Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PATOFISIOLOGI

2.1. Patofiologi Penyakit

2.1.1 Penularan

Penularan biasanya terjadi melalui mulut, luka di kulit, oleh telur atau larva
cacing yang bisa terdapat dimana-mana, misalnya di tanah, debu dan lantai. Telur cacing
tahan terhadap suhu agak tinggi dan keadaan kering. Anak-anak kecil yang biasanya
belum cukup mengerti tentang kebersihan mudah sekali terkena cacingan (Tjay dan
Raharja, 2010).
Orang-orang yang cacingan memiliki telur cacing pada fesesnya. Pada daerah
yang tidak memiliki jamban, tanah dan air yang ada disekitar tempat itu atau
masyarakatnya dapat terkontaminasi dengan feses yang mengandung telur cacing
(WHO, 2011).

2.1.2 Penyebab
Ada beberapa jenis cacing yang dapat menjadi penyebab cacingan pada orang dewasa.
Sebetulnya, cacing tersebut tidak khusus menginfeksi orang dewasa, tapi juga anak-anak,
bahkan hewan. Jenis-jenis cacing itu antara lain:
1). Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

a. Morfologi dan Siklus Hidup

Cacing jantan mempunyai panjang 10-30 cm sedangkan cacing betina 22-35 cm.
Cacing betina dapat bertelur 100 000 - 200 000 butir sehari, terdiri atas telur dibuahi dan
telur tidak dibuahi. Di tanah yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Bila telur infektif tertelan, telur akan
menetas menjadi larva di usus halus. Selanjutnya larva menembus dinding usus halus
menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu terbawa aliran darah ke jantung dan paru.
Di paru, larva menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga
alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva
menuju ke faring dan menimbulkan rangsangan di faring sehingga penderita batuk dan
larva tertelan ke dalam esofagus, lalu ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi
cacing dewasa. Sejak telur infektif tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan
waktu kurang lebih 2-3 bulan (Gambar 1).

Gambar 1. Siklus Hidup Cacing Gelang

b. Gejala Klinis

1. Fase migrasi

larva Pada fase migrasi, larva dapat mencetus timbulnya reaksi pada jaringan yang
dilaluinya. Di paru, antigen larva menimbulkan respons inflamasi berupa infiltrat yang
tampak pada foto toraks dan akan menghilang dalam waktu tiga minggu. Terdapat gejala
pneumonia atau radang paru seperti mengi, dispnea, batuk kering, demam dan pada infeksi
berat dapat timbul dahak yang disertai darah. Pneumonia yang disertai eosinofilia dan
peningkatan IgE disebut sindrom Loeffler.Larva yang mati di hati dapat menimbulkan
granuloma eosinofilia.

2. Fase intestinal

Cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang menimbulkan gejala klinis.
Jika terdapat gejala klinis biasanya tidak khas yaitu mual, nafsu makan berkurang, diare
atau konstipasi, lesu, tidak bergairah, dan kurang konsentrasi. Cacing Ascaris dapat
menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorsi vitamin A dan mikronutrisi. Pada anak
infeksi kronis dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan akibat dari penurunan nafsu
makan, terganggunya proses pencernaan dan malabsorbsi. Efek yang serius terjadi bila
cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).Selain itu cacing
dewasa dapat masuk ke lumen usus buntu dan dapat menimbulkan apendisitis (radang
usus buntu) akut atau gangren.Jika cacing dewasa masuk dan menyumbat saluran empedu
dapat terjadi kolik, kolesistitis (radang kantong empedu), kolangitis (radang saluran
empedu), pangkreatitis dan abses hati.Selain ke bermigrasi ke organ, cacing dewasa juga
dapat bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau hidung. Migrasi cacing dewasa dapat
terjadi karena rangsangan seperti demam tinggi atau obat-obatan.

c. Diagnosis

Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur A.lumbricoides pada sediaan basah


tinja langsung. Penghitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai
pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila
cacing dewasa keluar sendiri melalui mulut,hidung atau anus.

2). Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

A. Morfologi dan siklus hidup

Cacing betina panjangnya ± 5 cm, sedangkan cacing jantan ± 4 cm. Bagian anterior
langsing seperti cambuk, panjangnya ± 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior
bentuknya lebih gemuk; pada cacing betina bulat tumpul sedangkan pada cacing jantan
melingkar dan terdapat satu spikulum. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan
telur setiap hari sebanyak 3.000 -10.000 butir. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes
bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam
lingkungan yang sesuai, yaitu di tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur
yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Bila telur matang tertelan, larva akan
keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa
cacing akan turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum.
Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya yang
seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. T. trichiura tidak mempunyai siklus paru.
Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur ± 30 -
90 hari (Gambar 2).
Gambar 2. Siklus Hidup Cacing Cambuk

B. Patofisiologi dan gejala klinis

T. trichiura menyebabkan penyakit yang disebut trikuriasis. Trikuriasis ringan biasanya


tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Pada infeksi berat
terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum sehingga dapat menimbulkan
prolapsus rekti (keluarnya dinding rektum dari anus) akibat Penderita mengejan dengan kuat dan
sering timbul pada waktu defekasi. Selain itu Penderita dapat mengalami diare yang diselingi
sindrom disentri atau kolitis kronis, sehingga berat badan turun.Bagian anterior cacing yang
masuk ke dalam mukosa usus menyebabkan trauma yang menimbulkan peradangan dan
perdarahan.T. trichiura juga mengisap darah hospes, sehingga mengakibatkan anemia.

C. Diagnosis

Diagnosis trikuriasis ditegakkan dengan menemukan telur pada sediaan basah tinja
langsung atau menemukan cacing dewasa pada pemeriksaan kolonoskopi. Telur T. trichiura
memilki karakteristik seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih di kedua kutub
sehingga mudah untuk diidentifikasi(Tabel1.) Penghitungan telur per gram tinja dengan teknik
katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi.

3). Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

A. Morfologi dan Siklus Hidup

Dua spesies utama cacing tambang yang menginfeksi manusia adalah A.


duodenale dan N. americanus. Cacing betina berukuran panjang ± 1 cm sedangkan cacing
jantan berukuran ± 0,8 cm. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks. Bentuk badan N.
americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale menyerupai huruf C.
N. americanus tiap hari bertelur 5.000-10.000 butir, sedangkan A. duodenale 10.000-
25.000 butir. Rongga mulut N. americanus mempunyai benda kitin, sedangkan A.
duodenale mempunyai dua pasang gigi yang berfungsi untuk melekatkan diri di mukosa
usus.
Telur dikeluarkan bersama feses dan pada lingkungan yang sesuai telur menetas
mengeluarkan larva rabditiform dalam waktu 1 - 2 hari. Larva rabditiform tumbuh
menjadi larva filariform dalam waktu ± 3 hari. Larva filariform bertahan hidup 7 - 8
minggu di tanah dan dapat menembus kulit. Infeksi terjadi bila larva filariform
menembus kulit. Infeksi A. duodenale juga dapat terjadi dengan menelan larva filariform.
Bila larva filariform menembus kulit, larva akan masuk ke kapiler darah dan
terbawa aliran darah ke jantung dan paru. Di paru larva menembus dinding pembuluh
darah, lalu dinding alveolus, kemudian masuk rongga alveolus, dan naik ke trakea
melalui bronkiolus dan bronkus menuju ke faring. Di faring larva akan menimbulkan
rangsangan sehingga penderita batuk dan larva tertelan masuk ke esofagus. Dari
esofagus, larva menuju ke usus halus dan akan tumbuh menjadi cacing dewasa (Gambar
3).
Gambar 3. Siklus hidup cacing tambang

B. Patofisiologi dan Gejala Klinis


1.Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan
kulit yang disebut ground itch yaitu reaksi lokal eritematosa dengan papul-papul yang
disertai rasa gatal.
Infeksi larva filariform A. duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana
dengan gejala mual, muntah, iritasi faringeal, batuk, sakit leher, dan suara serak. Larva
cacing di paru dapat menimbulkan pneumonitis dengan gejala yang lebih ringan dari
pnemonitis Ascaris.
2. Stadium dewasa
Manifestasi klinis infeksi cacing tambang merupakan akibat dari kehilangan
darah karena invasi parasit di mukosa dan submukosa usus halus. Gejala tergantung
spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi Penderita. Seekor N. americanus
menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 - 0,1 cc/hari, sedangkan A. duodenale
0,08 - 0,34 cc/hari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer dan eosinofilia.
Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang
dan prestasi kerja turun.

C. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang
lama mungkin ditemukan larva. Morfologi dan karakteristik talur cacing tambang dapat di
lihat pada Tabel 1. Penghitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai
pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi.

4). Cacing Kremi (Enterobius vermicularis)


A. Morfologi dan siklus hidup
Cacing betina berukuran panjang 8 – 13 mm, lebar 0,3 – 0,5 mm dan mempunyai ekor
yang meruncing. Bentuk jantan lebih kecil dan berukuran panjang 2 -5 mm, lebar 0,1 – 0,2
mm dan mempunyai ujung kaudal yang melengkung.
Siklus hidupnya bermula dari telur cacing yang terletak pada lipatan perianal, di mana
larva dalam telur berkembang dalam 4 sampai 6 jam, Ketika telur berembrio tertelan, larva
menetas dalam usus halus dan berkembang menjadi dan cacing dewasa hidup di lumen usus
buntu. Gravid betina bermigrasi ke area perianal pada malam hari untuk bertelur (Center for
Disease Control and Prevention, 2017).

Gambar 4. Siklus Hidup Cacing Kremi


(Center for Disease Control and Prevention, 2017)
B. Patofisiologi dan Gejala Klinis
Gejala klinis yang menonjol disebabkan karena iritasi di sekitar anus perineum dan
vagina oleh cacing etina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga
menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan
pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di
sekitar anus.

C. Diagnosis
Diagnosis untuk infeksi cacing kremi adalah dengan menggunakan Anal swab/ Swab
Perianal dengan bantuan alat berupa batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya
dilekatkan scotch adhesive tape. Penggunaan swab perianal dilakukan pada waktu pagi hari
sebelum penderita buang air besar dan mencuci pantat (cebok ). Bila adhesive tape
ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian
adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan
mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan empat hari berturut – turut.

5). Infeksi Cacing Pita(Taenia saginata)


A. Morfologi dan siklus hidup
terdiri atas sebuah rostelum dan empat buah batil hisap (sucker). Rostelum dan
sucker tersebut dikelilingi oleh sebaris kait panjang (180 µm) dan kait pendek (130 µm) di
mana setiap barisnya tersusun atas 22-32 kait (Bogitsh et al. 2005). Stobila merupakan
bagian tubuh berupa serangkaian proglotida yang berada di belakang leher. Strobila T.
solium tersusun atas 800 sampai 1000 segmen (proglotida). Berdasarkan perkembangan
organ reproduksinya, proglotida tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu proglotida
imature, mature, dan gravid. Proglotida imature terletak setelah leher, selanjutnya diikuti
oleh proglotida mature, dan proglotida gravid berada di bagian belakang.
Siklus hidup cacing ini yaitu mula-mula telur cacing dari tinja dilepaskan ke
lingkungan (tanah, rumput dsb). Telur Taenia dapat termakan oleh sapi dan babi,
menyebabkan hewan tersebut terinfeksi. Onchosphere (embrio cacing) terlepas dari telur,
menembus dinding usus dan beredar ke otot. Manusia terinfeksi karena memakan makanan
mentah atau setengah matang yang mengandung sistiserkus atau telur Taenia. Skoleks
(kepala cacing pita) menempel di usus dan cacing dewasa di usus halus (Center for Disease
Control and Prevention, 2017).
Gambar 5. Siklus Hidup Cacing Pita
(Center for Disease Control and Prevention, 2017)

B. Patofisiologi dan Gejala Klinis


Gejala infeksi cacing pita pada umumnya yaitu gangguan pencernaan berupa mual,
konstipasi, diare; sakit perut; lemah; kehilangan nafsu makan; sakit kepala; berat badan turun;
dan beberapa gejala alergi yang disebabkan cacing dewasa yaitu urtikaria, pruritus dan
kelainan kulit lain (Estuningsih, 2009).
C. Diagnosis
Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi proglotid
atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk spherical,
berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan
pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing
pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi
berdasarkan skoleks dan proglotidnya (Estuningsih, 2009).

2.2 Penatalaksanaan terapi


1. Terapi Non Farmakologi
a. Menjaga kebersihan diri dengan cara antara lain adalah memotong kuku,
menggunakan sabun pada waktu mencuci tangan sebelum dan setelah makan,
setelah buang air besar dan pada waktu mandi
b. Menghindari makanan yang telah dihinggapi lalat dan cuci bersih bahan
makanan untuk menghindari telur cacing yang mungkin ada pada makanan
tersebut, serta biasakan memasak makanan dan minuman
c. Menggunakan karbol di tempat mandi
d. Menggunakan alas kaki untuk menghindari sentuhan langsung dengan tanah
2. Terapi Farmakologi
Antihelmintik digunakan untuk mengobati infeksi cacing yang dapat dibeli
tanpa resep dokter adalah pirantel pamoat dan piperazine. Pirantel pamoat adalah
obat cacing yang paling sering digunakan saat ini. Pirantel pamoat dapat diminum
dalam keadaan perut kosong maupun setelah makan dan lebih dianjurkan untuk
diminum pada malam hari sehingga keesokan harinya cacing yang mati dapat
dikeluarkan bersamaan dengan tinja (Djunarko dan Hendrawati, 2011).
Kebanyakan antelmintik efektif terhadap satu macam cacing, sehingga diperlukan
diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Kebanyakan antelmintik diberikan
secara oral, pada saat makan atau sesudah makan (Gunawan, 2009).Beberapa senyawa
antelmintik (Harvey & Champe, 2013):
1. Mebendazole
Mebendazole suatu senyawa benzimidazole sintetik, efektif melawan spectrum
luas. Obat ini merupakan obat terpilih pada terapi infeksi oleh cacing cambuk
(Trichuris vermicularis), cacing kremi (Enterobius vermicularis), Cacing tambang
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), dan cacing gelang (Ascaris
lumbricoides). Mebendazole bekerja dengan mengikat dan menggangu pembentukan
mikrotulus parasit dan juga menurubkan ambilan glukosa. Parasit yang terkena
dikeluarkan bersama dengan feses. Obat ini mengalami metabolisme lintas pertama
untuk menginaktifkan senyawa. Mebendazole relative bebas dari efek toksik.
Walaupun pasien dapat mengeluhkan nyeri perut dan diare. Meskipun demikian, obat
ini dikontraindikasikan pada wanita hamil karena telah menunjukkan sifat embritoksik
dan teratogenik pada hewan percobaan.
2. Pyrantel pamoate
Pyrantel pamote , bersama dengan mebendazole, efektif pada pengobatan
infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang, cacing kremi, dan cacing tambang.
Pyrantel pamote diabsorbsi secara buruk melalui oral dan berefek dalam saluran cerna.
Obat ini bekerja sebagai agen penghambat-neuromuskular dan pendepolarisasi,
menyebabkan aktifasi permanen pada reseptor nikotinik parasit. Kemudian, cacing
yang terparalisis dikeluarkan dari saluran cerna pejamu. Efek samping obat ini bersifat
ringan berupa mual, muntah dan diare.
3. Thiabendazole & Albendazole
Thiabendazole, benzimidazole sintetik lainnya, efektif melawan strongilidiasis
yang disebabkan oleh strongiloydes stercoralys (cacing benang) larva migrant
kutaneus, dan stadium awal trikinosis (disebabkan oleh Trichinella spiralis)
Thiabendazole, seperti benzimidazole lainnya, mempengaruhi agen mikrotubulus.
Walaupun hampir tidak larut dalam air, obat ini sangat mudah diabsorbsi pada
pemberian oral. Obat ini dihidroksilasi dalam hati dan siekskresikan dalam urine . Efek
samping yang paling sering dijumpai adalah pusing, anoreksia, mual, muntah. Ada
beberapa laporan mengenai gejala pada sistem saraf pusat (SSP). Diantara kasus
eritmia multiformis dan sindrom steven-johnson yang dilaporkan akibat thiabendazole ,
terjadi sejumlah kematian. Penggunaannya dikontraindikasikan selama kehamilan.
4. Ivermectin
Ivermectin adalah obat pilihan untuk pengobatan onkoserkiasis (river blindess)
yang disebabkan oleh onchocerva volvolus dan merupakan obat pilihan pertama untuk
pengobatan larvan migrant kutaneus dan strongiloidosis. Invermectin membidik
reseptor kanal Cl- yang bergerbang gulatamat pada parasit. Aliran termasuk klorida
meningkat, dan terjadi hiperpolarisasi, menyebabkan paralisis cacing. Obat ini
diberikan secara oral. Obat ini tidak melewati sawar darah-otak sehingga tidak
memiliki efek farmakologi pada SSP. Meskipun demikian, obat ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan meningitis karena sawar darah-otak pasien bersifat lebih permeable
dan mungkin dapat terjadi efek SSP. Ivermictin juga dikontraindikasikan pada
kehamilan. Kematian microfilaria dapat menyebabkan reaksi mirip-Mazoti (demam,
sakit kepala, pusing, somnolen, dan hipotensi).
5. Diethylcarbamazine
Diethylcarbamazine digunakan pda pengobatan filariasis karena
kemampuannya melumpuhkan microfilaria dan membuat microfilaria rentan terhadap
mekanisme pertahanan pejamu. Dikombinasikan dengan albendazole,
Diethylcarbamazine, efektif pada pengobatan infeksi Wucheria bancrofti dan Brugia
malayi. Obat ini diabsorbsi secara cepat pada permberian secara oral bersama dengan
makanan dan diekskreikan terutama dalam urine. Alkalosis urinaria atau gagal ginjal
dapat memerlukan penurunan dosis. Efek samping disebabkan terutama oleh reaksi
pejamu terhadap organism yang terbunuh. Keparahan gejala berhubungan dengan
muatan parasit dan dapat berupa demam, malaise, ruam, mialgia, antralgia, dan sakit
kepala. Sebagian besar pasien mengalami lekositas. Anti-histamin atau steroid dapat
diberikan untuk meredakan berbagai gejala.
6. Praziquantel
Obat pilihan untuk pengobatan semua bentuk skistosomiasis dan infeksi
cestoda seperti sistisercosis. Mekanismenya melaui permeabilitas membrane sel
terhadap kalsium meningkat menyebabkan parasite mengalami kontraktur dan paralisis.
Prazikuantel mudah diabsorbsi pada pemberian oral dan tersebar sampai ke cairan
serebrospinal. Kadar yang tinggi dapat dijumpai dalam empedu. Obat dimetabolisme
secara oksidatif dengan sempurna, meyebabkan waktu paruh menjadi pendek.
Metabolit tidak aktif dan dikeluarkan melalui urin dan empedu
7. Niclosamide
Membersihkan usus dari segmen-segmen  cacing yang mati agar tidak terjadi
digesti dan pelepasan telur yang dapat menjadi sistiserkosisi.Kerjanya menghambat
fosforilasi anaerob mitokondria parasite terhadap ADP yang menghasilkan energy untuk
pembentukan ATP. Obat membunuh skoleks dan segmen cestoda tetapi tidak telur-
telurnya.

DAFTAR PUSTAKA

Center for Disease Control and Prevention, 2017. www.cdc.gov

Estuningsih., Endra, S., 2009, Teasinasis dan Sistiserkosis Merupakan Penyakit Zoonosis
dan Parasiter.
Harvey, RA, Champe, PC (ed) 2013, Farmakologi Ulasan Bergambar, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, hal.335-337.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. No. 15, 2017, Penanggulangan
Cacingan.
Djunarko dan Hendrawati, 2011, Swamedikasi yang Baik dan Benar, PT. Citra Aji
Parama, Yogyakarta, pp.56.

Anda mungkin juga menyukai