Anda di halaman 1dari 3

2.

Peraturan tentang lambing negara diatur dalam UUD ’45 pasal 35, UU No 24/2009, dan Peraturan
Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 24
Tahun 2009 secara khusus mengatur tentang penggunaan Bendera Merah Putih, Garuda Pancasila,
Bahasa Indonesia hingga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Berikut bunyi pasalnya:

Pasal 24 a jo Pasal 66

Setiap orang dilarang: (a) merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan
lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00.

Dalam konteks kasus Nurul Fahmi, Ustad Arifin Ilham menyatakan apa yang dilakukan oleh Nurul tidak
masuk dalam kategori penghinaan lambang Negara. Ia berpendapat, kalimat tauhid merupakan kalimat
mulia dalam Islam sehingga penyematan tulisan kalimat itu justru merupakan bentuk memuliakan
kerena sama-sama sesuatu yang mulia dan dihormati

Pasalnya pasal 66 hanya bisa dikenakan terhadap mereka yang dengan sengaja merusak, merobek,
menginjak-injak, membakar dan seterusnya dengan maksud untuk menodai, menghina, atau
merendahkan kehormatan bendera negara.

Karena itu, pasal yang tepat dikenakan untuk Fahmi adalah pasal 67 huruf c yakni menulis huruf atau
tanda lain pada bendera negara.

3. berita hoax yang smarak di medsos termasuk kategori cyber crime.

"Ini merupakan kejahatan yang bisa memicu perpecahan di tengah masyarakat yang bisa menodai
kebhinekaan dan keutuhan NKRI

Bagi penyebar hoax, dapat diancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
atau Undang-Undang ITE (UU ITE) yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik yang Dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Berita · Pusat Data · Jurnal · Klinik · Events · Produk · Pro


Pasal untuk Menjerat Penyebar Hoax

https://images.hukumonline.com/frontend/lt5b4dc1b842992/lt5b4dc2c5bd526.jpg

Dimas Hutomo, S.H.

Hukum Pidana

Bung Pokrol

Kamis, 10 Januari 2019

Pertanyaan

Apakah penyebaran hoax termasuk tindak pidana? Lalu bisakah UU ITE menjadi dasar hukum untuk
menghukum pelaku penyebaran hoax ini?

Punya pertanyaan lain ?

Silakan Login, atau Daftar ID anda.

Kirim Pertanyaan

Ulasan Lengkap

Definisi

Definisi hoax/hoaks menurut Oxford-Dictionaries yang kami akses melalui laman English Oxford Living
Dictionaries yaitu:

A humorous or malicious deception

Sedangkan hoaks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang kami akses melalui laman
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia berarti berita bohong.
Apakah Hoax Merupakan Tindak Pidana?

Istilah hoax/hoaks tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.Tetapi ada beberapa
peraturan yang mengatur mengenai berita hoax atau berita bohong ini. Berikut penjelasannya:

Pertama, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU 19/2016”) mengatur mengenai penyebaran berita bohong di media elektronik
(termasuk sosial media) menyatakan:

Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Jika melanggar ketentuan Pasal 28 UU ITE ini dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal
45A ayat (1) UU 19/2016 , yaitu:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1
miliar.

5. Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004), ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun
2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR,
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan
Ketiga.

4. Politik identitas memberikan ruang besar bagi terciptanya keseimbangan dan pertentangan menuju
demokratisasi sebuah negara. Seperti halnya di Indonesia, politik identitas yang saat ini menjelma dalam
dua kekuatan besar yang didominasi oleh kaum nasionalis dan kaum muslim, apabila tidak dikelola
dengan tepat dan bijak akan menyebabkan hancurnya stabilitas negara. Pertentangan antara kedua-dua
identitas tersebut dapat mengancam kestabilan negara, apabila pemerintah tidak memiliki politic will
dalam menangani isu ini. Pengertian politic will sendiri adalah basis keyakinan publik terhadap
pemerintah. Bukan saja kepentingan politik yang dipertaruhkan, melainkan juga kepentingan
masyarakat luas, sebab politik identitas sebagai politik perbedaan merupakan tantangan tersendiri bagi
tercapainya sistem demokrasi yang mapan.

Anda mungkin juga menyukai