A. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan enam masalah dalam Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat Tahun 2015. Temuan tersebut termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksan
yang diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hari ini. Ketua BPK Harry Azhar Aziz
mengatakan enam masalah itu perlu ditindaklanjuti pemerintah. “Maka atas LKPP Tahun
2015, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian,” kata Harry dalam Sidang
Paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis,2 Juni 2016.
Menurut Harry, masalah pertama terkait penyajian Investasi Permanen Penyertaan Modal
Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp 1.800,93 triliun. Dari nilai tersebut, sebesar
Rp 848,38 triliun merupakan PMN kepada PT Perusahaan Listrik Nasional. (Baca: BPK
Temukan Penyimpangan Cost Recovery ConocoPhillips dan Total).
Dalam laporan keuangannya (unaudited), PLN mengubah kebijakan akuntansinya yang
tadinya menggunakan ISAK 8, menjadi tidak ISAK 8. Padahal, Otoritas Jasa Keuangan tetap
mewajibkan PLN untuk menerapkan ISAK 8. ISAK 8 yaitu Interpretasi Standar Akuntansi
Keuangan 8. Ini merupakan pernyataan dan interpretasi yang diterbitkan oleh Dewan Standar
Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Dewan Standar Akuntansi Syariah Ikatan
Akuntan Indonesia, serta peraturan regulator pasar modal untuk entitas yang berada di bawah
pengawasannya. (Baca juga: BPK Akui Tak Ada Kerugian Negara dalam Penjualan Minyak
Blok Cepu).
Pada Juli tahun lalu, PLN menyatakan efisiensi biaya bisa mengontrol pengeluaran bagi
perseroan. Di sisi lain, dengan menerapkan ISAK 8, mulai 2012, berdampak pada utang valas
perusahaan. Sehingga, penerapan standar akuntansai tersebut juga berpengaruh terhadap laba
rugi PLN, yang sangat berfluktuasi karena dipengaruhi nilai tukar rupiah. Pada posisi seperti
ini, BPK menilai dampak penerapan ISAK 8 dan tanpa penerapan ISAK 8 menimbulkan
perbedaan nilai penanaman modal negara pada PLN per 31 Desember 2015 yang disajikan
sebesar Rp 43,44 triliun. Penggunaan data tersebut lantaran manajemen PLN belum
memberikan laporan keuangan per 31 Desember 2015 yang telah melalui proses audit.
Sehingga, BPK tidak dapat menentukan apakah perlu penyesuaian atas angka tersebut.
Masalah kedua, kata Harry, pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi
lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak dikurangi subsidi tetap. Hal ini menyebabkan
konsumen terbebani dan menambah keuntungan badan usaha, dalm hal ini PT Pertamina,
melebihi yang seharusnya, yakni Rp 3,19 triliun. Namun pemerintah belum menetapkan status
dari dana tersebut. Harry Azhar Azis Harry Azhar Azis (Arief Kamaludin|KATADATA)
Ketiga, terkait piutang bukan pajak sebesar Rp 1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak
pidana korupsi pada Kejaksaan RI. Lalu Rp 33,94 miliar dan US$ 206,87 juta dari Iuran
Tetap, Royalti, dan Penjualan Hasil Tambang (PHT) pada Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral tidak didukung sumber yang memadai serta Rp 101,34 miliar tidak sesuai hasil
konfirmasi kepada wajib bayar.
Masalah keempat yakni persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp 2,49 triliun
belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi dan rekonsiliasi Barang
Milik Negara yang memadai. Begitu pula dengan persediaan untuk diserahkan ke masyarakat
pada Kementerian Pertanian sebesar Rp 2,33 triliun belum dapat dijelaskan status
penyerahannya. Kelima, koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas Rp 96,53 triliun
dan transaksi antar entitas sebesar Rp 53,34 triliun tidak didukung sumber yang memadai.
Terakhir, pencatatan dan penyajian catatan fisik Saldo Anggaran Lebih (SAL) tidak akurat,
sehingga kewajaran transaksi atau saldo terkait SAL sebesar Rp 6,60 triliun tidak dapat
diyakini. Terhadap enam permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-
langkah perbaikan agar ke depan permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan
keuangan semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang,” ujar Harry. Meskipun
demikian, dalam LHP 2015 ini, BPK menilai hasilnya lebih baik dibandingkan 2014. Hal
tersebut terlihat dari jumlah kementerian dan lembaga yang memperoleh opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) dari 62 instansi pada 2014 menjadi 56 instansi tahun lalu.
Sedangkan yang memperoleh opini WDP sebanyak 26 kementerian dan lembaga dan Tidak
Memberikan Pendapat (TMP) sebanyak empat kementerian dan lembaga pada 2015.
Sayangnya, BPK enggan merinci tiap-tiap intansi tersebut. (Lihat pula: Penjaga Etik BPK di
Pusaran Panama Papers). Sebagai informasi, dalam laporan realisasi Anggaran Pendapatan
Belanja Negara 2015, pemerintah melaporkan realisasi pendapatan sebesar Rp 1.508,02 triliun
atau turun 2,74 persen dibandingkan 2014 yang sebesar Rp 1.550,49 triliun. Sedangkan dari
neraca Pemerintah Pusat per 31 Desember 2015, total asset yang disajikan Rp 5.163,32 triliun
atau naik Rp 1.252,40 triliun dibandingkan total asset 2014 sebesar Rp 3.910,92 triliun.
B. Menurut saya pengawasan yang terbilang tidak ketat dan kejujuran pemerintah dalam
menangani korupsi. Seperti artikel yang saya baca bahwa berkaitan dengan publikasi hasil
penelitian TI dan PERC, beberapa pejabat tinggi pernah menyatakan bahwa hasil penelitian
itu tidak harus dipercayai. Alasan yang dikemukakan waktu itu antara lain validitas hasil
penelitian itu diragukan, sebab parameter yang digunakan belum tentu cocok dengan situasi
dan kondisi di Indonesia. Di samping itu, ada yang menduga bahwa publikasi hasil penelitian
itu merupakan sebuah upaya untuk mendeskreditkan Indonesia di mata internasional.
penyelesaian kasus-kasus korupsi dan kolusi di Indonesia jarang tuntas. Apalagi bila kasus
tersebut bersentuhan dengan kelompok kepentingan tertentu. Dua indikasi utama yang
menjadi pemicu merajalelanya korupsi dan kolusi yaitu kegagalan sistem pengawasan
keuangan negara dan format perpolitikan yang kurang mendukung pemberantasan korupsi
dan kolusi itu sendiri. Begitu juga dengan pemerintahan yang bersih dapat tercipta bukan
melalui banyaknya perangkat hukum yang menyertainya, tetapi melalui penciptaan iklim yang
menjamin bahwa untuk melakukan penyimpangan, seseorang -entah itu pegawai rendahan
maupun pejabat tinggi atau bahkan masyarakat luas, harus berpikir seribu kali. Di Indonesia,
semua perangkat yang diperlukan sudah ada, baik dari segi kelembagaan maupun perangkat
hukumnya. Lembaga-lembaga pengawasan dibangun berlapis-lapis. Demikian juga aparat
penegak juga sudah ada beserta perangkat hukumnya berupa Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1973 tentang Pemberantasan Korupsi. Sehingga yang diperlukan saat ini bukan menambah
atau membentuk lembaga baru, sebab pada dasarnya pembentukan ini justru akan
menimbulkan banyak masalah baru. Yang diperlukan saat ini adalah adanya pembaharuan
politik. Pembaharuan ini mencakup upaya yang berorientasi pada pemberdayan semua
perangkat baik aparat maupun hukum yang telah ada termasuk pemberdayaan masyarakat
luas.
Dik:
Input Modal (K) = 500
Input Tenaga Kerja (L) = 250
Anggaran Perusahaan (TO) = 50.000
Dit: Fungsi anggaran untuk kombinasi input tersebut
Anggaran perusahaan = jumlah modal x harga modal + jumlah tenaga kerja x harga tenaga
kerja
TO = rxK + wxL
50.000 = r x 500 + w x 250
50.000 = r x 500 + w x 250 ] masing masing bisa di bagi 250
50.000 = r x 500 + w x 250 ] / 250
(50.000/250) = r (500/250) + w (250/250)
200 = rx2+wx1 ] disederhanakan menjadi
200 = 2r + w atau 2r + w = 200