Anda di halaman 1dari 13

Jum'at, 03 April 2009 , 13:18:00

Fobia Sekolah pada Anak


Evi: Penanganannya Sangat Tergantung Orang Tua

Bagi berita/artikel ini kepada rekan atau kerabat lewat Facebook

BANYAK orang tua yang bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang tiba-tiba mogok sekolah dengan
berbagai alasan. Mulai dari alasan sakit perut, sakit kepala, sakit kaki dan seribu alasan lainnya. Bagi orang tua
yang anaknya masih kecil, pemogokan ini tentu bikin pusing karena menimbulkan kebingungan, apakah alasan
tersebut benar atau hanya dibuat-buat oleh si anak, sehingga akhirnya, orang tua menjadi bingung dan memaksa
anak untuk tetap berangkat sekolah. Nah, kalau ternyata apa yang dikemukakan anak benar, lantas bagaimana
harus bersikap?

Menurut psikolog dari Putik Psychology Center Dra Maria Elvira, Psi, perilaku anak seperti mogok atau tidak mau ke
sekolah merupakan fobia sekolah. Dia menjelaskan, fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap
sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul atau pun hilang ketika “masa
keberangkatan” sudah lewat atau hari Minggu serta hari libur lainnya.

“Fobia sekolah sewaktu-waktu dapat dialami oleh setiap anak dengan berbabagi usia, saat dirinya mulai bersekolah
di tempat baru atau menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapi suatu pengalaman yang tidak
menyenangkan di sekolahnya,” terang wanita yang akrab disapa Evi ini.

Evi mengatakan, berapa lama waktu berlangsungnya fobia sekolah amat tergantung pada penanganan yang
dilakukan oleh orang tua. Makin lama anak dibiarkan tidak masuk sekolah, maka makin lama problem tersebut
akan selesai serta makin sering keluhan yang dilontarkan anak. Sebaliknya, makin cepat ditangani, problem fobia
sekolah biasanya akan berangsur-angsur pulih dalam waktu sekitar 1 atau 2 minggu.

Evi menyebutkan, ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi mogok sekolah, di antaranya
adalah Separation Anxiety. Separation anxiety, ungkap Evi, umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18–24
bulan), bahkan tak jarang anak yang lebih besar seperti TK hingga awal SD pun tidak luput mengalaminya.

Ditambahkan, separation anxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan
akrab yang amat dekat hubungannya dengan orangtua. Separation anxiety bisa muncul kala anak selesai menjalani
masa liburan panjang atau pun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang
panjang. Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara orang tua dengan anak tentu saja
lebih tinggi dari pada ketika masa sekolah. Situasi demikian, kata Evi, sudah tentu membuat anak nyaman dan
aman. Nah, pada waktu sekolah tiba, anak harus menghadapi ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan
takut.

Agar dapat memberikan penanganan yang benar-benar tepat, ibu satu putri ini menyarankan kepada para orang
tua agar bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan tersebut. Alangkah baiknya, jika orang
tua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi. Disamping itu,
konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orang tua murid, diskusi dengan anak, konsultasi
dengan konselor atau psikolog, hingga introspeksi diri, adalah metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran
penyebab dari fobia sekolah anak ini.

“Berhati-hatilah untuk membuat diagnosa secara subyektif, jangan hanya didasarkan pada pendapat pribadi diri
sendiri atau keluhan anak semata,” tandas Evi.(dha)

STRESS DAN FOBIA

Jun 24, '08 11:45 PM


BAB I

(PENDAHULUAN)

Dalam setiap detiknya dunia mengalami perubahan. Begitu juga dengan kita sebagai manusia. Dalam era
yang sangat penuh persaingan ini manusia gberlomba-lomba untuk mengatasi apa yang menjadi tuntutan dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Semua hal yang terjadi, menjadikan manusia melakukan apa saja, walaupun itu
semua membuatnya mengalami gangguan pada fisik maupun psikologisnya. Tidak terkecuali pada ibu-ibu Rumah
tangga yang sebagai fitrahnya adalah seorang wanita yang bertugas dan bertanggung jawab dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya. Namun, dilain pihak tuntutan hiduplah yang berbicara, banyak sekarang ini
wanita/ibu-ibu yang selain bertanggung jawab sebagai pengatur rumah tangga tetapi juga sebagai
karyawan/bekerja. Dan hal ini juga memicu adanya gangguan mental dalam hal ini sangat rentan terjadi pada ibu-
ibu tersebut yang disebut dengan stress.

Banyak orang yang mengeluh kesakitan secara fisik, namun setelah diteliti penyebanya adalah pengauh
psikologis. Hal ini yang membuat penulis mencoba meneiti apa hubungan antara psikologis dan fisik. Namun tidak
jarang pula orang yang dapat melakukan coping terhadap stressnya, dan tentunya hal ini pula yang penulis coba
teliti dengan cara mengobservasi dan mewawacara orang yang bersangkutan (Ibu Rumah Tangga dan bekerja)

Gangguan lainnya yang terjadi pada manusia pada umumnya adalah gangguan kecemasan, dalam hal ini
kecemasan yang dimaksud adalah pobia. Banyak orang yang dengan alasan dan tanpa alasan mengalami hal
tersebut. Tentunya hal ini adalah salah satu yang menyebabkan penulis mencoba meneliti dengan mewawancarai
si penderita pobia tersebut.

BAB II

KERANGKA TEORI

B. 1. STRESS

a. Pengertian Stress

Dr. Hans Selye, seorang ahli fisiologi dan tokoh dibidang stress yang terkemuka dari Universitas Montreal,
merumuskan stress sebagai berikut : Stress adalah tanggapan tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap tuntutan
atasnya. Manakala tuntutan terhadap tubuh itu berleihan, maka hal ini dinamakan distress. Tubuh akan berusaha
menyelaraskan ransangan atau stress itu dalam bentuk penyesuaian diri. Dalam banyak hal manusia akan cukup
cepat untuk pulih kemabali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stress. Manusia mempunyai suplai yang baik dari
energi penyesuaian diri untuk dipakai dan diisi kembali bilamana perlu.

Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa pada diri seseorang (disebut stressor psikososial) dapat
mengakibatkan gagguan fungsi /faal organ tubuh. Reaksi tubuh/fisik yang dinamakan stress; dan manakala fungsi
organ tubuh itu terganggu maka dinamakan distress.

Stress dewasa ini sudah semakin populer, tidak saja di kalangan umum, namun juga di kalangan medis
istilah ini mulai dipakai. Bahkan ada gejala dari suatu penyakit, cenderung untuk memakai istilah stress sebagai
bentuk diagnosa.

Stress adalah reaksi tubuh terhadap berbagai tuntutan atau beban yang bersifat non spesifik, namun
disamping itu stress juga merupakan factor penyebab sekaligus, akibat dari suatu gangguan atau penyakit. Factor-
faktor psikososial cukup mempunyai arti bagi terjadinya stress pada diri seseorang. Manakala tuntutan itu
melampui kebutuhannya, maka keadaan demikian disebut distress.

Coping dan Stres

Beberapa orang meyakini bahwa tidak mungkin mendefenisikan secara objektif peristiwa atau situasi
untuk dapat dikategorikan sebagai stresor psikologis mereka menemukan aspek kognitif stres yaitu mereka
meyakini bahwa cara kita menerima atau menilai lingkungan menentukan apakah terdapat stresor. Jika seorang
mberanggapan bahwa tuntutan dalam suatu situasi melebihi kemampuanny, orang tersebut mengalami stres.

Relevan dengan perbedaan individual dalam merespon situasi penuh stres merupakan konsep coping, yaitu
bagaimana orang berupaya mengatasi masalah atau menangani emosi yang umumnya negatif yang
ditimbulkannya. Bahklan diantara mereka yang menilai suatu situasi yang penuh stress, effek stres dapat bervariasi
tergantung padas bagaimana individu menghadapi situasi tersebut. Lazarus dan para koleganya mengidentifikasi
dua dimensi coping (Lazarus dan Folkman, 1984)

· Coping yang terfokus pada masalah (problem-focused coping) mencakup bertindak secara langsung
untuk mengatasi masalah ataumencari informasi yang relavan dengan solusi

· Coping yang terfokus pada emosi (emotion-focused coping) merajuk pada berbagai upaya untuk
mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stres.

Para peneliti coping juga mengajukan coping yang berupa penghindaran (avoidance coping) suatu tipe coping
yang mencakup aspek-aspek coping yang berfokus pada masalah dan pada emosi.

Esensi coping berupa penghindaran adalah berusaha menghindar untuk mengakui bahwa memang ada
masalah yang harus diatsi (mengnalihkan diri, mengingkari) atau menolak melakukan sesuatu untuk mengatasi
masalah tersebut (menyerah).

Peran emosi positif dalam coping menjadi ketertarikan dalam meneliti dewasa ini. Emosi positif dapat dan
memang menyertai timbulnya emosi negatif dalam situasi penuh stres dan dapat memberikan menfaat. Coping
yang efekti sering kali berfariasi sesuai dengan situasi. Selain tiu para peneliti terus berupaya menemukan solusi
suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan menyebabkan peningkatan rasa frustasi dan tidak memberikan
manfaat psikologis apa pun meskipun demikian, bukti-bukti menunjukkan, bahwa secara umum coping berupa
pelarian atau penghindaran merupakan metode coping yang paling tidak efekktif untuk menghadapi banyak
masalah kehidupan.

1. Pendekatan Holistik

Manusia sebagaimana ia ada pada sesuatu waktu, merupakan hasil suatu interaksi antara badan, jiwa
dan lingkungannya. Ketiga unsure ini saling mempengaruhi mulai dari saat pembuahannya sampai manusia
itu menghebuskan nafasnyaa yang akhir.

Dengan demikian, maka dalam segala masalah manusia, kita tidak boleh memisahkan unsure yang
satu dengan yang lainnya, tetapi harus memperhatikan serta mempertimbangkan ketiganya dalam satu
keseluruhan. Pendekatan ini disebut pendekatan holistik. .

Berikut adalah bagan yang menyatakan Bagan Hubungan bio-psiko-sosial atau Holistik

hubungan antar Para Individu

manusia Keluarga
Fungsi Mental Kelompok Kecil

Lebih tinggi Masyarakat

Kebudayaan dulu/sekarang

hubungan antar Para Individu

manusia Keluarga

Fungsi Mental Kelompok Kecil

Lebih tinggi Masyarakat

Kebudayaan dulu/sekarang

2. Stressor Psikososial

Stressor Psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan
seorang anak, remjaja atau dewasa sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi
stressor yang timbul. Namun, tidak semua orang mampu mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya,
sehingga timbulah keluhan-keluhan kejiwaan, antara lain depresi.

Pada umumnya jenis stressor psikososial dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Perkawinan

Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stress yang dialami seseorang; misalnya
pertengkaran , perpisahan, perceraian, kematian salah satu pasangan, ketidakpastian, dan lain-lain.

b. Problem Orangtua

Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalnya tidak punya anak, kebanyakan anak, kenakalan anak,
anak sakit, hubungan yang tidak baik dengan mertua, ipar, besan dan lain sebagainya.

c. Hubungan Interpersonal (Antar Pribadi)

Gangguan ini dapat berupa konflik dengan kawan, kekasih, antara atasan dan bawahan, dan lain
sebagainya.

d. Pekerjaan

Masalah pekerjaan merupakan sumber stress kedua setelah perkawinan. Banyak orang menderita depresi
dan kecemasan masalah pekerjaan ini. Misalnya, pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi
jabatan, kenaikan pangkat, PHK, pensiun dan lain sebagainya.

e. Lingkungan Hidup

Kondisi lingkungan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kesehatan seseorang, misalnya perumahan,
pindah tempat tinggal, penggusuran, hidup d daerah yang rawa dengan kriminalitas dan lain sebagainya.

f. Keuangan

Masalah social-ekonomi yang tidak sehat, misalnya pendapatatn jauh dibawah dar pada pengeluaran ,
terlibat hutang, kebangkruta usaha, soal warisan dan lain sebagainya. Problem keuangan ini dapat
membuat jiwa seseoreang dan seringakali membuat orang jatuh dalam depresi dan kecemasan.

g. Hukum

Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat menjadi sumber stress. Misalnya tuntutan hukum ,
pengadilan, penjara, dan lain sebagainya.

h. Perkembangan

Perkembangan fisik ataupun mental seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa, monopouse, usia
lanjut dan lain sebagainya.

i. Penyakit Fisik atau Cedera

Akibat dari kecelakaan, operasi/pembedahan, aborsi, penyakit-penyakit yang sangat suit


unukdisembuhkan, dan lain sebagainya, merupakan salah sartu sumber stress yang paling utama pada
manusia pada umumnya.

j. Faktor Keluarga

Yang dimaksudkan disini adalah factor stress yang dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan karena
kondisi keluarga yang tidak baik, misalnya:

v Hubungan kedua orang tua yang dingin, atau penuh ketegangan, acuh tak acuh

v Kedua orang tua jarang di rumah, dan tidak ada waktu untuk bersama anak-anak.

v Komunikasi antara oranag tua dan anak tidak baik

v Perceraian orang tua

v Salah satu orang tua menderita atau mengfalami gangguan kejiwaan

v Orang tua dalam mendidik anak-anak kurang sabar, pemarah, otoriter dan lain-lain

k. Dan lain-lain

Penyebab stress yang lainnya yaitu dapat berupa bencana alam, kebakaran, perkosaan, kehamilan diluar
nikah dan lain-lain.

Kebanyakan pekerjaan dengan waktu yang sangat sempit ditambah lagi dengan tuntutan yang
harus serba cepat dan tepat, membuat orang hidup dalam keadaan ketegangan (stress). Pengangguran
membawa pengaruh bagi kesehatan jiwa. Sumber stress terpenting bukanlah hakikat kehilangan
pekerjaan itu sendiri, tetapi lebih bersifat perubahan-perubahan domestic dan psikologis yang berjalan
secara perlahan-lahan. Hal ini lambat laun dapat membahayaklan kesehatan individu itu sendiri.
3. Tahapan Stress

Gangguan stress biasanya timbul seara perlahan, tidak jelas kapan mulainya dan seringkali kita
tidak menyadarinya. Namun meskipun begitu dari pengalaman psikiatri, para ahli mencoba membagi
stress tersebut dalam enam tahapan. Petunjuk-petunjuk tahapan stress tersebut diemukakan oleh Dr.
Robert J.Van Amberg, Psikiater sebagai berikut:

1. Stress tingkat I

Tahapan ini merupakan tingkat stress paling ringan dan disertai dengan perasaan-perasaan sebagai
berikut:

a. Semangat besar

b. Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya.

c. Energi an gugup brle, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya.

2. Stress tingkat II

Pada tahapan ini dampak stress yang menyenangkan mu8lai menghilang dan timbul keluhan-keluhan
dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhan-keluhan itu sebagai berikut:

a. Merasa letih sewaktu bangun pagi.

b. Merasa lelah setelah makan siang

c. Merasa lelah sepanjang sore hari

d. Terkaang gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan usus, perut kembung), kadang-
kadang jantung berdebar-debar.

e. Perasaan tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher).

f. Perasaan tidak bisa santai

3. Stress tingkat III

Pada tahapan ini keluhan keletihan semakin nampak disertai dengan gejala-gejala:

a. Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, seing ingin buang air)

b. Otot-otot terasa lebih tegang

c. Perasaan tegang yang semakin meningkat

d. Gangguan tidur; insomia, sering terbagun malam, dan sukar tidur kembali, atau bangun
terlalu pagi.

e. Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pinsan tapi tidak sampai jatuh pingsan.
Pada tahapan ini penderita sudah harus berkonsultasi pada dokter, kecuali jika beban
stressnya dikurangi dan tubuh dapat kesempatan untuk beristirahat atau relakasi.

4. Stress tingkat IV

Pada tahapan ini sudah menunjukkan gejala yang lebih buruk.

a. untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit

b. kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit

c. kehilangan kemampuan untuk menanggapi suatu pergaulan social dan kegiatan-kegiatan


rutin lainnya terasa berat.

d. Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan sering terbangun dini hari.

e. Perasaan negativisik

f. Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam

g. Perasaan takut yang tidak bisa dijelaskan.

5. Stress tingkat V

a. Keadaan yang mendalam (physical and psychological exhaustion)

b. Untuk pekerjaan-pekerjaan sederhana saja tidak mampu

c. Gangguan sistem pencernaan

d. Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panic.

6. Stress tingkat VI

Tahapan ini meruapakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Tidak
jarangpenderita dalam tahapan ini dibawa ke ICC.gejala-gejala pada tahapan ini cukup mengerikan:

a. Debaran jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan,
karena stress tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah.

b. Nafas sesak

c. Badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran

d. Tenaga untuk hal-hal ringan sekali pun tidak kuasa lagi, pingsan atau collaps.

2. FOBIA

a. Pengertian Fobia

Para Psikolog mendefinisiikan fobia sebagai penolakan yang mengganggu yang diperantai oleh rasa takut
yang tidak proposional dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu dan diakui oleh sipenderita
sebagai sesuatu yang tidak berdasar. Beberapa contoh ketakutan ekstrem terhadap ketinggian, tempat tertutup,
ular atau laba-laba- mengingat tidak ada bahaya objektif- disertai dengan penderitaan cukup besar untuk
mengganggu kehidupan seseorang.

Kriteria DSM-IV-TR untuk Fobia

• Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh objek atau situasi.

• Katerpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens

• Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya tidak realistis

• Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens.

Dalam tiap kasus, kata fobia diawali dengan kata dalam bahasa yunani yang menyebutkan objek atau
situasi yang ditakuti. Kata fobia diambil dari nama dewa Yunani Phobos, yang takut pada musuh-musuhnya.
Beberapa istilah yang paling dikenal adalah claustrophobia, ketakutan pada ruang tertutup; agoraphobia, ketakutan
pada tempat umum; dan acrophobia, ketakutan pada ketinggian. Beberapa ketakutan yang lebih eksotik juga diberi
nama yang diambil dari bahsa yunani, sebagai contoh ergasiophobia, ketakutan menulis; pnigophobia, ketakutan
tersedak; taphephobia, ketakutan dikubur hidup-hidup; anglophobia, ketakutan pada inggris; musophobia,
ketakutan pada tikus; dan hellenologophobia, ketakutan pada kondisi ilmiah semu (McNally, 1997).

b. Tipe-tipe Fobia

• Fobia Spesifik

Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek
atau situasi spesifik. DSM-IV-TR membagi fobia berdasarkan sumber ketakutannya: darah, cedera dan penyuntikan,
situasi(a.l., pasawat terbang, lift, ruang tertutup), binatang, dan lingkungan alami (a.l., ketinggian, air). Fobia
tersebut biasanya saling menyertai (komorbid) (Kendler dkk., 2001). Angka prevalensi sepanjang hidup berkisar 7
persen pada laki-laki dan 16 persen pada perempuan (Kessler dkk., 1994).

Hal yang ditakuti pada fobia juga dapat bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh, di Cina, Pa-leng
adalah ketakutan pada dingin di mana seseorang mengalami kekhawatiran bahwa hilangnya panas tubuh dapat
menyebabkan nyawa terancam. Ketakutan ini tampaknya berkaitan dengan filosofi Cina tentng yin dan yang , yin
merujuk pada aspek-aspek kehidupan berupa pencairan energi yang dingin dan berangin.

Contoh lain adalah suatu sindrom yang dialami di Jepang yang disebut taijinkyofo-sho, ketakutan pada
orang lain. Ini bukanlah fobia sosial, namun merupakan ketakutan ekstrem untuk mempermalukan orang lain,
sebagai contoh, dengan mempermalukan kehadiran mereka, menatap daerah genital, atau menunjukkan wajah
aneh. Diyakini behwa fobia ini timbu dari berbagai elemen budaya Jepang tradisional, yang mendorong kepedulian
yang ekstrem terhadap perasaan orang lain, namun tidak mendorong komunikasi perasaan secara langsung
(McNally, 1997). Dengan demikian, kepercayaan yang terdapat dalam suatu budaya tampaknya dapat menjadi
sumberketakutan yang dialami oleh banyak orang.

• Fobia Sosial
Fobia Sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasiona yang umumnbya berkaitan dengan keberadaan
orang lain. Fobia ini dapat sangat merusak, sedemikian parah sehingga angka bunuh diri pada orang-orang yang
menderita fobia ini jauh lebih tinggi dibanding mereka yang menderita gangguan anxietis lain (Schnerier dkk.,
1992). Memang, istilah ”gangguan anxietis sosial” baru-baru ini diajukan sebagai istilah yang lebih tepat karena
beratnya masalah dan konsekuensi negatif bagi orang-orang yang mengalaminya jauh lebih besar dibanding fobia
lain (Liebowitz dkk., 2000).

Individu yang menderita fobia sosial biasanya mencoba menghindari situasi dimana ia mungkin dinilai dan
menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berperilaku secara memalukan. Ketakutan yang ditunjukkan dengan
keringat berlebihan atau memerahnya wajah merupakan hal jamak. Berbicara atau melakukan sesuatu di depan
publik, makan di tempat umum, menggunakan toilet umum, atau hampir semua aktivitas lain yang dilakukan di
tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan ekstrem, bahkan serangan panik besar-besaran.
Orang-orang yang menderita fobia sosial sering kali bekerja dalam pekerjaan atau profesi yang jauh dibawah
kemampuan atau kecerdsan mereka karena sensitivita sosial ekstrem yang alami- jauh melebihi apa yang kita
pikirkan tentang rasa malu-sangat merugikan secara emosional. Lebih baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah
daripada setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang lebih berharga.

Fobia sosial dapat bersifat umum atau khusus, tergantung rentang situasi yang ditakuti dan dihindari.
Orang-orang dengan tipe umum mengalami fobia ini pada usia yang lebih awal, lebih banyak komorbiditas dengan
berbagai gangguan lai, seperti depresi dan kecanduan alkohol, dan hendaya yang lebih parah (Mannuza dkk., 1995;
Wittchen, Stein, & Kessler, 1999). Gangguan axietas sosial cenderung menjadi kronis jika penangananya tidak
berhasil.

Fobia sosial cukup jamak terjadi, dengan angka prevalensi sepanjang hidup 11 persen pada laki-laki dan
15 persen pada perempuan (Kessler dkk., 1994; Magee dkk., 1996). Fobia ini memiliki tingkat komorbiditas tinggi
dengan berbagai gangguan mood, dan penyalahgunaan alkohol (Crum & Pratt, 2001; Jansen dkk., 1994; Kessler
dkk., 1999; Lecrubier & Weiler, 1997). Seperti diharapkan, awal terjadinya biasanya pada masa remaja, saat
kesadaran sosial dan interaksi dengan orang lain menjadi sangat penting dalam kehidupan seseorang, ketakutan
seperti itu juga ditemukan pada anak-anak. Seperti contoh, setelah dicatat sebelumnya, di Jepang ketakutan
menyakiti orang lain merupakan hal yang sangat penting, sedangkan di Amerika Serikat ketakutan dinilai negatif
oleh orang lain lebih jamak.

c. Teori-teori Fobia

1. Teori Psikoanalisis

Orang pertama yang mencoba menjelaskan secara sistematis perkembangan prilaku biotic adalah
Freud. Menurutnya, fobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan impuls-impuls id yang
ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang
memiliki koneksi simbolik dengannya. Berbagai contoh situasi itu adalah lift dan tempat tertutup. Dengan
menghindarinya seseorang dapat menghindar dari konflik-konflik yang ditekan.

Berdasarkan teori fobia lain dari psikoanalisis yang diajukan oleh Arieti (1979), sesuatu yang ditekan
merupakan masalah interpersonal tertentu di masa kecil dan bukan suatu impuls id. Arieti berteori bahwa pada
masa kanak-kanak, orang-orang yang menderita fobia pada awalnya menjalani priode tanpa dosa di mana
mereka memercayai orang lain di sekitar mereka untuk melindungi mereka dari bahaya. Kemudian mereka
menjadi takut bahwa orang dewasa tidak dapat diandalkan. Mereka tidak dapat hidup dengan ketiadaan rasa
percaya tersebut. Untuk dapat kembali memercayai orang lain, secara tidak sadar mereka mengubah rasa
takut pada orang lain tersebut menjadi rasa takut pada situasi yang tidak menyenangkan.

2. Teori Behavioral

Teori ini berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia.

a. Avoidance Conditioning

Penjelasan utama behavioral tentang fobia adalah reaksi semacam itu merupakan respons
avoidance yang dipelajari. Formulasi Avoidance Conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang
diajukan oleh Mowrer (1974) dan menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian
pembelajaran yang saling berkaitan: pertama, melalui classical conditioning seseorang dapat
belajar untuk takut pada stimulus netral jika stimulus tersebut dipasangkan pada suatu kondisi.
Kedua, seseorang dapat mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan melarikan diri
dari stimulus netral tersebut.

b. Modeling

Selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat pengalaman yang tidak
menyenangkan, ketakutan dapat dipelajari dengan meniru reaksi orang lain. Pembelajaran
terhadap rasa takut dengan mengamati orang lain secara umum disebut sebagai vicarious
learning.

c. Prepared learning (pembelajaran yang dipersiapkan)

Isu lain yang tidak dibahas dalam model pembelajaran avoidance adalah bahwa orang-orang
cendrung hanya takut pada objek atau situasi tertentu, seperti laba-laba, ular, ketinggian, tapi
tidak pada objek lain seperti domba (Marks, 1969). Prepared learning juga relevan dengan
mempelajari ketakutan melalui modeling. Cook dan Mineka (1989) meneliti empat kelompok kera
resus, yang masing-masing melihat rekaman video yang berbeda. Rekaman tersebut dibuat
dengan penggabungan sehingga kera yang menunjukan ketakutan mendalam tampak seolah
merespons stimulasi yang berbeda: seekor ular mainan, bunga, atau kelinci mainan. Hanya kera-
kera yang melihat rekaman ular atau buaya mainan yang menunjukan ketakutan pada objek
tersebut, sekali lagi menunjukan bahwa tidak setiap stimulus dapat menjadi sumber ketakutan.

d. Diperlukan Diathesis

Pertanyaan terakhir yang perlu dibahas adalah mengapa beberapa orang yang memiliki
pengalaman traumatis tidak mengalami ketakutan yang menetap. Sebagai contoh, 50 % di antara
orang-orang yang sangat ketakutan terhadap anjing menuturkan pengalaman traumatis yang
pernah mereka alami dengan anjing, begitu juga dengan 50 % di antara orang-orang yang tidak
takut anjing (Dinardo dkk, 1988). Perbedaan di antara kelompok tersebut adalah kelompok fobik
berfokus pada dan menjadi cemas terhadap kemungkinan munculnya kejadian traumatis yang
sama pada masa mendatang. Dengan demikian, suatu diathesis kognitif-meyakini bahwa
kejadian traumatis yang sama akan terjadi pada masa mendatang-mungkin merupakan hal
penting dalam terbentuknya fobia. Kemungkinan diathesis lain adalah adanya riwayat yang
menunjukan ketidakmampuan mengendalikan lingkungan.

Secara ringkas, data yang telah dikaji menunjukan bahwa beberapa fobia mungkin dipelajari
melalui avoidance conditioning. Namun, avoidance conditioning tidak dapat dianggap sebagai
teori yang sepenuhnya dapat dibenarkan. Sebagai contoh, banyak orang fobia menuturkan
bahwa mereka tidak pernah terpapar langsung dengan kejadian traumatis atau dengan model
yang menakutkan (Merckelbach dkk, 1989).

e. Keterampilan Sosial yang Kurang dalam Fobia Sosial

Berbagai penemuan menunjukan bahwa orang yang memiliki kecemasan sosial memang
memiliki skor rendah dalam keterampilan sosial (Twentyman & McFall, 1975) dan bahwa mereka
tidak mampu memberikan respons pada waktu serta tempat yang tepat dalam interaksi sosial,
misalnya mengatakan “terima kasih” pada waktu yang tepat. (Fischetti, Curran & Wessberg,
1977).

3. Teori Kognitif

Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada
bagaimana proses berfikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat
membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi
stimulasi negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan
memercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang
(Heinrichs & Hoffman, 2000; turk dkk, 2001). Isu utama dalam teori ini adalah apakah kognisi tersebut
menyebabkan kecemasan atau apakah kecemasan menyebabkan kognisi tersebut. Walaupun beberapa bukti
eksperimental mengindikasikan bahwa cara menginterpretasi stimuli dapat menyebabkan kecemasan di
laboratorium (Matthews & McKintosh, 2000), namun tidak diketahui apakah bias kognitif menjadi penyebab
gangguan anxietas.

Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam gangguan ini-rasa takut yang
menetap dan pakta bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang
mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui proses-proses otomatis yang
terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut, stimulasi dihindari sehingga
tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat menghilangkan rasa takut tersebut (Amir. Foa, & Coles, 1998).

d. Faktor-faktor Biologis yang Memengaruhi

Berbagai teori yang telah kita bahas terutama melihat pada lingkungan untuk menemukan penyebab
dan yang membuat fobia menetap. Namun, mengapa beberapa orang memiliki ketakutan yang tidak realistik,
sedangkan yang lain tidak, padahal mereka mendapat kesempatan pembelajaran yang sama? Mungkin mereka
yang secara negatif sangat terpengaruh oleh stres memiliki malfungsi biologis (suatu diathesis) yang dengan
cara satu atau lainnya memicu terjadinya fobia setelah kejadian yang penuh stres. Penelitian dalam dua area
berikut tampaknya menjanjikan: sistem saraf otonom dan faktor genetik.

• Sistem Saraf Otonom

Seperti disebutkan sebelumnya, orang-orang yang mengalami fobia sosial sering kali merasa takut
bahwa wajah mereka akan memerah atau berkeringat secara berlebihan di depan umum. Karena berkeringat
dan memerahnya wajah dikendalikan oleh sistem saraf otonom, aktivitas sistem saraf otonom yang berlebihan
kemungkinan merupakan suatu diathesis.
• Faktor Genetik

Beberapa studi telah menguji apakah faktor genetik berperan dalam fobia. Fobia darah dan penyuntikan
sangat familiar; 64 persen fobia darah dan penyuntikan memiliki sekurang-kurangnya satu kerabat tingkat
pertama yang menderita gangguan yang sama, sedangkan prevalensi gangguan dalam umum hanya 3 sampai
4 persen (Ost, 1992). Sama dengan itu, baik untuk fobia sosial maupun fobia spesifik, prevalensinya lebih
tinggi dibanding rata-rata pada keluarga tingkat pertama pasein, dan studi terhadap orang kembar
menunjukan kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar MZ (Hettema, M. Neale, & Kendler, 2001).

Terkait dengan penemuan ini adalah penelitian Jerome Kagan mengenai karakter terhambat atau
pemalu (Kagan & Snidman, 1997). Beberapa bayi usia empat menjadi terganggu dan menangis ketika ditunjuki
mainan atau stimulasi lain. Pola prilaku ini, yang mungkin diturunkan, dapat menjadi tahap awal bagi
perkembangan fobia kelak. Dalam satu studi, sebagai contoh, anak-anak yang mengalami hambatan memiliki
kemungkinan lima kali lebih besar dibanding anak-anak yang tidak terhambat untuk mengalami fobia kelak
(Biedermen dkk, 1990).

e. Terapi Fobia

1. Pendekatan Psikoanalisis

Seperti halnya teori psikoanalisis yang memiliki banyak variasi, demikian juga terapi psikoanalisis.
Walaupun demikian, secara umum, semua penanganan psikoanalisis terhadap fobia berupaya mengungkap
konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan ekstrem dan karakteristik penghindaran dalam
gangguan ini. Karena fobia dianggap sebagai simtom dari komplik-komplik yang ada di baliknya, fobia
biasanya tidak secara langsung ditangani. Memang upaya langsung untuk mengurangi penghindaran fobik
dikontradiksikan karena fobia diasumsikan melindungi orang yang bersangkutan dari berbagai konflik yang
ditekan yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.

Dalam berbagai kombinasi analisis menggunakan berbagai tehnik yang dikembangkan dalam tradisi
psikoanalisis untuk membantu mengangkat represi. Dalam asosiasi bebas anbalisis mendengarkan dengan
penuh perhatian yang disebutkan pasein terkait dengan setiap rujukan mengenai fobia. Analisis juga berupaya
menemukan berbagai petunjuk terhadap penyebab fobia yang ditekan dalam isi mimpi yang tampak jelas. Apa
yang diyakini analisis mengenai penyebab yang ditekan tersebut tergantung pada teori psikoanalisis tertentu
yang dianutnya.

Para ahli klinis yang berorientasi analitis mengakui pentingnya pemaparan dengan suatu yang ditakuti.
Walaupun biasanya mereka cendrung menganggap perbaikan kondisi yang mengikutinya hanya bersifat
simtomatik dan bukan sebagai penyeleseian atas konflik mendasar yang diasumsikan sebagai penyebab fobia
(Wolitzky & Eagle, 1990).

2. Pendekatan Behavioral

Flooding adalah tehnik dimana klien dipaparkan sebagai sumber fobia dalam intensitas penuh. Rasa
tidak nyaman ekstrem menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini sehingga belum lama ini cendrung
menahan trapis untuk menggunakan tehnik ini. Kecuali mungkin sebagai jalan terakhir bila pemaparan secara
bertingkat tidak membuahkan hasil. Dalam pembahasan mengenai terapi untuk gangguan obsetif kompulsif
dan ganguan stres pascatrauma. Kita akan melihat penggunaan tehnik flooding yang lebih luas.
3. Pendekatan Kognitif

Orang-orang yang menderita fobia sosial dapat memperoleh manfaat dari strategi penanganan yang
mengacu pada back and ellist. Yaitu: mereka mungkin dipersuasi oleh trapis untuk menilai rekasi orang lain
terhadap mereka secara lebih akurat dan untuk tidak terlalu bergantung pada persetujuan orang lain untuk
mempertahankan perasaan bahwa diri kita bermakna. Dengan pengakuan dalam tahun-tahun terakhir bahwa
banyak orang yang menderita fobia sosial. Pada dasarnya memiliki cukup keterampilan sosial namun
terhambat oleh pikiran-pikiran yang menghancurkan diri sendiri. Pendekatan kognitif semakin dititikberatkan.
Bila dikombinasikan dengan pemaparan dengan situasi yang ditakuti terutama dalam konteks terapi kelompok,
pendekatan kognitif terbukti lebih efektif dibanding berbagai terapi lain.

4. Pendekatan Biologis

Obat-obatan yang mengurangi kecemasan disebut sebagai sedatif, tranquilizer, atau anxiolytic (akhiran
lytic berasal dari bahasa Yunani yang berarti melonggarkan atau melelahkan). Barbiturate adalah kategori
obat-obatan utama yang pertama kali digunakan untuk menangani gangguan anxietas, namun karena kategori
obat-obatan tersebut menyebabkan ketergantung yang tinggi dan beresiko mematikan bila overdosis. Pada
tahun 1950 obat-obatan tersebut diganti dengan dua kelompok obat-obat lainnya, propanediol dan
benzodiazepine. Jenis yang kedua dewasa ini digunakan secara luas dan bermanfaat bagi beberapa anxietas.
Namun demikian, jenis tersebut tidak banyak digunakan bagi fobia spesifik.

Anda mungkin juga menyukai