Anda di halaman 1dari 59

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

“Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Imun


Karena Autoimune”

Di Susun Oleh :

Siti Marifatun Khasanah 1814301019


Leti Kristia Melania 1814301020
Kholisatul Muawanah 1814301025
M. Agung Prasetia 1814301028
Jefri Nurdiansyah 1814301031

Dosen : Purbianto., M. Kep, Sp. KMB

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG


JURUSAN KEPERAWATAN PRODI TERAPAN
2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmatnya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang membahas tentang “Konsep Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Imun Karena Autoimune”.
Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh anggota kelompok, karena atas kerjasama yang
dilakukan sangat membantu dalam menyelesaikan tugas ini dengan baik. Makalah ini
merupakan hasil diskusi kelompok kami. Pembahasan didalamnya kami dapatkan dari buku,
browsing internet, diskusi anggota, dll. Dengan pemahaman berdasarkan pokok bahasan.
Kami sadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya
bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi teman-
teman.

Bandar Lampung, 05 Februari 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR........................................................................................ 2
DAFTAR ISI....................................................................................................... 3
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................

Latar Belakang..................................................................................................... 4
Rumusan Masalah................................................................................................ 4
Tujuan.................................................................................................................. 4

BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................

Konsep Asuhan Keperawatan Systemic Erithematosus Lupus (SLE)................. 5


Konsep Asuhan Miastenia gravis......................................................................... 28
Konsep Asuhan Keperawatan Multipel sclerosis................................................ 42

BAB III : PENUTUP.........................................................................................

kesimpulan........................................................................................................... 59
DAFTAR PUATAKA........................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Systemic Erithematosus Lupus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah lupus
merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi kronik. Penyakit ini terjadi
dalam tubuh akibat sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga
merupakan penyakit multi sistem dimana banyak manifestasi klinik yang didapat penderita,
sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya
tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinik yang
paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang berat, SLE bisa
menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan trobositopenia.
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan otot-
otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih
lama dari normal). Myasthenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Kelemahan
otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain,
termasuk kesulitan  bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicaracadel, kelopak mata
murung dan kabur atau penglihatan ganda.
Multipel sklerosis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan respon imun yang di
mediasi sel dan respon imun humoral dengan antibodi dan sel T yang diaktivasi, yang keduanya
diproduksi melawan antigen sendiri.(elizabeth j corwin; hal :263) Multipel slerosis merupakan
gangguan yang dalam bentuk paling khasnya ditandai oleh lesi pada SSP yang terpisah dalam hal
waktu dan lokasi. (lionel Ginsberg ;hal143)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Systemic Erithematosus Lupus (SLE)?
2. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Miastenia gravis?
3. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Multipel sclerosis?
C. Tujuan
Agar Mahasiswa mampu memahami Konsep Asuhan Keperawatan Systemic Erithematosus
Lupus (SLE), Konsep Asuhan Keperawatan Miastenia gravis, Konsep Asuhan Keperawatan
Multipel sclerosis.

4
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Lupus eritematosus sistemik (SLE)

A. Definisi

Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada
jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1.
Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala
memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat
yang besar oleh kehamilan ( Elizabeth 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu
penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap organ
tubuhnya sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat
menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta jantung
(Glade,1999).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan
nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema dengan pola berbentuk
kupu-kupu khas dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar terhadap IgG dan
imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap
dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan
rematik,SLE juga merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan
terutama timbul pada prempuan. Sebabnya tidak diketahui,penanganannya dengan
kortikosteroida atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg +
pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi,ginjal,selaput serosa
permukaan dan dinding pembuluh darah yang belum jelas penyebabnya. Peradangan
kronis ini mengenai prempuan muda dan anak-anak 90% penderita [penyakit SLE adalah
prempuan.

5
Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik,seperti
siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu menemukan terapi yang aman
digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui.

B. Etiologi
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom lupus neonates
dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit atau blok
jatung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada pasien SLE mempunyai kerabatdekat yang menderita
SLE. Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haptolip
MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase
awal reaksi peningkatan komplomen yaitu : Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta gen-gen yang
mengode reseptor drl T, immunoglobulin dan sitokin (Albar 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun
didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi
oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menyadi lambat, obat banyak terakumulas ditubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing tersebut (Herfindal et al,2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente 2002). Selain intu infeksi virus dan bakteri
juga menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit yang
akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).
Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,peningkatan
aktivitas SLE selama kehamilan, dan resiko yang sedikit lebih tinggi padaa wanita
pascamenoupause yang menggunakan suplementasi estrogen. Walapun hormone seks steroid
dipercaya sebagai penyebab SLE,namun studi yang dilakukan oleh petri dkk menunjukan

6
bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penfderita SLE yang penyakitnya stabil.

C. Patofisiologi

Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal Faktor Lingkungan

SLE

(Systemic Lupus Evythomatasus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

Sistemik Kulit Oral Laboratorium

 Arthritis  Butterfly  Xerostomin


 Gangguan
 Serositis rash  Lesi Ulserasi
darah
 Ganggua  Discoid  Lesi Diskoid
 Gangguan
n ginjal rash  Lesi Mirip
imun
 Ganggua  Fotosensi lichen
 Antibody
n saraf tivitas plamus
antinuklir
 kandidiasis
(ANA)

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan faktor
pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon imun didalam tubuh yaitu :

7
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun maupun sitokin
didalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena
adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam tubuh yang
disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang membentuk kompleks imun
tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang
biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut terlihat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

8
Pathway SLE

D. Manifestasi
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu waktu
maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,perjalanan
penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang sehingga

9
parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisystem dari manifestasi
kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang dengan gejala
kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara terhadap atau tiba-tiba. Pada
sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan remisi
klinik sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,pasien mengalami episode aktif SLE
singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE dapat
menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala pada pasien dengan
SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan
tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,namun penyebab infeksius
tetap harus dipikirkan,terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi. Penurunan berat
badan dapat timbul awal penyakit,dimana peningkatan berat badan, khusus pada pasien
yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada tahap
selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan
seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini
belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan, gangguan
neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala
konstitusional. Pada kasus ini dijumpai gejala demam namun gejala ini mungkin juga
disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan berat badan juga ditemukan pada pasien.
Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala
yang paling umum yang memperberat penyakit,gejala ini turut ditemukan kasus ini.
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang telah
ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exaggerated sunburn),
atau gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah terpajan sinar matahari atau sumber
cahaya buatan. Zfotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua
kelompok ras dan etnis, walapun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi

10
umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi
dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar
rash atau butterfly ras. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat
meningkat dan sangat meradang, bertahan selams berminggu-minggu atau berbulan-
bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan
telangiektasis umumnya terdapat diwajah,leher dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam
bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pacaran sinar ultraviolet. Lesi lupus
subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpapar sinar matahari dalam
waktu lama (lengan depan, daerah V dileher ) tanpa pacaran sinar matahari dalam waktu
dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo riticularis, eritema periungual, eritema palmaris,
nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau kronik, panniculitis,
purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. Alopesia dapat timbul akibatlesi pada kulit
kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat reversible, kecuali
jika terdapat lesi discoid kepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus
dibedakab dari infers virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat
disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin
tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Umumnya mata dan mulut kering merupakan
efek samping pengobatan. Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai
dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan
pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu
(malar rash atau butterfly rash) pada bagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga
ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu menyikat
rambut.
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas jaccoud
yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang dan tidak terbukti secara
radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot biasanya
merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaris, namun myositis dengan
peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasannya merupakan gejala yang tumpah
tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon dapat merupakan

11
komplikasi terapi glukokortikoid. Ostenekrosis (nekrosisavaskuler) dapat disebabkan
oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput
femoralis, kaput hormonal, lempemg tibia dan talus. Artralgia dan myalgia merupakan
gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabakanoleh penyakit, efek samping
pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati dan faktor psikogenik.
Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua tangan
yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifetasi
muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non deforming
arthritis.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan terkadang
dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi atau dalam kasus kronik
penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade atau hemodinamik konstriktif jarang
ditemukan, namun dapat diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun
harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan ECG
minimal, aritmia atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan
kardiomiopati dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri. Endokarditid trombotik nonifeksi
(Libman-sacks) jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala, namun dapat
menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embilisasi. Arterisklerosis
premature dengan angina pektrois dan infark miokardium merupakan sumber mortalitas
dan morbilitas jangka panjang yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi
glukokortikoid kronik,menopause premature, serta faktor diet dan gaya hidup dapat
menyebabkan arterosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diindikasi dingin
pada jari.sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel ditangan dan kaki
sering tumpang tindih dengan scleroderma. Gambaran patologis yang sama pada sirkulasi
paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang namun seringkali
fatal. Sebagian besar cedera vascular trombotik pada pasien SLE dimediasi oleh antibody
antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat menyebabkan
thrombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran pembuluh darah. Keadaan
hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan protein S, faktor V Leiden dan

12
antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombisis, namun defisiensi faktor-faktor
ini lebih dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena dibandingkan trpmbosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan
bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin
hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru pneumonitis atau
alveolitis dan dibuktikan dengan batuk, hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi
namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau tanpa
pneumonitis akut dan memilik angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitas lupus
kronik dengan perubahan fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan
perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat
diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang, miopati atau fibrosis otot
pernapasan, termasuk diafragma dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru
rekuren disebabkan oleh antibody antifosfilipid harus disingkirkan pada pasien dengan
gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan patologis
dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan gejala
sampai glumerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal.
Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimalis, termasuk proteinuria ringan dan
hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia,
edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi atau sindrom nefritik dengan
hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin dan
penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan
uremia. Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena
ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria
25,00mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 leu/πL
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang merujuk
pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki manifestasi
obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia,

13
stroke dan myelitis tramsversa. Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh
temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein,
pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada CT scan atau MRI, dapat ditemukan
lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea atau bahkan pada biopsy leptomeningeal
dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatis lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor
yaitu psikosis. Pada kasus ini cairan serebrospinal dan pencitraan menujukkan hasil
normal dan diagnosis banding dari penysakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat
sangat sulit untuk ditentukan. Masalah ini adalah gangguan kognitif dan kepribadian
ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan intesitas yang beragam. Sakit kepala lupus
yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsive terhadap glikokortikoid
merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat
menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark pada pasien ini disuspek
lupus serbri karena penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, kas untuk pasien
SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi abdomen yang
serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan
atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus
jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut. Terkadang pankreatitis
dapat merupakam gejala penyakit atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim
hati terkafdang dihubungkan dengan hepatiris noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat
dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui gambar histologis. Peningkatan enzim hati
juga dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin atau metotreksat dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapst menyebablkan perlemakan hati
dengan peningkatan transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh
hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar haptoglobin rendah dan kadar laktat
dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup
penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus.

14
Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidask cukupan asupan
makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar
kritis. Studi oleh Ng dkk menghungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya
infeksi pada pasien SLE. Leukositosis dapat sdisebabkan oleh glukokortikoid.
Trombisitopenia ringan (100000-150000/πL) dapat disebabkan oleh antibody
antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50000/πL), disebabkan oleh
antibody antiplatelet dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkindidiagnosis
sebagai purpura trombositopenik idiopatik. Pada kasus ini ditemukan kelainan atau
manifestasi hematologi sesuai dengan gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE.
Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit
aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Kebutaan
singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optic atau oklusi arteri atau vena
retina.

E. Klasifikasi
Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America rheumatism
association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun 1982 merevisi kreteria untuk
klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11 kriteria
berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi :
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )

15
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik,leucopenia,trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria diagnosis
SLE. A Rash Points MD. Arthritis renal disease ( penyakit ginjal), ANA serositis,
Hematologi disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus dimulut) immunological
disorder,neurologic disorder, Malar rash,Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.

F. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan penyakit akut,
meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan dan mencegah komplikasi
dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid untuk
meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral tinggil
tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-obat
antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius

G. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menujukan berbagai
manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul manifestasi dikulit, ginjal dan
neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE
ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya beberapa
autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi
antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang

16
kurang spesifik adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran
bermanfaat untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada kehamilan.
Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat
sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-eklamsia,
tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen
membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko keguguran.
Temuan pemeriksaan laboratorium :
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif dengan titer
tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody) berhubungan
dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri, vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus meliputi darah
lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP, analyses
urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang dilakukan adalah biopsy.

H. Kompilkasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam sel-sel tetapi
hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap) pada
akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu mengalami dialysis atau
pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling sering
ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bias terjadi pada

17
bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa,
sindroma otak organic dan sekitar kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang
bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan darah
didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah
thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun miokarditis.
Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut timbul nyeri dada
dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita
arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jaringan tangan,
pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering
merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal hidung. Ruam
ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.

18
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1.   Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun
penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakityang sama atau
penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik

19
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi systolic click
(ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup pericardium yang
menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang
menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,siku,jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi pasien.
Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan, turgor kulit,
nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa

B. Diagnosa
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-psikososial kronis (metastase
kanker, injuri neurologis, arthritis).
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak
mampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan pada mukosa mulut
4. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

20
C. Perencanaan/Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


. ( NOC) (NIC)
1. Nyeri kronis berhubungan 1. Comfort level Pain management
dengan ketidak mampuan 2. Pain control 1. Monitor kepuasan
fisik-psikososial kronis 3. Pain level pasien terhadap
(metastase kanker, injuri Tujuan : Setelah dilakukan manajemen nyeri
neurologis, arthritis). tindakan keperawatan 2. Tingkat istirahat dan
selama 24 jam nyeri kronis tidur yang adekuat
pasien berkurang dengan 3. Kelola antianalgesik
kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien
1. Tidak ada gangguan penyebab nyeri
tidur 5. Lakukan tehnik
2. Tidak ada gangguan nonfarmakologis
konsetrasi ( relaksasi masase
3. Tidak ada gangguan punggung)
hubungan
intrerpersonal
4. Tidak ada ekspresi
menahan nyeri dan
ungkapan secara
verbal
5. Tidak ada tegangan
otot
2 Peningkatan suhu tubuh Thermoregulasi 1. Monitor suhu
berhubungan dengan inflasi Tujuan : Setelah dilakukan sesering mungkin
tindakan selama 24 jam 2. Monitor TD, nadi dan
pasien menunjukan kriteria RR
hasil : 3. Monitor WBC,Hb
1. Suhu tubuh dalam dan Hct

21
batas normal 4. Monitor intake dan
2. Nadi dan RR dalam output
rentang normal 5. Berikan antipiretik
3. Tidak ada perubahan sesuai advis dokter
warna kulit dan 6. Selimuti pasien
tidak ada pusing, 7. Berikan cairan
pasien merasa intravena
nyaman 8. Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila
9. Tingkatkan sirkulasi
udara
10. Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
11. Monitor hidrasi
seperti turgor kulit,
kelembaban mukosa

3.
Ketidak seimbangan nutrisi 1. Kaji adanya alergi
kurang dari kebutuhan tubuh a. Nutritional status : makanan
berhubungan dengan ketidak adequacty of 2. Kolaborasi dengan
mampuan untuk nutrient ahli gizi untuk
memasukkan nutrisi karena b. Nutritional status : menentukan jumlah
gangguan pada mukosa Food and fluid kalori dan nutrisi
mulut intake yang dibutuhkan
c. Weght control pasien
Tujuan : Setelah dilakukan 3. Ajarkan pasien
tindakan keperawatan bagaimana membuat
Selama 2x24 jam nutrisi catatatan makanan
kurang teratasi dengan harian
indicator : 4. Monitor adanya
1. Albumin serum penurunan BB dan

22
2. Prealbumin serum gula darah
3. Hematokrit 5. Monitor lingkungan
4. Hemoglobin selama makan
5. Total iron binding 6. Jadwalkan
capacity pengobatan dan
6. Jumlah limfosit tindakan tidak selama
jam makan
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringa,
rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar
Hct
9. Monitor mual dan
muntah
10. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
kojungtiva
11. Monitor intake nutrisi
12. Informasikan pada
pasien dan keluarga
tentang manfaat
nutrisi
13. Kolaborasi dengan
dokter tentang
kebutuhan suplemen
makanan seperti
NGT/TPN sehingga
intake cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan.

23
14. Atur posisi
semifowler tinggi
selama makan
15. Kelola pemberian
antiemetic
16. Anjurkan banyak
minum
17. Pertahankan terapi IV
line
18. Catat adanya edema,
hiperemik,
hipertonik, papilla
lidah dan cavitas oral

4
Kelelahan berhubungan 1. Monitor respon
dengan kondisi fisik yang 1. Activity tolerance kardiorespirasi
buruk karena suatu penyakit 2. Energy conservation terhadap aktivitas
3. Nutritional status (takikardi, disritmai,
energy dyspnea, diaphoresis,
Tujuan : Setelah dilakukan pucat, tekanan
tindakan keperawatan hemodinamik dan
selama 2x24 jam kelelahan jumlah respirasi)
pasien teratasi dengan 2. Monitor dan catat
kriteria hasil : pola dan jumlah tidur
1. Kemampuan pasien
aktivitas adekuat 3. Monitor lokasi
2. Mempertahankan ketidak nyamanan
nutria adekuat atau nyeri selama
3. Keseimbangan bergerak dan aktivitas
aktivitas dan 4. Monitor intake nutrisi
istirahat 5. Monitor pemberian

24
4. Menggunakan dan efek samping
teknik energy obat depresi
konservasi 6. Kolaborasi dengan
5. Mempertahankan ahli gizi tentang cara
interaksi social meningkatkan intake
6. Mengidentifikasi makanan tinggi
faktor fisik dan energy
psikologis yang 7. Monitor pemberian
menyebabkan dan efek samping
kelelahan obat depresi
7. Mempertahankan 8. Instruksikan pada
kemampuan untuk pasien untuk
konsentrasi mencatat tanda dan
gejala kelelahan
9. Jelas pada pasien
hubungan kelelahan
dengan proses
penyakit
10. Dorong pasien dan
keluarga
mengekspresikan
perasaannya
11. Catat aktivitas yang
dapat meningkatkan
relaksasi
12. Tingkatkan
pembatasan bedrest
dan aktivitas
13. Batasi stimulasi
lingkungan untuk
memfasilitasi

25
relaksasi

5
Kerusakan integritas kulit 1. Anjurkan pasien
berhubungan dengan deficit untuk menggunakan
imunologi 1. Tissue integrity : pakaian yang longgar
Skin and mucous 2. Hindari kerutan pada
membrane tempat tidur
2. Wound healing 3. Jaga kebersih dan
primer dan sekunder kering
Tujuan : Setelah dilakukan 4. Monitor kulit akan
tindakan keperawatan adanya kemerahan
selama 2x 24 jam kerusakan 5. Mobilasasi pasien
integritaskulit berkurang ( ubah posisi pasien)
dengan kriteria hasil : setiap dua jam sekali
1. Intergritas kulit yang 6. Oleskan lotion atau
baik bisa minyak pada daerah
dipertahankan yang tertekan
(sensai, elastisitas, 7. Monitor status nutrisi
temperature, hidrasi, pasien
pigmentasi) 8. Monitor status nutrisi
2. Tidak ada luka/lesi pasien
pada kulit 9. Memandikan pasien
3. Perfusi jaringan baik dengan sabun dan air
4. Menujukkan hangat
pemahaman dalam 10. Kaji lingkungan dan
proses perbaikan peralatan yang
kulit dan mencegah menyebabkan
terjadinya cedera tekanan
berulang 11. Obsevasi luka : lokas,
5. Mampu melindungi dimensi, kedalaman
kulit dan luka, karakteristik,

26
mempertahankan warna cairan,
kelembaban kulit granulasi, jaringan
dan perawatan alami nekrotik, tanda
6. Menunjukkan terjadi infeksi local, formasi
proses penyembuhan traktus
luka 12. Ajarkan pada
keluarga tentang luka
dan perawatan luka
13. Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKT,
vitamin, cegah
kontaminasi feses dan
urin
14. Lakukan teknik
perawatan luka
dengan steril
15. Berikan tekanan pada
luka

27
1.2 Myasthenia Gravis (MG)
A. Definisi
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa
Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius.
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis
adalah gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang
kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan
kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan
antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi
kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial. Serangan
dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun
dan pada pria sampai 40 tahun. 

B. Klasifikasi Klinis Myasthenia Gravis


1. Kelompok I Myasthenia Okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada
kasus kematian.
2. Kelompok II Myasthenia Umum
a. Myasthenia umum ringan
progress lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka
kematian rendah.
b. Myasthenia umum sedang
progress bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin
berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria (gangguan
bicara), disfagia (kesulitan menelan) dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan
dengan Myasthenia umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena. Respon

28
terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas, tetapi angka
kematian rendah.
c. Myasthenia umum berat
- Fulminan akut : progress yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan
bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya
penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini,
persentase thymoma paling tinngi. Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis
Myasthenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat
kematian tinggi.
- Lanjut : Myasthenia Gravis berat timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress
gejala-gejala kelompok I atau II. Myasthenia Gravis dapat berkembang secara
perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Persentase thymoma menduduki urutan
kedua. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.

Myasthenia Gravis bisa juga diklasifikasikan dengan lebih singkat dan sederhana
menjadi :

1. Golongan I = Gejala-gejalanya hanya terdapatpada otot-otot ocular


2. Golongan II A = Myasthenia Gravis umum ringan
Golongan II B = Myasthenia Gravis umum berat
3. Golongan III = Myasthenia Gravis akut yang berat, yang juga mengenai otot-otot
pernafasan
4. Golongan IV = Myasthenia Gravis kronik yang berat

C. Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga kemungkinan
terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin (Acetyl Choline Receptor
(AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit
ini adalah:
1. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau kelebihan
kolinesterase
2. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG

29
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
a. Infeksi (virus)
b. Pembedahan
c. Stress
d. Perubahan hormonal
e. Alkohol
f. Tumor mediastinum
g. Obat-obatan:
o Antikolinesterase
o Laksative atau enema
o Sedatif
o Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin)
o Potassium depleting diuretic
o Narkotik analgetik
o Diphenilhydramine
o B-blocker (propranolol)
o Lithium
o Magnesium
o Procainamide
o Verapamil
o Chloroquine
o Prednisone

D. Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada tranmisi
impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membrane postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya
penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap
individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap
lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.

30
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang menyerang salah
satu jenis reseptor pada otot samping pada simpul neuromukular-reseptor yang bereaksi
terhadap neurotransmiter acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel syaraf dan otot
terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang reseptor acetylcholine sendiri-reaksi
autoimun-tidak diketahui. Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus
kemungkinan terlibat. Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan belajar
bagaimana membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot
(myocytes) dengan reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar
thymus bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi yang
menyerang acetylcholine. Orang bisa mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun
ini. sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar
thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah
thymoma adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak
memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang
berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang
ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.

                  
E. Manifestasi Klinis
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah mengalami kelelahan,
yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah istirahat. Berbagai gejala
yang muncul sesuai denagn otot yang terpenagaruh, sebagai berikut:
1) Apabila otot simetri yang terkena, umumnya dihubungkan dengan saraf kranial. Karena
otot – otot okular terkena, maka gejala awal yang muncul diplopia (penglihata ganda)
dan ptosis (jatuhnya kelopak mata). Ekspresi wajah pasien seperti sedang tidur terlihat
seperti patung hal ini dikarenakan otot wajah terkena
2) Pengaruh terhadapa laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam pembentukan
bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata kata. Kelemahan pada otot
otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan menelan dan adanya bahaya tersedak
dan aspirasi.
3) Sekitar 15% sampai 20% keluhan pada tangan dan otot otot lengan, pada otot kaki
mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh.

31
4) Kelemahan diafragma dan otot – otot interkostal menyebabkan gawat nafas, yang
merupakan  keadaan darurat akut. (Keperawatan medikal bedah, 2001)

F. Pemeriksaan Penunjang
Tes darah dikerjakan untuk menebtukan kadar antibody tertentu didalam serum(mis,
AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies, antistriational antibodies).
Tingginya kadar dari antibody dibawah ini dapat mengindikasikan adanya MG.
Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan reflex. MG dapat
menyebabkan pergerakan mata abnormal, ketidakmampuanuntuk menggerakkan mata secara
normal, dan kelopak mata turun. Untuk memeriksa kekuatan otot lengan dan tungkai, pasien
diminta untuk mempertahankan posisint melawan resistansi selama beberapa periode.
Kelemahan yang terjadi pada pemeriksaan ini disebut fatigabilitas.
Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya pembesaran
thymoma, yang umum terjadi pada MG
Pemeriksaan Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosis MG. Enzim
acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot distimulasi, mencegah terjadinya
perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan saraf tunggal. Edrophonium Chloride
merupakan obat yang memblokir aksi dari enzim acetylcholinesterase.
Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk merangsang otot dan
mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah menandakan adanya MG.

G. Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis adalah:
a. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat kekuatan
b. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa
hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali
merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan
fisioterapi dan antibiotik.
c. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)

32
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis miastenik karena kemampuannya untuk
membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan
kasus kronik.
d. Terapi farmakologi
 Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk memperpanjang waktu paruh
asetilkolin di taut neuromuskular. Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat
pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil,
kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial
berlebihan.
 Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-seling/alternate days dengan dosis
awal kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu). Apabila
sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5
mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan
pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
 Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek samping lebih sedikit jika
dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa gangguan saluran cerna, peningkatan
enzim hati, dan leukopenia). Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama
8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
 Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun

H. Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis
krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:
1. Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat
napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh. Dalam

33
kondisi ini, dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi
pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup, terjadi setelah pengalaman yang
menimbulkan stres seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan, atau selama
kehamilan, serta infeksi. Tindakan terhadap kasus ini adalah:
a) kontrol jalan napas
b) pemberian antikolinesterase
c) bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator),
obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat
memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap,
dan seringkali dosis dapat diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah
minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi
remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik
antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons
mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Status hiperkolinergik ditandai
dengan peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, bradikardia, mual dan muntah,
berkeringat, diare, serta dapat pula timbul gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini
adalah:
a. kontrol jalan napas
penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan
atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine,
pasien harus diawasi secara ketat, karena sekret saluran napas dapat menjadi
kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat
bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian, antikolinesterase dapat diberikan
lagi dengan dosis yang lebih rendah
b. bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.

34
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg
intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik,
tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala
krisis kolinergik.
Perbedaan kedua krisis di atas secara rinci disajikan dalam tabel berikut:

35
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dannstatus
2. Keluhan utama : kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah
istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan
setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak
mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik :

 B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan


otot diafragma
 B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
 B3(brain)       : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi
okular,jatuhnya mata atau dipoblia
 B4(bladder)   : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi urine,hilangnya sensasi
saat berkemih
 B5(bowel)     : kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan peristaltik usus turun,
hipersalivasi,hipersekresi
 B6(bone)       : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang berlebih

B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, 

36
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi polapernapasan klien
kembali efektif
Kriteria hasil :
 Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
 Bunyi nafas terdengar jelas
 Respirator terpasang dengan optimal

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji Kemampuan ventilasi  Untuk klien dengan penurunan
kapasitasventilasi, perawat
mengkaji frekuensipernapasan,
kedalaman, dna bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi paru-
paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan interval
yang sering dalammendeteksi
masalah pau-paru,
sebelumperubahan kadar gas darah
arteri dansebelum tampak gejala
klinik.

2. Kaji kualitas, frekuensi,Dan  Dengan mengkaji kualitas,


kedalaman frekuensi, dankedalaman
pernapasan,laporkansetiap pernapasan, kita dapatmengetahui
perubahan yang terjadi. sejauh mana perubahan
kondisiklien.

3. Baringkan klien dalamposisi  Penurunan diafragma memperluas


yang nyamandalam posisi daerah dada sehingga ekspansi
duduk paru bisa maksimal

37
4. Observasi tanda-tanda vital  Peningkatan RR dan takikardi
(nadi,RR) merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru

2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal


Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan
cedera.
Kriteria hasil :
 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.
 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji kemampuan klien dalam  Menjadi data dasar dalam
melakukan aktivitas melakukan intervensi selanjutnya

2. Atur cara beraktivitas klien  Sasaran klien adalah memperbaiki


sesuai kemampuan kekuatandan daya tahan. Menjadi
partisipan dalampengobatan, klien
harus belajar tentangfakta-faakta
dasar mengenai agen-
agenantikolinesterase-kerja,
waktu, penyesuaiandosis, gejala-
gejala kelebihan dosis, danefek
toksik. Dan yang penting
padapengguaan medikasi dengan
tepat waktuadalah ketegasan.

3. Evaluasi Kemampuan  Menilai singkat keberhasilan dari


aktivitas motoric terapi yang boleh diberikan

38
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil :
 Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi
 Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji komunikasi verbal klien.  Kelemahan otot-otot bicara klien
krisis miastenia gravis dapat
berakibat pada komunikasi

2. Lakukan metode komunikasi  Teknik untuk meningkatkan


yang idealsesuai dengan komunikasimeliputi
kondisiklien mendengarkan klien,
mengulangiapa yang mereka coba
komunikasikan dengan jelas dan
membuktikan yang
diinformasikan, berbicara dengan
klienterhadap kedipan mata
mereka dan ataugoyangkan jari-
jari tangan atau kaki
untukmenjawab ya/tidak. Setelah
periode krisis klien selalu mampu
mengenal kebutuhan mereka.

3. Beri peringatan bahwaklien  Untuk kenyamanan yang


di ruang inimengalami berhubungan dengan
gangguanberbicara, sediakan ketidakmampuan komunikasi
bel khusus bila perlu

4. Antisipasi dan bantu  Membantu menurunkan frustasi

39
kebutuhan klien oleh karenaketergantungan atau
ketidakmampuanberkomunikasi

5. Ucapkan langsung kepada  Mengurangi kebingungan atau


klien dengan berbicara pelan kecemasanterhadap banyaknya
dan tenang,gunakan informasi. Memajukanstimulasi
pertanyaan denganjawaban komunikasi ingatan dan kata-kata.
”ya” atau”tidak” dan
perhatikanrespon klien

6. Kolaborasi: konsultasi ke ahli  Mengkaji kemampuan verbal


terapi bicara individual,sensorik, dan motorik,
serta fungsi kognitif untuk
mengidentifikasi defisit
dankebutuhan terapi

4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal


Tujuan : Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :
 Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang
situasi dan perubahan yangsedang terjadi
 Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
 Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negatif.

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji perubahan darigangguan  Menentukan bantuan individual
persepsi danhubungan dengan dalammenyusun rencana
derajat ketidakmampuan perawatan ataupemilihan
intervensi.

2. Identifikasi arti dari  Beberapa klien dapat menerima


Kehilangan atau disfungsi danmengatur beberapa fungsi

40
pada klien. secara efektifdengan sedikit
penyesuaian diri, sedangkanyang
lain mempunyai
kesulitanmembandingkan
mengenal dan
mengaturkekurangan.

3. Bantu dan anjurkan  Membantu meningkatkan perasaan


perawatan yang baik dan hargadiri dan mengontrol lebih
memperbaiki kebiasaan dari satu areakehidupan

4. Anjurkan orang yang  Menghidupkan kembali perasaan


Terdekat untuk mengizinkan kemandirian dan membantu
klien melakukan hal untuk perkembanganharga diri serta
dirinya sebanyak-banyaknya mempengaruhi prosesrehabilitasi

5. Kolaborasi: rujuk pada ahli  Dapat memfasilitasi perubahan


neuropsikologi dan konseling peran yang penting untuk
bila ada indikasi. perkembangan perasaan

D. Evaluasi
1. Pola napas kembali efektif
2. Terhindar dari resiko cedera
3. Tidak terjadi hambatan dalam komunikasi
4. Citra tubuh klien meningkat

1.3 Multipel Sklerosis


A. Definisi
Multipel sklerosis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan respon imun yang di
mediasi sel dan respon imun humoral dengan antibodi dan sel T yang diaktivasi, yang
keduanya diproduksi melawan antigen sendiri.(elizabeth j corwin; hal :263)

41
Multipel slerosis merupakan gangguan yang dalam bentuk paling khasnya ditandai oleh
lesi pada SSP yang terpisah dalam hal waktu dan lokasi. (lionel Ginsberg ;hal143)
Multiple sklerosis merupakan keadaan kronis, penyakit sistem saraf pusat degeratif di
karakteristikan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak kecildan medulla
spinalis.  Demielinasi menunjukkan kerusakan myelin, adanya material lunak dan protein di
sekitar. (bunner & suddarth; hal: 2182)

B. Etiologi
Penyebab multiple sklerosis saat ini adalah agen lingkungan, misalnya virus, memicu
kondisi pada individu yang rentan secara genetic. Peran mekanisme imun pada
pathogenesis sklerosis multiple didukung beberapa temuan, seperti adanya sel inflamasi
kronik pada plak aktif dan hubungan kondisi ini dengan gen spesifik pada kompleks
histokompabilitas mayor (major histocompability, MHC). Banyak gangguan autoimun
yang ternyata berhubungan dengan kelompok agen ini.
Hubungan  dengan MHC merupakan salah satu bukti pengaruh komponen genetic dalam
etiologi multiple sklerosis, begitu pula adanya kasus pada keluarga. Dan temuan
peningkatan kejadian pada kasus kembar identik (monozigot) dibandingkan kembar non
identik (dizigot). Akan tetapi , belum ditemukan gen tunggal yang penting untuk terjadinya
multiple sclerosis

C. Patofisiologi
Penyakit ini terutama mengenai subtansia alba otak dan medulla spinalis, serta nervus
optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan myelin dengan akson yang
relative masih baik. Pada subtansia alba terdapat area yang relative tampak normal yang
berselang-seling dengan focus inflamasi dan demielinasi yang disebut juga plak. Yang
seringkali terletak dekat venula. Demielinasi inflamasi jalur SSP menyebabkan
penurunan dan gangguan kecepatan hantar saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran
informasi oleh jaras tertentu.
Plak inflamasi akan mengalami evolusi seiring dengan waktu. Pada tahap awal terjadi
perombakan lokal sawar darah-otak. Diikuti inflamasi dengan edema, hilangnya myelin
dan akhirnya jaringan parut SSP yaitu gliosis. Hasil akhir akan menyebabkan area

42
sklerosis yang mengerut, yang berkaitan dengan deficit klinis minimal dibandingkan saat
plak masih aktif. Hal ini sebagian disebabkan oleh remielinasi yang merupakan potensi
SSP, dan juga memperjelas kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema.
Keadaan patologis ini berhubungan dengan pola klinis relaps sklerosis multiple, yaitu
terjadi gejala untuk suatu periode tertentu yang selanjutnya membaik secara parsial atau
total. Lesi inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan yang sudah ada
sebelumnya akan menyebabkan akumulasi deficit neurologis. Plak tidak harus
berhubungan dengan kejadian klinis spesifik, misalnya jika plak hanya kecil dan terletak
pada area SSP yang relative tenang

D. Manifestasi klinis
Tanda-tanda dan gejala-gejala beragam dan banyak, mencerminkan  letak lesi
atau kombinasi lesi.
1. Gejala-gejala utama yang ditunjukkan adalah keletihan, kelemahan, dan penurunan
keseimbangan.
2. Gangguan penglihatan: penglihatan tak jelas, bercak mata(skotoma), atau mungkin
terjadi kebutaan total.
3. Kelemahan ekstermitas spastic dan kehilangan reflex abdomen
4. Disfungsi sensori
5. Masalah kognitif dan psikososial
6. Ketidakmantapan emosional dan euphoria
7. Ataksia dan tremor
8. Masalah-masalah kandung kemih, usus dan seksual

E. Klasifikasi
Cara kerja penyakit MS tidak terduga, Bagi sebagian orang, penyakit ini hanya
sedikit mengganggu, sedangkan yang lain mengalami perburukan yang cepat hingga
membuatnya sama sekali  tidak berdaya, dan sebagian yang lain berada diantara dua
kondisi ekstrem tersebut.

43
Walaupun setiap individu mengalami kombinasi kondisi gejala MS yang berbeda
tetapi kita dapat mengklasifikasikan  MS menjadi beberapa tipe/jenis yaitu:
a. Relapsing –remiting MS (MS hilang-timbul /kekambuhan )
Pada MS jenis ini, terjadi beberapa kali kekambuhan(serangan) yang tidak
terduga. Serangan ini berlangsung dalam waktu yang bervariasi (dalam hitungan
hari/bulan ) dan dapat pilih secara parsial atau total. Jenis ini dapat bersifat  “tidak
aktif” selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Frekuensi kurang lebih 25% .
b. Benign MS (multiple sklerosis jinak)
Setelah satu atau dua kali seranngan dan kemudian pulih total, MS jenis ini tidak
mengalami perburukan dan tidak timbul kecacatan permanen . MS jinak hanya
dapat diidentifikasikan ketika adanya serangan ringan yang timbul  pada masa 10-
15tahun setelah seranagan dan pada awalnya dapat di kategorikan serbagai MS
hilang-timbul. MS jinak cenderungn berhubunagn dengan gejala-gejala yang tidak
parah ketika terjadinya serangan (contohnya pada pasien sensorik) frekuensi
kurang lebih 20%.
c. Secondary progressive MS (MS progesif sekunder)
Bagi beberapa orang yang pada awalnya mengalami MS hilang-timbul, dalam
perjalanan penyakkitnya ada bentuk perkembangan lebih lanjut yang mengarah
pada ketidkmampuan yang bersifat progresif , dan seringkali disertai kekambuhan
terus menerus , frekuensi kurang lebih 40%.
d. rimary progressive MS (MS progresiv primer)
MS jenis ini ditandai tidak adanya seranagn yang parah, tetapi ada serangan-
serangan kecil dengan gejala-gejala yang terus memburuk secara nyata. Terjadi
satu akumulasi perburukan dan ketidakmampuan yang dapat membawa penderita
pada tingkat yang semakin rendah atau terus berlanjut hingga berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, frekuensi kurang lebih 15%
F. Komplikasi
1. Defisit neurologi berat yang menckup hilangnya penglihatan, peningkatan keletihan, dan
deteriorasi intelektual dapat terjadi pada proses penyakit
2. Depresi, kehilangan dukungan social stress keluarga dan pasangan, dan masalah financial
biasa terjadi.

44
G. Pemeriksaan penunjang
1. MRI otak dan medulla spinalis yang dapat menunjukkan lesi plak demielinasi.
2. Potensial bangkitan visual, yang dapat menunjukkan perlambatan konduksi sentral jalur
visual, misalnya akibat neuritis optic subklinis sebelumnya.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal, yang dapat menunjukkan perubahan
nonspesisfik  termasuk limfositosis dengan penyakit aktif, dan peningkatan protein.

H. Penatalaksaan
1. Terapi imunosupresan agresif pada permulaan penyakit dan pada seiap eksaserbasi dapat
membatasi kerusakan autoimun neuro atau myelin.
2. Obat antivirus  dapat memperlambat perkembangan penyakit.
3. Penyuluhan tentang latihan kandung kemih, fungsi seksual, dan menghindari, komplikasi
yang berkaitan dengan penurunan  mobilitas, dapat meningkatkan kepuasaan gaya hidup
dan kesehatan secara keseluruhan.
4. Penyuluhan mengenai perlunya menghindari keletihan kronis dan suhu tinggi dapat
mengurangi gejala.
5. Terapi obat inovatif  diujicobakan yang  ditujukan untuk meningkatkan toleransi diri
antigenic dengan memberikan protein myelin untuk ingesti.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan menunjukkan masalah yang actual dan resiko berkaitan dengan
penyakit yang mencakup masalah neurologis, komplikasi sekunder dan pengaruh penyakit

45
terhadap klien dan keluarga. Gerakan dan kemampuan berjalan klien diobservasi untuk
menentukan apakah ada kemungkinan resiko jatuh. Pengkajian fungsi dilakukan baik ketika
klien cukup istirahat dan ketika mengalami keletihan, perlu dikaji untuk adanya
kelemahan,spasitisitas, kerusakan penglihatan, dan inkontinensia.
1. Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (lebih sering pada kelompok dewasa muda,
antara 18-40 tahun), jenis kelamin (lebih sering menyerang wanita dibandingkan dengan
pria), pendidikan, alamat, pekarjaan, agama,suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah
sakit, nomor register, dan diagnose medis.
 Keluhan utama yang sering menjadi alas an kilen dan keluarga untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak, penurunan daya ingat, serta
gangguan sensorik dan penglihatan.
2. Riwayat penyakit saat ini
Pada anamnesis, klien sering mengeluhkan parestesia (baal, persaan geli, perasaan
“mati”, tertusuk-tusuk jarum dan peniti”), penglihatan kabur, lapang pandang semakin
menyempit, dan mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara spontan terutama
apabila ia sedang berada ditempat tidur. Merasa lelah dan berat pada satu tungkai dan
pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju, dan pengontrolan
kurang sekali.
Pada beberapa kasus, keluarga sering mengeluhkan bahwa klien sering bertingkah
laku euphoria, suatu perasaan sering mengeluhkan bahwa klien sering bertingkah laku
euphoria, suatu perasaan senang yang tidak realities. Ini diduga disebabkan terserangnya
subtansia alaba lobus frontalis. Pada tahap lanjut daripenyakit, klien sering mengeluhkan
retensi akut dan inkontinensia.

3. Riwayat penyakit dahulu


Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat infeksi pada masa
kanak-kanak. Namun hubungan riwayat infeksi virus yang menyerang pada masa kanak-
kanak belum diketahui bagaimana menyebabkan multiple sklerosis pada waktu mulai

46
mengijak masa dewasa muda, virus campak (rubella) diduga sebagai penyebab penyakit
ini.
4. Riwayat penyakit keluaga
Penyakit ini sedikit lebih banyak ditemukan diantara keluarga yang pernah
menderita penyakit tersebut, yaitu kira-kira 6-8 kali lebih sering pada keluarga dekat.
Masih dipertanyakan apakah meningkatnya kasus pada keluarga diakibatkan oleh
predisposisi genetic (tak terdapat pola herediter).
5. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarahkan pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaliknya dilakukan persistem (B1-B6) dan terarah dengan focus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) dan dihubungkan dengan keluhan-
keluhan dari klien.

a. Keadaan umum
Klien dengan multiple sklerosis umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran.
Adanya perubahan tanda-tanda vital meliputi bradikardi, hipotensi, dan penurunan
frekuensi pernapasan yang berhubungan dengan bercak lesi di medulla spinalis.
B1 (breathing)
Pada umumnya klien dengan multiple sklerosis tidak mengalami gangguan pada
system pernapasan. Pada beberapa klien yang telah lama menderita multipel
sklerosis akan mengalami gangguan fungsi pernapasan. ini terjadi akibat tirah baring
dalam jangka waktu yang lama. Pemeriksaan fisik didapat meliputi:
 Inspeksi : Didapatkan klien batuk atau mengalami penurunan kemampuan
untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum, sesak napas, dan
penggunaan otot bantu napas.
 Palpasi : Didapatkan taktil fermitus seimbang kanan dan kiri
 Perkusi : Didapatkan adanya suara resonan pada seluruh lapang paru
 Auskultasi : Didapatkan bunyi napas tambahan seperti napas
berbunyi stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret,

47
dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien
dengan inaktivitas.
B2 (blood)

Pada umumnya klien dengan multiple sklerosis  tidak mengalami


gangguan pada system kardiovaskuler. Akibat dari tirah baring lama dan
inaktivitas biasanya klien mengalami hipotensi postural.
B3 (brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengakajian pada system lainnya.
b. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien biasanya compos mentis.
c.  Pemeriksaan fungsi serebri
Status mental : biasanya statuts mental klien mengalami perubahan yang
berhubungan dengan penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan
penurunan memori baik jangka pendek dan jangka panjang. Adanya gangguan
efek berupa euphoria merupakan tanda yang khas pada klien multiple
sklerosis.
d. Pemeriksaan saraf cranial
 Saraf 1: biasanya pada klien multiple sklerosis tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman tidak ada kelaianan.
 Saraf  II: hasil tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan penurunan
ketajaman penglihatan. Sejumlah besar klien menderita gangguan
penglihatan sebagai gajala-gejala awal. Dapat terjadi kekaburan
penglihatan, lapang pandang, yang abnormal dengan bintik buta (skotoma)
baik pada satu ataupun pada kedua mata. Salah satu mata mungkin
mengalami kebutaan total. Gangguan-gangguan visual ini diakibatkan oleh
neuritis saraf optikus. Lesi pada batang otak yang menyerang nucleus atau
serabut-serabut traktus pada otot-otot ekstraokuler dan nistagmus (gerakan
osilasi bola mata yang cepat dalam arah horizontal atau vertikal).
 Saraf III, IV, dan VI Pada beberapa kasus multiple sklerosis biasanya
tidak di temukan adanya kelainan pada saraf ini.
48
 Saraf VI Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini.
 Saraf  VII Persepsi pengecapan dalam batas noramal.
 Saraf  VIII Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
 Saraf  IX dan X Didapatkan kesulitan dalam menelan makanan yang
berhubungan dengan perubahan status kognitif (klien tidak kooperatif)
 Saraf X Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
 Saraf XII Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
e. Sistem motoric
Kelemahan spatik anggota gerak dengan manifestasi berbagai gejala.
Meliputi kelemahan anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara
asimetris pada keempat anggota gerak. Merasa lelah dan berat pada satu tungkai
dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret maju dan
pengontrolannya kurang sekali. Klien dapat mengeluh tungkainya seakan-akan
meloncat secara spontan terutama apabila ia sedang berada ditempat tidur.
Keadaan spastis yang lebih berat disertai dengan spasme otot yang nyeri.
f. Pemeriksaan reflex
Refleks tendon hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada. Respon
plantar, tanda ini merupakan indikasi terserangnya lintasan kortikospinal.
g. Sistem sensorik
Gangguan sensorik berupa parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati,
tertusuk-tusuk jarum dan peniti)
B4 (blandder)
Disfungsi kandung kemih. Lesi pada traktus kortikospinal menimbulkan
gangguan pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan untuk berkemih,
frekuensi, dan urgensi berkemih yang menunjukkan berkurangnya kapasitas
kandung kemih yang spastis. Kecuali itu juga timbul retensi akut dan
inkontinensia.
B5 (bowel)

49
Pemenuhan nutrisi berkurang yang berhubungan dengan asupan nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum daan perubahan status kognitif. Karena penurunan
aktivitas umum lien sering mengalami konstipasi.
B6 (bone)
Pada beberapa keadaan kilen multiple sklerosis biasanya didapatkan adanya
kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan spastic anggota gerak. Kelemahan
anggota gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota
gerak. Merasa lelah dan berat pada satu tungkai, pada waktu berjalan terlihat jelas kaki
yang sebelah terseret maju dengan pengontrolan yang kurang sekali. Klien dapat
mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara s[ontan terutama apabila ia sedang
berada ditempat tidur. Keadaan spastic yang berat di sertai dengan spasme otot yang
nyeri. Adanya gangguan keseimbangan dan koordinasi dalam melakukan pergerakan
karena perubahan pada gaya berjalan dan kaku pada seluruh gerakan memberikan resiko
pada trauma fisik bila mlakukan aktivitas.
Resiko dari multiple sklerosis terhadap system ini berupa komplikasi sekunder
seperti resiko kerusakn integritas jaringan kulit (dekubitus) akibat penekanan setempat
ari tirah baring lama, deformitas, kontraktur, dan edema, dependen pada kaki.

Diagnosa Keperawatan

1. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan spastisitas.

50
2. Resiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kerusakan sensorik dan penglihatan,
dampak tirah baring,lama, dan kelemahan spastis.
3. Resiko tinggi gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring lama
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake nutrisi
yang tidak adekuat.
5. Kerusakan komunikasi verbal yang behubungan dengan disatria, ataksia serebri sekunder
dari kerusakan serebri.
6. Deficit perawatan diri (makan, minum,berpakaian, higiene) yang berhubungan dengan
perubahan kemampuan merawat diri sendiri, kelemahan fisik spastis.

Rencana Intervensi

Sasaran utama untuk klien peningkatan mobilitas fisik, menghindari cedera, pencapaian
kontinens kandung kemih dan usus, perbaiakn fungsi kognitif, perkembangan kekuatan koping,
perbaikan perawat diri, dan adaptasi terhadap disfungsi seksual. Program individu terhadap
terapi fisik, rehabilitas, dan pengetahuan dikombinasi dengan dukungan emosi.
Intervensikeperawatan bertujuan meningkatkan pengetahuan klien untuk memungkinkan.

Diangnosa Keperawatan Dan Intervensi                                                                               

1. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan, paresis, dan spastisitas.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien
dapat     melaksanakan aktivitas fisik sesuai kemampuan dengan. menunjukkan tindakan
untuk meningkatkan mobilitas fisik.
kriteria hasil :   klien dapat ikut serta dalam program latihan.

                                    Tidak terjadi kontraktur sendi

                                    Bertambahnya kekuatan otot.

INTERVENSI RASIONAL
a)      Kaji mobilitas yang ada dan 1.      Mengetahui tingkat kemampuan klien

51
observasi terhadap peningkatan kerusakan. dalam melakukan aktivitas.
Kaji secar ateratur fungsi motorik.
2.      Modifikasi peningkatan mobilitas 2. Untuk menguatkan otot yang lemah
fisik. karena penurunan kekuatan otot adalah
masalah signifikan pada klien ini.

3.      Anjurkan teknik aktivitas dan teknik  3.        Klien dianjurkan untuk melakukan


istirahat. aktivitas melelahkan dalam waktu singkat.
Latihan fisik yang giat tidak dianjurkan
karena hal itu meningkatkan suhu tubuh dan
dapat menimbulkan gejala yang lebih buruk.
Lamanya latihan yang melelahkan
ekstremitas dapat menyebabkan paresis,
kebas atau tidak ada koordinasi, klien
dianjurkan untuk tetap sering beristirahat
pada periode pendek, dan berbaring lebih
disukai. Kelelahan yang berlebihan dapat
berhubungan dengan factor penyebab gejala
eksaserbasi.
4.      Ajarkan teknik latihan jalan 4.         Latihan berjalan meningkatkan gaya
berjalan, karena umumnya pada keadaan
tersebut, kaki dan telapak kaki kehilangan
sensasi positif. Jika kelompok otot yang
terpengaruh tidak dapat smbuh maka otot-
otot lain dapat dicoba untuk melakukan aksi.
5.  Ubah posisi klien tiap 2jam 5.         Menurunkan resiko terjadinya
iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
buruk pada daerah yang tertekan.
6.  Ajarkan klien untuk melakukan latihan 6.         Gerak aktif memberikan masa, tonus,
gerak aktif pada ekremitas yang tidak sakit. dan kekuatan otot, serta memperbaikan
fungsi jantung dan pernapasan.

7.         Lakukan gerak pasif pada 7.         Otot volunter  untuk geraakan

52
ekstermitas yang sakit  kehilangan tonusdan kekuatannya bila tidak
dilatih untuk gerak.
8.         Bantu klien untuk melakuakn 8.         Untuk memelihara fleksibilitas sendi
ROOM , perawatan diri sesuai toleransi. sesuai kemampuan.

2. Resiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kerusakan sensorik dan penglihatan,
dampak tirah baring,lama, dan kelemahan spastis.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien tidak mengalami
resiko cidera dengan
kriteria hasil: klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan trauma, dekubitus  tidak
terjadi, kontraktur sendi tidak terjadi, dan tidak jatuh dari tempat tidur.

INTERVENSI RASIONAL
1.         Pertahankan tirah baring dan 1.      Ramentulang  rangsang nyeri akibat
imobilisasi sesuai indikasi gesekan antara fragen tulang dengan jaringan
lunak disekitarnya.

2.         Berikan kaca mata sesuai klien. 2.      Untuk memblok impuls penglihatan pada
suatu mata bila klien mengalami diplopia
(penglihatan ganda).
3.         Minimalkan efek imobilitas. 3.      Untuk mencegah komplikasi berupa
pengkajian dan mempertahankan intergritas
kulit dan latihan napas dalam serta batuk.

4.         Modifikasi pencegahan cedera. 4.      Pencegahan cidera dilakukan pada klien


multiple sklerosis jika di funsi motorik
menyebabkan masalah akibat tidak adanya
koordinasi dan adanya kekakuan, atau jika
ataksia ada, klien beresiko jatuh.

5.         Modifikasi lingkungan. 5.      Untuk mengatasi ketidak kemampuan.

53
6.         Ajarkan teknik berjalan. 6.      Jika kehilangan sensasi terhadap posisi
tubuh, klien dianjurkan untuk melihat kaki
sambil berjalan. Berjalan dengan langkah cepat
dicoba dengan alat bantu dan terapi fisik.

7.         Berikan terapi okupasi. 7. Terapi okupasi merupakan sumber yang


membantu individu dalam memberi anjuran
dan memnjamin bantuan untuk meningkatkan
kemandirian. Jika tidak ada koordinasi dan
tremor ekstremitas atas terjadi ketika gerak
volunter diupayakan  (tremor intense). Gelang
pemberat atau manset pada pergelangan tangan
dapat menolong. Klien dilatih untuk berpndah
nmelakukan aktivitas sehari-hari.

3. Resiko tinggi gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring lama
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, klien mampu
mempertahankan keutuhan kulit.
kriteria hasil : klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka, mengethui penyebab
dan cara pencegahan luka, tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka, kulit kering.

INTERVENSI RASIONAL
1.         Anjurkan untuk melakukan latihan 1.         Meningkatkan aliran darah ke
ROM dan mobilisasi jika mungkin. seluruh tubuh
2.         Ubah posisi tiap 2 jam 2.         Menghindari tekanan dan
menungkatkan aliran darah.
3.         Gunakan pengajal lunak di bawah 3.         Menghindari tekanan yang
daerah –daerah (tulang) yang menonjol. berlebihan pada daerah (tulang) yang
menonjol
4.         Lakukan masase pada daerah 4.         Menghindari kerusakan-kerusakan

54
(tulang) yang menonjol baru mengalami kapiler.
tekanan pada waktu berubah posisi.
5.         Bersihkan dan keringkan kulit, 5.         Meningkatkan integritas kulit dan
jagalah tenun tetap kering. mengurangi resiko kelembaban kulit.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake nutrisi
yang tidak adekuat.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, kebutuhan nutrisi klien
terpenuhi.
kriteria hasil : klien mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperhatikan
kenaikan berat badan sesuai dengan hasil pemeriksaan labolatorium.

INTERVENSI RASIONAL
1.         Evaluasi kemampuan makan klien 1.         Klien mengalami kesulitan
dalam mempertahankan berat badan
mereka. Mulut mereka kering akibat
obat-obatan dan mengalami kesulitan
menguyah dan menelan
2.         Timbang badan jika 2.         Tanda kehilangan berat badan
memungkinkan (7-10%) dari kekurangan asupan nutrisi
menunjang terjadinya masalah
katabolisme, kandungan glikogen
dalam otot dan kepekaan terhadap
pemasangan ventilator.
3.         Manajemen mencapai kemampuan 3.         Meningkatkan kemampuan
menelan : klien dalam menelan dan dapat
         Gangguan menelan disebabkan membantu pemenuhan nutrisi klien via
oleh tremor pada lidah, ragu-ragu dalam oral. Tujuan lain adalah mencegah
memulai menelan, kesulitan dalam terjadinya kelelahan, memudahkan
membentuk makanan dalam bentuk bolus. masuknya makanan, dan mencegah
         Makanan setengah padat dengan gangguan pada lambung.
sedikit air memudahkan untuk menelan.
         Klien dianjurkan untuk menelan
secara berurutan.

55
         Klien dianjarkan untuk meletakkan
makanan diatas lidah, menutup bibir dan
gigi, dan menelan.
         Klien dianjurkan untuk menguyah
pertama kali pada satu sisi mulut dan
kemudian ke sisi lain.
         Untuk mengontrol saliva, klien
dianjurkan untuk menahan kepala tetap
tegak dan membuat keadaan sadar untuk
menelan.
         Masase otot wajah dan leher
sebelum makan dapat membantu.
        Berikan makanan kecil dan lunak.
4.         Anjurkan pemberian cairan 2500 4.         Mencegah terhadinya dehidrasi
cc/hari selama terjadi gangguan jantung. akibat penggunaan ventilator selama
klien tidak sadar dari mencegah
terjadinya konstipasi.
5.         Lakukan pemeriksaan 5.         Memberikan informasi yang
laboratorium yang diindikasikan, seperti tepat tentang keadaan nutrisi yang
serum, transferin, BUN/ kreatinin, dan dibutuhkan klien.
glukosa

5. Kerusakan komunikasi verbal yang behubungan dengan disatria, ataksia serebri sekunder
dari kerusakan serebri.
Tujuan : dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, klien mengunakan komunikasi
yang efektif sesui kondisinya.
 Kriteria hasil : membuat teknik komunikasi yang dapat dimengerti sesuai kebutuhan dan
meningkatkan kemampuan berkomunikasi.

INTERVENSI RASIONAL
1. kaji kemampuan klien untuk 1. gangguan berbicara terjadi pada banyak
berkomunikasi. klien yang mengalami penyakit multiple

56
sklerosis. Bicara mereka yang lemah,
monoton, halus, menuntut kesadaran
berupaya untuk berbicara dengan lambat,
dengan penekanan perhatian pada apa yang
mereka katakan.
2. menentukan cara komunikasi, seperti 2.  mempertahankan kontak mata akan
mempertahankan kontak mata, membuat klien tertarik selama komunikasi,
pertanyaan dengan jawaban ya / tidak, jika klien dapat menggerakkan kepala,
menggunakan kertas dan pensil, bahasa mengedipkan mata, atau senang dengan
isyarat, penjelasan arti dari komunikasi isyarat-isyarat sederhana. Kemampuan
yang disampaikan  menulis kadang melelahkan klien selain itu
dapat mengakibatkan frustasi dalam upaya
memenuhi kebutuhan komunikasi. Keluarga
dapat bekerja sama untuk membantu
memenuhi kebutuhan klien.   
3. buatlah catatan dikantor perawatan 3. mengingatkan staf perawat untuk berespon
tentang keadaan klien yang dapat dengan klien selama memberikan perawatan.
berbicara.
4. buatlah rekaman pembicaraan klien 4. untuk memantau perkembangan klien.
Amplifier kecil membantu bila klien
mengalami kesulitan mendengar.

6. Deficit perawatan diri (makan, minum,berpakaian, higiene) yang berhubungan dengan


perubahan kemampuan merawat diri sendiri, kelemahan fisik spastis.
Tujuan : dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, terjadi peningkatan
dalam  perilaku perawatan diri.
Kriteria hasil :klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat
diri dan mengidentifikasi personal/ keluarga yang dapat membantu.

INTERVENSI RASIONAL
1. kaji kemampuan dan tingkat penurunan 1.  membantu dalam mengantisipasi dan
dan skala 0-4 untuk melakukan ADL merencanakan pertemuan kebutuhan
individual.

57
2. hindari apa yang tidak dapat dilakukan 2. Untuk mencegah frustasi dan
klien dan bantu bila perlu. merendahkan harga diri klien
3. ajarkan dan dukung klien selama 3. Untuk meningkatkan perawatan diri.
aktivitas.
4. modifikasi lingkungan 4. untuk mengompensasi ketidakmampuan
fungsi.
5. identifikasi kebiasaan defekasi. Anjurkan 5. meningkatkan latihan menolong,
minum dan meningkatkan aktivitas. mencegah konstipasi

BAB III
PENUTUP

58
A. Kesimpulan

Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada
jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1. Androgen
mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk
selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh
kehamilan ( Elizabeth 2009).Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler
kolagen (suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody
terhadap organ tubuhnya sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus
dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta jantung
(Glade,1999).
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis
adalah gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang
kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan
kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan
antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995).
Multipel sklerosis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan respon imun yang di
mediasi sel dan respon imun humoral dengan antibodi dan sel T yang diaktivasi, yang
keduanya diproduksi melawan antigen sendiri.(elizabeth j corwin; hal :263)
Multipel slerosis merupakan gangguan yang dalam bentuk paling khasnya ditandai oleh
lesi pada SSP yang terpisah dalam hal waktu dan lokasi. (lionel Ginsberg ;hal143)

59

Anda mungkin juga menyukai