1” - 5” Kota Padang, ibu kota Sumatera Barat terletak di tepian Samudera Hindia. Saat ini dihuni 830.000 jiwa lebih, membujur di bibir pantai, tumbuh dan berkembang dengan pesat di balik jajaran Bukit Barisan yang mengular sepanjang pulau Sumatera. Kota ini mulai berkembang sejak kedatangan Belanda di pertengahan abad ke-17. Dibukanya pelabuhan dagang Belanda di pinggir sungai Batang Aro Mwaro menjadi tonggak sejarah berdirinya kota Padang sampai hari ini. Sisa-sisa kejayaannya masih terlihat. Rumah rumah tua dengan arsitektur bergaya Eropa masih utuh di beberapa sudut kota. Demikian pula pelabuhan, masih hiruk pikuk oleh kapal-kapal nelayan maupun kapal pembawa muatan dari berbagai wilayah di Indonesia. Daratan luas yang sebelumnya berupa rawa-rawa ini berubah menjadi kota besar yang padat penduduk. Masyarakat Minang sebelumnya menempati wilayah kaki gunung ditepi Sungai Batang Aro Mwaro namun ramainya perdagangan Belanda memicu penduduk ikut menempati wilayah pesisir pantai barat.lepas dari masa penjajahan arah pembangunan Kota Padang masih saja di wilayah barat yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. 6” - 10” Demikian pula penduduknya, 60% warga memilih tinggal di pusat kota di sepanjang pesisir barat. Kondisi ini bukan tanpa resiko. Wilayah Padang sebagai bagian dari pulau Sumatera yang terletak di zona subduksi rawan diguncang gempa yang berpotensi tsunami. Zona subduksi merupakan daerah pertemuan lempeng benua Eurasia dan lempeng Samudera Indo-Australia. Zona ini senantiasa bergerak antara 5-6 cm per tahun. Menurut peneliti gempa BPPT Dr. Widjo Kongko mengatakan bahwa “kajian terakhir dari kolega-kolega baik yang di Indonesia maupun dari Singapura, dari kajian-kajian tentang koral (studi koral), maupun hasil rekaman dari GPS menunjukkan bahwa di daerah Siberut ada deposit energi yang cukup besar yang belum rilis atau belum lepas. Hal ini memberikan satu pemahaman kepada kita bahwa kita harus waspada dengan kemungkinan itu dan dalam waktu yang mungkin tidak terlalu lama, kita mengkhawatirkan terjadi pelepasan energi. Ancaman gempa bukan saja bersumber dari zona subduksi di laut, tetapi ancaman lain juga datang dari patahan besar Sumatera yang terangkai dari Teluk Semangka di Lampung hingga provinsi Aceh yang bisa mengguncang sewaktu- waktu. Setidaknya ada 3 patahan aktif yang melalui tanah Minang, yakni patahan Suliti, patahan Sumani, dan patahan Sianok. Gempa 2010 menjadi salah satu bukti gempa yang bersumber dari sesar darat. DR. Danny Hilaman Natawidjaja “yang mulai dari Danau Dibawah sampai ke Danau Singkarak, itu namanya segmen Sumani. Kemudian yang selatannya Danau Dibawah sampai ke Muara Aman merupakan Segmen Suliki. Suliki yang posisinya berada di sebelah selatan danau Dibawah, kemudian antara Danau Dibawah dengan Danau Singkarak merupakan segmen Sumani. Yang berada di utara Danau Singkarak adalah segmen Sianok. Lalu sejauh mana kesiapan masyarakat Tanah Minang menghadapi bahaya potensi gempa dan seperti apa potensi ancaman tsunami yang terjadi di wilayah ini? Benarkah sebagian wilayah Padang akan tenggelam apabila gempa kembali mengguncang negeri ini? Ikuti penelusuran Tim Ekspedisi Cincin Api menguak kegempaan tanah Minang dan kesiapan warganya. -------------------------------------------------------------------------------- 11” - 15” Kepulauan Mentawai menyimpan energi besar hasil tumbukan lempeng samudera dan lempeng benua yang siap dilepaskan. Jika energi ini dilepaskan sekaligus akan menimbukan gempa berkekuatan maksimal 8,8 SR. Gempa ini berpotensi menimbulkan tsunami. Lempeng benua akan dilentingkan oleh lempeng samudera yang memberikan daya dorong terhadap lempeng benua, akibatnya sejumlah wilayah di kota Padang terutama di pesisir pantai akan mengalami penurunan permukaan tanah hingga 1,5 m, sedangkan pulau-pulau di bagian barat akan mengalami pengangkatan permukaan tanah. Hal ini diungkapkan oleh ahli gempa Dr Widjo kongko dari Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Jadi proses penurunan dan penaikan daratan atau di bawah laut itu akibat dari ada proses pecahan yang akibat gempa di dasar laut kira-kira 10-20 km ecocenternya di bawah itu. Proses ini akan mengakibatkan semua yang ada di permukaan bumi berubah secara vertikal maupun horizontal.” Untuk melihat potensi perubahan permukaan tanah di kota Padang, tim ekspedisi Cincin Api bersama Widjokongko menyisir sejumlah lokasi. Dari lokasi penginapan Tim Ekspedisi Cincin Api menentukan titik lokasi. Wilayah Pantai Air Manis menjadi tujuan pertama kali, menurut analisa Wijo sebagian besar lokasi ini akan tenggelam pada gempa masa yang akan datang. 16” - 20” Di sepanjang perjalanan terlihat kepadatan penduduk di wilayah pesisir pantai barat ini. Tiba di lokasi kami menyisir bibir pantai. Dari sini, Widjo, doktor lulusan Universitas Landis Hanover Jerman ini menjelaskan bagaimana Pantai Air Manis terbentuk. Kemudian Widjo menunjukkan data kepada Tim Ekspedisi Cincin Api di sebuah warung di tepi pantai. Widjo menggunakan program Digital Air Vision Model, yang dapat memperlihatkan potensi kenaikan dan penurunan permukaan tanah. Melalui peta ini, tergambar jelas bagaimana analisa perhitungan kondisi pantai saat ini dan nanti pada saat tenggelam. Widjo “kalau skenario itu terjadi bahwa ada magnitude 8,8 maka daerah ini akan terjadi turun, di AIS software secara sederhana kita bisa memperkirakan penurunannya, misalnya kita turunkan 1,5 m maka akan ada daerah yang terendam” Untuk mengkonfirmasi perhitungannya, Widjo melakukan pengukuran di lokasi. Kepada Tim Widjo menjelaskan bagaimana proses pengukuran ini dilakukan, Wijo “ini garis pantai, ini pulau nanti kita ambil satu titik disini kemudian kita marking pakai GPS, kita memupu dengan kompas arahnya 210 karena kita berasumsi bahwa source tsunami dari sini”. Dibantu oleh Tim Ekspedisi Cincin Api Widjo mulai melakukan pengukuran dari bibir pantai. Widjo menggunakan laser yang ditembakkan reflektor untuk mengukur ketinggian permukaan tanah. Hari semakin sore, air laut mulai pasang. Wisatawan menikmati deburan ombak. Terbayang bagaimana mereka nanti akan kehilangan tempat bermain ketika pantai ini tenggelam. Pendataan ini dilakukan dengan menghitung beberapa titik ketinggian lokasi dari permukaan laut. Pengukuran dilakukan dari mulai bibir pantai hingga menuju kaki bukit sepanjang hampir 200 meter garis lurus. Pengukuran potensi wilayah yang kemungkinan tenggelam selesai dilakukan 70% atau 38 hektare dari total wilayah seluas 50 hektare ini diperkirakan akan tenggelam. -------------------------------------------------------------- 21” - 25” Hari ini Tim Ekspedisi Cincin Api bersama Widjokongko kembali melakukan pengukuran titik-titik wilayah kota Padang yang akan tenggelam. Lokasi pertama adalah kawasan Pantai Padang, tepatnya di belakang sebuah bangunan hotel. Dari sini, Wijo mengukur ketinggian permukaan tanah sepanjang 50 meter, lalu tim bergerak ke lokasi lain yakni kawasan Pantai Bung Hatta. Widjo kembali menembakkan lasernya yang dipantulkan ke arah reflektor. Dengan kaca mata berlensa merah Widjo dapat dengan jelas memastikan apakah laser berhasil ditembakkan ke reflektor. Sepanjang kawasan pantai ini terlihat tanggul-tanggul dari batu yang ditata berjajar untuk mengurangi abrasi pantai. Saat terjadi tsunami, batuan ini dapat menjadi bumerang karena daya dorong ombak tsunami akan melemparkan batu- batuan ini menjadi peluru yang menghantam benda-benda maupun manusia. Hasil analisa pengukuran Widjo setidaknya 40 meter wilayah ini akan tenggelam, terlebih lagi tanggul-tanggul sepanjang pantai akan menahan air kembali ke laut setelah terhempaskan ke daratan. Matahari semakin terik tepat di atas kepala, namun Widjo terus bekerja mengukur potensi rendaman di wilayah pantai ini. Kemudian kami menuju kawasan Pantai Ujung Batu. Pantai ini dipenuhi pemukiman warga tepat di belakang tanggul. Menurut pengukuran Widjo, kawasan ini terletak 3 meter di bawah permukaan laut. Diperkirakan 2 sampai 2,5 km dari bibir pantai wilayah ini akan tenggelam nantinya. Tim ekspedisi Cincin Api bergerak lagi, kami menuju daerah Pantai Pasir Nantiko.................................................................................................................... 26” - 30” ........Terlihat kapal-kapal nelayan sedang bersandar memenuhi badan muara, kami (tim) langsung menuju bibir pantai untuk memulai pengukuran. Di pantai yang landai ini pengukuran dilakukan hingga sejauh 300 m dari bibir pantai. “Langsung di bawah pohon yang itu, yang rindang di belakang bisa nggak? Oke nunggu di situ dulu karena mau dicoba menggunakan tripod yang baru. Ini seharusnya menggunakan yang lebih stabil.” Di tengah pengukuran, Widjo mengalami kesulitan untuk menembakkan lasernya karena tripod kecilnya tidak cukup stabil menyanggah alat pengukur. Kami harus mengganti menggunakan tripod yang lebih besar dan kokoh. “Wah mantap ini baru kayak di film-film”, ucap Widjo. Pengukuran dilanjutkan. Widjo menyesuaikan diri untuk menggunakan tripod yang lebih besar. Widjo kembali mencoba untuk menembakkan lasernya hingga titik yang terjauh, dan akhirnya ia berhasil menembakkan lasernya dan pengukuran selesai dilaksanakan. “Kita mencoba pengukuran di beberapa point bebrapa titik, ternyata untuk yang di Padang kota, memang untuk daerah bibir pantainya karena ada tanggul dan kelihatannya juga gundukan-gundukan pasir masih cukup tinggi, bisa sekitar 2-3 m. Jadi kalau misal di daerah itu ada penurunan daratan, masih belum terendam sampai jauh ke daratan. Tapi untuk yang di air manis, kita lihat sangat landai. Kita lihat juga ketinggian daratannya existing atau saat ini kurang dari 2 meter katakanlah begitu, sehingga kemungkinan besar memang di daerah itu ada beberapa lebih dari katakanlah 30-50 % terendam. Dan untuk daerah yang lebih utara lagi, di Sebelah Utara Mwaro atau agak ke utara sedikit sampai di tebing tadi kita juga masih melihat cukup tinggi. Di sebelah utara lagi kita belum tahu, masih perlu dilaksanakan pengukuran lebih lanjut”, jelas Widjo. ---------------------------------------------------------------------------- 31” - 35” Daratan Kota Padang terbentuk dari sedimen berupa lapisan pasir, kerikil dan lempung. Kawasan ini dahulu didominasi rawa kemudian ditimbun untuk dijadikan pemukiman penduduk, bahkan gedung tinggi dan perkantoran. Untuk membuktikan kondisi dibawah permukaan tanah Kota Padang, Tim Ekspedisi Cincin Api perlu melakukan Survey Geolistrik. Kami mengajak Ahli Geologi Dino Gunawan Priambodo bersama timnya dari Kementrian Perikanan dan Kelautan Kota Padang. Untuk mendapatkan hasil yang presisi, Tim harus mematangkan rencana diatas kertas sebelum melaksanakan Survey Geolistrik, terutama menentukan titik lokasi. Akhirnya tim sepakat, survey dilaksanakan dikawasan yang termasuk parah ketika gempa terjadi tahun 2009 yaitu kawasan Universitas Bung Hatta tepatnya Kelurahan Pasir Punakarang Kecamatan Padang Utara dan lokasi kedua adalah di Asrama TNI Kelurahan Ganting Parang gadang. (Dino “ini saya ambil dipinggir jalan semua ya, karena apa? karena alasan 1 untuk membentangkan kabel sepanjang 160 meter dengan lurus, ya kalau lurus dalam arti sebenarnya ya kalau bisa lurus terus itu hanya ada di jalanan”). Setelah rapat selesai, Tim mempersiapkan perlengkapan Survey Geolistrik yang dibutuhkan. Kami pun berangkat menuju lokasi pertama kawasan Universitas Bung Hatta. Setelah 40 menit perjalanan tim tiba dilokasi, masing- masing kru mempersiapkan peralatan geolistrik yang dibutuhkan. Panjang lintasan geolistrik diukur sejauh 160 meter. Setiap 5 meter ditanami patok untuk mengalirkan arus listrik. Geolistrik merupakan suatu metode memindai penampang permukaan bumi dengan aliran listrik. “Jadi di geolistrik itu secara dasar prinsipnya seperti ini, jadi kita itu memasukkan atau menginjeksikan suatu aliran listrik ke dalam bumi dan diterima oleh elektroda. Jadi kita mempunyai 4 elektroda yaitu elektroda a dan b sebagai elektroda arusnya, dan elektroda m dan n sebagai elektroda potensialnya. Jadi arus itu diinjeksikan oleh elektroda a dan diterima oleh elektroda b. Dari hasil injeksi ini maka ada beda tegangan potensial yang akan diukur oleh elektroda m dan n. Jadi variabel yang diukur yaitu variabel arus dan variabel tegangan dalam bentuk volt”. Setelah patok-patok selesai ditanam, listrik disuntikkan ke dalam tanah melalui elektroda, penyuntikan arus listrik dilakukan secara berurutan 36” - 40” ......Kemudian data di lapangan dicatat dengan rinci. Saat terjadi gempa tahun 2009, kawasan sekitar kampus Bung Hatta memperlihatkan ciri-ciri tanah likuifaksi seperti yang diceritakan oleh salah seorangwarga setempat. “Bangunan semuanya retak-retak dan banyak juga jalan yang rekah yang menimbulkan air muncrat dari rekahan tanah tersebut. Air keluar berwarna hitam dan bercampur pasir”, kata Ridwan salah seorang warga. Ada beberapa tanda-tanda satu wilayah terdapat likuifaksi antara lain muncul semburan air tanah, banyak bangunan yang rusak di satu area yang berdekatan, juga terdapat bangunan yang amblas ke bawah tanah. Kondisi tanah berawa berpotensi menimbulkan likuifaksi. Likuifaksi adalah kondisi tanah yang labil perilakunya seperti benda cair. Kelabilan tanah itu muncul ketika mendapat tekanan seperti gempa bumi, akibatnya akan membahayakan bangunan yang berada di atasnya. Menurut Prof Djoko Legowo, “khusus untuk Padang sendiri secara historis memang pernah ada satu literatur yang mengatakan itu adalah tanah rawa, jadi kalau secara litologi ini memang sebaiknya kita melihatnya agak lebih cermat lagi, litologi secara vertikal, mungkin jikalau secara horizontal memang itu zonanya atau basenya itu di pantai barat Padang. Itu pantai yang dulunya secara historis adalah rawa”. Melalui geolistrik dapat diketahui apakah tanah di suatu wilayah mengalami likuifaksi saat terjadi gempa. Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan di kawasan kampus Bung Hatta, tim ekspedisi bergerak menuju lokasi selanjutnya yaitu kelurahan Ganting Parak Gadang. Setelah melintasi pusat kota Padang akhirnya tim sampai di wilayah yang dituju. Tim kembali menurunkan alat yang diperlukan. Proses pekerjaannya sama persis seperti proses sebelumnya, patok-patok ditancapkan setiap 5 meter. Di bawah naungan awan gelap, tim terus bekerja. Setelah mendapatkan data mentah dari 2 survei geolistrik, tim akan memproses data menjadi sebuah informasi. 40” - 45” Ternyata hasil survei geolistrik menguatkan indikasi awal bahwa di dua lokasi ini terjadi likuifaksi. “Hasil datanya kita dapat zona-zona likuifaksi di daerah Parak Gadang dengan kedalaman antara sekitar 10 meter sampai 25 meter dan ada juga kedalaman yang 26 meter. Sebenarnya data likuifaksi sangat penting untuk pemerintah daerah terutama pemegang kebijakan PU sebagai pembuat kebijakan bangunan. Jadi untuk bangunan-bangunan tinggi saya harapkan ada cloud buildingnya untuk daerah bencana likuifaksi. Jadi kita tidak boleh sembarangan membangun rumah atau membangun gedung di atas tanah yang rawan likuifaksi seperti itu” (Dino Gunawan Pryambodo, Ketua Tim Survei Geolistrik). ------------------------------------------------------------------------------------------ Gempa bumi dari zona subduksi dan tiga sesar darat senantiasa mengancam wilayah Sumatera Barat. Danau Singkarak misalnya, menjadi salah satu jejak sesar yang melintasi tanah Minang, danau ini terbentuk dari suatu proses tektonik yang sangat panjang, sejak 2 juta tahun lalu. Pergerakan tanah menyebabkan danau ini bertambah lebar. Untuk mengetahui proses tektonik Bumi Minangkabau, Tim Ekspedisi Cincin Api menemui ahli gempa Danny Hilman Natawijaya. Di sela kesibukannya di kantor Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung, ia memaparkan ancaman gempa di Sumatera Barat. “Danau Singkarak terjadi di antara 2 segmen patahan lempeng Sumatera. Satu bagian ditarik ke utara, satu bagian ditarik ke selatan setiap tahun 1 sampai 2 cm. Kita lihat sekarang danau Singkarak panjangnya sudah 25 kilometeran, artinya danau Singkarak terbentuk sekitar 2 juta tahun yang lalu. Danau lainnya banyak juga, seperti danau Kerinci yang terbentuk karena patahan Sumatera.” Lalu sejauh mana kesiapan kota Padang dan Sumatera Barat secara keseluruhan dalam menghadapi potensi gempa dan tsunami di masa mendatang? Tim Ekspedisi Cincin Api bersama Wijokongko menemui Prof. Febrin Anas Ismail di klinik rekonstruksi miliknya di Jalan Raden Saleh Kota Padang. Wakil Rektor Universitas Andalas ini mengajak tim melihat kesiapan infrastruktur dan sarana umum di Kota Padang. Tim diajak melihat kondisi jalur evakuasi di Jalan Alai yakni jalan yang menghubungkan wilayah pesisir pantai barat dengan wilayah yang lebih tinggi di sisi timur. Jalan ini sebelumnya hanya cukup dilalui oleh satu mobil saja. Dibutuhkan waktu 5 tahun untuk melebarkan jalan menjadi 12 M karena adanya berbagai kendala sosial, saat gempa 30 september 2009 lalu jalan ini macet selama 4 jam. 46” - 50” Tim kembali bergerak, kali ini professor lulusan Teknik Sipil Universitas Yokohama Jepang ini mengajak kami ke Simpang Kandang, di lokasi ini akan di bangun jembatan jaring tsunami sebagai salah satu solusi mengatasi minimnya jalur evakuasi, “hahahah (orang tertawa), betul jadi nanti remnya berangkat ini ke atas sekitar 10 meter, trus kita bikin jembatan kesana, kesana, kesana trus di tengahnya kita kasih hubungan dengan dek”. Jembatan ini dapat menampung hingga 3000 orang, rencananya jembatan ini akan dibangun di beberapa persimpangan mulai tahun 2012 ini. Tim kembali bergerak. Kali ini professor Febrin ingin menunjukkan kesiapan bangunan dan gedung tahan gempa, yang nanti dapat digunakan sebagai tempat evakuasi. “Jadi bangunan-bangunan lainnya itu standar desain yang digunakan untuk menahan beban tsunami, itu sudah ada standarnya, selama ini kita memakai standar kema dari Amerika, karena kita belum mempunyai standar khusus untuk beban tsunami, nah, di standar kema itu khusus untuk tsunami yang paling dominan itu adalah beban debris ya… atau puing-puing yang ikut mengalir bersama air, nah.. jadi hantaman puing ini terhadap tiang-tiang dari bangunan itu, itu bebannya cukup besar, nah.. jadi kuncinya dalam desain itu kalau bangunan itu sudah didesain terhadap beban paling dominan dari tsunami ya.. insha Allah bangunan itu akan kuat”. Ini adalah hotel Bumi Minang yang ikut rusak saat gempa 2010 lalu, bangunan ini diperbaiki dan di perkuat terutama pada bangunan strukturnya, dinding yang menggunakan bahan-bahan yang ringan yakni beton busa yang dilapis kawat sehingga tidak mudah rubuh. “Kemudian untuk dinding ini diperkuat kawat ayam, selama ini dinding ini kan istilahnya gampang sekali roboh dia, nah,, sekarang dengan adanya kawat ayam ini tertahan dia batabata yang ada di sekitar kor ini”. Perkuatan sejumlah bangunan juga di lakukan di bagian pondasi antara lain dengan menggunakan teknologi tahan gempa. Febrin mengajak tim ekspedisi cincin api melihat penggunaan teknologi best isolation di pondasi gedung dinas pekerjaan umum kota Padang. “Ini jadi posisi best isolation ada di bawah, yang akan mengatasi mengatasi struktur atas, jadi dari sini ke atas dengan struktur bawah, nah,, ini kalau lihat ini, ini ada space ya.. jadi bangunannya bisa bergerak ke sini, ke sana juga bisa”. Gedung ini dirancang tidak hanya tahan gempa tetapi juga tahan tsunami, dindingnya diminimalisir sehingga arus ombak tsunami dapat menembus bangunan tanpa mengguncangnya. Di samping itu sejumlah gedung lain juga disiapkan seperti gedung SMA Negri 1 Padang. Bagian atap gedung dapat menampung ribuan orang jika terjadi tsunami, lengkap dengan tempat pendaratan helikopter. Juga dengan TK/SD Al Azhar di samping tahan gempa, gedungnya dipersiapkan sebagai lokasi penyelamatan. “Sirine berbunyi tanda sebagai simulasi terjadinya gempa dan tsunami”. 51” - 56” Kini masyarakat Padang dipersiapkan untuk dapat menghadapi ancaman gempa dan tsunami sewaktu-waktu. Sejak dini mereka dikenalkan melalui pendidikan di sekolah-sekolah maupun lewat berbagai lembaga kemasyarakatan. Di samping kesiapan masyarakat, alam kota Padang juga memiliki benteng penjaga ibu kota Sumatera Barat dari terjangan tsunami yakni pulau-pulau kecil yang berada di lepas pantainya. Untuk melihat lebih dekat, Tim Ekspedisi Cincin Api mencoba menengok kondisi pulau- pulau dan terumbu karang, sebagai benteng awal pemecah ombak apabila tsunami datangmenerjang kota Padang. Kami mengajak peneliti kawasan pesisir pantai Hardian Merkuri serta pemerhati ekosistem terumbu karang Samsuadi. Tim mengawali perjalanan dari pelabuhan desa sungai Pisang, sebelah selatan Padang. Di beberapa lokasi penyelaman kami menemukan dasar laut yang dipenuhi terumbu karang terbelah, menyerupai sungai bawah laut. Namun gempa tidak selamnya berdampak buruk. Guncangan gempa ternyata membantu siklus alam terus berjalan. Kerusakan pada terumbu karang justru memberi ruang pada terumbu karang lain untuk berkembang. Di sisi lain, alam justru sedang menanti siklusnya dan menciptakan keseimbangannya sendiri. Korban jiwa dan kerugian material akibat kejadian gempa yang akan datang memang perlu diantisipasi. Sejauh ini para ahli hanya bisa mengkaji potensi ancaman. Gempa tidak pernah membunuh, tsunami dapat dihindari. Hanya saja manusia seringkali abai terhadap tanda-tanda alam.