Anda di halaman 1dari 5

Kristiawan, Muhammad.

"Telaah Revolusi Mental dan Pendidikan Karakter dalam Pembentukkan


Sumber Daya Manusia Indonesia Yang Pandai dan Berakhlak Mulia." Ta'dib18.1 (2016): 13-25.

Pelatihan berpikir positif

a. Definisi Berpikir Positif


Elfiky menyebutkan bahwa proses berpikir berkaitan erat dengan konsentrasi, perasaan,
sikap, dan perilaku. Berpikir positif dapat dideskripsikan sebagai suatu cara berpikir
yang lebih menekankan pada sudut pandang dan emosi yang positif, baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun situasi yang dihadapi (Elfiky, 2008, h.269). Pelatihan
berpikir positif dapat diidentifikasikan sebagai pelatihan yang menekankan suatu cara
berpikir yang lebih menekankan pada sudut pandang dan emosi yang positif, baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun situasi yang dihadapi.

b. Manfaat Berpikir Positif


Peneliltian terhadap efek berpikir positif mulai dikembangkan oleh para pakar
psikologi positif saat ini. Penelitian Herabadi (2007, h.23) juga membuktikan adanya
hubungan kebiasaan berpikir secara negatif dengan rendahnya harga diri. Berpikir
positif juga membuat individu mampu bertahan dalam situasi yang rawan distres
(Brissette dkk. dalam Kivimaki dkk, 2005, h.413). Selain itu, Fordyce (dalam Seligman
dkk, 2005, h. 419) juga menemukan bahwa kondisi psikologis yang positif pada diri
individu dapat meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan beragam masalah dan
tugas. Berpikir positif juga membantu seseorang dalam memberikan sugesti positif
pada diri saat menghadapi kegagalan, saat berperilaku tertentu, dan membangkitkan
motivasi (Hill & Ritt, 2004, h. 175).
c. Ciri-ciri individu yang berpikir positif Individu yang cenderung berpikir
positif dapat dideteksi melalui beberapa kriteria. Pertama, percaya pada kuasa
Tuhan Yang MahaEsa. Kedua,selalu menjauh dari perilaku negatif
seperti berbohong, menggunjing, mengadu
domba, dan sebagainya. Ketiga, memiliki cara pandang, tujuan, dan alasan
menginginkan sesuatu, kapan, serta bagaimana cara mendapatkannya dengan
mengerahkan seluruh potensi serta kemungkinan yang ada. Keempat, memiliki
keyakinan dan proyeksi tentang sesuatu secara positif. Kelima, selalu mencari
jalan keluar dari berbagai masalah yang dihadapi. Keenam, belajar dari masalah dan
kesulitan. Ketujuh, tidak membiarkan masalah atau kesulitan mepengaruhi hidupnya.
Kedelapan, memiliki rasa percaya diri, menyukai perubahan,
dan berani menghadapi tantangan. Kesembilan, hidup dengan
cita-cita, perjuangan, dan kesabaran. Terakhir, pandai bergaul dan suka
membantu orang lain.

d. Pelatihan berpikir positif


Pelatihan berpikir positif merupakan salah satu pengembangan atas model kognitif
transpersonal. elatihan berpikir positif dalam penelitian ini dikembangkan dari model
pendekatan berpikir positif Elfiky (2008) yang dikombinasikan dengan beberapa
pendekatan psikologi, yaitu anchor, relaksasi, visualisasi, dan afirmasi. Pelatihan
berpikir positif didasarkan pada asumsi bahwa manusia memiliki kesanggupan untuk
berpikir, maka manusia mampu untuk melatih dirinya sendiri untuk mengubah atau
menghapus keyakinan yang merusak dirinya sendiri (Ellis dalam Corey, 2007, h.243).

e. Komponen-komponen pelatihan berpikir positif


Pelatihan berpikir positif dirancang berdasarkan model berpikir positif Elfiky (2008)
yang dikolaborasikan dengan beberapa pendekatan lain sebagai pelengkap.
Pelaksanaan pelatihan ini terdiri dari tiga kali pertemuan. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk
meningkatkan efikasi diri akademik mahasiswa. Pelatihan berpikir positif juga tidak hanya
sekedar menekankan pada level kognitif saja, tetapi juga pada level emosi, dimana menurut
Elfiky level kognitif individu selalu berkaitan secara simultan terhadap level emosional individu
tersebut. Setiap sesi dalam tiap pertemuan memiliki tujuan terhadap sumber-sumber efikasi diri
akademik mahasiswa, yaitu pengalaman tentang penguasaan, pemodelan sosial, persuasi sosial,
dan kondisi fisik-emosional (dalam Feist & Feist, 2006, h.416-418)

Risa, Nurma. "Analisis Sensitivitas Etis Mahasiswa Universitas Islam’45 Bekasi." JRAK (Jurnal
Riset Akuntansi dan Komputerisasi Akuntansi) 2.1 (2011): 56-71.

2.1 Pengertian Etika

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1995) mendefinisikan etika sebagai ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Menurut Keraf (1998 :
14), etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti ‘adat
istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Yang dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasan hidup yang
baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat.”

Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa etika dapat pula diartikan sebagai sopan santun atau tatanan
moral dalam suatu profesi atau jabatan etik yang telah disepakati bersama untuk anggota suatu
profesi, atau biasa yang disebut sebagai kode etik profesi. Akhirnya dapat disimpulkan etika
profesi berhubungan dengan kebebasan disiplin pribadi dan integritas moral dari orang yang
ahli.

2.2 Sensitivitas Etis

Keputusan atau tindakan yang berkaitan dengan masalah moral harus mempunyai konsekuensi
untuk yang lain dan harus melibatkan pilihan atau kerelaan memilih dari sang pembuat
keputusan. Definisi ini jadi memiliki pengertian yang luas, karena keputusan seringkali memiliki
konsekuensi bagi pihak lain dan kerelaan untuk memilih hampir selalu merupakan pemberian,
walaupun pilihan-pilihan itu seringkali memiliki risiko yang berat. Suatu keputusan dapat dinilai
dari segi moral jika pada saat keputusan itu dibuat dengan memperhitungkan atau memasukkan
nilai-nilai moral (Jones, 1991,seperti dikutip rianto, 2006).

Sensitivitas etis merupakan kemampuan mahasiswa akuntansi untuk menyadari nilai-nilai etika
atau moral dalam suatu keputusan etis (Rustiana, 2003). Sensitivitas etis dalam penelitian ini
dikaitkan dengan kegiatan akademis mahasiswa selama dalam proses belajar mengajar serta
direfleksikan dalam tindakan akademis yang berdampak pada perilaku etis. Ratdke (2000)
seperti dikutip Rustiana (2003) mengemukakan bahwa sensitivitas etis merupakan gambaran
atau proksi dari tindakan etis mahasiswa setelah lulus. Sensitivitas merupakan ciri-ciri tindakan
yang mendeteksi kemungkinan lulusan berperilaku etis. Apabila sebagai calon sarjana ekonomi,
mahasiswa berperilaku tidak etis maka kemungkinan setelah lulus akan berperilaku tidak etis.
Hal ini perlu dideteksi seJak awal sebagai langkag awal untuk mencegah perilaku tidak etis
melalui cakupan atau muatan kurikulum etika dalam perkuliahan.

Keputusan etika menjadi rumit untuk dinilai terutama karena peraturan-peraturan yang ada tida
secara sempurna dapat menjadi sarana terwujudnya keputusan yang etis. Keadaan yang bias ini
seringkali menjadi pemicu adanya masalah-masalah etika.
2.3 Dilema Etika

Dilema etika dikondisikan dalam kehidupan sehari-hari seseorang dihadapkan pada situasi
dimana terjadi pertentangan batin yang disebabkan ia mengerti bahwa keputusan yang
diambilnya salah (aren & Loebbecke, 2000).

Untuk menghindari dilema etika ini ada sesuatu pendekatan yang dapat digunakan sebagai
pegangan untuk memecahkan dilema etika. Ada enam langkah yang dapat digunakan dalam
menghindari dilema etika (Aren & Loebbecke, 2000) yaitu :

a. Dapatkan fakta-fakta yang relevan,

b. Identifikasi isu-isu etika dari fakta yang ada,

c. Tentukan siapa-siapa dan bagaimana orang atau kelompo dipengaruhi oleh dilema,

d. Identifikasikan alternatif yang tersedia bagi orang yang harus memecahkan dilema,

e. Identifikasikan konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif,

f. Putuskan tindakan yang tepat.

Dengan adanya pedoman ini diharapkan agar individu mudah dalam mengambil keputusan yang
paling tepat jika sedang menghadapi dilema etika. Setiap organisasi memiliki kode etik atau
peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dalam membuat keputusan yang layak
dipertanggungjawabkan sebagai keputusan etis. Pengambilan keputusan adalah proses memilih
suatua alternatif cara bertinfak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi. Dari definisi
ini jelas terlihat bahwa sebelum keoutusan itu ditetapkan diperlukan pertimbangan menyeluruh
tentang kemungkinan konsekuensi yang bisa timbul yang disebabkan oleh keputusan yang
diambil mungkin saja hanya memuaskan satu kelompok saja atau sebagian orang saja. Tetapi jika
memperhatikan konsekuensi dari suatu keputusan, hampir dapat dikatakan bahwa tidak akan
ada satu pun keputusan yang akan dapat menyenangkan semua orang atau kelompok.

Mengutip Rianto (2008), ada tiga definisi dalam memahami model-model dalam pembuatan
keputusan- keputusan etis, yaitu :

1. Isu moral (morall issue).

Isu moral akan timbul pada saat ada tindakan seseorang yang mungkin dapat merugikan atau
menguntungkan orang lain atau dengan kata lain tindakan atau keputusan pasti memiliki
konseluensi- konsekuensi terhadap orang lain dan pasti melibatkan suatu pilihan atau kemauan
dari si pembuat keputusan.

2. Agen moral (moral agent)

Agen moral adalah orang yang membuat keputusan moral walaupun mungkin orang tersebut
tidak mengenali isu moral tersebut. Pengertian agen moral ini sangat penting karena elemen
pokok dari pengambilan keputusan moral terlibat disini yaitu mengenai isu moral yang ada.

3. Keputusan etis (ethical decision)

Keputusan etis merupakan keputusan yang baik secara moral maupun legal diterima dalam
masyarakat luas. Jones (1991) dalam Rustiana (2003) mengklarifikasi model keputusan etis, yaitu
:

1. Rest’s Model. Dalam model ini terdapat empat komponen untuk membuat keputusan
etis oleh individu, dimana seorang agen moral dalam membuat keputusan harus mengenali isu
moral yang ada, membuat penilaian moral, memutuskan untuk menempatkan perhatiannya
terhadap masalah-masalah moral diatas masalah yang lain (membentuk pandangan moral atau
moral intent), dan bertindak terhadap masalah- masalah moral yang ada.
2. Trevino’s Model, sebagai person situation interactional model. Dalam hal ini diawali
dengan adanya dilema etika yang kemudian berlanjut ke tahap kesadaran. Penilaian moral
dibuat ditahap kesadaran ini yang kemudian dikembangkan oleh faktor-faktor individu situasi.
Faktor individu meliputi kekuatan ego, ketergantungan lapangan dan kedudukan kendali.
Sedangkan yang termasuk faktor situasi meliputi konteks tugas segera, kultur organisasi dan
karakteristik dari pekerjaan.

3. Ferrel & Gresham’s Model, dengan membuat sebuah kerangka kerja kontigen untuk
membuat keputusan etis dalam pemasaran. Dalam model ini dilema etika muncul dari
lingkungan sosial atau budaya. Keputusan yang dihasilkan dari proses ini, pertama menunjukkan
pada perilaku yang selanjutnya ke tahap evaluasi dari perilaku yang kemudian merupakan titik
awal dari umpan balik terhadap faktor-faktor individu dan organisasi.

4. Hunt’s & Vitel Model, dimana daktor lingkungan seperti budaya, industri, organisasi dan
pengalaman seseorang mempengaruhi perseppsi terhadap keberadaan etis problem, alternatif
tindakan dan konsekuensinya.

5. Dubinsky and Loken’s Model, yang mendasarkan pada teori tindakan beralasan dari
Fishbein & Ajzen. Mmodel ini diawali dengan perilaku umum, hasil evaluasi, nirma yang berlaku
dan motivasi untuk menyetujui. Dua variabel pertama berpengaruh pada sikap etis dan perilaku
tidak etis. Dua variabel yang terkahir berpengaruh pada norma subjektif perilaku etis dan tidak
etis.

6. Issue Contingency Model. Argumen utamanya ialah pembuatan etika merupakan hal
yang kondisional, yaitu tergantung atau sesuai dengan karakteristik dari masalah moral itu, yang
secara keseluruhan disebut intensitas moral. Intensitas moral ini menjadi penentu yang utama
dari model pembuatan keputusan dan perilaku etis.

Gunawan, Imam, Selly Nurina Suraya, and Dewi Tryanasari. "HUBUNGAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KREATIF DAN KRITIS DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PADA
MATAKULIAH KONSEP SAINS II PRODI PGSD IKIP PGRI MADIUN." Premiere Educandum:
Jurnal Pendidikan Dasar dan Pembelajaran 4.01 (2016).

1. Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif


Berdasarkan hasil analisis data didapatkan mean variabel kemampuan
berpikir kreatif adalah 10,94 dengan simpangan baku 7,296. Perolehan skor berpikir
kreatif dalam persentase adalah sebesar 39,07% dari total skor ideal sehingga dapat
disimpulkan bahwa tingkat kemampuan berpikir kreatif mahasiswa masih kurang.
Hasil penelitian ini mendukung pendapat On (2000) yang menyatakan bahwa
pembelajaran Matakuliah Konsep Sains II hanya menekankan proses pemahaman
fenomena alam saja yakni proses deduktif, padahal pada kenyataannya Matakuliah
Konsep Sains II merupakan ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar fakta,
memerlukan verifikasi, dan memiliki keterbatasan validitas.
Lebih lanjut On menyatakan bahwa dalam pembelajaran Matakuliah
Konsep Sains II mahasiswa diajarkan terlatih menurunkan rumus, sebaliknya tidak
diberi ruang untuk melatih melakukan generalisasi, abstraksi, atau idealisasi dari
fakta atau fenomena alam untuk merumuskan suatu model teori. Padahal, dengan
melakukan generalisasi inilah tumbuh kreativitas anak dalam melihat fenomena
alam. Hasil penelitian ini memberikan bukti hasil studi observasi yang
menunjukkan bahwa mahasiswa belum mendapatkan kegiatan pembelajaran
Matakuliah Konsep Sains II yang mengintegrasikan kemampuan berpikir kreatif.

2. Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis


Berdasarkan hasil analisis data didapatkan mean variabel kemampuan
berpikir kritis adalah 19,15 dengan simpangan baku 11,611. Perolehan skor berpikir
kreatif dalam persentase adalah sebesar 31,92% dari total skor ideal sehingga dapat
disimpulkan bahwa tingkat kemampuan berpikir kritis mahasiswa masih rendah.
Persentase ini juga lebih rendah daripada variabel kemampuan berpikir kreatif.
Kesulitan mahasiswa dalam memanfaatkan kemampuan berpikir kritis ini
sejalan dengan Rahmawati (2008) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia
ini belum mengarahkan pada kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis.

Mahasiswa terbiasa mendengarkan penjelasan dosen di kelas, mencatat, dan


membawa pekerjaan rumah setelah pulang dari kuliah. Mahasiswa tidak terbiasa
mengemukakan pendapat kritis terhadap suatu permasalahan yang dihadapi. Hal
ini akan menyebabkan mahasiswa mengalami kesulitan dalam menghadapi
permasalahan setelah mahasiswa keluar dari lingkungan kampus dan terjun ke
dalam masyarakat.

3. Tingkat Prestasi Belajar Matakuliah Konsep Sains II


Berdasarkan hasil analisis data didapatkan mean variabel prestasi belajar
Matakuliah Konsep Sains II adalah 3,79 dengan simpangan baku 2,167. Perolehan
skor prestasi belajar Matakuliah Konsep Sains II dalam persentase adalah sebesar
31,58% dari total skor ideal sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat prestasi
belajar mahasiswa Matakuliah Konsep Sains II masih rendah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa materi Matakuliah Konsep Sains
II belum begitu bermakna bagi mahasiswa. Mahasiswa cenderung melupakan
materi-materi sebelumnya yang telah dipelajari dan mengalami kesulitan jika
harus mengingat kembali materi Matakuliah Konsep Sains II yang telah lalu.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil studi pendahuluan berupa wawancara
kepada sampel penelitian yang menyatakan bahwa ketika berada di dalam kelas
pada waktu jam kuliah Matakuliah Konsep Sains II, mahasiswa banyak yang
belum mengerti dengan materi dan merasa kesulitan dengan materi yang
diberikan. Hal ini berlanjut dengan begitu keluar dari kelas mahasiswa tidak dapat
mengingat kembali materi yang baru saja dipelajari. Hasil studi pendahuluan juga
menunjukkan bahwa Matakuliah Konsep Sains II merupakan pelajaran yang
belum menyenangkan dan sulit, di samping itu, minat mahasiswa pada Matakuliah
Konsep Sains II masih rendah.
Mahasiswa dapat meningkat prestasi belajar Matakuliah Konsep Sains II tersebut dengan
memperhatikan faktor-faktor tertentu. Mahasiswa dapat memulai dengan menyukai Matakuliah
Konsep Sains II dan mencari sisi-sisi menarik dari Matakuliah Konsep Sains II yang selama ini
belum disadari oleh mahasiswa. Kemudian dosen dan mahasiswa dapat bekerja sama untuk
menciptakan kondisi pembelajaran Matakuliah Konsep Sains II yang aktif, kreatif, efektif,
inovatif, dan menyenangkan. Dosen dan mahasiswa dapat mempersiapkan materi-materi
pendukung yang bisa mempermudah mempelajari Matakuliah Konsep Sains II, yang pada
akhirnya akan tercipta kondisi yang menyenangkan bagi dosen dan mahasiswa dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran akan menghasilkan
perkuliahan yang bermakna dan berkesan bagi mahasiswa, sekaligus dapat membuat mahasiswa
selalu teringat dengan suasana pembelajaran, termasuk materi pembelajaran yang telah
dipelajari

Anda mungkin juga menyukai