Fatimatus Solekhah
Nama Wahana : Rumah Sakit Islam Sunan Kudus
Diagnosis : Dengue syok sindrom
Tanggal (kasus) : 14 maret 2020
Tanggal Presentasi : 26 maret 2020 Pendamping : 1. dr. Wawan Eko Darmawan
2. dr. Utari M.M
Semenjak sakit anak juga rewel. BAB terakhir kemarin, 1 kali warna kuning,
konsistensi lunak, lendir dan darah disangkal. BAK terakhir sekitar jam 07.00 pagi.
Setelahnya anak tidak pipis. Keluhan lain pasien mengeluhkan nyeri perut pada bagian
ulu hati dan mual namun tidak muntah, diare, batuk, pilek, kejang, sesak, mimisan, gusi
berdarah, serta bitnik-bintik merah ruam dibadan disangkal oleh orangtua pasien.. pasien
juga merasa lemes sejak 1 hari yang lalu, lemas tdak hilang walaupun pasien sudah
istirahat, lemas disertai kaki dan tangan yang teraba dingin. Keluarga menyangkal ada
riwayat bepergian keluar kota/pulau dalam 1 bulan terakhir.
Sebelumnya pasien tidak diperiksakan ke dokter, ibu pasien hanya memberi obat
Panadol yang dibeli di Apotik, karena sudah 4 hari keluhan belum membaik dan masih
demam, Pasien dibawa ke RSU Kumala Siwi, kemudian dicek Lab dengan hasil
trombosit 79.000, Hemoglobin 12.9, leukosit 3.200, hematocrit 36.7, dari RS Kumala
Siwi menyarankan anak di rawat inap, namun karena tempat penuh, pasien di beri pilihan
untuk ke RS lain, Sejak hari itu juga pasien langsung dibwa ke IGD RSI.
2. Riwayat Penyakit Dahulu :
3. Riwayat keluarga :
Riwayat penyakit DB (-)
Riwayat tifoid disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat tuberkulosis paru disangkal
Rumah pasien berada di lingkungan padat penduduk. Di dekat rumah +- 350m terdapat
sungai. Masyarakat sekitar sering membuang sampai di dekat sungai, banyak kaleng bekas
serta plastik di dekat lingkungan rumah. Orangtua mengatakan ada adik tingkat sekolah yang
sakit demam berdarah atau sakit dengan keluhan serupa.
5. Riwayat kehamilan
Pasien dikandung cukup, selama hamil ibu rutin periksa ke bidan desa. Riwayat darah
tinggi, kencing manis, kejang, maupun perdarahan selam hamil di sangkal.
6. Riwayat kelairan
Pasien lahir spontan cukup bulan di bedan desa, langsung menangis, berat badan lahir
2900mg.
7. Riwayat Makanan
Riwayat makanan terakhir pasien nasi dan lauk yg biasa di makan seperti ayam, telur,
namun kurang suka sayur-sayuran
8. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi wajib pasien lengkap
STATUS GIZI
Usia : 12 tahun 4 bulan
Berat badan: 41 kg
Tinggi badan : 150 cm
IMT : 18,2 Normoweight
PEMERIKSAAN FISIK :
Tanggal 14 Maret 2020
Keadaan umum : Tampak lemah, rewel
Kesadaran : Komposmentis, GCS: E4V5M6
Vital signs
Nadi : 121x/menit, isi dan tekanan teraba lemah, regular
Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler
SpO2 : 100 %
Suhu tubuh : 39.5 ° C per aksilla
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V linea midclavicularis sinistra, tak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, gallop (-) bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : normochest, simetris, retraksi intercostal dan suprasternal (-)
Palpasi : tidak ada hemithoraks yang tertinggal, vocal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler (+/+) Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
Abdomen:
Inspeksi : datar, supel, tumor/ scar (-)
Auskultasi : bising usus (+) N
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, NT + epigastrium, defans muscular -
Hepar : tak teraba pembesaran
Lien : tak teraba pembesaran
Hasil Laboratorium
Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Hemoglobin 13.3 g/dl 11.8-15.0
Hematokrit 39.9 % 33-45
Leukosit 3.9↓ Ribu/mm3 4.3-13
Trombosit 58↓ Ribu/mm3 150-400
Eritrosit 4.03 Juta/mm3 3.8-5.8
MCV 86.0 µm3 69-93
MCH 33.3 Pg 22-34
MCHC 38.6↑ g/dl 32-36
Eosinofil 0.8 % 1-5
Basofil 3.4 % 0-1
Segmen 34.1 % 28-78
Limfosit 41.5 % 20-50
Monosit 20.2↑ % 1-6
Hasil Rontgen
DIAGNOSIS Di IGD
Observasi Febris H+4 dd Dengue Syok Syndrom
15 Maret S: pusing +, nyeri perut +, BAB -, flatus + Visite dr. Fahmi Sp.A
2020
O: - Inf RL 3cc/KgBB/jam
- Inj. Omeprazole 20mg/8j
KU/Kes:lemah/Compos mentis
- Inf. Paracetamol 500mg/8j
TD: 112/78 mmhg
- Sucralfat syr 3x1cth
N: 109 x/menit
- Cek darah rutin besok pagi
RR: 22 x/menit
T: 37.9º C
SpO2: 99%
Skala nyeri: 3
Mata: cekung -/- ,anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (+) epigastrium,
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
A : Dengue Syok Syndrome
16 Maret S: pusing berkurang, nyeri perut berkurang, BAB -, Visite dr. Fahmi Sp.A
2020
flatus + - Inf RL 3cc/KgBB/jam
17 Maret S: pusing berkurang, nyeri perut berkurang, BAB -, Visite dr. Fahmi Sp.A
2020
flatus+ - Inf RL 3cc/KgBB/jam
Ruang
O: - Inj. Omeprazole 20mg/8j
- Inf. Paracetamol 500mg/8j
KU/Kes: lemah/Compos mentis
- Sucralfat syr 3x1cth
TD: 103/73 mmhg
- Dulcolac supp
N: 98 x/menit
RR: 21 x/menit
T: 36.7º C
SpO2: 100%
Skala nyeri : 2
Mata: cekung -/- ,anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (-)
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
Lab:
Trombosit : 52.000 Basofil : 3.8
Hematocrit : 36.1 Segmen : 37.0
Hemoglobin : 13.2 Limfosit : 44.5
Lekosit : 4.300 Monosit : 11.4
Eosinophil : 3.3
18 maret S: pusing -, nyeri perut - BAB +, flatus+ Visite dr. Fahmi Sp.A
2020 - Terapi lanjut
O:
- Cek DR
KU/Kes: cukup /Compos mentis
TD: 110/70 mmhg
N: 83 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36.7º C
SpO2: 100%
Skala nyeri : 1
Mata: cekung -/- ,anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (-)
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
Lab:
Trombosit : 84.000 Basofil : 2.1
Hematocrit : 35.7 Segmen : 49.3
Hemoglobin : 13.1 Limfosit : 47.9
Lekosit : 6.700 Monosit : 8.2
Eosinophil : 2.5
A : Dengue Syok Syndrome
19 Maret S: - Visite dr. Fahmi Sp.A
2020 O: - BLPL
N: 82 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36.7º C
SpO2: 100%
Skala nyeri : -
Mata: cekung -/- ,anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (-)
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
A : Dengue Syok Syndrome
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defisnisi
Demam dengue (DB) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan nyeri
sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis
hemoragik (Karyanti, 2009).
Apabila seseorang terinfeksi virus dengue tidak selamanya akan menjadi DBD.
Manifestasi infeksi virus dengue bervariasi dengan spektrum yang luas, mulai dari infeksi
tanpa gejala (asimtomatik), demam yang tidak khas, demam dengue (dengue fever) dengan
atau tanpa disertai perdarahan, demam berdarah dengue (DBD/dengue hemorrhagic fever),
sampai keadaan yang paling berat yang dapat menyebabkan kematian yaitu sindrom syok
dengue (SSD atau DSS) (Setiabudi, 2019).
Dengue Syok Sindrom (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DHF
disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari
DHF dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling
berat, yang berakibat fatal. Dengue syok Syndrom merupakan keadaan dengue berat yang
memasuki grade III dan IV. DSS dapat menimbulkan perdarahan hebat, kerusakan
multiorgan serta komplikasi yang paling buruk yaitu kematian. Manifestasi DSS juga dapat
ditemukan adanya hepatomegali, demam dengan suhu tinggi dan keadaan hemokonsentrasi
(Pang, 2007).
B. Epidemiologi
World Health Organization mengestimasi bahwa 2,5 miliar manusia tinggal di
daerah virus dengue bersirkulasi. Penyebaran secara geografi dari kedua vektor nyamuk
dan virus dengue menyebabkan munculnya epidemi demam dengue dan demam berdarah
dengue dalam dua puluh lima tahun terakhir, sehingga berkembang hiperendemisitas di
perkotaan di negara tropis (Setiati, 2006).
Pada tahun 2007 di Asia Tenggara, dilaporkan peningkatan kasus dengue sekitar
18% dan peningkatan kasus dengue yang meninggal sekitar 15% dibanding tahun 2006. Di
Indonesia demam berdarah dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting. Infeksi dengue terjadi secara endemis di Indonesia selama dua abad terakhir dari
gejala yang ringan dan self limiting disease. Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit ini
memiliki manifestasi klinis yang semakin berat sebagai demam berdarah dengue dan
frekuensi kejadian luar biasa meningkat (Sapir, 2005).
Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi yang padat mencapai 245 juta
penduduk. Hampir 60% penduduk tinggal di pulau Jawa, daerah kejadian luar biasa infeksi
dengue terjadi. Walaupun demikian, penyakit dengue banyak dilaporkan di kota besar dan
pedesaan di Indonesia dan telah menyebar sampai di desa-desa terpencil oleh karena
perpindahan dan kepadatan penduduk yang tinggi (Suwandono, 2014).
C. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B
Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang
terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Keempat tipe virus ini
telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling
sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4.
DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang
meninggal (Balasubramanian, 2016).
Virus dengue berukuran 35-45 nm. Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang
dalam tubuh manusia dan nyamuk. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang
infeksius. Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan
sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari
sebelum demam (masa inkubasi instrinsik) (Santos, 2008).
Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut
terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Selama ± 1
minggu setelah menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut
dapat menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk
sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus
dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya (Santos, 2008).
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum
menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar
darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari
nyamuk ke orang lain. Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat menularkan virus
dengue. Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah
binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00 dan sore
hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-
pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiple biter). Hal ini disebabkan
karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber makanan darah utamanya dalam
keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak bisa menghisap darah dengan
tenang sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah yang menyebabkan penularan
penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi (Balasubramanian, 2016).
D. Patogenesis
Nyamuk Aedes sp. yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetapi infektif sepanjang
hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan
menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue akan menuju
organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpatikus, sumsum
tulang serta paru-paru (Dewi, 2007).
Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu
netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity
(ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau
neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus,
dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD (Gibson, 2010).
Gambar 1. Patogenesis Infeksi Dengue (Martina, 2009)
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan
penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum
penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3 (Gibson, 2010).
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di
antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotype virus
dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada
kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya (Wilder, 2008).
Gamabar 2. Multipel Imun Repon pada DHF (Rena, 2009)
1. Fase demam
Fase demam ditandai dengan demam yang mendadak tinggi, terus menerus ,
disertai nyeri kepala, nyeri otot seluruh badan, nyeri sendi, kemerahan pada kulit,
khususnya kulit wajah (flushing). Gejala lain seperti nafsu makan berkurang, mual,
dan muntah sering ditemukan.
Pada fase ini sulit dibedakan dengan penyakit bukan dengue, maupun antara
penyakit dengue berat dan yang tidak berat. Bila diperiksa laboratorium darah,
biasanya ada penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia) dan pada awal jumlah
trombosit dan nilai hematokrit (kekentalan darah) sering kali masih dalam batas
normal. Fase ini biasanya berlangsung selama 2–7 hari.
2. Fase kritis
Terjadi paling sering pada hari ke-4–6 (dapat terjadi lebih awal pada hari ke-3 atau
lebih lambat pada hari ke–7) sejak dari mulai sakit demam. Pada fase ini terjadi
peningkatan permeabilitas pembulu darah kapiler sehingga akan terjadi perembesan
plasma (plasma leakage), sehingga darah menjadi kental, dan apabila tidak mendapat
terapi cairan yang memadai, dapat menyebabkan syok sampai kematian. Sering
disertai tanda bahaya berupa muntah yang terus menerus, nyeri perut, perdarahan pada
kulit, dari hidung, gusi, sampai terjadi muntah darah dan buang air besar berdarah.
Fase ini juga dapat ditemukan badan dingin (terutama pada ujung lengan dan kaki)
sebagai tanda syok, tampak lemas, bahkan terjadi penurunan kesadaran. Pada
pemeriksaan darah dapat ditemukan penurunan jumlah trombosit yang disertai
peningkatan nilai hematokrit yang nyata.
Fase ini terjadi pada saat suhu tubuh mulai mengalami penurunan sampai
mendekati batas normal (defervescence). Hal ini yang sering menyebabkan
terlambatnya orang berobat, karena menganggap bila suhu tubuh mulai turun berarti
penyakit akan mengalami penyembuhan. Pada pasien yang tidak mengalami
peningkatan permeabilitas kapiler akan menunjukkan perbaikan klinis menuju
kesembuhan.
3. Fase pemulihan
Biasanya berlangsung dalam waktu 48 – 72 jam yang ditandai oleh perbaikan
keadaan umum, nafsu makan pulih, anak tampak lebih ceria, dan pengeluaran air
kemih (diuresis) cukup atau lebih banyak dari biasanya. Pada pemeriksaan
laboratorium darah nilai hematokrit akan mengalami penurunan sampai stabil dalam
rentang normal dan disertai peningkatan jumlah trombosit secara cepat menuju nilai
normal.
F. Manifestasi klinis
Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik yang
meliputi demam biasa (sindrom virus), demam dengue, atau demam berdarah dengue
termasuk sindrom syok dengue (DSS). Penyakit demam dengue biasanya tidak
menyebabkan kematian, penderita sembuh tanpa gejala sisa. Sebaliknya, DHF merupakan
penyakit demam akut yang mempunyai ciri-ciri demam, manifestasi perdarahan, dan
berpotensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian. Gambaran klinis
bergantung pada usia, status imun penjamu, dan strain virus. Berikut ini adalah bagan
manifestasi infeksi virus dengue: Infeksi virus dengue Asimtomatik Simtomatik Demam
yang tak Demam dengue Demam berdarah jelas penyebabnya dengue (sindrom virus)
(kebocoran plasma) Tanpa Dengan Perdarahan perdarahan DBD tanpa DBD dengan syok
syok (SSD) Demam dengue Demam Berdarah.
Gambar 4. Spekrum Klinis Infeksi Virus Dengue (Departemen Kesehatan RI,
2005)
G. Diagnosis
1. Demam dengue
a. Demam tinggi mendadak
b. Ditambah gejala penyerta 2 atau lebih:
1) Nyeri kepala
2) Nyeri retro orbita
3) Nyeri otot dan tulang
4) Ruam kulit
5) Meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan
6) Leukopenia
7) Uji HI >1280 atau IgM/IgG positif
c. Tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi, efusi pleura, asites,
hipoproteinemia).
H. Penataaksanaan
Berdasarkan panduan WHO 2012, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan
ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C. Pasien yang termasuk Grup A dapat
menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus menjalani
perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi
dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan suportif.
1. Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan
mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine
minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah
lengkap harus dilakukan. Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan.
Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah
baring dan asupan cairan oral yang cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien
beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan
diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning
signs selama perawatan di rumah.
2. Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien
dengan kondisi penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi
penyerta khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal
atau dengan indikasi sosial seperti tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal
sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu mentoleransi asupan
cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai
dengan memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan
tetes maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan
cairan keluar), produksi urine, dan warning signs.
a. Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan
kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
b. Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil atau
hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam
selama 2-4 jam.
c. Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT, tingkatkan
kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
d. Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan tetes
infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis
yang diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan yang adekuat dan
nilai hematokrit di bawah nilai baseline.
e. Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati fase
kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan,
kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati,
dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).
3. Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma
leakage) berat yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal
dengan distres nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi
terbagi menjadi terapi syok terkompensasi (compensated shock) dan terapi syok
hipotensif (hypotensive shock).5
b. Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan
pertama. Jika nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi
bolus cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika
membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan tetes secara
gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
d. Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-
20 ml/kg/jam whole blood segar.
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun
jarang. Untuk mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan
volume intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan
baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg BB per jam.
Oleh karena bila syok belumteratasi dengan baik sedangkan volume cairan telah
dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijimpai
akut tubular nekrosis ditandai penurunan jumlah urine dan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin (Hadinegoro, 2014).
3. Oedema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata dan
ditunjang dengan gambaran oedema paru pada foto rontgen (Hadinegoro, 2014).
J. Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD
derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka
kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian
cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang,
dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang
dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai
komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk (Hadinegoro, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana
pelayanan kesehatan.p.19-34
Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, dan Kurane I. Elevated Levels of Solube Tumour
Necrosis Factor Receptor 1 Thrombomodulin and Solube Endothelial Cell adhesion
Molecules in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever. Dengue Bulletin. 2007;Vol
31:103-10.
Hadinegoro, S..S.R., Pitfalls, dan Pearls.(2014). Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. Hal 63-72.
Karyanti MR, Hadinegoro SR. Perubahan epidemiologi demam berdarah dengue di Indonesia.
Sari Pediatri. 2009;10:424-32.
Martina, B.E.E., Koraka, P., dan Albert D.M.E.. 2009. Dengue Virus Pathogenesis: an
Integrated View. Clinical Microbiology Reviews Oct 22 (4) 564581; DOI:
10.1128/CMR.00035-09
Pang, T., Cardosa, M.J. & Guzman, M.G., 2007. Of cascades and perfect storms; the
immunopathogenesis of dengue haemorrhagic fever-dengue shock syndrome
(DHF/DSS). Imunology and cell Biology (85) pp: 43-45.
Rena, N.M.R.A, Utama, S., Parwati, M.T. 2009. Kelainan Hematologi pada Demam Berdarah
Dengue. J Peny Dalam, Volume 10 Nomor 3.
Sapir D.G. dan Schimmer B. 2005. Dengue fever: new paradigms for changing epidemiology.
Emerging themes in Epidemiology. 2:1-10.
Setiabudi, Djatnika. 2019. Akses pada 28 Januari 2020: idai.or.id/artikel/seputar-
kesehatananak/memahami-demam-berdarah-dengue
Setiati T.E., Wangenaar J.F., Kruit M.D., Mairuhu A.T., Gorp E.C., dan Soemantri A. 2006.
Changing epidemiology of dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Dengue Bulletin.
30:1-14.
Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, Sperança MA, Terzian ACB, Nogueira ML. Risk
Factors for Dengue Virus Infection in Rural Amazonia: Population-based
Crosssectional Surveys. Am J Trop Med Hyg. 2008; Vol 79 (4): p. 485–94.
WHO. 2011. Comprehensive Guidlines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic Fever. Revised and Expanded. Regional Office for South East Asia.
WHO. 2012. Handbook for Clinical Management of Dengue. Regional Office for South East
Asia.
Oleh:
Pendamping