Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Status Gizi
a. Definisi
Betapa pentingnya status gizi yang sangat di pengaruhi oleh
dengan apa yang kita konsumusi dan lingkungan, dimana hal ini
sudah di sampaikan didalam Al-Quran

ُ ‫فَ ْليَ ْنظُ ِر اإْل ِ ْن َس‬


‫ان إِلَ ٰى طَ َعا ِم ِه‬
Artinya : “Hendaklah manusia memperhatikan makanannya” (QS.
‘Abasa (80):24)
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh
seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang di konsumsi dan
penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi merupakan
keadaan yang diakibatkan karena keseimbangan anatara jumlah
asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan
(reqiurement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis :
(pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan
kesehatan, dan lainnya). (Hardiansyah and Supariasa, 2016)
Status gizi dibagi menjadi tiga kategori yaitu status gizi
kurang, gizi normal, dan gizi lebih. (Hardiansyah and Supariasa,
2016). Asupan makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan
memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal
tubuh. Sebaliknya bila makanan yang tidak dipilih dengan baik,
tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi essensial tertentu.
Zat gizi essensial adalah zat gizi yang harus didatangkan dari
6

makanan. Gizi dan makanan tidak dapat dipisahkan karena setiap


makanan yang kita konsumsi mengandung zat gizi terutama zat
gizi essensial (zat gizi makro dan zat gizi mikro) yang sangat
dibutuhkan untuk mejaga kesehatan tubuh. (Hardiansyah and
Supariasa, 2016).

Ketidakseimbangan gizi dianggap masalah karena dapat


menyebabkan angka kematian yang tinggi pada bayi, anak-anak,
dan remaja, terganggunya pertumbuhan, menurunnya daya kerja,
gangguan perkembangan mental dan kecerdasan. Penyebab tidak
langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengaruhan
anak serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.
Ketahanan pangan dikeluarga adalah kemampuan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam
jumlah cukup. Konsumsi zat gizi sehari-hari dipengaruhi oleh
ketersediaan pangan tergantung dari daya beli keluarga,
ketersediaan bahan pangan di pasaran dan produksi.(Depkes RI,
2004)

b. Penilaian Status Gizi


Pemantauan pertumbuhan fisik perlu dilakukan untuk
menentukan apakah pertumbuhan fisik seorang anak berjalan
normal atau tidak, baik dilihat dari segi medis maupun statistik.
Anak yang sehat dan diberi lingkungan bio-fisika-psikososial
yang adekuat akan tumbuh secara optimal. (Soetjiningsih and Gde
Ranuh, 2016)
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi
empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.
(Hardiansyah and Supariasa, 2016)
Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling
sering digunakan adalah antropometri gizi. Pemantauan status gizi
anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai cara
untuk menilai status gizi. Disamping itu pula dalam kegiatan

Universitas Muhammadiyah Jakarta


7

penapisa status gizi masyarakat selalu menggunakan metode


tersebut. (Hardiansyah and Supariasa, 2016)
Penilaian antropometris status gizi didasarkan pada
pengukuran berat dan tinggi badan, serta usia. Data ini dipakai
menghitung 3 macam indeks, yaitu indeks (1) berat terhadap
tinggi badan (BB/TB) yang diperuntukan sebagai petunjuk dalam
penentuan status gizi sekarang; tinggi badan terhadap usia (TB/U)
yang digunakan sebagai petunjuk tentang keadaan gizi di masa
lampau; dan (3) berat badan terhadap usia (BB/U) yang
menunjukan secara sensitif gambaran status gizi saat diukur.
(Hadisaputra and Sugeng, 2009)
Pengukuran status gizi dari antropometri dapat dihitung
berdasarkan Indeks Massa Tubuh atau IMT yang merupakan hasil
perhitungan dari perbandingan BB (Berat Badan) dan Tinggi
Badan (TB) melalui rumus BB/TB2 (Kg/m2). (Putra and Nurul
Yuda, 2016)
Menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 pada tanggal 30 Desember
2010 mengenai Ketentuan Umum Penggunaan Standar
Antropometri WHO 2005 pada bagian kategori dan ambang batas
status gizi anak dinyatakan sebagai berikut; (Kemenkes RI, 2011)

Tabel 2.1.1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeksi


BB/U, TB/U, BB/TB , IMT/U dari Standart Baku
Antropometri WHO 2005. KEMENKES RI 2011
NO. Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi

1 BB/U < -3SD Gizi Buruk


Anak umur 0-60 bulan - 3 s/d < -2SD Gizi Kurang

- 2 s/d 2 SD Gizi Baik

> 2SD Gizi Lebih

Universitas Muhammadiyah Jakarta


8

2 TB/U < -3SD Sangat Pendek


Anak umur 0-60 bulan
- 3 s/d < -2SD Pendek

- 2 s/d 2 SD Normal

> 2SD Tinggi

3 BB/TB < -3SD Sangat Kurus


Anak umur 0-60 bulan
- 3 s/d < -2SD Kurus

- 2 s/d 2 SD Normal

> 2SD Gemuk

4 IMT/U < -3SD Sangat Kurus


Anak umur 0-60 bulan
-3 s/d < -2SD Kurus

-2 s/d 2SD Normal

> 2SD Gemuk

5 IMT/U < -3SD Sangat Kurus


Anak umur 5 – 18
-3 s/d < -2SD Kurus
tahun
-2 s/d 1SD Normal

>1 s/d 2 SD Gemuk

> 2SD Obesitas

2.1.2. Status Gizi Remaja Terhadap Penyakit Tidak Menular


(PTM)
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan salah satu atau
masalah kesehatan dunia dan indonesia yang sampai saat ini masih
menjadi perhatian dalam dunia kesehatan karena merupakan salah
satu penyebab dari kematian (Jansje dan Samodra 2012). Penyakit
tidak menular (PTM), juga dikenal sebagai penyakit kronis, tidak

Universitas Muhammadiyah Jakarta


9

ditularkan dari orang ke orang, mereka memiliki durasi yang


panjang dan pada umumnya berkembang secara lambat (Riskesdas
2013). Menurut Bustan (2007), dalam Buku Epidemiologi Penyakit
Tidak Menular mengatakan bahwa yang tergolong ke dalam PTM
antara lain : Penyakit kardiovaskuler (jantung, atherosklerosis,
hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke), diabetes melitus
serta kanker. (Adhania, Wiwaha and Fianza, 2018)
Dari semua PTM tersebut salah satu faktor risiko berasal dari
status gizi yang diperoleh dari pola makan atau diet yang buruk.
Pola makan yang buruk dikarenakan ketidakseimbangan antara
konsumsi gizi dengan kecakupan gizi yang dianjurkan. (Yulia,
2012). Pada kebiasaan pola makan atau diet yang buruk masalah
tersebut sering terjadi pada usia remaja, karena meningkatnya
partisipasi dalam kehidupan sosial dan pada umumnya jadwal
aktivitas fisik yang sibuk juga akan mempengaruhi jenis makanan
yang akan di konsumsi. (Brown, 2005)
Pada diet yang buruk masalah yang sering terjadi adalah intake
yang salah atau kurangnya pengetahuan yang harus diperhatikan
dalam pola diet yang seimbang, sehingga bisa mengakibatkan
obesitas atau gizi kurang. Dampak tersebut jika dibiarkan terus
menerus akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit
tidak menular yang terkait dengan gizi.

2.1.3. Gizi Pada Remaja


a. Gizi Remaja
Ada banyak pengaruh yang dapat merubah pola dan
perilaku makan remaja sehingga terjadi masalah gizi. Selain itu,
mulai berkembangnya kemandirian, meningkatnya partisipasi
dalam kehidupan sosial dan pada umumnya jadwal aktivitas fisik
yang sibuk juga akan mempengaruhi jenis makanan yang akan di
makan, sering makan dengan cepat, makan di luar rumah serta

Universitas Muhammadiyah Jakarta


10

cenderung memilih makan apapun yang tersedia saat lapar.


(Brown, 2005)
Cukup banyak masalah yang berdampak negatif terhadap
kesehatan dan gizi remaja. Disamping penyakit atau kondisi yang
terbawa sejak lahir, penyalahgunaan obat, kecanduan alkohol dan
rokok, serta hubungan seksual terlalu dini, terbukti menambah
beban para remaja. Dalam beberapa hal masalah gizi serupa, atau
merupakan kalanjutan dari masalah gizi pada usia anak, yaitu
anemia defisiensi besi, kelebihan dan kekurangan berat badan.
Yang agak (sedikit) berbeda ialah cara menangani masalah itu.
Kelebihan berat, misalnya penanganan obesitas remaja ditujukan
pada pengurangan berat itu sendiri. (Arisman, 2004)
Pada remaja hampir 50% terutama remaja yang lebih tua
tidak sarapan. Penelitian lain membuktikan masih banyak remaja
(89%) yang meyakini kalau sarapan memang penting. Akan tetapi,
mereka yang sarpan secara teratur hanya 60%. Sedangkan pada
remaja putri malah melewatkan dua kali waktu makan, dan lebih
memilih makanan ringan. Sebagian besar pada makanan ringan
bukan hanya tidak berisi kalori, tetapi juga sangat sedikit
mengandung zat gizi, selain dapat menghilangkan nafsu makan.
Memakan makanan ringan sebetulnya tidak dilarang, tetapi
mengetahui cara memilih makanan ringan yang kaya akan zat gizi.
(Arisman, 2004)

b. Kebutuhan Gizi Remaja

Zat gizi memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan


selama masa bayi, balita, hingga remaja, dengan kebutuhan gizi
pada masa remaja lebih besar dibandingkan dua masa sebelumnya.
Kebutuhan gizi pada remaja dipengaruhi oleh pertumbuhan pada
masa pubertas. Kebutuhan gizi yang tinggi terdapat pada periode
pertumbuhan yang cepat (growth spurt). (Hardiansyah and
Supariasa, 2016)

Universitas Muhammadiyah Jakarta


11

Penentuan kebetuhan akan zat gizi remaja secara umum


didasarkan pada Recommended Daily Allowances (RDA). Untuk
secara praktis, RDA disusun berdasarkan perkembangan
kronologis, bukan hanya kematangan. Karena itu, jika konsumsi
energi remaja kurang dari jumlah yang dianjurkan, tidak berarti
kebutuhannya belum terkecukupi. Status gizi remaja harus dinilai
secara perorangan berdasarkan data yang diperoleh dari
pemeriksaan klinis, biokimiawi, antropometri, diet, serta
psikososial. (Arisman, 2004)

Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan untuk


menentukan kebutuhan energi remaja adalah aktivitas fisik. Secara
garis besar, remaja laki-laki memerlukan lebih banyak energi
dibandingkan remaja perempuan. Kucukupan gizi untuk remaja
laki-laki berdasarkan AKG 2013 (Hardiansyah et al, 2013) adalah
2400-2800 kkal/hari, sedangkan untuk remaja perempuan lebih
rendah yaitu 2000-2200 kkal/hari. Angka tersebut dianjurkan
sebanyak 60% berasal dari karbohidrat yang diperoleh dari bahan
makanan seperti beras, terigu dan produk olahannya, umbi-umbian,
jagung, gula, dan lain sebagaianya. (Arisman, 2004)

a) Protein

Kebutuhan protein mengalami peningkatan selama masa


remaja karena proses tumbuh-kembang berlangsung cepat. Protein
akan menggantikan energi sebagai sumber energi jika asupan
energi kurang dari kebutuhan. Rekomendasi kebutuhan protein
sehari berdasarkan AKG 2013 (Hardiansyah et al, 2013) pada
masa remaja berkisar antara 44-59 gram, tergantung jenis kelamin
dan umur. Berdasarkan BB, kebutuhan protein remaja laki-laki
dan perempuan protein remaja laki-laki turun menjadi 0,9 g/kgBB
dan perempuan menjadi 0,8 g/kgBB. Asupan protein dianjurkan
dari bahan makanan sumber protein berkualitas tinggi seperti
bahan makanan dengan nilai biologis tinggi. Hal tersebut

Universitas Muhammadiyah Jakarta


12

diperoleh dari sumber protein hewani dibandingkan protein nabati


karena komposisi asam amino esensial yang lebih baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Beberapa sumber makanan yang
dianjurkan ialah telur, susu, daging, ikan, keju, kerang, dan udang.
Protein nabati juga dianjurkan untuk dikonsumsi seperti tempe,
tahu, dan kacang-kacangan.

b) Lemak

Konsumsi lemak dibatasi tidak melebihi 25% dari total


energi per hari, atau maksimal konsumsi tiga sendok makan
minyak goreng untuk memasak makanan sehari. Anjuran
Kementrian Kesehatan RI, makanan yang dihidangkan dengan
cara digoreng cukup satu potong setiap makan dalam sehari.
Studi Majid et al (2016) menyatakan bahwa remaja di
pendesaan memiliki tingkat konsumsi energi dari kolestrol
lebih tinggi dibandingkan remaja diperkotaan. Konsumsi
lemak berlebih mengakibatkan penimbunan lemak sehingga
dalam jangka waktu lama dapat menyumbat saluran pembuluh
darah, terutama pada arteri jantung. Hal tersebut
membahayakan bagi kesehatan jantung. Namun, konsumsi
lemak yang kurang juga mengakibatkan asupan energi tidak
adekuat. Pembatasan konsumsi terutama lemak hewani
menyebabkan asupan zat besi dan zink rendah. Hal tersebut
karena bahan makanan hewani merupakan sumber zat besi dan
zink.

c) Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi yang orimer


untuk aktivitas tubuh sehingga pemenuhan kebutuhan
karbohidrat dianjurkan sebesar 50-60% dari kebutuhan energi
total dalam sehari. Makanan sumber karbohidrat yang baik
untuk dikonsumsi antara lain beras, terigu, dan hasil
olahannya, umbi-umbian dan hasil olahannya, jagung, dan

Universitas Muhammadiyah Jakarta


13

gula. Studi Majid, et al (2016) menyatakan bahwa remaja


obesitas di pedesaan memiliki tingkat konsumsi energi dari
gula dan pemanis lain lebih tinggi dibandingkan remaja di
perkotaan.

Sumber karbohidrat dari gula dan pemanis buatan


dapat menyumbang 20% kebutuhan karbohidrat sehari pada
remaja perempuan berusia 9-18 tahun dan remaja laki-laki
berusia 14-18 tahun (Story & Stang, 2005). Sumber makanan
atau minuman yang mengandung pemanis buatan dengan
kadar tinggi ialah minuman bersoda. Kandungan pemanis dari
minuman tersebut menyumbang 12% dari kebutuhan
karbohidrat total. Minuman tersebut tidak mengandung
vitamin dan mineral sehingga jika dikonsumsi lebih dari 10-
25% kebutuhan energi sehari dalam waktu jangka panjang,
dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit tidak menular
seperti diabetes melitus.

d) Kalsium

Kalsium pada masa ini berfungsi sebagai penunjuang


akselerasi muskular, skeletal, dan perkembangan endokrin.
Pada masa ini, pertumbuhan tinggi badan mencapai lebih dari
20% dan massa tulang dewasa mencapai 50%. Sumber
kalsium paling baik terdapat pada susu dan hasil olahannya,
sedangkan sumber lain terdapat pada ikan, kacang-kacangan,
dan sayuran hijau. Asupan kalsium yang tidak adekuat
menyebabkan puncak massa tulang kurang sehingga
meningkatkan risiko osteoporosis di masa dewasa. Sementara
itu, asupan kalsium berlebih menyebabkan timbulnya batu
ginjal, klasifikasi jaringan lunak, dan konstipasi (Adriani &
Wirjatmatmadi, 2012).

Universitas Muhammadiyah Jakarta


14

e) Zat besi (Fe)

Pada masa ini, remaja perempuan lebih rawan


mengalami Anemia Gizi Besi (AGB) dibandingkan dengan
remaja laki-laki karena remaja perempuan mengalami
menstruasi yang mengeluarkan zat besi setiap bulan. Oleh
sebab itu, kebutuhan zat besi pada remaja perempuan lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Pada remaja laki-laki juga
mengalami peningkatan kebutuhan zat besi karena ekspansi
volume darah dan peningkatan konsentrasi hemoglobin.

Zat besi dalam makanan dapat berbentuk Fe-heme


(sumber protein hewani) dan Fe-nonheme (sumber protein
nabati). Zat besi dari sumber nabati hanya terserap sebesar 1-
2%, sedangkan sumber zat besi hewani lebih mudah terserap,
yaitu sebanyak 10-20%. Dalam meningkatkan penyerapan zat
besi, diperlukan enchancer, yaitu vitamin C dan sumber
protein hewani tertentu seperti daging dan ikan. Ada juga
beberapa zat yang menghambat penyerapan zat besi, seperti
tanin, fitat, zink, kalsium, dan fosfat (WHO, 2005). Sumber
zat besi yang baik antara lain terdapat pada hati, daging merah
(sapi, kambing, dan domba), daging putih (ayam dan ikan),
kacang-kacangan, dan sayuran hijau.

f) Zink (Zn)

Zink berperan dalam reaksi metabolisme karbohidrat,


lemak, protein, dan asam nukleat. Selain itu, zink juga
merupakan bagian dari Follicle Hormone (FH), Follice
Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH), dan
kortikrotropin. Hormon tersebut berperan dalam pertumbuhan
dan kematangan seksual remaja, terutama laki-laki. Asupan
zink yang kurang dapat menyebabkan perlambatan
pertumbuhan, hipogonadisme, gangguan fungsi kecap,

Universitas Muhammadiyah Jakarta


15

gangguan penyembuhan luka, letargi mental, dan gangguan


nafsu makan (WHO, 2005).

Asupan zink yang dianjurkan pada masa ini sebesar 15


mg/hari untuk remaja laki-laki dan 12 mg/hari untuk remaja
perempuan. Jumlah tersebut dapat terpenuhi dari bahan
makanan, antara lain daging merah, hati, unggas, keju, padi-
padian, sereal,kacang kering, telur, dan produk laut, terutama
tiram.

g) Yodium (i)
Yodium (iodin) dibutuhkan tubuh dalam jumlah
sedikit, tetapi mempunyai fungsi yang oenting, yaitu
membantu pembentukan hormon tiroksin pada kelenjar
gondok. Hormon tersebut berperan pada pertumbuhan tulang
dan perkembangan fungsi otak. Kekurangan yodium pada
masa ini berdampak pada gangguan kelangsungan hidup
seperti keguguran dan bayi lahir mati; gangguan
perkembangan kecerdasan; dan gangguan perkembangan
mental (Kathleen & Escott-Stump, 2004).
Pada konsumsi yodium yang kurang dari bahan
makanan, diperlukan suplementasi yodium. Suplementasi pada
wanita berusia 6-35 tahun dan pria berusia 6-20 tahun adalah
sebanyak 400 mg atau 2 kapsul (Adriani & Wirjatmadi, 2012).
Bahan makanan sumber yodium dari hewani antara lain ikan
dan kerang. Selain dari sumber tersebut, sumber yodium juga
terdapat pada garam beryodium. Anjuran untuk
mengkonsumsi garam beryodium dalam sehari tidak lebih dari
6 gram atau setara dengansatu sendok teh. (Hardiansyah and
Supariasa, 2016)

2.1.4. Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Pada Remaja


a. Gizi Kurang

Universitas Muhammadiyah Jakarta


16

a) Definisi
Gizi kurang merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi protein dari makanan
sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. (Sodikin,
2013)

Gizi buruk merupakan suatu penyakit yang disebabkan


kekurangan makanan sumber energi secara umum dan
kekurangan sumber protein. Gizi buruk adalah keadaan kurang
gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi
Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan biasanya juga disertai
adanya kekurangan dari beberapa zat gizi lainnya. (Almatsier,
2009)

Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein (KEP)


tingkat berat yang disebabkan kekurangan asupan energi dan
protein juga zat gizi mikro dalam waktu yang lama.
(Hardiansyah and Supariasa, 2016)

b) Penyebab Gizi Kurang


Akar masalah yang mendasari munculnya banyak kasus
gizi buruk adalah terjadinya krisis ekonomi, politik, dan sosial,
termasuk kejadian bencana. Rusaknya jaringan produksi,
distribusi, dan penjualan bahan pangan serta makanan
mengakibatkan penduduk tidak mendapatkan asupan makanan
yang cukup.
Kemampuan keluarga sangat menentukan pola makan dan
kebiasaan hidup sehat dalam keluarga tersebut. Kemiskinan dan
rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan keluarga tidak
dapat menyediakan makanan yang cukup dan biaya untuk
pelayanan kesehatan. (Hardiansyah and Supariasa, 2016)

Universitas Muhammadiyah Jakarta


17

1) Penyebab Langsung
Kurang gizi disebabkan karena ketidakseimbangan antara
asupan makanan (jumlah dan mutu), serta zat gizi tidak
dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena
adanya gangguan penyerapan akibat adanya penyakit.
Keduanya merupakan faktor utama penyebab anak
menderita gizi buruk yang saling memengaruhi. Anak yang
terkena penyakit infeksi, sementara anak yang menderita
sakit (infeksi dan penyakit lain) cenderung mengalami
penurunan nafsu makan sehingga anak berisiko mengalami
kurang gizi.
2) Penyebab Tidak Langsung
Penyebab tidak langsung gizi buruk :
 Tidak cukup tersedianya pangan di rumah tangga,
kurang baiknya pola pengasuhan anak terutama cara
pemberian makanan kepada anak.
 Anak yang tidak pernah atau jarang dipantau rumah
yang tidak bersih, menyebabkan anak rentan
terhadap penyakit infeksi. (Hardiansyah and
Supariasa, 2016)

b. Obesitas
a. Definisi
Obesitas adalah terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih
banyak kilokalori yang masuk melalui makanan daripada yang
digunakan untuk menunjang energi tubuh, dengan kelebihan
energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak.
(Sherwood, 2012)

Obesitas merupakan suatu penyakit multifactorial, yang terjadi


akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat

Universitas Muhammadiyah Jakarta


18

menggagu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel


lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah
berat badannya maka ukuran sel lemak bertambah besar dan
kemudian jumlahnya bertambah banyak. (Setiati et al., 2014)

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2014,


secara umum kegemukan dan obesitas adalah suatu kondisi
abnormal yang ditandai oleh peningkatan lemak tubuh berlebihan,
umumnya ditimbun di jaringan subkutan, sekitar organ. Akumulasi
lemak tubuh yang berlebihan dapat mengakibatkan berbagai
gangguan kesehatan. Obesitas adalah kondisi yang ditandai
gangguan keseimbangan energi positif yang akhirnya disimpan
dalam lemak di jaringan tubuh. Nelm, dkk. (2011), menyatakan
obesitas adalah penumpukan jaringan adiposa atau lemak tubuh
yang terlalu berlebihan yang dapat menggangu kesehatan.
Kegemukan dan obesitas merupakan kondisi patologis yang
ditandai oleh penumpukan lemak yang menyebabkan timbulnya
berbagai penyakit, antara lain diabetes melitus, penyakit jantung
stroke, dan kanker dan penyakit degeneratif lainnya. (Hardiansyah
and Supariasa, 2016)

b. Penyebab obesitas
Obesitas merupakan suatu kondisi ketidakseimbangan energi
karena terjadi keseimbangan energi positif yang ditandai oleh
kelebihan asupan energi dan pengeluaran yang berkurang. Masalah
kegemukan dan obesitas merupakan masalah kesehatan yang
kompleks dan bersifat multifaktorial. Berbagai factor berkontribusi
terhadap munculnya obesitas. Faktor utama obesitas adalah :
Faktor genetik, perilaku, dan lingkungan baik lingkungan fisik,
biologis dan sosial.
Peran faktor genetik dapat dibuktikan oleh peningkatan
prevalensi obesitas 2 kali lipat dalam 3 dekade terakhir pada

Universitas Muhammadiyah Jakarta


19

individu dengan riwayat obesitas. Faktor genetik berperan terhadap


terjadinya obesitas sekitar 30-40 % dari seluruh kejadian obesitas.
Obesitas merupakan suatu kondisi yang diturunkan. Namun
demikian, pemahaman tentang peran faktor genetik sebagai
penyebab obesitas bersifat kompleks, dengan adanya kenyataan
bahwa obesitas tidak semua diwariskan dalam keluarga pada pola
yang dapat diprediksi akibat penyakit lain seperti cystic fibrosis
atau penyakit huting tones.
Faktor lingkungan termasuk faktor faktor perilaku,
berkontribusi besar terhadap peningkatan obesitas. Diperkirakan
faktor lingkungan berkontribusi sebesar 60-70%. Menurut Alisson
et al dalam Swastika (2006) bahwa lingkungan yang memegang
peranan terhadap perkembangan obesitas dan prevalensi obesitas
yaitu faktor demografi dan biologis, sosiokultural dan faktor
perilaku atau gaya hidup.
Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi
melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah
mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan
jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik
(meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi)
dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan
pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal
pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi
makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi
lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh
kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa
lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin
dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan
energi. (Silbernagl and Lang, 2006)
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka
jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar
leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang

Universitas Muhammadiyah Jakarta


20

anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi


Neuro Peptide –Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan.
Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari
asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi
rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang
menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar
penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar
leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan. (Silbernagl and
Lang, 2006)

c. Pengembangan Perilaku Makanan Sehat Semasa Remaja


Masalah gizi pada remaja sering muncul karena pilihan
terhadap makanan yang tidak tepat sehingga terdapat ketidak-
seimbangan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang
dianjurkan. Masalah gizi yang dapat terjadi pada remaja dalah gizi
kurang (underweight), obesitas(overweight), dan anemia. Gizi
kurang terjadi karena jumlah konsumsi energi dan zat-zat gizi lain
tidak memenuhi kebutuhan tubuh. Kejadian gizi lebih pada remaja
disebabkan kebiasaan makan yang kurang baik sehingga jumlah
masukan energi (energy intake) berlebih. (Nurhayati, Lasmanawati
and Yulia, 2012)
Tidak sedikit survei yang mencatat ketidakcukupan asupan zat
gizi para remaja. Mereka bukan hanya melewatkan waktu makan
(terutama sarapan) dengan alasan sibuk, tetapi juga terlihat sangat
senang mengunyah junk food (Johnson dkk, 1994). Berikut
anjuran untuk menciptakan pola kebiasaan pangan yang baik pada
remaja:
1. Mendorong para remaja menikmati makanan, mencoba
makanan, mencoba makanan baru, mengonsumsi beberapa
makanan di pagi hari, makan bersama keluarga, menyeleksi
makanan jajanan bergizi, dan sesekali (jika keuangan

Universitas Muhammadiyah Jakarta


21

memungkinkan) mengundang teman untuk makan malam


bersama.
2. Menggariskan tujuan untuk setidaknya sekali dalam sehari
membuat waktu makan menjadi saat menyenangkan untuk
berbagi pengalaman di antara anggota keluarga.
3. Mengetahui jadwal kegiatan remaja sehingga waktu makan
(bersama) tidak berbenturan dengan kegiatan (yang
menurut mereka sangat penting) mereka.
4. Menyiapkan data dasar tentang pangan dan gizi sehingga
remaja dapat memutuskan jenis makanan yang akan
dikonsumsi berdasarkan informasi tersebut.
5. Memberikan contoh khas tentang cara mempraktikkan
pengetahuan tersebut.
6. Memberikan penekanan tentang manfaat makanan yang
baik seperti perbaikan vitalis dan peningkatan ketahanan
fisik.
7. Membenarkan pilihan pada makanan camilan bergizi, dan
secara berkesinambungan menjelaskan kekeliruan mereka
yang (masih) memilih makanan tidak bergizi.
8. Menyimpan hanya makanan kecil di lemari es.
9. Melatih tanggung jawab remaja dalam hal perencanaan
makanan, pembelanjaan, pemasakan dan penanaman.

2.1.5. Pola Makan dan Status Gizi


Sumber energi dari karbohidrat, lemak dan protein didapat dari
tumbuhan dan binatang. Dengan menggunakan katalisator enzim yang
berada didalam metabolisme akan mengubah sumber energi ini
menjadi molekul ATP (adenosine triphosphate). Komponen energi
tinggi yang bertanggung jawab atas kontraksi oto dan fungsi sel
lainnya, jalan tersebut mengontrol pembakaran bahan yang dibakar,
dan mengukur energi yang dibutuhkan.Energi diartikan sebagai
kemampuan untuk melakukan kerja, satuan besaran energi adalah

Universitas Muhammadiyah Jakarta


22

Kilokalori. Dalam tubuh bekerja dua jenis energi yaitu energi kimia
yang berupa metabolisme makanan dan energi mekanik berupa
kontraksi otot untuk melakukan gerak. Makanan yang dimakan sehari-
hari dipecah mejadi partikel-pertikel kecil di dalam saluran pencernaan
untuk diabsorpsi dan ditransport ke berbagai sel-sel di dalam tubuh.
Sel-sel tubuh mentransformasikan ke dalam energi kimia dalam bentuk
sederhana yang dapat dipergunakan segera atau bentuk lain sebagai
cadangan. Di dalam tubuh terdapat sejumlah sistem metabolisme
energi yang dapat menyediakan energi sesuai kebutuhan ketika
beristirahat atau exercise. (Rismayanthi, 2015)
I Dewa Nyoman Supariasa dkk (2016), Menjelaskan bahwa gizi
adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dokonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,
transportasi, penyimpanan metabolisme dan pengeluaran zat yang
tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan
fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi. Zat-zat gizi
yang dapat memberikan energi adalah karbohidrat, lemak, dan protein.
Oksidasi zat-zat ini menghasilkan energi yang diperlukan tubuh untuk
melakukan kegiatan atau aktivitas. (Almatsier, 2009)
Pengaruh energi akan status gizi sangat berkaitan, karena makanan
yang kita konsumsi setiap hari harus mengandung zat-zat gizi,
misalnya empat sehat lima sempurna yaitu nasi, sayur, lemak, buah
dan susu, sehingga zat-zat gizi yang terkandung dalam konsumsi
makanan tersebut sangat penting bagi manusia untuk pertumbuhan,
memelihara proses tubuh dan sebagai penyedia energi untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.

2.1.6. Konsep Pola Makan


a. Pengertian Pola Makan
Pola makan merupakan banyak atau jumlah pangan, secara
tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau
kelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

Universitas Muhammadiyah Jakarta


23

fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Pola makan atau pola


konsumsi pangan merupakan kegiatan terencana dari seseorang
atau konsumsi pangan merupakan merupakan kegiatan terencana
dari seseorang atau merupakan sebuah acuan dalam pemilihan
makanan dan penggunaan bahan makanan dalam konsumsi pangan
setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan, dan
frekuensi makan. (Sediaoetama, 2009)
Pola makan merupakan faktor utama untuk memenuhi
kebutuhan gizi seseorang. Dengan demikian diharapkan pola
makan yang beraneka ragam dapat memperbaiki mutu makanan
seseorang. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energy
dan protein, pada tahap awal akan menyebabkan rasa lapar dan
dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang
disertai dengan menurunkan produktivitas kerja. (Hardiansyah dan
Briawan, 2005)
Pada masa remaja, terdapat beberapa perubahan yang dapat
berpengaruh terhadap konsumsi makan. Pada mas ini biasanya
terjadi perubahan fisik, sosial, maupun psikologisnya. Pada masa
remaja juga terjadi perubahan gaya hisup, perilaku, tidak terkecuali
pengalaman dalam menentukan makanan apa yang akan
dikonsumsi atau kebiasan makan (Khomsan, 2004).

b. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan Remaja


Remaja khususnya mahasiswa menjalani kehidupan yang
sibuk. Banyak yang terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler atau
kegiatan akademik, dan kegiatan lainnya setiap hati. Kegiatan ini,
dikombinasikan dengan peningkatan kebutuhan untuk kontak
sosial dan persetujuan teman dalam makanan, menyisakan sedikit
waktu bagi remaja untuk makan. Mengkonsumsi makanan ringan
yang biasa dilakukan di kalangan remaja, hanya mendapatkan
35% dari kalori dan 43% dari gula yang disediakan oleh makan
ringan. Data nasional menujukkan bahwa proporsi kalori dan

Universitas Muhammadiyah Jakarta


24

nutrisi dari makanan yang dikonsumsi sebagai makanan ringan


meningkat. Remaja mengkonsumsi proporsi yang lebih besar dari
kalori dari makanan ringan, seringnya di restoran cepat saji.
(Brown et al, 2013)
Camilan atau snack adalah makanan ringan yang dikonsumsi
diantara waktu makan utama. Camilan yang umumnya
dikonsumsi kurang lebih 2-3 jam diantara waktu makan utama.
Menurut jenisnya snack yang beredar di pasaran saat ini adalah
snack yang mengandung monosodium glutamate (MSG), kalori,
lemak, dan zat-zat lain yang berbahaya. (Soekirman, 2000)
Dampak dari camilan yang kurang terjamin dapat
berpotensi menyebabkan keracunan, gangguan pencernaan dan
jika berlangsung lama akan menyebabkan status gizi yang buruk.
(Ramadhani Khija, ludovick Uttoh, 2015) Apabila kelebihan
energi, maka energi yang berlebih akan disintesis menjadi lemak
tubuh. Jika lemak tubuh tidak terpakai untuk energi akan terjadi
penimbunan lemak dan jika hal ini terjadi terus menerus maka
mengakibatkan kegemukan dan obesitas. (Murni and Syamsianah,
2016)
Snacking akan menyebabkan tingginya asupan lemak jenuh
dan total energi apabila tidak diimbangi dengan pengurangan
makanan utama. Selain itu snacking dapat menyebabkan pola
makan yang tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur memiliki
dampak merugikan pada thermogenesis, kadar lemak, dan profil
insulin. (Pratiwi and Nindya, 2017)
Makanan jajanan atau camilan dapat berupa makanan utama
atau makanan selingan. Makanan jajanan jenis berat (meal) atau
makanan utama merupakan makanan yang biasa dikonsumsi
sehari-hari yang terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, dan
sayuran. Makanan jajanan jenis ringan (snack) adalah makanan
yang sering dikonsumsi di luar waktu makanan utama yang sering
juga disebut dengan makanan selingan yang bisa terjadi pada saat

Universitas Muhammadiyah Jakarta


25

antara sarapan dan makan siang seperti aneka kudapan dan aneka
jajanan pasar. (Nurhayati, Lasmanawati and Yulia, 2012)
Remaja umumnya setiap hari menghabiskan waktunya
diluar rumah, sehingga memilih untuk memenuhi kebutuhannya
dengan makanan jajanan di luar rumah yang bisa diperoleh di
lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah seperti
warung, kedai makanan atau kaferia. Snack atau cemilan adalah
jenis makanan yang disajikan diluar waktu makan utama. Snack
atau cemilan adalah jenis makanan yang disajikan diluar waktu
makan utama. Snack dapat membantu memenuhi kebutuhan
kalori, selain yang diperoleh dari makanan utama. (Nurhayati,
Lasmanawati and Yulia, 2012)

c. Metode Pengukuran Pola Makan


Untuk mengukur asupan makan sehari-hari dapat
ditentukan dengan :
 Food Records
Selama berpuluh-puluh tahun, food records atau
pencatatan makanan dianggap sebagai standar
acuan bagi kajian konsumsi makanan. Singkatnya,
food records meminta kepada setiap orang untuk
mencatat segala sesuatu yang dimakan dalam kurun
waktu yang sudah ditentukan, yaitu biasanya 1-7
hari. Kepada semua responden biasanya diminta
membawa buku catatan dan mencatat makanan yang
dimakannya. Beberapa protok mengharuskan para
peserta survey untuk menimbang dan/atau mengukur
makanan mereka sebelum memakannya sementara
protocol lain yang tidak begitu ketat menggunakan
model dan alat bantu lain untuk mengajarkan
responden bagaimana memperkirakan takaran saji
setiap produk pangan. (Pietinen, 2009)

Universitas Muhammadiyah Jakarta


26

 Dietary Recalls
Dietary recalls adalah wawancara dengan meminta
responden menyebutkan semua makanan dan
minuman yang dikonsumsinya selama 24 jam
sebelumnya. Recall yang tidak diberitahukan
sebelumnya direkomendasikan untuk dilakukan
karena responden tidak dapat mengubah apa yang
mereka makan dan dengan demikian instrument ini
tidak dapat mengubah pola makan responden.
(Pietinen, 2009)
 Riwayat Konsumsi Makanan
Metode riwayat konsumsi makan (dietary history
method) telah digunakan pada banyak Negara di
Eropa untuk memastikan asupan nutrient dalam
berbagai survey nasional yang dilakukan terhadap
konsumsi makanan. Meskipun metodenya beragam,
tujuan dasarnya adalah mengadakan wawancara
antar pribadi untuk merekonstruksi pola asupan
makanan biasa dalam satu minggu terakhir. Jadi,
salah satu pendekatannya dimulai dengan
menanyakan pola makan secara garis beras dalam
satu minggu (misalnya sarapan pada 4 hari dalam
satu minggu), yang kemudian dilanjutkan penjelasan
secara umum tentang komponen makanan yang
cenderung dikonsumsi (misalkan kopi, jus, buah,
makanan sereal, dan roti bakar/toast untuk sarapan),
dan akhirnya detail setiap jenis makanan tersebut
(tipe jus, susu, dan jus lain-lain). Seperti halnya pada
semua pendekatan seperti penggunaan nilai rata-rata
dengan model bahan pangan (food models), ukuran
rumah tangga atau foto-foto makanan/bahan pangan.
(Pietinen, 2009)

Universitas Muhammadiyah Jakarta


27

2.2. Kerangka Teori


Bagan 2.1.1 KERANGKA TEORI

Remaja 16-18
Pola makan
tahun

Makanan Makanan
utama Camilan

Faktor Ekonomi
Asupan energi

Sosial budaya
 Pendidikan
Karbohidrat Protein Lemak
 Jumlah
anggota
keluarga
 Agama
Status gizi

Keterjangkauan
pangan (tempat
tinggal) Sosial budaya Genetik Aktivitas fisik

Pengetahuan
gizi Pengendalian
Sistem
Neuroendokrin

Universitas Muhammadiyah Jakarta


28

2.3. Kerangka Konsep


Bagan 2.1.2 KERANGKA KONSEP

Variabel independent Variabel dependent


Pola makan konsumsi Status Gizi
camilan

 Jenis-jenis camilan
 Frekuensi konsumsi  Pola makan
camilan per hari  Aktivitas fisik
 Jumlah konsumsi
camilan perhari

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Melihat hubungan antara 2 variabel

: Variabel perancu

2.4. Hipotesis
H0 : Tidak terdapat hubungan pola makan dengan snacking dengan
status gizi pada remaja di SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, Tangerang
Selatan.
Ha : Terdapat hubungan pola makan camilan dengan status gizi pada
remaja di SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, Tangerang Selatan.

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai