228 417 1 SM
228 417 1 SM
2 ISSN 1979-8911
Yuningsih
(Dosen Fakultas Sains dan Tekhnologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Abstaksi
Pendidikan keagamaan menjadi salah satu solusi dalam usaha membendung terjadinya
kondisi amoral yang tidak seharusnya terjadi belakangan ini, sehingga dengannya di
harapkan adanya pembentukan kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. Penguatan kembali
akan pentingnya pendidikan keagamaan dan moral, salah satu memahaminya ialah dengan
kesalahan persepsi dan kesalahan orientasi.
Abstract
Religion education to be one solution in order to stem the occurrence of immoral
conditions that should not have happened lately, so with the expected formation of
personal piety and social piety. Reinforcement of the importance of religius and moral
education, one way to understand it is to understand the meaning and fuction of religius
education , so do not throw an error of perception and orientationj errors.
200
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
201
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
memperoleh contoh nyata hidup yang panduan oleh individu untuk menimbang
bermoral. dan memilih alternatif keputusan dalam
Kesulitan bertambah ketika anak situasi sosial tertentu. Dalam persepektif
justru memperoleh pengajaran yang Spranger , kepribadian manusia terbentuk
kurang patut, baik melalu televisi, teman dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan
sekolah,maupun dari orng dewasa kesejarahan . Meskipun menempatkan
disekitarnya. Ketika perilaku buruk anak konteks sosial sebagai dimensi nilai
terbentuk menjadi pola kebiasaan dalam kepribadian manusia, tetapi
,perilaku itu sudah semakin sulit Spranger tetap mengakui kekuatan
dibelokan lagi. Karena itu kita perlu individu yang dikenal dengan istilah “
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya roh subjektif “ (subjective spirit).
untuk membentuk perilaku moral anak- Sementara itu,kekuatan nilai-nilai budaya
anak kita. Norma-norma lama sudah merupakan “roh objektif” (objecttive
tidak meyakinkan lagi untuk menjadi spirit ) Dalam kacamata Spranger,
pegangan. Kenyataannya, anak tidak kekuatan individual atau roh subjektif
dapat lari dari hati nuraninya,tapi hati didudukan dalam posisi primer karena
nurani pun tidak berdaya menemukan nilai-nilai budaya hanya akan
kebenaran,apabila norma-norma yang berkembang dan bertahan apabila
biasanya dipakai sebagai landasan didukung dan dihayati oleh individu.
pertimbangan menjadi serba tidak pasti. Spranger menggolongkan nilai ke dalam
Anak berhadapan dengan berbagai tipe enam jenis, yaitu:
manusia,tutur kata,gaya hidup,dan 1. Nilai Teori/Nilai Keilmuan
tingkah laku moral yang bervariasi. Pola 2. Nilai Ekonomi
kehidupan masyarakat pun semakin 3. Nilai Sosial/Nilai Solidaritas
cenderung individualis, dengan kontrol 4. Nilai Agama (A) dasar pertimbangan
sosial yang relatif longgar. Munculah benar menurut ajaran agama,kontras
fenomena baru sebagai bagi anak yaitu dengan nilai (I)
teman sepermainannya,atau tokoh-tokoh 5. Nilai Seni (S) dasar pertimbangan
serial televisi. rasa keindahan/rasa seni terlepas dari
1. Pengertian Nilai,Moral,dan pertimbangan material ,kontras
Sikap dengan nilai (E)
Menurut Spranger, nilai diartikan
sebagai suatu tatanan yang dijadikan
202
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
6. Nilai Politik/Nilai Kuasa (K) dasar Nilai-nilai moral itu seperti seruan
pertimbangan kepentingan untuk baik kepada orang lain,memelihara
diri/kelompok,kontgras dengan nilai ketertiban dan keamanan, memelihara
kebersihan dan memelihara hak orng
Sementara itu, istilah Moral berasal lain,larangan,berjudi,mencuri,berzina,me
dari kata latin “Mos Moris dan mbunuh dan meminum khamar.
Mores”,yang berarti adat istiadat Seseorang dapat dikatakan
,kebiasaan ,peraturan/nilai-nilai atau bermoral,apabila tingkah laku orang
tatacara dalam kehidupan. Moral pada tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral
dasarnya merupakan rangkaian nilai yang dijunjung tinggi oleh kelompok
tentang berbagai macam perilaku yang sosialnya.
harus dipatuhi/kaidah norma dan pranata Sejalan dengan perkembangan moral
yang mengatur perilaku individu dalam keagamaan mulai disadari bahwa
hubungannya dengan kelompok sosial terdapat aturan-aturan perilaku yang
dan masyarakat. Sedangkan moralitas boleh,.harus atau terlarang untuk
merupakan kemauan untuk menerima melakukannya. Aturan-aturan perilaku
dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan yang boleh atau tidak boleh disebut
prinsip-prinsip moral /aspek kepribadian moral.
yang diperlukan seseorang dalam Proses penyadaran moral tersebut
kaitannya dengan kehidupan sosial berangsur tumbuh melalui interaksi dari
secara harmonis, adil dan seimbang. lingkungannya dimana ia mungkin
Moral juga diartikan sebagai ajaran mendapat larangan,suruhan
baik dan buruk perbuatan dan ,pembenaran,persetujuan,kecaman atau
kelakuan,akhlak,kewajiban, dan celaan,atau merasakan akibat-akibat
sebagainya.Dalam moral diatur segala tertentu yang mungkin menyenangkan
perbuatan yang nilai baik dan perlu atau memuaskan mungkin pula
dilakukan,dan suatu perbuatan yang mengecewakan dari perbuatan-perbuatan
dinilai tidak baik dan perlu dihindari. yang dilakukan.
Moral berkaitan dengan kemampuan Sedangkan sikap, menurut Fishbein
untuk membedakan antara perbuatan (1985) ialah predisposisi (
yang baik dan perbuatan yang kecenderungan) emosional yang
salah.Dengan demikian moral merupakan dipelajari untuk merespons secara
kendali dalam bertingkah laku. konsisten terhadap suatu objek. Sikap
203
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
204
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
dapat dianalisis, karena terdiri atas melihat agama sebagai sarana terakhir
suatu kompleks kaidah dan peraturan yang sanggup menolong manusia
yang dibuat saling berkaitan dan bilamana instansi lainnya gagal tak
terarahkan kepada tujuan tertentu. berdaya. Sedangkan aspek agama adalah
b. Agama berporos pada kekuatan- menurut Joachim Wach ada tiga,yakni:
kekuatan non empiris, hal ini pertama unsur teoritisnya,bahwa agama
menyatakan bahwa agama itu khas adalah suatu sistem kaidah yang
berurusan dengan kekuatan- mengikat penganutnya. Ketiga aspek
kekuatan dari “dunia luar” yang di sosiologisnya bahwa agama mempunyai
“huni” oleh kekuatan-kekuatan yang sistem perhubungan dan interaksi sosial.
lebih tinggi dari kekuatan manusia (Hendropuspita,1983:34-35).
dan yang dipercayai sebagai Sementara itu Pendidikan Agama
arwah,roh-roh dan roh tertinggi dan Pendidikan Keagamaan definisinya
c. Manusia mendayagunakan kekuatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah
–kekuatan di atas untuk Republik Indonesia Nomor 55 tahun
kepentingannya sendiri dan 2007 tentang Pendidikan Agama Islam
masyarakat sekitarnya. Yang dan Keagamaan ,Bab I Ketetntuan
dimaksud kepentingan (keselamatan) Umum Pasal 1 Ayat 1 Pendidikan
ialah keselamatan di dalam dunia Agama adalah pendidikan yang
sekarang ini dan keselamatan di memberikan pengetahuan dan
“dunia lain” yang dimasuki manusia membentuk sikap kepribadian dan
setelah kematian. keterampilan peserta didik dalam
mengamalkan ajaran agamanya.
Thomas F.O Dea mendefinisikan Sedangkan Ayat 2 “Pendidikan
agama sebagai pendayagunaan sarana- Keagamaan ialah pendidikan yang
sarana supra empiris untuk maksud- mempersiapkan peserta didik untuk dapat
maksud non empiris atau supra menjalankan peranan yang menuntut
empiris.Sementara itu,J Milton Yinger penguasaan pengetahuan tentang ajaran
melihat agama sebagai sistem agama dan menjadi ahli ilmu agama dan
kepercayaan dan praktek dengan mana mengamalkan ajaran agamanya”.
suatu masyarakat atau kelompok manusia
berjaga-jaga menghadapi masalah
terakhir dari hidup ini.Sedangkan Dunlop
205
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
206
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
nilai,moral dan sikap yang dimiliki kekuasaan. (3) Autonomi yaitu anak
individu yang termanifes dalam perilaku telah mempertimbangkan tujuan dan
individu terkait,dalam kehidupan sehari- konsekuensi ketaatannya kepada
harinya. (Mohammad Asrori, 2008:162 ) peraturan. Adapun Norman J.Bull (1996)
berkesimpulan bahwa tahap
4. Perkembangan Pendidikan perkembangan moral itu adalah: (1)
Moral dan Keagamaan Anomi yaitu anak tidak merasa wajib
untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi
Konsep perkembangan pendidikan yaitu anak merasa bahwa yang benar
moral dapat kita cermati dari buah adalah patuh kepada peraturan, dan
pikiran Piaget dan Norman J.Bull. Jean merasa perlu menaati kekuasaan. (3)
Piaget ~ wakil Direktur Institute of Sosionomi yaitu anak merasa bahwa
Education Sciences dan Profesor yang benar adalah patuh pada peraturan
Psikologi Eksperimental di Universitas yang sesuai dengan peraturan kelompok.
of Geneve, yang dengan cara intensif (4) Autonomi yaitu anak telah
telah melakukan penelitian selama lebih mempertimbangkan konsekuensi
dari 40 tahun terhadap “Perkembangan ketaatannya pada peraturan.
Struktur Kognitif (Cognitive Structure) Dalam perkembangan moral itu titik
dan Pertimbangan Moral (Moral heterotomi dan autonomi lebih
Judgement)~, beliau berpendapat bahwa menggambarkan proses perkembangan
pendidikan moral akan berhasil, apabila dari pada totalitas mental individu.
pendidikan itu dilakukan sesuai dengan Melalui pergaulannya anak
tahapan perkembangan moral anak. mengembangkan pemahamannya
Dengan kata lain kedua ahli ini mencita- mengenai tujuan dan sumber aturan.
citakan adanya strategi pendidikan moral Sampai usia tujuh atau delapan tahun
yang disesuaikan dengan tahap-tahap anak dikendalikan oleh seluruh aturan.
perkembangan moral anak. Piaget Terhadap aturan yang berasal dari
mendefinisikan tahap perkembangan luar,anak belum memiliki pengertian dan
moral sebagai berikut: (1) Pre~moral motivasi untuk konsisten. Pada tahap
yaitu anak tidak merasa wajib untuk autonomi anak menyadari akan aturan
mentaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu dan menghubungkannya dengan
anak merasa bahwa yang benar adalah pelaksanaannya.Tahap berikutnya adalah
patuh pada peraturan yang harus menaati pelaksanaan autonomi.
207
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
208
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
209
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
210
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
tidak mau, seorang anak harus patuh dan mempertahankan pentingnya norma
taat terhadap aturan-aturan yang berlaku tersebut. Oleh karena itu segala sikap dan
di masyarakat. Ketidakpatuhan hanya tindakan dinilai dan diawasi oleh diri
akan mendatangkan cemoohan dan caci sendiri serta mengontrol tindakan-
maki dari orang lain, sehingga tindakan orang lain,agar sesuai dengan
memalukan diri sendiri atau menjatuhkan norma sosial. Dalam fase ini, adalah
harga diri. Dalam fase, seseorang penting untuk mematuhi hukum,
memasuki masyarakat dan memiliki keputusaan, dan konvensi sosial karena
peran sosial. Individu mau menerima berguna dalam memelihara fungsi dari
persetujuan atau ketidaksetujuan dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap
orang-orang lain karena hal tersebut empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
merefleksikan persetujuan masyarakat penerimaan individual seperti dalam
terhadap peran yang dimilikinya. Mereka tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
mencoba menjadi seorang anak baik melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme
untuk memenuhi harapan tersebut,karena utama sering menentukan apa yang benar
telah mengetahui ada gunanya dan apa yang salah, seperti dalam kasus
melakukan hal tersebut. Penalaran tiga fundamentalisme. Bila seseorang bisa
menilai moralitas dari suatu tindakan melanggar hukum, mungkin orang lain
dengan mengevaluasi konsekwensinya juga akan begitu sehingga ada kewajiban
dalam bentuk hubungan atau tugas untuk mematuhi hukum dan
interpersonal,yang mulai menyertakan aturan. Bila seseorang melanggar hukum,
hal seperti rasa hormat,rasa terimakasih, maka secara ia salah secara moral,
dan golden rule. Keinginan untuk sehingga celaan menjadi faktor yang
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya signifikan dalam tahap ini karena
untuk membantu peran sosial yang memisahkan yang buruk dari yang baik.
stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan Fase kelima, orientasi terhadap
memainkan peran yang lebih signifikan perjanjian antar dirinya dengan
dalam penalaran, tahap ini ; ‘mereka lingkungan sosial. Individu mempunyai
bermaksud baik’. kesadaran dan keyakinan pribadi bahwa
Fase keempat, mempertahankan dengan berbuat baik, maka ia pun akan
normaa - norma sosial. Individu diperlukan dengan baik pula oleh orang
menyadari kewajiban untuk ikut lain. Dan keyakinan ini timbul dari hati
melaksanakan norma yang ada dan nurani. Dalam fase ini individu-individu
211
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
dipandang sebagai memiliki pendapat- etika universal. Hukum hanya valid bila
pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, berdasar pada keadilan, dan komitmen
dan adalah penting bahwa mereka terhadap keadilan juga menyertakan
dihormati dan dihargai tanpa memihak. keharusan untuk tidak mematuhi hukum
Permasalahan yang tidak dianggap yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai
sebagai relatif seperti kehidupan dan kontrak sosial tidak penting untuk
pilihan jangan sampai ditahan atau tindakan moral deontis. Keputusan
dihambat. Kenyataannya tidak ada dihasilkan secara kategoris dalam cara
pilihan yang pasti benar atau absolut yang absolut dan bukannya secara
memang anda siapa membuat keputusan hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa
kalau yang lain tidak . Sejalan dengan dilakukan dengan membayangkan apa
itu, hukum dilihat sebagai kontak sosial yang akan dilakukan seseorang saat
dan bukannya keputusan kaku. Aturan- menjadi orang lain,yang juga
aturan yang tidak mengakibatkan memikirkan apa yang dilakukan bila
kesejahteraan sosial harus diubah bila berpikir sama. Tindakan yang diambil
perlu demi terpenuhinya kebaikan adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,
terbanyak untuk sebanyak-banyaknya tindakan tidak pernah menjadi cara tapi
orang. Hal tersebut diperoleh melalui selalu menjadi hasil; seseorang bertindak
keputusan mayoritas, dan kompromi. karena hal itu benar, dan bukan karena
Dalam hal ini, pemerintahan yang ada maksud pribadi,sesuai
demokratis tampak berlandaskan pada harapan,legal,atau sudah disetujui
penalaran fase lima. sebelumnya. Walau Kohlberg yakin
Fase keenam, prinsip universal. bahwa tahapan ini ada, ia merasa
Dengan semakin tumbuh dan kesulitan untuk menemukan seseorang
berkembangnya norma-norma etika yang menggunakannya secara
dalam dirinya, maka individu akan konsisten.Tampaknya orang sukar,
menyesuaikan sikap dan tindakannya kalupun ada, yang bisa mencapai tahap
agar sepadan dengan prinsip-prinsip enam dari model Kohlberg ini.
kebenaran yang diakui secara global. Jadi (Mohamad Asrori,2008:158)
melampaui batas-batas suku,
bangsa,agama, dan jenis kelamin. Dalam 6. Faktor-faktor yang
fase ini, penalaran moral berdasar pada Mempengaruhi Pendidikan
penalaran abstrak menggunakan prinsip
212
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
213
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
214
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
215
Edisi Agustus 2014 Volume VIII No. 2 ISSN 1979-8911
216