Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pendahaluan
Pembaharuan dalam Islam dikenal juga dengan modernisasi Islam, yang mem
punyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran yang terdapat dalam agama dengan ilmu
pengetahuan dan filsafat modern. Pembarauan dapat dilakukan dengan meninjau k
embali beberapa aspek yang memang yang memang memerlukan untuk di perbaha
rui seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern yang mampu ditera
pkan dalam kehidupan sehari-hari seperti sekarang ini.
Hakikat pembaharuan merujuk kepada makna tajdid, kemudian muncul berba
gai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaharuan, yaitu
modernisme, reformisme, puritanisme dan lain sebagainya. Disamping kata tajdid
ada istilah lain dalam kosa kata tentang kebangkitan atau pembaharuan yaitu islah,
kata tajdid biasa di terjemahkan dengan pembaharuan adapun kata islah biasa di te
rjemahkan dengan perubahan. Kedua kata tersebut secara bersamaan mencerminka
n suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan
Islam beserta praktik-praktinya dalam komunitas kaum muslimin.
Berkaitan dengan itu maka pembaharuan dalam islam bukan berkaitan dengan
hal yang mendasar dalam ajaran Islam melainkan pemikirannya, dimana ini adalah
gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan islam dengan perkembanga
n baru dalam islam yang ditimbulkan oleh pengetahuan dan teknologi modern. Ad
apun tokoh-tokoh pembaharuan dalam Islam yang akan kami bahas dalam makala
h ini adalah, Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Jamaluddin Al Afgh
oni, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

2.2. Tokoh-tokoh pembaharuan beserta pemikirannya

1
2.2.1. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah merupakan seorang teolog Sunni kontroversial yang
banyak memusatkan perhatian pada kritik terhadap golongan lain atau sesama
muslim yang menurutnya melenceng dari ajaran Islam yang murni (bersumber
dari al-Quran dan Hadis). Pemikiran Ibnu Taimiyah mempengaruhi berbagai
perkembangan reformis dan puritan di masyarakat Islam berikutnya. Taqi al-
Din Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah lahir di Harran (sekarang di
tenggara Turki) pada tanggal 22 Januari 1263. Ia lahir di keluarga penganut
mazhab Hanbali yang melarikan diri dari ancaman Mongol.
Keluarga Ibnu Taimiyah kemudian menetap di Damaskus pada 1269.
Ia menghabiskan hidupnya di wilayah kesultanan Mamluk – Suriah, Mesir ,
Palestina, dan Hijaz – dan meninggal di penjara di Damaskus pada tanggal 26
September 1328.
Ibnu Taimiyah telah dianggap memenuhi syarat untuk memberi fatwa
pada usia 17 tahun (1279), serta mulai mengajar hadis di Damaskus pada
tahun 1284 dan tafsir Alquran satu tahun kemudian di Masjid Umayyah. Ia
tetap menjadi guru dan mufti sampai kematiannya.
Pemikiran Ibnu Taimiyah terus dipelajari hingga sekarang. Salah satu
pegikutnya adalah Muhammad Ibnu Abdul Wahab dengan gerakan
Wahabinya yang terus eksis hingga sekarang.
Ibnu Taimiyah meneruskan langkahnya dengn mengkritik kaum Syiah. Ia
memandang mereka sama dengan kaum Yahudi dalam mengklaim status
khusus untuk diri mereka sendiri, sebab kaum Syiah tenggelam dalam mitos
dan keunikan sang imam, kemustahilannya berbuat salah, dan ikatan
istimewanya dengan Allah. Sebuah kedudukan yang hanya diberikan oleh
Ibnu Taimiyah untuk Nabi Muhammad (Q.S al-Maidah: 20, al-Taubah: 30-31.
Orang-orang Kristen pun tidak luput dari kritik tajam Ibnu Taimiyah. Ia
menganggap orang-orang Kristen berada dalam kebodohan serupa dalam
kepercayaan mereka kepada Trinitas, pengubahan terhadap Injil dan praktik-

2
praktik antimonoteistik mereka.

2.2.2. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab


Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha
membangkitkan kembali dakwah tauhid dalam masyarakat dan cara beragama
sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan para sahabat. Para pendukung gerakan
ini menolak disebut Wahabi, karena pada dasarnya ajaran Muhammad bin
ʿAbd al-Wahhāb adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri.
Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai
Salafiyun (mengikuti jejak generasi salaf) atau Muwahhidun yang berarti
"Mengesakan Allah".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan
asal usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya keliru
menilai mereka dan menyangka bahwa mazhab mereka mengikuti pemikiran
Ahmad ibn Hanbal dan alirannya saja, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang
merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Dan
adapula yang menghubungkan mereka dengan gerakan teroris, padahal ajaran
mereka sangat anti teroris.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatannya dihubung-
hubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab yaitu ayahanda penggagas gerakan
ini, Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun,
istilah Wahhabi ini tidaklah sah dinisbatkan untuk nama suatu kelompok,
karena sejatinya nama Wahhab adalah nama hanya untuk Allah Ta'ala. Oleh
karena itu mereka menisbatkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun
(Orang-orang yang Mengesakan Allah) karena mereka ingin mengembalikan
ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan cara beragama menurut sunnah
Rasulullah yang semakin asing di masyarakat. Dia mengikat perjanjian
dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd.
Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik,

3
sementara Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb menjadi pemimpin spiritual.
Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh
keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Muhammad bin
ʿAbd al-Wahhāb misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz. Dan
juga Nama Syaikh Muhammad bin 'Abd Al-Wahhāb juga sering kontroversi
tuduhan dengan disamakan seorang yang bernama 'Abdul Wahhāb bin
Rustum muncul pada Abad 2 H. berakidah aliran khawarij takfiri yang
padahal pada hakekatnya akidah/ushuluddin Syaikh Muhammad bin 'Abdul
Wahhāb sangat menentang ajaran akidah khawarij takfiri.
Adapun pemikirannya yaitu pemurnian akidah islam dimana beliau
melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai
merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang
diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam.
Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama
gerakan Wahabiyah.

2.2.3. Jamaluddin Al Afghani


Sayyid Muhammad bin Safdar al-Husayn (1838 – 1897 yang mana
pada umumnya dikenal sebagai Sayyid Jamal-Al-Din Al-Afghani, atau juga
biasa di panggil Al-Jamal Asadābādī-Din lahir di
desa Asadābād dekat Hamadān, Iran terdapat sumber lain mengatakan bahwa
Asadabadi sebenarnya lahir di Asadabad, daerah
provinsi Kunar di Afganistan, merupakan aktivis politik, nasionalis Islam,
pencetus, perintis Islamisme dan Pan Islamisme pernah bertempat tinggal
di Afganistan, Indonesia, Iran, Mesir, dan Kesultanan Ottoman pada abad ke-
19. adalah salah satu pencetus Pan Islamisme,  digambarkan sebagai pribadi
yang "lebih memperjuangkan kaum muslim terhadap dominasi politik Barat
dibandingkan masalah teologi ." banyak menulis dalam majalah al-'Urwat al-
Wuthqa

4
Al-Jamal Asadābādī-Din berusaha memecah tembok eksklusif kaum
Muslimin dan membawa mereka memasuki dunia lebih terbuka. Afghani tetap
optimis meskipun menghadapi realitas adanya kemajemukan bangsa, budaya
dan agama. Baginya agama itu sendiri, khususnya agama rumpun Semitik -
Yahudi, Kristen dan Islam - bukan menjadikan faktor perpecahan.
Menurutnya perpecahan hanya terjadi bila dieksploitasi oleh kepentingan-
kepentingan semata, orang yang berkepentingan. menurut Jamal al-Din
perpecahan di kalangan penganut agama lebih banyak dicetuskan
oleh para pedagang agama, Merekalah yang menimbulkan isu perselisihan
dan memperniagakannya di warung agama masing-masing untuk mengambil
keuntungan peribadi.

2.2.4. Muhammad Abduh


Muhammad Abduh  ini lahir di suatu tempat yitu Delta Nil (kini
wilayah Mesir), 1849 – meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), 11
Juli 1905 pada umur 55/56 tahun) adalah seorang pemikir muslim dari Mesir,
dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang
filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid
dari Jamaluddin al-Afghani, seorang filsuf dan pembaru yang mengusung
gerakan Pan Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara
Asia dan Afrika.
Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun
sejak 1882, karena keterlibatannya dalam Pemberontakan Urabi. Di Lebanon,
Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada
tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersalam al-Afghani menerbitkan jurnal
Islam The Firmest Bond. Salah satu karya Abduh yang terkenal adalah buku
berjudul Risalah at-Tawhid yang diterbitkan pada tahun 1897.
Pemikirannya banyak terinspirasi dari Ibnu Taimiyah, dan pemikirannya
banyak menginspirasi organisasi Islam, salah satunya organisasi terbesar di

5
Indonesia yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan yaitu Muhammadiyah,
karena ia berpendapat, Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya
ilmu agama, tetapi juga ilmu sains.

2.2.5. Rasyid Ridha


Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-
Qalmuni Al-Husaini, Muḥammad Rashīd Riḍā; lahir di Suriah Utsmaniyah,
23 September 1865 atau 18 Oktober 1865 – meninggal di Mesir, 22 Agustus
1935) dikenal sebagai Rasyid Ridha) adalah seorang intelektual muslim
dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya
digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha
mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan
masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut
antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid),
minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama
yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di
bidang sains dan teknologi. Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi
dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam
menghadapi realita modern.
Mulai tahun 1898 hingga wafat(1935), Ridha menerbitkan surat kabar yang
bernama Al-Manar.
Nasabnya sampai kepada Ahlul Bait.
Ide-ide Pemikiran dalam Bidang Agama
Dalam bidang agama, Rasyid Ridha berpendapat umat Islam lemah
dikarenakan tidak lagi mengamalkan ajaran agama yang murni seperti yang
diterapkan pada masa Rasulullah SAW. Sebab, ajaran pada saat itu sudah
tercampur bid'ah dan khurafat. Rasyid Ridha juga menegaskan, jika umat
Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang teguh kepada Al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah SAW tanpa terikat oleh pendapat-pendapat ulama

6
terdahulu yang tidak sesuai dengan tuntutan hidup modern. Ia kemudian
mengamati paham fatalisme yang menyelimuti umat Islam pada waktu itu.
Rasyid Ridha berpendapat ajaran Islam itu seharusnya mengandung
paham dinamika, bukan fatalisme. Idenya yang lain ialah toleransi dalam
bermazhab. Menurutnya, timbulnya perpecahan pada kalangan umat Islam
dikarenakan adanya sikap fanatisme terhadap mazhab. Oleh karena itu,
menurut Rasyid Ridha perlu menghidupkan toleransi dalam bermazhab.
Bahkan, termasuk dalam bidang hukum, walaupun ia sendiri dikenal sebagai
pengikut Mazhab Hanbali.
Bersama Tarekat Syadziliyyah
Dia mulai mempelajari tasawuf dari gurunya, Husain Al-Jisr. Setelah
dia menggali dan memperdalam ilmu dan ushuluddin, sadarlah ia bahwa
membaca Wirid tersebut termasuk bid’ah. Karena itu, ia pun
meninggalkannya dan lebih memilih untuk membaca dan mempelajari al-
Qur’an.
Bersama Tarekat Naqsyabandiyyah
Mengenai hal ini, Syaikh Rasyid menyebutkan bahwa yang
membuatnya gandrung mempelajar Tasawuf adalah pesona kitab ‘Ihya’
‘Ulum ad-Diin’ karya Imam Al-Ghazali.
Kemudian dia meminta kepada gurunya dalam tarekat
Syadziliyyah, Muhammad Al-Qawiqji untuk memperkenankannya untuk tetap
menjalankan tarekat Syadziliyyah secara formalitas saja.
Beralih Dari Tasawuf Ke Pemahaman Manhaj Salaf
Setelah bertahun-tahun lamanya beliau menjalani kehidupan sebagai
Sufi, dia menuturkan pengalamannya, “Saya sudah menjalani Tarekat
Naqsyabandiyyah, mengenal yang tersembunyi dan paling tersembunyi dari
misteri-misteri dan rahasia-rahasianya. Aku telah mengarungi lautan
Tasawuf dan telah meneropong intan-intan di dalamnya yang masih kokoh
dan buih-buihnya yang terlempar ombak. Namun akhirnya petualangan itu

7
berakhir ke tepian damai, ‘pemahaman Salaf ash-Shalih’ dan tahulah aku
bahwa setiap yang bertentangan dengannya adalah kesesatan yang nyata.”
Dia banyak terpengaruh oleh majalah ‘al-‘Urwah al-Wutsqa’ dan
artikel-artikel para ulama dan sastrawan. Terlebih, pengaruh gurunya,
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ia benar-benar terpengaruh
sekali sehingga seakan gurunya lah yang telah menggerakkan akal dan
pikirannya untuk membuang jauh-jauh seluruh bid’ah dan menggabungkan
antara ilmu agama dan modern serta mengupayakan tegak kokohnya umat
dalam upaya menggapai kemenangan. Dan yang lebih banyak
mempengaruhinya lagi adalah dia buku-buku karya

KESIMPULAN

Dengan ini kami menyimpulkan bahwa tokoh tokoh pembaharuan Islam


adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad ibnu Abdul Wahhab, jamaluddin Al Afgani,
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, dimana rata-rata pemikiran mereka sama
menurut kami, dimana mereka sama-sama ingin memajukan Ummat Islam dari
keterpurukan, dari kejumudan, dari ketertinggalan Dri dunia barat, dimana dunia
barat sudah maju dengan teknologinya.

Anda mungkin juga menyukai