosforin terbagi atas
Penisilin Anti Pseudomona Pensilin Spectrum Luas (Basic
Pharmacology & Drug Notes. 2019) :
1)      Sefadroksil
a.    Indikasi: infeksi baktri gram (+) dan (-)
b.    Kontra indikasi: hipersensitivitas terahadap sefalosforin,
porfiria
c.    Interaksi: sefalosforin aktif terhadap kuman garm (+) dan
(-) tetapi spectrum anti mikroba masing-masng derrivat
bervariasi.
d.   Efek samping: diare dan colitis yang disebabkan oleh
antibiotic ( penggunaan dosis tinggi) mual dan mumtah rasa
tidak enak pada saluran cerna sakit kepala, Dll
2)      Sefrozil

11
Indikasi : ISPA, eksaserbasi akut dari bronchitis kronik dan
otitis media.
3)      Sefotakzim
Indikasi : profilaksis pada pembedahan, epiglotitis karena
hemofilus, meningitis.
4)      Sefuroksim
Indikasi : profilaksis tindakan bedah, lebih aktif terhadap H.
influenzae dan N gonorrhoeae.
5)      Sefamandol
Indikasi: profilaksis pada Tindakan 1 pembedahan.
5. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik dengan spectrum luas.
Penggunaannya semakin lama semakin berkurang karena
masalah resistansi Penisilin Anti Pseudomona Pensilin Spectrum
Luas (Basic Pharmacology & Drug Notes. 2019)
Tetrasiklin terbagi atas :
1)      Tetrasiklin.
a.       Indikasi: akne vulgaris, eksaserbasi bronkitis kronis, klamidia,
mikoplasma dan riketsia,    efusi pleura karena keganasan atau
sirosis.
b.      Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap golongan tetrasiklin.
c.       Mekanisme kerja obat: tetrasiklin merupakan bakteriostatik
yang bekerja dengan mempengaruhi sintesis protein pada
tingkat ribosom. Antibiotik ini berikatan secara reversible
dengan ribosom subunit 30s dari bakteri, mencegah terjadinya
ikatan aminoacyl transfer RNA dan menghambat sintesis
protein, serta perkembangan sel. Golongan tetracycline
mempunyai aktivitas luas terhadap bakteri gram positif dan
negatif.
d.      Efek samping: Mual, muntah, diare, eritema (hentikan
pengobatan), sakit kepala dan gangguan penglihatan dapat

12
merupakan petunjuk peningkatan intrakranial, hepatotoksisitas,
pankreatitis dan kolitis.
e.        Interaksi obat / makanan: Jika diberikan bersama antasida,
garam besi, maka absorpsi dan kadar serum tetrasiklin turun.
Pengatasan: tetrasiklin diberikan 1 jam sebelum atau 2 jam
setelah antasida.
Jika diberikan bersama kontrasepsi oral maka tetrasiklin
mempengaruhi resirkulasi enterohepatik kontrasepsi steroid,
sehingga menurunkan efeknya.
Jika diminum menggunakan susu, maka tetrasiklin akan
membentuk khelat yang sulit diabsorpsi.
f.       Pengaturan dosis: Oral : 250 mg tiap 6 jam. Pada infeksi berat
dapat ditingkatkan sampai 500 mg tiap 6-8 jam
 Sifilis primer, sekunder dan laten: 500 mg tiap 6-8 jam selama
15 hari.
Uretritis non gonokokus: 500 mg tiap 6 jam selama 7-14 hari
(21 hari bila pengobatan pertama gagal atau bila kambuh).
Injeksi intra vena: 500 mg tiap 12 jam, maksimum 2 g perhari
Sediaan: Bufacyn : 250 mg/kapsul; 500 mg/kapsul; 125 mg/5
ml sirop.
Conmycin : 250 mg/kapsul; 500 mg/kapsul.
Erlacylin : 30 mg/g salep, 1 % salep mata.
Hufacyclin : 250 mg/kapsul; 250 mg/5 ml sirop.
Megacycline : 250 mg/tablet.
Sakacyclin : 250 mg/kapsul.
Super Tetra : 250 mg/kapsul lunak.
Tetradex : 250 mg/kapsul; 500 mg/kapsul.
g.      Perhatian:
Kehamilan: golongan tetrasiklin dapat melewati plasenta
dan ditemukan  dalam jaringan fetus. Dapat terjadi efek toksis
pada fetus yang berupa retardasi perkembangan tulang
(Kategori D).

13
Menyusui: tetrasiklin dapat diekskresikan melalui air susu ibu.
Penggunaan antibiotik golongan tetrasiklin selama masa
pertumbuhan gigi (dari akhir masa kehamilan sampai anak usia
8 tahun) dapat menyebabkan perubahan warna gigi (kuning,
abu-abu, coklat) yang bersifat permanen.
Antibiotik golongan tetrasiklin membentuk kompleks kalsium
yang stabil pada jaringan pembentuk tulang. 
2)      Demeklosiklin Hidroklorida
Indikasi: tetrasiklin. Lihat jugas gangguan sekresi
hormone antidiuretik
Efek samping lihat tetrasiklin. Fotositivtas lebih sering terjadi
pernah dilaporkan terjadinya diabeters indipidus nefrogenik.
3)      Doksisiklin
Indikasi: tetrasiklin.bruselosis (kombniasi dengan
tetrasiklin), sinusitis kronis , pretatitis kronis, penyakit radang
perlvis (bersama metronidazo)
4)      Oksitetrasiklin
Dosis: 250-500 mg tiap 6 jam
Oxytetracycline ( generic ) cairan Inj. 50 mg/ vial (K)
Teramycin (Pfizer Indonesia) cairan inj. 50 mg/ vial. Kapsul
250 mg (K).

2.3 Pengkajian Terapi Antibiotik


Pengkajian terapi antibiotik dapat dilakukan sebelum atau sesudah penulisan
resep, dalam rangka mengidentifikasi, mengatasi dan mencegah masalah
terkait antibiotik. Apoteker dapat memberikan rekomendasi kepada
dokter/perawat/pasien terkait masalah terapi antibiotik yang ditemukan.
Pengkajian terapi antibiotik dapat berupa :
a. Kesesuaian indikasi, pasien, jenis dan dosis rejimen antibiotik
terhadap Pedoman/Kebijakan yang telah ditetapkan,
b. Kemungkinan terjadinya ROTD, interaksi antibiotik dengan obat
lain/larutan infus/makanan-minuman,

14
c. Kemungkinan kesalahan hasil pemeriksaan laboratorium karena
pemberian antibiotik. Misalnya ampisilin, gentamisin
mempengaruhi pemeriksaan AST/ALT.
Beberapa contoh masalah terkait antibiotik yang memerlukan
kewaspadaan dalam penggunaannya :
a. Kotrimoksazol dapat menyebabkan efek samping yang serius,
seperti diskrasia darah dan reaksi kulit yang berat (Stevens
Johnson Syndrome). Oleh karena itu sebaiknya Kotrimosazol
hanya digunakan untuk Pneumonicystis Pneumonia.
b. Aminoglikosida dan Vankomisin yang bersifat nefrotoksik
harus dimonitor kadar dalam darah terutama pada pasien
dengan gangguan ginjal, bila perlu dilakukan penyesuaian dosis
rejimen.
c. Vankomisin infus sebaiknya diinfuskan secara pelan lebih dari
100 menit (kecepatan maksimum 10mg/menit) untuk
menghindari Red Man Syndrome.
d. Antibiotik topikal sebaiknya dibatasi hanya untuk penggunaan
pada mata dan telinga karena dapat menyebabkan resistensi
antibiotik dan hipersensitivitas. Jika penggunaan antibiotik 14
topikal diperlukan maka pilih antibiotik yang tidak diabsorpsi
melalui kulit (bukan antibiotik sistemik), contoh: Mupirocin.
e. Antibiotik intravena hanya digunakan bila rute oral dan rektal
tidak dapat dilakukan atau jika diinginkan kadar dalam serum
yang tinggi dalam waktu cepat. Sebagai contoh kadar puncak
metronidazol dalam darah dapat segera dicapai dengan
pemberian intravena, oral setelah 1 jam dan 3 jam setelah
diberikan rektal (Suppositoria). Semua sediaan Metronidazol
intravena, oral maupun rektal mempunyai bioavailabilitas yang
ekivalen. Infus intravena sebaiknya diberikan pelan (5
ml/menit). (Kementrian Kesehatan, 2011).

15
2.4 Obat Antibotika Pada Ibu Hamil
Antibiotika banyak digunakan secara luas pada kehamilan. Karena adanya
efek samping yang potensial bagi ibu maupun janinnya, penggunaan
antibiotika seharusnya digunakan jika terdapat indikasi yang jelas. Prinsip
utama pengobatan wanita hamil dengan penyakit adalah dengan memikirkan
pengobatan apakah yang tepat jika wanita tersebut tidak dalam keadaan hamil.
Biasanya terdapat berbagai macam pilihan, dan untuk alasan inilah prinsip
yang kedua adalah mengevaluasi keamanan obat bagi ibu dan janinnya.
Kehamilan akan mempengaruhi pemilihan antibiotik. Umumnya penisilin
dan sefalosporin dianggap sebagai preparat pilihan pertama pada kehamilan,
karena pemberian sebagian besar antibiotik lainnya berkaitan dengan
peningkatan risiko malformasi pada janin. Bagi beberapa obat antibiotik,
seperti eritromisin, risiko tersebut rendah dan kadang-kadang setiap risiko
pada janin harus dipertimbangkan terhadap keseriusan infeksi pada ibu.
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal ini
terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat
mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui plasenta. Antibiotika yang
demikian itu disebut teratogen suatu obat atau zat yang menyebabkan
pertumbuhan janin yang abnormal. Pada manusia, periode terjadinya
teratogenesis adalah mulai hari ke 17 sampai hari ke 54 post konsepsi.
Besarnya reaksi toksik atau kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika
dipengaruhi oleh :
a.       Besarnya dosis yang diberikan.
b.      Lama dan saat pemberian.
c.       Sifat genetik ibu dan janin.
d.      Jenis antibiotik.
e.       Trimester kehamilan.
Durasi penggunaan obat merupakan faktor penting untuk diingat. Penggunaan
antibiotik dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan kecacatan pada janin
dan dalam kasus yang lebih buruk bisa menyebabkan keguguran. Pasalnya,
beberapa jenis antibiotik lebih aman digunakan pada trimester tertentu.

16
Untuk keadaan hamil, apalagi masih dalam trimester ketiga, pemberian
antibiotik bisa sangat membahayakan janin, karena hampir semua antibiotik
memberikan efek samping mual, muntah, pusing dan gangguan sistem
pencernaan. Efek-efek samping yang ditimbulkan juga akan menekan
kehamilan. Bahkan ada antibiotik yang bisa menembus sampai ke sistem
kelenjar / cairan, seperti liur, kelenjar getah bening, cairan otak dan ASI. Jika
pada masa menyusui minum antibiotik, maka obat akan merembes di ASI dan
bayi akan minum ASI bercampur obat.
Namun bukan berarti ibu hamil dan menyusui tidak boleh minum obat
antibiotik, harus hati-hati dan perhatikan petunjuk dokter tentang cara
pemakaiannya.
Penisilin merupakan obat-obatan yang paling umum digunakan selama
kehamilan. Antibiotik ini dipasarkan dengan beberapa nama seperti
cephradine, cefalexin, cefuroxime, cefaclor, dan lain-lain. Obat yang umum
digunakan ini mengandung cloxacillin, amxycillin, dan methicillin. Obat-
obatan ini dinyatakan aman selama kehamilan.Berikut beberapa contoh
antibiotik yang dinyatakan aman digunakan  selama kehamilan:
1)      Amoxicillin
2)      Ampicillin
3)      Clindamycin
4)      Erythromycin
5)      Penicillin
Berdasarkan indeks keamanan obat pada kehamilan menurut United States
Food and Drug Administration (US FDA), klasifikasi obat berdasarkan tingkat
keamanan penggunaannya selama kehamilan  dibagi dalam lima kategori.
Lima kategori tersebut terdiri dari A, B, C, D, dan X, dengan urutan yang
paling aman hingga paling berbahaya.
Pada ibu hamil, penggunaan antibiotik dapat dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu:
1.    Antibiotik yang dianggap aman
Kenyataannya amat jarang obat yang termasuk kategori A, bahkan vitamin
pun tergolong kategori B.

17
Beberapa golongan antibiotik kategori A:
a. Golongan Penisilin dengan ikatan protein rendah mampu melintasi
plasenta dengan mudah dan dianggap aman untuk digunakan namun
beberapa golongan Metiltetrazoletiol harus digunakan lebih hati-hati.
b. Golongan Makrolid tidak menunjukkan efek samping yang berbahaya
untuk janin, tetapi tetap diperhatikan kontraindikasi pada kehamilan.
c. Golongan Nitrofurantion dan metronidazol juga dapat dianggap aman
2.    Antibiotik yang harus digunakaan hati-hati
Obat yang termasuk kelompok ini hanya boleh digunakan dalam kondisi
tertentu yang sangat diperlukan. Golongan antibiotik B diantaranya
adalah Fluorokuinolon, Kontrimoksazol, dan Kloramfenikol. Pada
Kloramfenikol sebaiknya tidak digunakan selama kehamilan, kecuali
bila obat lain yang lebih aman tidak bisa digunakan. 
3.    Antibiotik yang merupakan kontraindikasi
Antibiotik yang termasuk dalam golongan C adalah Tetrasiklin dan
Aminoglikosida. Tetrasiklin bila diberikan pada periode
perkembangan tulang dan gigi (bulan keempat dan kelima gestasi)
menimbulkan yellow dyscoloration yang akan mempengaruhi gigi
dan tulang yang sedang dibentuk.  Sedangkan Aminoglikosida harus
digunakan secara hati-hati pada trimester kedua.
Adapun beberapa golongan antibiotic yang memerlukan perhatian khusus
bagi ibu hamil adalah:
1)      Golongan Aminoglikosida (biasanya dalam turunan garam sulfate-
nya), seperti amikacin sulfate, tobramycin sulfate, dibekacin sulfate,
gentamycin sulfate, kanamycin sulfate, dan netilmicin sulfate.
2)      Golongan Sefalosporin, seperti : cefuroxime acetyl, cefotiam diHCl,
cefotaxime Na, cefoperazone Na, ceftriaxone Na, cefazolin Na,
cefaclor dan turunan garam monohydrate-nya, cephadrine, dan
ceftizoxime Na.
3)      Golongan Chloramfenicol, seperti : chloramfenicol, dan
thiamfenicol.

18
4)      Golongan Makrolid, seperti : clarithomycin,
roxirhromycin, erythromycin, spiramycin, dan
azithromycin
5)      Golongan Penicillin, seperti : amoxicillin, turunan
tridydrate dan turunan garamnya.
6)      Golongan Kuinolon, seperti : ciprofloxacin dan turunan
garam HCl-nya, ofloxacin, sparfloxacin dan norfloxacin.
7)      Golongan Tetracyclin, seperti : doxycycline, tetracyclin
dan turunan HCl-nya (tidak boleh untuk wanita hamil),
dan oxytetracylin (tidak boleh untuk wanita hamil).

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian


obat pada ibu hamil adalah:
1)      Keamanan : meski ada obat lain yang efektivitasnya lebih
baik, tapi jika keamanannya  bagi ibu hamil belum
diketahui, lebih baik tidak diberikan.
2)      Dosis : pada awalnya pemberian obat harus dalam dosis
rendah. Jika perlu, penambahan dosis diberikan sedikit
demi sedikit sampai tercapai efek terapi yang diinginkan.
3)      Durasi pemberian : jika tidak diperlukan sekali,
pemberian obat tidak boleh terlalu lama. Sampai akhirnya,
pemberian bermacam obat sedapat mungkin dihindari
demi keselamatan ibu dan bayinya
4)      Jenis dan cara kerja obat sebagai bahan pertimbangan
sebelum diberikan kepada ibu hamil.

2.5 Resistensi Obat Golongan Antibiotika


Bakteri dikatakan resisten bila pertumbuhannya tidak dapat dihambat
oleh antibiotika pada kadar maksimum yang dapat ditolerir oleh pejamu.
Misalnya, organisme gram negatif resisten terhadap vankomisin. Namun
demikian, Spesies mikroba yang secara normal memberikan respons terhadap
obat tertentu mungkin menyebabkan berkembangnya strain yang resisten

19
(Desrini, 2015). Banyak organisme telah diadaptasi melalui mutasi spontan
atau membutuhkan resistensi dan seleksi, dan berkembang menjadi strain
yang lebih ganas serta kebanyakan dari oeganisme ini resisten terhadap
antibiotik multipel. Munculnya strain resisten tersebut telah dijelaskan karena
penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan tidak hati-hati pada keadaan
yang mungkin dapat sembuh tanpa pengobatan atau pada keadaan yang tidak
membutuhkan antibiotikka misalnya, batuk-pilek. (Gellaty, 2013)
A. Perubahan genetik yang menyebabkan resistensi obat.
Resistensi berkembang akibat kemampuan DNA; mengalami
mutasi spontan, atau bergerak dari suatu organisme ke organisme lain
(Desrini, 2015) :
1. Mutasi spontan DNA : hasil mutasi mungkin menetap, dapat dikoreksi,
atau dapat bersifat letal terhadap sel. Namun demikian, bila sel tersebut
dapat hidup, sel tersebut mungkin bereplikasi dan mentransmiisikan sifat-
sifat pada sel anaknya sehingga timbul strain yang resisten, yang mungkin
berproliferasi pada keadaan tekanan selektif tertentu. Sebagai contoh :
adalah munculnya strain Mycobacterium tuberculosis yang resisiten
terhadap rifampin digunakan secara tunggal.
2. Mutasi obat karena transfer DNA : salah satu perhatian dalam
masalah di klinik yaitu resisten yang disebabkan transfer DNA
dari satu organisme ke organisme lain. ciri-ciri resistensi
biasanya ditandai dalam faktor R ekstrakromosomal. Faktor-
faktor ini akan masuk ke dalam sel melalui proses seperti
transduksi, transformasi, atau yang lebih penting yaitu
penggabungan bakteri.
B. Perubahan ekspresi protein
Resistensi obat mungki n terjjadi karena beberapa mekanisme
seperti kurangnya atau perubahan pada tempat target, rendah nya
penetrasi obat karena menurunnya permeabilitas, atau meningkatnya
efluks atau adanya enzim-enzim yang menginaktifkan antibiotika
(Nurmala, 2015).

20
1. Modifikasi tempat target : perubahan tempat target melalui mutasi dapat
menimbulkan resistensi seperti yang terjadi dengan pengikatan protein
oleh penisilin pada S.aureus yang resiisten terhadap metisilin, atau enzim
dihidrofolat reduktase yang kurang sensitif dalam menghambat
organisme yang resisten terhadap trimetoprim
2. Menurunnya akumulasi : menurunnya penetrasi antibiotika dapat
melindungi organisme karena obat tersebut tidak mampu mendapatkan
jalan ke tempat target yang disebabkan adanya sistem efluks yang
memompa obat keluar (tetrasiklin, primakuin).
3. Inaktivasi oleh enzim : kemampuan menghancuran atau
menginaktifkan antimikroba juga dapat menimbulkan resistensi.
Misalnya beta laktamase menghancurkan banyak penisilin dan
sefaloporin dan asetiltranferase dapat merubah kloramfenikol
menjadi benutk yang tidak aktif.
Strategi Pengendalian Resistensi Antimikroba dilakukan dengan cara :
a. mengendalikan berkembangnya mikroba resisten akibat tekanan
seleksi oleh antibiotik, melalui penggunaan antibiotik secara bijak,
Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan melalui :
a) Peningkatkan pemahaman dan ketaatan staf medis fungsional
dan tenaga kesehatan dalam penggunaan antibiotiK
b) meningkatkan peranan pemangku kepentingan di bidang
penanganan penyakit infeksi dan penggunaan antibiotic
c) mengembangkan dan meningkatkan fungsi laboratorium
mikrobiologi klinik dan laboratorium penunjang lainnya yang
berkaitan dengan penanganan penyakit infeksi;
d) meningkatkan pelayanan farmasi klinik dalam memantau
penggunaan antibiotik;
e) meningkatkan pelayanan farmakologi klinik dalam memandu
penggunaan antibiotik;
f) meningkatkan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin
dan terpadu;

21
g) melaksanakan surveilans pola penggunaan antibiotik, serta
melaporkannya secara berkala;
h) melaksanakan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan
kepekaannya terhadap antibiotik, serta melaporkannya secara
berkala.
b. Mencegah penyebaran mikroba resisten melalui peningkatan ketaatan
terhadap prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi dilakukan
melalui upaya peningkatan kewaspadaan standar, pelaksanaan
kewaspadaan transmisi, penanganan kejadian luar biasa mikroba
resisten (Kementrian kesehatan, 2015).

2.6 Tujuan Pemberian Antibiotik Profilaksis


Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk
mengurangi insidensi infeksi luka pasca bedah. Profilaksis merupakan
prosedur yang berhubungan dengan angka infeksi yang tinggi. Antibiotik
sebaiknya dapat menutupi organisme yang paling mungkin akan
mengkontaminasi dan akan berada di jaringan pada saat dilakukan insisi awal.
Antibiotik profilaksis dibutuhkan dalam keadaan – keadaan berikut :
a. Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu.
b. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup
jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan
resiko bakteremia, misalnya ekstrasi gigi, pembedahan dan lain – lain.
c. Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu
yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila
terjadi infeksi pasca bedah.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat memberikan manfaat yaitu :
a. Penurunan angka kejadian infeksi pasca bedah
b. Penurunan jumlah flora pathogen penyebab infeksi.
c. Penurunan morbiditas baik jangka panjang maupun jangka pendek.
d. Pengurangan biaya dan lamanya rawat inap di rumah sakit
e. Terhindarinya pembentukan resistensi antibiotik serta peningkatan
kondisi pasien.

22
f. Kualitas hidup pasien pasca operasi. Penggunaan antibiotik merupakan
sejarah dalam upaya mencegah luka infeksi.
(Kementrian kesehatan RI, 2011)

23
BAB III
PERAN APOTEKER DALAM RESISTENSI ANTIBIOTIK

3.1 Peran Apoteker Dalam Pengendalian Resistensi Antibiotik

Pengendalian resistensi antibiotik memerlukan kolaborasi berbagai profesi


kesehatan antara lain Dokter, Ahli Mikrobiologi, Perawat dan Apoteker.
Program pengendalian resistensi antibiotik bertujuan (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2011)
a. Menekan resistensi antibiotik
b. Mencegah toksisitas akibat penggunaan antibiotik
c. Menurunkan biaya akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak
d. Menurunkan risiko infeksi nosokomial.
Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan tujuan tercapainya hasil terapi yang
optimal pada pasien dengan penyakit infeksi dan menurunkan risiko transmisi
infeksi pada pasien lain atau tenaga kesehatan. Peran penting apoteker yang
terlatih dalam penyakit infeksi untuk mengendalikan resistensi antibiotik dapat
dilakukan melalui (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) :
a. Upaya mendorong penggunaan antibiotik secara bijak
Meningkatkan kerjasama multidisiplin untuk menjamin bahwa
penggunaan antibiotik profilaksis, empiris dan definitif memberikan hasil
terapi yang optimal. Kegiatan ini mencakup penyusunan kebijakan dan
prosedur, misalnya restriksi penggunaan antibiotik, saving penggunaan
antibiotik, penggantian terapi antibiotik, pedoman penggunaan antibiotik
maupun kegiatan selama perawatan pasien penyakit infeksi. Kegiatan
terkait perawatan pasien penyakit infeksi misalnya pemilihan antibioti k
yang tepat, mempertimbangkan pola kuman setempat, optimalisasi dosis,
pemberian antibiotik sedini mungkin pada pasien dengan indikasi
infeksi, de-eskalasi, pemantauan terapi antibiotik.
b. Menurunkan transmisi infeksi melalui keterlibatan aktif dalam Komite
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

24
c. Memberikan edukasi kepada tenagakesehatan, pasien dan masyarakat
tentangpenyakit infeksi dan penggunaan antibiotik yang bijak.

3.2 Prinsip Pencegahan Penyebaran Mikroba Resisten


Pencegahan penyebaran mikroba resisten dilakukan melalui upaya
Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI). Pasien yang terinfeksi atau
membawa koloni mikroba resisten dapat menyebarkan mikroba tersebut ke
lingkungan, sehingga perlu dilakukan upaya membatasi terjadinya transmisi
mikroba tersebut, terdiri dari 4 (empat) upaya berikut ini (Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2015) :
1. Meningkatkan kewaspadaan standar (standard precaution), meliputi:
a. kebersihan tangan
b. alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata
pelindung), face shield (pelindung wajah), dan gaun
c. dekontaminasi peralatan perawatan pasien
d. pengendalian lingkungan
e. penatalaksanaan linen
f. perlindungan petugas kesehatan
g. penempatan pasien
h. hygiene respirasi/etika batuk
i. praktek menyuntik yang aman
j. praktek yang aman untuk lumbal punksi
2. Melaksanakan kewaspadaan transmisi Jenis kewaspadaan transmisi meliputi:
a. Melalui kontak
b. Melalui droplet
c. Melalui udara (airborne)
d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)
e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)
Pada kewaspadaaan transmisi, pasien ditempatkan di ruang terpisah. Bila tidak
memungkinkan, maka dilakukan cohorting yaitu merawat beberapa pasien
dengan pola penyebab infeksi yang sama dalam satu ruangan.

25
3. Dekolonisasi Dekolonisasi adalah tindakan menghilangkan koloni mikroba
multiresisten pada individu pengidap (carrier). Contoh: pemberian mupirosin
topikal pada carrier MRSA.
4. Tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten atau
Multidrug-Resistant Organisms (MDRO) seperti Methicillin Resistant
Staphylococcus Aureus (MRSA), bakteri penghasil Extended Spectrum Beta-
Lactamase (ESBL), atau mikroba multiresisten yang lain. Apabila ditemukan
mikroba multiresisten sebagai penyebab infeksi, maka laboratorium mikrobiologi
segera melaporkan kepada tim PPI dan dokter penanggung jawab pasien, agar
segera dilakukan tindakan untuk membatasi penyebaran strain mikroba
multiresisten tersebut. Penanganan KLB mikroba multiresisten dilakukan berdasar
prinsip berikut ini.
1) Mikroba multiresisten adalah mikroba yang resisten terhadap paling
sedikit 3 kelas antibiotik.
2) Indikator pengamatan:
a. Angka MRSA
Penghitungan berpedoman pada rumus berikut ini:

Jumlahisolat MRS A
angka MRSA X 100 %
Jumlah isolat SA+ isolat MRSA

b. Angka mikroba penghasil ESBL


Penghitungan berpedoman pada rumus berikut ini:

Jumlahisolat ESBL
angka ESBL X 100 %
Jumlah isolat bakteri non−ESBL+ bakteri ESBL
Contoh: Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL
jumlah K . pneumoniae ESBL
angka ESBL X 100 %
Jumlah K . pneumoniae non−ESBL+ K . pneumoniae ESBL

c. Angka mikroba multiresisten lain dihitung dengan rumus yang sama


dengan poin d. Selain indikator di atas, rumah sakit dapat menetapkan
indikator KLB sesuai dengan kejadian setempat.

26
e. Untuk bisa mengenali indikator tersebut, perlu dilakukan surveilans dan
kerja sama dengan laboratorium mikrobiologi klinik.
3) Upaya menekan mikroba multiresisten, dilakukan baik ketika tidak ada KLB
maupun ketika terjadi KLB.
a. Jika tidak ada KLB, maka pengendalian mikroba multiresisten dilakukan
dengan dua cara utama, yakni:
 meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak, baik melalui
kebijakan manajerial maupun kebijakan profesional.
 meningkatkan kewaspadaan standar
b. Jika ada KLB mikroba multiresisten, maka dilakukan usaha penanganan KLB
mikroba multiresisten sebagai berikut.
 Menetapkan sumber penyebaran, baik sumber insidental (point source)
maupun sumber menetap (continuous sources).
 Menetapkan modus transmisi
 Tindakan penanganan KLB, yang meliputi: membersihkan atau
menghilangkan sumber KLB, meningkatkan kewaspadaan baku, isolasi
atau tindakan sejenis dapat diterapkan pada penderita yang terkolonisasi
atau menderita infeksi akibat mikroba multiresisten; pada MRSA
biasanya dilakukan juga pembersihan kolonisasi pada penderita sesuai
dengan pedoman dan pada keadaan tertentu ruang rawat dapat ditutup
sementara serta dibersihkan dan didisinfeksi. Tindakan tersebut di atas
sangat dipengaruhi oleh sumber dan pola penyebaran mikroba
multiresisten yang bersangkutan.

27
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Antibiotika ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi,


yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi jenis mikroba lain.
Penggunaan antibiotik yang cukup tinggi dan kurang bijak akan
meningkatkan kejadian resistensi yang dapat memberikan dampak terhadap
peningkatan morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan. Oleh karena itu
dibutuhkan peran apoteker serta tenaga medis lainya dalam memberikan
terapi seta penanganan yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

4.2 Saran
Adapun saran yang perlu diperhatikan yaitu sebagai apoteker perlu adanya
penyampaian Kepada masyarakat tentang penggunaan antibiotika secara
bebas tanpa resep dokter dan Kepada tenaga medis yang menangani pasien –
pasien agar dapat memberikan terapi antibiotik secara rasional.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah N.A., Tolba, S.M.& Hatem, D.M., 2012,SelectiveIsolation


ofRareActinomycetesfromDifferentTypes ofEgyptian Soil,The Egyptian
Society of Experimental Biology, 8(2), 175–182
Basic Pharmacology & Drug Notes. 2019.

DesriniS., 2015,Resistensi Antibiotik, Akankah Dapat Dikendalikan ?,JKKI,6(4),


5–7.

Gellatly S.L. and Hancock R.E.W., 2013,Pseudomonas aeruginosa : New Insights


IntoPathogenesis and Host Defenses, Pathogens and Disease, 67, 159–173.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011. Pedoman Pelayanan


Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik

Nugroho, Agung Endro., 2012, Farmakologi Obat-Obat Penting dalam


Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Nurmala, VirgiandhyI.G.N. and Liana D., 2015,Resistensi dan Sensitivitas
Bakteri terhadap Antibiotik di RSU dr. Soedarso Pontianak Tahun 2011-
2013, eJKI, 3(1),21-28.

Priyanto, 2008, Farmakologi Untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan,


Leskomfi, Depok.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015. Tentang
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba Di Rumah Sakit

29

Anda mungkin juga menyukai