Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI DI RUANG ASTER RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO

Tugas mandiri
Stase Keperawatan Anak Tahap Profesi
Program Studi Ilmu Keperawatan

Disusun Oleh :
CAHYA NUNG HAYATI
1811040084

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2018

1
A. PENGERTIAN
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat
reversibel (Dychan, 2008).
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi
otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat
dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral
yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan,
aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori (Anonim, 2008).
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh
gangguan fungsi otak yang bersifat sementara dan paroksismal, yang
memberi manifestasi berupa gangguan, atau kehilangan kesadaran, gangguan
motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta bersifat episodic
(Turana, 2007).

B. ETIOLOGI
Adapun penyebab epilepsi, yaitu: (Piogama, 2009)
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak
ditemukan kelainan pada jaringan otak, diduga bahwa terdapat kelainan
atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir
atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir
atau pada masa perkembangan anak.
a. Cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran)
b. Gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6)
c. Faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia,
gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

2
d. Trauma; kontusio serebri, hematoma subarakhnoid, hematoma
subdural.
e. Neoplasma otak dan selaputnya.
f. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
g. Keracunan; Timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
h. Lain-lain; penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon,
degenerasi serebral,dll.
Faktor predisposisi dan presipitasi yang dapat memicu timbulnya
epilepsi: (Dychan, 2008).
1. Demam, kurang tidur, keadaan emosional.
2. Pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan
gangguan kesadaran, kejang-kejang.
3. Pernah menderita cedera otak/operasi otak
4. Pemakaian obat-obat tertentu
5. Ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

C. TANDA DAN GEJALA


Menurut WHO, tanda dan gejala epilepasi berasarkan klasifikasinya:
1. Epilepsi umum
a. Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
o Primer : hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik
o Sekunder : adanya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal
sebelum serangan kejang-kejang.
b. Petit mal
Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah
epilepsi umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus
epilepsi. Umumnya timbul pada anak sebelum pubertas (4 -- 5 tahun).
Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tak lebih
dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat
dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola
mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas

3
semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam
sehari.
Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi
grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa
dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :
o Timbul pada usia 4 -- 5 tahun dengan taraf kecerdasan yang
normal.
o Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
o Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
o Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan
frekuensi 3 per detik
c. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan
kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian tepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan
kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang
sensorik
d. Bangkitan akinetik.
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita
jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali.
Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akinetik)
dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
e. Spasme infantil
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salamspasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada
anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu
dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses
degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau
keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang

4
disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis
dan berkeringat.

2. Epilepsi parsial (· 20% dari seluruh kasus epilepsi)


a. Bangkitan motorik.
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada
salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot
yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot
lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini
disebut Jacksonian marche
b. Bangkitan sensorik
c. Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada
koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di
gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu
bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan
salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat
menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik
sehingga terjadi kejang-kejang.
d. Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala
fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat
kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis
dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu
dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan
penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan
oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor

D. PATOFISIOLOGI

5
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan
dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga
seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula
setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain
pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang
mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia
retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-
impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena
adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak
di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-
basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan
yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum

6
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel
fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang
berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau
selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi
akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara
drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat
menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi
(proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena
pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai

7
di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.

8
E. PATHWAYS

9
F. PENATALAKSANAAN
1. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi
lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh
kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau
magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak
jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas
b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol
darah.
o mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
o menilai fungsi hati dan ginjal
o menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
o Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi
otak
2. Penatalaksanaan Medis (Sri D, 2007)
Efek samping yg mungkin
Obat Jenis epilepsi
terjadi
Jumlah sel darah putih & sel
Karbamazepin Generalisata, parsial
darah merah berkurang
Jumlah sel darah putih & sel
Etoksimid Petit mal
darah merah berkurang
Gabapentin Parsial Tenang
Lamotrigin Generalisata, parsial Ruam kulit
Fenobarbital Generalisata, parsial Tenang
Fenitoin Generalisata, parsial Pembengkakan gusi
Primidon Generalisata, parsial Tenang
Penambahan berat badan,
Valproat Kejang infantil, petit mal
rambut rontok

10
3. Penatalaksanaan keperawatan
Tindakan yang dapat dilakukan, antara lain: (Sri D, 2007)
o Jangan panik karena serangan akan berhenti sendiri
o Bebaskan jalan nafas, longgarkan baju
o Bila mulut terbuka, masukkan bahan empuk diantara gigi
o Bila mulut tertutup jangan dibuka paksa
o Miringkan kepala agar ludah keluar
o Jangan memberi minum sebelum klien benar-benar sadar
G. KOMPLIKASI
1. Status epileptikus
2. Kematian mendadak tidak diterangkan
3. Permasalahan tingkah laku
4. Permasalahan emosional
5. Kerusakan otak terutama status epileptikus dengan serangan Grand Mal
H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
b. Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
c. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami
penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-
kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan
sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau
anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
d. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan
diri.
e. Riwayat penyakit dahulu:
 Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
 Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

11
 Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
 Tumor Otak
 Kelainan pembuluh darah
 demam,
 stroke
 gangguan tidur
 penggunaan obat
 hiperventilasi
 stress emosional
f. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan
merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab
terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor
keturunan.
g. Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang
diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial
yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih
umum di masyarakat).
h. Pemeriksaan fisik (ROS)
o B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi
apnea, aspirasi
o B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
o B3 (brain): penurunan kesadaran
o B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
o B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun,
inkontinensia alfi
o B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat
menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang

12
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
b. Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
c. Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke
otak
d. PK : Hipertermi
e. Kurang pengetahuan keluarga b.d kurangnya pajanan informasi
3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Kontrol Resiko
Kriteria Hasil :
 Klien terbebas dari cidera
 Klien mengenali faktor resiko
 Klien mengenali perubahan status kesehatan
 Klien mengenali faktor resiko dilingkungan
Intervensi :
o Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko
terjadinya cedera
R/ Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan
saat terjadi kejang
o Pantau status neurologis setiap 8 jam
R/ Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan
hasil yang diharapkan
o Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan
terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang
R/ Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas
kejang yang tidak terkontrol
o Pasang penghalang tempat tidur pasien

13
R/ Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera
atau jatuh
o Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
R/ Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan,
yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak
o Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang
harus dilakukan selama pasien kejang
R/ Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
b. Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
Tujuan :
 Respiratory status : Ventilation
 Respiratory status : Airway patency
 Vital Sign Status
Kriteria Hasil :
 Frekuensi nafas normal
 Irama dan kedalaman nafas normal
 Tidak ada dispneu/apneu
 Tidak ada suara nafas tambahan
Intervensi :
o Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila
perlu
R/ Jalan nafas yang terbuka akan memudahkan sirkulasi udara
dalam tubuh
o Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
R/ Pemasangan alat ditujukan untuk membentu pengembangan
paru secara spontan
o Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
R/ Adanya sekret menyebabkan sumbatan jalan nafas
o Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
R/ Adanya sumbatan pada jalan nafas ditandai dengan perubahan
suara paru

14
o Monitor respirasi (frekuensi, irama, kedalaman nafas)
R/ Kelainan pada pola jalan nafas dapat ditunjukkan dari status
respirasi
o Monitor TD, nadi, dan suhu
R/ Tanda vital merupakan indikator yang dapat diukur untuk
mengetahui kecukupan suplai oksigen.
c. Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
Tujuan :
 Perfusi jaringan : serebral
 Status sirkulasi
Kriteria Hasil :
 Tidak ada penurunan kesadaran
 Tidak ada tanda peningkatan TIK
 Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
 Tidak ada gerakan involunter
Intervensi :
o Monitor tingkat kesadaran
R/ Untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien setelah kejang
o Berikan O2
R/ Untuk memenuhi kebutuhan O2 otak
o Monitor adanya parestese
R/ Untuk mengetahui akibat sisa kejang
o Monitor tanda tanda vital
R/ Tanda vital merupakan indikator yang dapat diukur untuk
mengetahui kecukupan suplai oksigen
o Monitor orientasi
R/ Data tambahan status kesadaran pasien
d. PK : Hipertermi
Tujuan : Termoregulasi
Kriteria Hasil :
o Suhu tubuh dalam batas normal ( 36-37,5 C)

15
o Perubahan warna kulit
o Tidak ada keringat dingin
Intervensi
o Monitor suhu secara berkala
R/ Deteksi dini suhu yang abnormal
o Anjurkan untuk menggunakan pakaian tipis
R/ Membantu penguapan panas
o Berikan lingkungan yang nyaman
R/ Membantu menenangkan pasien dengan demam
o Kolaborasi pemberian antpiretik
R/ Merangsang pusat pengatur panas di otak
o Anjurkan untuk banyak minum
R/ Mencegah dehidrasi
o Monitor TTV
R/ Untuk mengetahui tanda vital normal tubuh
e. Kurang pengetahuan keluarga b.d kurangnya pajanan informasi
Tujuan : Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria Hasil :
o Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam
o Keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit perawatan dan
kondisi klien
Intervensi :
o Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien
R/ Mengidentifikasi secara verbal kesalahpahaman dan
memberikan penjelasan
o Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam
melalui penkes
R/ Keluarga mengerti tentang proses penyakit epilepsi
o Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang
belum dimengerti
R/ Untuk meningkatkan pemahaman tentang penyakit

16
o Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien
R/ Membantu mengfokuskan perhatian keluarga dalam arti positif
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Ilmu Kesehatan Anak. EGC. Jakarta.


Dychan, A. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1.Penerbit Salemba Medica :
Jakarta.
NANDA NIC NOC 2013
Piogama. 2009. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta : TM
Sri D. 2007. Neurologi anak, IDAI. Jakarta
Turana. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika. Jakarta.
WHO
Wong,D.L. (1997). Buku ajar Keperawatan Pediatrik. (Wong,s Essentials of

Pediatrik Nursing). Edisi 8. EGC. Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai