Anda di halaman 1dari 4

Melihat Realita Hidup di Sebatik, Daerah Perbatasan yang Memakai Ringgit

Sebagai Mata Uang


Status sebagai WNI namun kehidupan bergantung pada Malaysia

Hidup di perbatasan memang sangat jauh dari pantauan dan pengawasan pemerintah.
Walaupun katanya Indonesia sudah berpuluh tahun melakukan pembangunan di berbagai
pelosok, mulai dari Sabang sampai Merauke, nyatanya mereka yang tinggal di ujung-ujung
Indonesia pasti tidak merasakan hal serupa.

Kali ini Boombastis.com akan mengulas tentang kehidupan di salah satu pulau terluar
Indonesia, yaitu Sebatik. Sebatik merupakan daerah yang masuk dalam Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Utara. Memiliki 5 kecamatan, Sebatik bersinggungan langsung dengan negara
tetangga, Malaysia.
Berbicara tentang kehidupan penduduk Indonesia di Sebatik, mereka masih sangat bergantung
dengan Malaysia, meskipun masuk ke dalam bagian tanah air kita tercinta. Ketergantungan ini
dalam banyak aspek, salah satunya pemenuhan kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap
harinya, hampir seluruhnya merupakan produk asal Malaysia.

Menurut salah satu warga perbatasan bernama Sannari, hal tersebut terjadi karena sulitnya
masyarakat memperoleh barang-barang yang berasal dari Indonesia. mereka hanya bisa
mendapatkannya di Tarakan –yang notabene jaraknya jauh. Selain itu, harga sembako yang
mereka beli di Malaysia juga jauh lebih murah dibandingkan miliki Indonesia. gula pasir yang
merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat, harganya di Malaysia hanya RM 2.20 atau
Rp6.600. Sementara gula pasir asal Indonesia bisa dibeli seharga 11.000-12.000 Rupiah.

Hidup di perbatasan memang sangat jauh dari pantauan dan pengawasan pemerintah.
Walaupun katanya Indonesia sudah berpuluh tahun melakukan pembangunan di berbagai
pelosok, mulai dari Sabang sampai Merauke, nyatanya mereka yang tinggal di ujung-ujung
Indonesia pasti tidak merasakan hal serupa.

Kali ini Boombastis.com akan mengulas tentang kehidupan di salah satu pulau terluar
Indonesia, yaitu Sebatik. Sebatik merupakan daerah yang masuk dalam Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Utara. Memiliki 5 kecamatan, Sebatik bersinggungan langsung dengan negara
tetangga, Malaysia.

Berbicara tentang kehidupan penduduk Indonesia di Sebatik, mereka masih sangat bergantung
dengan Malaysia, meskipun masuk ke dalam bagian tanah air kita tercinta. Ketergantungan ini
dalam banyak aspek, salah satunya pemenuhan kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap
harinya, hampir seluruhnya merupakan produk asal Malaysia.

Menurut salah satu warga perbatasan bernama Sannari, hal tersebut terjadi karena sulitnya
masyarakat memperoleh barang-barang yang berasal dari Indonesia. mereka hanya bisa
mendapatkannya di Tarakan –yang notabene jaraknya jauh. Selain itu, harga sembako yang
mereka beli di Malaysia juga jauh lebih murah dibandingkan miliki Indonesia. gula pasir yang
merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat, harganya di Malaysia hanya RM 2.20 atau
Rp6.600. Sementara gula pasir asal Indonesia bisa dibeli seharga 11.000-12.000 Rupiah.

Hal yang tak kalah unik lain adalah mata uang yang mereka gunakan. Jika Sahabat pernah
menonton film ‘Tanah Surga Katanya’ yang berbelanja memakai Ringgit, maka itu pula yang
terjadi dengan masyarakat Sebatik. Para penduduk perbatasan ini bertransaksi dengan dua
mata uang, Rupiah dan Ringgit. Namun, karena lebih sering berbelanja ke negara tetangga,
Ringgit lebih familiar dan sering digunakan.
Hariadi (35) mengatakan bahwa berbelanja di negara tetangga adalah kebanggaan tersendiri.
Prosesnya pun tidak terlalu sulit, hanya dengan menggunakan surat izin lintas batas, mereka
sudah sampai di Tawau, Malaysia dan bisa membeli berbagai keperluan, dilansir dari detik.com.

Hidup di perbatasan memang sangat jauh dari pantauan dan pengawasan pemerintah.
Walaupun katanya Indonesia sudah berpuluh tahun melakukan pembangunan di berbagai
pelosok, mulai dari Sabang sampai Merauke, nyatanya mereka yang tinggal di ujung-ujung
Indonesia pasti tidak merasakan hal serupa.

Kali ini Boombastis.com akan mengulas tentang kehidupan di salah satu pulau terluar
Indonesia, yaitu Sebatik. Sebatik merupakan daerah yang masuk dalam Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Utara. Memiliki 5 kecamatan, Sebatik bersinggungan langsung dengan negara
tetangga, Malaysia.

Berbicara tentang kehidupan penduduk Indonesia di Sebatik, mereka masih sangat bergantung
dengan Malaysia, meskipun masuk ke dalam bagian tanah air kita tercinta. Ketergantungan ini
dalam banyak aspek, salah satunya pemenuhan kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap
harinya, hampir seluruhnya merupakan produk asal Malaysia.

Menurut salah satu warga perbatasan bernama Sannari, hal tersebut terjadi karena sulitnya
masyarakat memperoleh barang-barang yang berasal dari Indonesia. mereka hanya bisa
mendapatkannya di Tarakan –yang notabene jaraknya jauh. Selain itu, harga sembako yang
mereka beli di Malaysia juga jauh lebih murah dibandingkan miliki Indonesia. gula pasir yang
merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat, harganya di Malaysia hanya RM 2.20 atau
Rp6.600. Sementara gula pasir asal Indonesia bisa dibeli seharga 11.000-12.000 Rupiah.

Hal yang tak kalah unik lain adalah mata uang yang mereka gunakan. Jika Sahabat pernah
menonton film ‘Tanah Surga Katanya’ yang berbelanja memakai Ringgit, maka itu pula yang
terjadi dengan masyarakat Sebatik. Para penduduk perbatasan ini bertransaksi dengan dua
mata uang, Rupiah dan Ringgit. Namun, karena lebih sering berbelanja ke negara tetangga,
Ringgit lebih familiar dan sering digunakan.

Hariadi (35) mengatakan bahwa berbelanja di negara tetangga adalah kebanggaan tersendiri.
Prosesnya pun tidak terlalu sulit, hanya dengan menggunakan surat izin lintas batas, mereka
sudah sampai di Tawau, Malaysia dan bisa membeli berbagai keperluan, dilansir dari detik.com.

Seberapa kuatpun pemerintah menguapayakan pembangunan merata, negeri di ujung


Indonesia ini pasti mendapat antrian paling akhir. Melansir kumparan.com, di Sebatik masih
banyak jalanan yang rusak dan memerlukan perbaikan. Sarana infrastruktur di sekitar Desa Aji
Kuning masih kalah jauh dibandingkan daerah lainnya di Kalimantan Utara. Bahkan hingga hari
kemerdekaan Indonesia ke -73, Agustus 2018 lalu.
Yang paling memprihatinkan adalah kurangnya air bersih untuk keperluan MCK masyarakat.
Selain masalah air, ketiadaan puskesmas dan rumah sakit yang jauh membuat penduduk pergi
ke rumah sakit milik Malaysia jika ada anggota keluarga mereka yang sakit.

Kendati begitu, masyarakat sangat mencintai Indonesia sebagai tanah tumpah darah mereka.
Tak ada niatan sekalipun untuk pindah kewarganegaraan ke Malaysia. Harapan mereka hanya
satu: perhatian lebih dari pemerintah agar masyarakat yang ada di Sebatik sama seperti
penduduk lain yang ada di berbagai belahan bumi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai