Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal
dari luar/bangsa lai menjadi watak dan kemampuan sendiri Wibowo (2015:17). Identitas dan
Kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup masyarakat sekitar agar
tidak terjadi pergesaran nilai-nilai. Kearifan lokal adalah salah satu sarana dalam mengolah
kebudayaan dan mempertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik.

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga
dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan setempat “local
knowledge” atau kecerdasan setempat local genious Fajarini (2014:123). Berbagai strategi
dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga kebudayaannya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Alfian (2013: 428) Kearifan lokal diartikan sebagai
pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka. Berdasarkan pendapat
Alfian itu dapat diartikan bahwa kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah
mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini
masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di daerah tertentu.
Berdasarkan pengertian di atas dapat diartikan bahwa local wisdom (kearifan lokal) dapat
dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Selanjutnya Istiawati (2016:5) berpandangan bahwa kearifan local merupakan cara orang
bersikap dan bertindak dalam menanggapi perubahan dalam lingkungan fisik dan budaya. Suatu
gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-
menerus dalam kesadaran masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral
sampai dengan yang profan (bagian keseharian dari hidup dan sifatnya biasa-biasa saja).
Kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.

Kearifan lokal menurut (Ratna,2011:94) adalah semen pengikat dalam bentuk


kebudayaan yang sudah ada sehingga didasari keberadaan. Kearifan local dapat didefinisikan
sebagai suatu budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor local melalui proses yang berulang-ulang,
melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam
bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti dapat mengambil benang merah bahwa kearifan
lokal merupakan gagasan yang timbul dan berkembang secara terus-menerus di dalam sebuah
masyarakat berupa adat istiadat, tata aturan/norma, budaya, bahasa, kepercayaan, dan kebiasaan
seharihari.

2.2 Bentuk-bentuk Kearifan Lokal

Haryanto ( 2014:212) menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal adalah Kerukunan


beragaman dalam wujud praktik sosial yang dilandasi suatu kearifan dari budaya. Bentuk-bentuk
kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat
istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus). Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal meliputi
Cinta kepada Tuhan, alam semester beserta isinya,Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, Jujur,
Hormat dan santun, Kasih sayang dan peduli, Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah, Keadilan dan kepemimpinan, Baik dan rendah hati,Toleransi,cinta damai, dan
persatuan.

Hal hampir serupa dikemukakan oleh Wahyudi (2014: 13) kearifan lokal merupakan tata
aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan,
berupa Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi
sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam
kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari
Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang
lebih bertujuan pada upaya konservasi alam.Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia
dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan rohroh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat,
institusi, kata-kata bijak, pepatah (Jawa: parian, paribasan, bebasan dan saloka)
2.3 Lingkungan Fisik Orang Dayak

Bagi masyarakat suku Dayak, hutan adalah lingkungan fisik yang terpenting bagi mereka.
Orang Dayak mengenal persis jenis-jenis hutan yang paling baik untuk dijadikan ladang. Untuk
memastikan kesuburan tanah, biasanya terlebih dahulu mereka meneliti keadaan pepohonan yang
tumbuh dan tanah di bagian permukaan. Jika terdapat pohon-pohon kayu besar dan tinggi hal itu
menandakan bahwa tanah tersebut sudah lama tidak di ladangi dan karena itu humusnya sangat
subur. Cara yang dipakai untuk memastikan kesuburan tanah adalah dengan cara memasukkan
ujung parang ke dalaman tanah kira-kira 10 cm. Ketika parang dicabut kembali maka tanah yang
melekat pada ke dua belah sisi parang dapat menunjukkan tingkat kesuburannya. Jika banyak
tanah melekat pada ke dua sisi parang dan gembur kehitam-hitaman berarti tanah tersebut subur.
Sebaliknya, jika kondisi tanahnya kurus, maka yang melekat pada kedua sisi parang adalah tanah
berpasir. Lingkungan fisik lain yang dikenal sebagai tempat berladang adalah tanah yang terletak
pada lembah di antara bukit-bukit. Jenis tanah ini untuk orang Dayak di Kalimantan Barat
disebut jenis tanah payak labak atau payak. Keadaan tanah paya selalu berair dan becek. Ladang
di tanah paya biasanya bersifat monokultur, dapat ditanam padi selama 3 tahun berturut-turut.
Sesudah tahun ketiga tanah paya biasanya ditinggal selama 2-4 tahun untuk kemudian ditanam
lagi.

2.4 Mata Pencaharian Orang Dayak

Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya, orang Dayak tidak dapat


dipisahkan dengan hutan. Dengan kata lain, hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan
bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup, mereka sangat tergantung dari
hasil hutan. Sapardi menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan
mereka sebagai ekosistem. Selain itu, hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun
temurun dan bahkan hutan adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi
hingga kini. Secara de facto, mereka telah menguasai kawasan itu dan dari hutan tersebut mereka
memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok. Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi:
mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, berkebun kopi, lada, karet, kelapa, buah-
buah dan lainlain. Kegiatan perekonomian orang Dayak yang pokok adalah berladang sebagai
usaha untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai sumber uang tunai
yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain. Walaupun demikian
kegiatan perekonomian mereka masih bersifat subsistensi. Menurut Arman , orang Dayak kalau
mau berladang dan pergi kehutan, mereka terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan
kecil di hutan. Kalau mengusahakan tanaman perkebunan, mereka cenderung memilih tanaman
yang menyerupai hutan, seperti karet ( Havea brasiliensis Sp), rotan (Calamus caesius Spp), dan
tengkawang (shorea Sp).

Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksidari hubungan
akrab yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. Hubungan
antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungantimbal balik. Di satu pihak alam
memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, di lain pihak
orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.
Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada gilirannya melahirkan apa
yang disebut dengan sistem perladangan. Seorang tokoh Dayaknologi, F. Ukur menjelaskan
bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Hal yang sama
juga ditegaskan oleh pengamat budaya Dayak lainnya, Ave dan King yang menegaskan bahwa
tradisi berladang (sifting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman
nenek moyang mereka yang merupakan mata pencaharian utama. Sellato, memperkirakan system
perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo
menyebutkan cara hidup berladang di berbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun
Sebelum Masehi. Almutahar mengemukakan bahwa aktivitas orang Dayak dalam berladang di
Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat pula dasar yang sama. Persamaan
itu terlihat dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka hutan yang akan
digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.

2.4 Sistem Perladangan Masyarakat Dayak

Sistem perladangan dilakukan dengan cara berotasi atau bergilir, merupakan budaya khas
semua suku Dayak. Sistem perladangan semacam itu mempunyai kearifan dan pengetahuan
tersendiri, dalam hal pemeliharaan keseimbangan lingkungan. Namun demikian, sistem
perladangan semacam ini sering dipecundangi, dituduh tidak produktif dan merusak hutan. Suatu
vonis yang harus diluruskan sebab banyak penelitian telah membuktikan salah satu diantaranya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Dove terhadap suku Kantu di Kalimantan Barat yang
menyatakan sistem perladangan suku Dayak tidak menyebabkan kerusakan hutan, tanah dan
lingkungan; sebaliknya, justru memelihara keutuhan hutan sebab sesudah sekian tahun ladang
yang sama baru akan digarap kembali setelah menjadi hutan kembali. Dengan sistem
perladangan semacam ini, tanah disitirahatkan sampai “daya kekuatannya” kembali, artinya
sampai menjadi subur dan siap untuk digarap kembali. Pola perladangan semacam ini jauh dari
upaya merusak hutan; sebaliknya, menjadi salah satu cara masyarakat suku Dayak untuk
memelihara keseimbangan ekosistem dalam alam. Tanah yang ditinggalkan akan kembali kepada
habitanya semula, ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayu yang akan menjadi hutan
kembali dan karena itu, segala tumbuh-tumbuhan dan binatang akan kembali menjadi
penghuninya.

2.5 Pengobatan Tradisional Suku Dayak

  Di salah satu wilayah di Kalimantan Timur, yaitu di Kutai Barat dan Hulu Mahakam
terdapat sebuah ritual pengobatan tradisional oleh Suku Dayak yang dinamakan “Mantra
Belian”. Mantra belian merupakan prosesi pengobatan yang mengedepankan unsur tradisional.
Orang yang berperan dalam pengobatan tradisional ini disebut dengan ‘pemelian”. Untuk sampai
ke wilayah Hulu Mahakam, perjalanan yang harus ditempuh yaitu dengan mengarungi sungai
Mahakam.
Ritual pengobatan matra belian dilakukan untuk mengobati orang yang sakit dan  pada
dasarnya hampir sama dengan pengobatan tradisional lainnya di tempat lain, yaitu bahwa konsep
sakit selain disebabkan karena ketidakseimbangan unsur dalam tubuh, juga disebabkan karena
adanya gangguan dari makhluk halus. Tujuan dari pengobatan mantra balian ini yaitu untuk
mengusir roh halus tersebut dan mengembalikan orang yang sakit pada keadaan yang sehat
seperti semula. Dalam pengobatan tradisional mantra belian, tidak hanya dilakukan oleh keluarga
dari orang sakit, tetapi dalam hal ini juga melibatkan masyarakat yang berperan dalam
penyembuhan orang yang sakit tersebut. Dalam pengobatan tradisional belian dilakukan tarian
yang diiringi dengan musik tradisional, di mana lokasi yang menjadi ritual berlangsung yaitu
berada di tempat keluarga yang sakit. Dalam rangkaian ritual mantra belian ini juga terdapat
kebau kepang yang digunakan sebagai hewan kurban, dengan cara dibawa ke suatu tanah lapang
kemudian masyarakat berkumpul dan kerbau tersebut disayat hingga tewas.. Dalam ritual belian
sentiu pada suku dayak terdapat berbagai perlengkapan ritual diantaranya yaitu :

1. Patung toga, yang memiliki makna untuk mencegah roh jahat


2. Minyak, untuk mengobati keluhan
3. Musik tari, gendang, gong, memiliki makna sebagai alat untuk memanggil arwah
4. Balai, sebagai tempat untuk meletakkan sesaji dan sebagai tangga bagi arwah untuk turun
5. Gelanggang, merupakan pagar yang memiliki makna untuk mencegah masuknya arwah
atau roh jahat.
6. Konsep sehat menurut masyarakat dayak
Konsep sehat menurut masyarakat dayak yaitu ketika keadaan tubuh seimbang dan
seseorang dapat melakukan aktivitas sehari-hari serta dapat melaksanakan perannya di
masyarakat. Selain itu sehat juga diartikan tidak adanya gangguan pada tubuh yang dipengaruhi
oleh unsur personalistik, seperti roh jahat dan makhluk halus lainnya.

1. Konsep sakit menurut masyarakat dayak


 Konsep sakit menurut masyarakat dayak yaitu ketika seseorang mengalami gangguan fungsi
tubuh yang dikarenakan ketidakseimbangan unsur-unsur dalam tubuh dan oleh personalistik.
Dalam film tersebut diceritakan bahwa salah satu anggota masyarakat sedang mengalami sakit
dan masyarakat setempat menganggap sakit tersebut disebabkan karena hilangnya roh dari raga
seseorang yang berada disuatu tempat tetapi tidak dapat kembali, sehingga roh tersebut harus
dicari dan dibawa kepada pemiliknya. Dalam hal ini gejala yang dialami oleh pasien atau orang
yang sakit tidak bisa menggerakkan badan. Dengan demikian konsep sakit menurut masyarakat
dayak lebih mengarah pada hal yang bersifat personalistik, dan untuk menyembuhkannya maka
harus dilakukan ritual mantra belian untuk memanggil roh tersebut agar kembali pada
pemiliknya. Sementara jika dipandang dari sudut pandang medis modern gejala tersebut
mengarah pada penyakit stroke

2. Etiologi sakit menurut masyarakat dayak


Asal mula datangnya penyakit menurut masyarakat dayak yaitu berasal dari hal yang bersifat
personalistik, misalnya makhluk halus atau roh-roh jahat yang menggangu seseorang dan
menyebabkan menjadi sakit. Selain itu adanya suatu penyakit juga disebabkan oleh perbuatan
yang membuat dewa atau leluhur mereka marah sehingga memberikan sakit kepada orang
tersebut.

3. Perawatan kesehatan menurut masyarakat dayak


Perawatan kesehatan masyarakat dayak ketika sakit yaitu dengan melakukan ritual mantra belian
sebagai penyembuhan. Dalam ritual mantra belian tidak hanya dilakukan oleh pihak keluarga
yang sakit, tetapi juga dari peran serta masyarakat, sehingga dengan demikian terdapat ikatan
sosial yang berfungsi sebagai perekat nilai kebersamaan dalam masyarakat. Dalam ritual
pengobatan mantra belian ini terdapat tangga sebagai bagian dari alat-alat ritual yang memiliki
makna sebagai tempat turunnya arwah. Selain itu juga terdapat sesaji untuk pengobatan yang 
macam-macam benda atau perlengkapannya ditentukan oleh keluhan dan sakit dari pasien.
Pengobatan dilakukan sedikitnya selama tiga malam berturut-turut tergantung pada berat
ringannya penyakit. Jika penyakit yang dialami oleh seseorang dianggap berat, maka pengobatan
dapat mencapai 40 malam. Dalam pengobatan mantra belian ini penuh dengan suasana mistis,
karena setelah arwah turun, kemudian dilanjutkan dengan tarian yang diiringi dengan musik khas
suku dayak. Setelah itu kemudian pembelian pergi ke tengah hutan untuk memanggil arwah
untuk merasuki dirinya, kemudian kembali pada pasien yang sakit untuk menyembuhkan dengan
cara menyedot tubuh pasien, yang kemudian akan keluar batu kecil, sebagai pertanda keluarnya
penyakit dari tubuh pasien. Pengobatan Mantra Belian pada suku Dayak merupakan pengobatan
tradisional yang menyimpan kearifan lokal dan unsur magis yang tersirat dalam ritual tersebut.
Dengan demikian adanya pandangan sakit dan pengobatan tradisioanl masyarakat dayak tidak
lepas dari kondisi lingkungan masyarakat setempat yang jauh dari pusat kota dan pengobatan
medis modern sehingga dalam menangani sakit masyarakat lebih mengarah pada kepercayaan
yang mereka yakini dan unsur-unsur tradisonal dalam kehidupan masyarakat dayak itu sendiri.
Dalam melakukan upacara adat belian bawo rangkaian kegiatannya biasanya akan terdiri dari
ritual berikut ini :

1. Momaaq  : Merupakan proses untuk mengawali setiap upacara belian bawo. Tujuannya
adalah untuk menjelajahi negeri para dewa dan mengundang mereka untuk membantu
usaha pengobatan.  Momaaq diawali dengan meniup sipukng/baluluq sebanyak tiga kali.
Suara sipukng berperan untuk memberi undangan sekaligus merupakan kode untuk
penabuhan gendang yang pertama kali atau nitik tuukng. Setelah gendang ditabuh,
pemiiatn akan menaburkan beras yang berada dalam genggaman sebagai tanda pelepasan
utusan yang akan menjemput para dewa yang diundang.  Saat melakukan ini pemeliatn
duduk bersila menghadap awir. Awir adalah daun pinang beserta dahannya yang telah
dibuang lidinya dan digantung bersama lembaran kain panjang yang menjuntai hingga
menyentuh tikar pada bagian ujung. Awir berfungsi sebagai jalan atau tangga bagi para
dewa untuk naik dan turun.
2. Jakaat : Setelah para utusan tiba di negeri para dewa, pemeliatn akan berdiri dan
kemudian berjalan mengitari awir. Ini merupakan pertanda bahwa para dewa mulai
bergerak turun untuk memenuhi undangan. Setelah para desa tiba dalam rumah atau
tempat upacara, pemeliatn akan mulai menari untuk melakonkan gerak gerik dari masing-
masing dewa yang hadir.
3. Penik Nyituk    : Setelah para dewa mendapat giliran menampilkan kebolehan dalam
menari, mereka akan duduk dan kemudian menanyakan alasan mengapa mereka
dipanggil datang. Tuan rumah atau yang punya hajat akan menjawab berdasarkan
masalah yang sedang mereka hadapi.
4. Ngawat : Pemeliatn akan mulai berdiri, mereka mewakili para dewa yang hadir untuk
mulai melakukan perawatan terhadap orang sakit dengan menggunakan sololo. Perawatan
akan berpuncak di depan pintu, pemeliatn akan mewakili para desa yang mempunyai
kemampuan nyegok (menyedot) penyakit dan kemudian memberikan penyapuh atau
semacam obat untuk menyembuhkan penyakit.

Selama pemeliatan melakukan perawatan, gendang akan ditabuh dengan irama cepat
atau irama sencerep dan kupuk tuatn. Akhir perawatan akan diselesaikan dengan Ngasi
Ngado dan Nelolo-Nyelolani yang dimaksudkan untuk  menciptakan kondisi sejuk dan
nyaman serta bebas dari cengkraman penyakit . Ketika perawatan berakhir, irama dan lagu
gendang akan berubah dengan semakin diperlambat atau disebut dengan irama  Meramutn
dan beputukng.
1. Tangai : Ini merupakan tahap dimana pemeliatn mempersilahkan para dewa kembali ke
tempat masing-masing. Namun terlebih dahulu akan disajikan hidangan alakadarnya.
Jenis hidangan akan disesuaikan dengan tingkat acara yang diselenggarakan.
2. Engkes Juus : Adalah memasukkan roh dan jiwa ke tempat yang seharusnya yaitu pada
badan dari yang empunya jiwa itu sendiri.
3. Bejariiq  : Orang sakit setelah upacara harus melakukan pantangan. Selama berpantang
dia tidak diperbolehkan keluar rumah dan memakan makanan terlarang seperti terong asa,
rebung dan daging dari semua jenis hewan melata.

Kediaman juga harus dijaga tetap sepi, tidak boleh menerima tamu. Hal ini ditandai dengan
penancapan dahan dan daun kayu hidup disamping pintu masuk rumah bagian luar. Melanggar
pantangan ini akan membuat penyakit datang kembali.  Dengan berakhirnya masa jariiq ini maka
seluruh rangkaian upacara balian bawo akan berakhir.

Sementara itu tingkatan penyelenggaraan belian bawo oleh keluarga atau masyarakat
dibedakan berdasarkan berat ringannya masalah dan keadaan ekonomi dari yang
menyelenggarakannya. Tingkatan dari belian bawo adalah :

1. Ngejakat adalah pelaksanaan belian bawo selama satu hari. Dalam upacara ini tidak
mengurbankan binatang dan tak berlaku masa jariiq.
2. Bekawat Encaak adalah pelaksanaan upacara belian bawo dengan lama minimal tiga hari.
Dalam upacara ini dikorban hewan berupa babi dan ayam, menggunakan balei di tanah
dan menjalani masa jariiq selama maksimal tiga hari.
3. Makatn Juus adalah pelaksanaan upacara belian bawo dengan lama kamsimal delapan
hari. Hewan yang dikurbankan adalah ayam, babi atau kambing. Menggunakan balei di
dalam dan halaman rumah. Jumlah pemeliatn delapan orang dan menjalani masa jariiq
maksimal empat hari.
4. Nyolukng Samat adalah pelaksanaan belian bawo dengan lama maksimal delapan hari.
Hewan yang dikurbankan adalah ayam, babi, kambing dan kerbau sesuai janji waktu
nyamat. Jumlah pawang belian minimal delapan orang dan menggunakan balei di dalam
serta diluar rumah. Masa jariiq minimal empat hari.           

Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta 2006.


Sapardi Antonius, Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga

Petani di Kecamatan Parindu, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992

Mering Ngo , Antara Pemilik dan Pemanfaat Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di
Kalimantan Barat , Dalam Prisma, Nomor 4 Tahun XVIII, Jakarta: LP3ES, 1989.

http://blog.unnes.ac.id/wiwinwahyu99/2017/12/02/pengobatan-tradisional-masyarakat-dayak/

Anda mungkin juga menyukai