Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang
mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau
sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004).
Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
 bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi
atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok
sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk
menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
 perundang-undangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
 pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang
 belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan
kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat
kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan
tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan
mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi
orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum
terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan
diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak
 bagi masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agregat populasi rentan?
2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?
3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?
4. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ?
5. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi
rentan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan
2. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental
3. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan
4. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar
5. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat dalam
komunitas populasi rentan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI

1. Populasi Rentan

Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit


dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5
ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah
orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang
cacat. Sedangkan menurut  Human Rights Reference 
Reference  disebutkan, bahwa
yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:

a.  Refugees (pengungsi)
b.  Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c.  National Minoritie (kelompok minoritas)
d.  Migrant Workers (pekerja migran )
e.  Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
 pemukimannya)
 f. Children (anak)
 g. Women (wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
 berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
 perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan
 penyandang cacat adalah setiap
seti ap orang yang mempunyai kelainan fisik dan
atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi
 pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental,
Penyandang cacat fisik dan mental.

2. Penyandang Cacat / Disabilitas

a. Pengertian Penyandang Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan


dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan
disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata
serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities)
disabilities) yang berarti
cacat atau ketidakmampuan.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun


2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas
fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik
dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang
yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan
dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda
inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-
haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang
 berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup
orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan
sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami
gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1
(pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat
fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun


2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas
fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik
dan mental.

Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup


dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang
 pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan
 pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia
yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki
defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat
fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang
dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi
kognitifnya mengalami gangguan.

 b. Jenis-jenis Disabilitas

Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan


khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas
memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan
 bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis
 penyandang disabilitas 5 :

1. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:


a) Mental Tinggi.
Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana
selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia
 juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.
 b) Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/ IQ
(Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi
2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu
anak yang memiliki  IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90.
Sedangkan anak yang memiliki  IQ (Intelligence Quotient) di
 bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
c) Berkesulitan Belajar Spesifik
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar
(achievment) yang diperoleh
2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu7:
a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur
tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan
(kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
 b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam
 penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua
golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.
c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
 pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena
memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa
disebut tunawicara.
d. Kelainan Bicara (Tunawicara)
Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit
 bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara
ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat
 bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya
ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan
 pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara.
3. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu
kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental)

3. Tunawisma/ Gelandangan

a. Definisi
 Homeless  atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak
memiliki tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja
dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam
golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga.
Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan
masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak
memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial,
tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka
menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem
 pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma
adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam
rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun
 penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan
akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.

 b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma


1) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan
 banyaknya gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan
dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak
memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis
sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis
kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik
dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma
untuk tetap bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin
menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan
karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali
kurang terlindung.
2) Rendah tingginya pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap
kesejahteraan seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap
 persaingan didunia kerja. Seseorang dengan pendidikan rendah
akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak.
Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi
semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan
gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi
kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3) Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang
dan perlindungan yang lebih daripada lingkungan lain. Namun,
hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga
 broken home membuat mereka merasa kurang
Peran perawat disini adalah memberikan asuhan keperawatan
kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan secara holistik
atau menyeluruh.
2) Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya
 pendidikan mereka yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh
karena itu, perawat menjelaskan kepada mereka informasi seputar
kesehatan dan menanamkan gaya hidup sehat. Diharapkan para
tunawisma tersebut dapat merubah perilaku mereka untuk mencapai
tingkat kesehatan yang maksimal.
3) Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada
tunawisma. Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan
rumah, pertemuan atau pengumpulan data.
4) Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang
kesehatan kepada masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang
dapat ditiru dan dicontoh oleh mereka.
5) Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran
 perawat yang lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif,
memberikan pembuatan keputusan antara individu dan keluarga,
memberikan perlindungan bagi para tunawisma dari ancaman
terhadap kesehatan dan kehidupannya. Semua itu dilakukan dengan
komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan mereka terpenuhi.
6) Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke
tingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang
menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma
mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan
mereka dan perawat membantu mereka untuk beradaptasi
semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.

f. Level Pencegahan Homeless (Tunawisma)


1) Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar
tetap berada di rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a) Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya
 bantuan publik, mengetahui tersedianya dana, dan
mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan bagi
tunawisma yang membutuhkan.
 b) Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar
tidak terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis
kepada tunawisma.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk
membayar rumah dan kebutuhan dasar.
2) Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar
segala kebutuhan serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para
tunawisma sulit mengakses khususnya system pelayanan kesehatan
karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap,
sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari
kondisi tersebut dan mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi
tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang
rendah dan menimbulkan persoalan umum bagi populasi
tunawisma adalah mereka menjalani medikasi dan regimen
terapi.
 b) Obat –  obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan
ditempat penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan
asupan makanan sesuai yang ada di tempat penampungan
tersebut.
d) Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk
mengompensasi defisit nutrisi
e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu
melakukan usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor  –   faktor yang menghambat para
tunawisma agar tetap mendapatkan pelayanan kesehatan
3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi)
Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003).
Langkah pencegahan tersier pada tunawisma antara lain:
a) Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh
 pihak dinas sosial kepada para PMKS. Bagian ini merupakan
 bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya
diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis.
Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa
 percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya.
Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar,
hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana
 penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi tersebut.
Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis
(gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat
memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada
 juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam
Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan
satu kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor
 psikologis. (Maslim, tth:72).
6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat
 badan dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita
(Maslim, tth:90).
7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang
cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang
khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri
maupun orang lain (Maslim, tth:102).
8) Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti
atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya
keterampilan selama masa perkembangan sehingga berpengaruh
 pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
9) Gangguan perkembangan psikologis.
Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan
fungsifungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis
dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus menerus
tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud
“yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan
 bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering
menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).

10) Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.


Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan
aktivitas berlebihan.  Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya
terlalu dini tugas atau suatu kegiatan sebelum tuntas/selesai.
 Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang
 berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang
relatif tenang (Maslim, tth:136).
Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja
(2004:15-16), mengungkapkan bahwa gangguan mental ( mental
disorder ) memiliki rentang yang lebar, dari yang ringan sampai
yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan
integrasi kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat)
dan distress personal. Istilah ini lebih sering digunakan
untuk perilaku maladaptif pada anak-anak.
 b) Psikopatologi ( psychopathology), diartikan sama atau
sebagai kata lain dari perilaku abnormal, psikologi
abnormal atau gangguan mental.
c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain
dari gangguan mental, namun penggunaannya saat ini
terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi
otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
d) Gangguan mental (mental disorder ) semula digunakan
untuk nama gangguan-gangguan yang berhubungan dengan
 patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama inipun
sering digunakan sebagai istilah yng umum untuk setiap
gangguan dan kelainan.
e) Ganguan prilaku (behavior disorder ), digunakan secara
khusus untuk gangguan yang berasal dari kegagalan belajar,
 baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan
ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan
masalah yang maladaptif.
f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang
mengidentifikasikan bahwa individu secara mental tidak
mampu untuk mengelolah masalah-masalahnya atau
melihat konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah
ini menunjuk pada gangguan mental yang serius terutama
 penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas
tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di
hukum atau tidak.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental


( Mental Disorder )
Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor
yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder ),
maka yang perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor dominan yang
dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis
merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi
faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental
(mental disorder ) ke dalam dua faktor, yaitu:
1) Faktor Organis ( somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak
dan proses dementia.
2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis
dan reaksi psikotis pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan
lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan
rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang
mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi
kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari
 pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat
orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis
ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul
 beban tersebut.
3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha
 pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi
menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat modern menjadi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
A. Data Inti Komunitas

1. Sejarah / Riwayat Daerah Komunitas

a. Desa huntu barat merupakan satu desa yang berada di kecamatan


 bulango selatan kabupaten bone bolango provinsi gorontalo. Menurut
sejarah desa ini sudah melewati beberapa kali pemekaran, sejak
kemerdekaan indonesia desa ini yang awalnya dari desa huntu
kemudian dimekarkan menjadi huntu selatan dan huntu utara. Pada saat
 provinsi gorontalo baru terbentuk dan kabupaten bone bolango dibentuk
oleh peraturan undang-undang nomor 19 tahun 2007 desa huntu utara di
mekarkan menjadi desa huntu utara dan desa mekar jaya, kemudian
desa mekar jaya di ubah nama menjadi desa huntu barat. Desa ini
memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.146 jiwa.
 b. Riwayat :
1) Usia penderita:
Anak : 15 –  20 tahun
Orang tua : 32-49 tahun
2) Jenis mental disorder yang pernah diderita: gangguan konsep
diri: harga diri rendah, memandang dirinya tidak sebaik teman-
temannya di sekolah.
3) Riwayat trauma : takut yang berlebihan
4) Konflik : penganiayaan

2. Data Demografi

- Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia Dan Jenis Kelamin


Jumlah penduduk sebanyak 1.146 jiwa terdiri dari:
 Pria 549
 Wanita 597

- Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan


 No Pendidikan Frekuensi

1 Belum Sekolah 75

2 TidakSekolah 0

3 TK 34

4 SD 266

5 SMP 273

6 SMA 403

7 Perguruan Tinggi 95

Total 1.146

Distribusi penduduk berdasarkan pendidikan terdiri dari belum sekolah


yaitu bayi sampai balita 0-5 tahun sebanyak 75 anak, tidak sekolah tidak ada, TK
sebanyak 34 orang terdiri dari anak usia dini, SD terdiri dari anak usia sekolah
dan masyarakat yang hanya lulusan SD 266, SMP terdiri dari anak remaja dan
masyarakat yang lulusan SMP 273, SMA terdiri dari remaja dan masyarakat yang
lulusan SMA sebanyak 403 dan perguruan tinggi terdiri dari
mahasiswa/mahasiswi dan masyarakat yang menempuh perguruan tinggi
sebanyak 95.

- Distribusi Pekerjaan
 No Jenis Pekerjaan Frekuensi

1 Pelajar/belum bekerja 447


2 Tidak Bekerja/IRT 94

3 PNS 52

4 TNI/POLRI 3

5 Pensiunan 59

6 Swasta 491

Total 1.146

Distribusi pekerjaan yakni pelajar/belum bekerja terdiri dari anak belum


sekolah dan pelajar SD, SMP, SMA, dan mahasiswa Universitas sebanyak 447,
tidak bekerja atau IRT sebanyak 94, 92 oleh IRT yang tidak bekerja, PNS
sebanyak 73, TNI/POLRI sebanyak 3 , pensiunan 59, swasta sebanyak 470.

- Distribusi Ras Dan Etnis


Penduduk desa huntu barat dihuni oleh sebagian bes ar suku gorontalo.

6. Nilai  –  Nilai, Keyakinan Dan Agama

 No Agama Yang Dianut Frekuensi %

1 Islam 1.146 100%

2 Kristen 0

3 Hindu 0

4 Budha 0

5 Konghucu 0

Total 1.146

Agama yang dianut masyarakat desa 100% islam


 patimuan dapat kepemimp 4. Edukasi 3. Tokoh minggu menyebut
melakukan inan (penyuluhan Agama  bagaimana cara
demonstrasi ttg
tentang 4. mahasiswa memecahkan
 bagaimana cara
menyelesaikan  bagaimana cara 5. materi masalah
suatu masalah memecahkan tentang
yang baik.
masalah) kesehatan
 jiwa

Setelah dilakukan Pemberda 1. Pembinaan 1. Kader Aula Setiap Respon 1. Warga aktif Mahasiswa
tind. keperawatan yaan dan keluarga sehat dan kesehatan kantor hari Psikom diskusi terkait Kader
selama 3 minggu kemitraan desa minggu, otor
anggota keluarga 2. Tokoh kasus yang ada kesehatan
warga kelurahan huntu dilakukan
 patimuan dapat resiko gang. jiwa masy.  barat 2 kali/ 1 2. Warga
melakukan studi membahas kasus 3. Maha minggu terkontrol
kasus tentang
terkait manajemen siswa emosinya
masalah yang
sering dihadapi stress dan di 4. Materi dengan
diskusikan. tentang kelompok
2. Pembinaan kesehatan diskusi tersebut
kelompok &  jiwa Respon 3. Masyarakat
masy. melalui Afektif lebih mampu

54
kunjungan Perawa menghadapi
t Puskesmas/ kemungkinan
Komunitas masalah yg ada
3. Kerjasama LP warga terbuka
dengan Dinas wawasan dan
Kesehatan  peluang usaha
Kabupaten berupa untuk perbaikan
 pengadaan ekonominya.
kegiatan rutin Life
Skill Education
dan LS berupa
 pelatihan
kewirausaan dari
Dinas Perikanan.

Setelah dilakukan Intervensi 1. Terapi modalitas 4. Perawat Aula Setiap 2 Respon 1. Warga merasa Mahasiswa
tind.keperawatan  profesiona keperawatan 5. Tokoh kantor hari verbal lebih tenang dan kader
selama 4 minggu l desa sekali/min kesehatan
 berupa pemberian masy. 2. Warga merasa
warga kelurahan huntu ggu
 patimuan dapat teknik relaksasi 6. Tokoh  barat lebih semangat
melakukan studi

55
kasus tentang nafas dalam. agama 3. Warga bisa
masalah yang 2. Terapi 7. Maha mengontrol
sering dihadapi
komplementer siswa emosinya
 berupa
manajemen stress
3. Pemberian
 bimbingan
keagamaan
(spiritual)

56
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Kelompok Rentan adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir
miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human
 Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok
Rentan adalah:
h.  Refugees (pengungsi)
i.  Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
 j.  National Minoritie (kelompok minoritas)
k.  Migrant Workers (pekerja migran )
l.  Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
 pemukimannya)
m. Children (anak)
n. Women (wanita)
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang
harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial
yang sedang mereka hadapi.
Kelompok rentan terbagi menjadi 3:
a. Penyandang cacat
 b. Tunawisma
c. Gangguan mental/mental disorder

Anda mungkin juga menyukai