Anda di halaman 1dari 34

Nama Peserta : dr.

Fatimatus Solekhah
Nama Wahana : Rumah Sakit Islam Sunan Kudus
Diagnosis : Dengue syok sindrom
Tanggal (kasus) : 14 maret 2020
Tanggal Presentasi : 26 maret 2020 Pendamping : 1. dr. Wawan Eko Darmawan
2. dr. Utari M.M

Presenter : dr. Fatimatus Solekhah


Tempat Presentasi : Rumah Sakit Islam Sunan Kudus
Data Pasien Nama: An A. No RM: 176820
Usia : 12 tahun 4 bulan Alamat : kaliwungu 6/4 Kudus
Nama DPJP dr. Isfandiyar Fahmi, Msi.med. Sp.A
Keluhan Utama : demam 4 hari, nyeri perut, lemas
1. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dibawa oleh orang tua dengan keluhan demam sejak 4 hari terakhir.
Demam dirasa terus menerus, turun hanya dengan penurun panas, namun setelahnya
demam kembali naik. Demam tidak disertai dengan fase menggigil. Semenjak sakit anak
jadi susah makan dan minum. Makan 2-3 kali sehari, 2-3 sendok, minum +- 900cc/hari

Semenjak sakit anak juga rewel. BAB terakhir kemarin, 1 kali warna kuning,
konsistensi lunak, lendir dan darah disangkal. BAK terakhir sekitar jam 07.00 pagi.
Setelahnya anak tidak pipis. Keluhan lain pasien mengeluhkan nyeri perut pada bagian
ulu hati dan mual namun tidak muntah, diare, batuk, pilek, kejang, sesak, mimisan, gusi
berdarah, serta bitnik-bintik merah ruam dibadan disangkal oleh orangtua pasien.. pasien
juga merasa lemes sejak 1 hari yang lalu, lemas tdak hilang walaupun pasien sudah
istirahat, lemas disertai kaki dan tangan yang teraba dingin. Keluarga menyangkal ada
riwayat bepergian keluar kota/pulau dalam 1 bulan terakhir.

Sebelumnya pasien tidak diperiksakan ke dokter, ibu pasien hanya memberi obat
Panadol yang dibeli di Apotik, karena sudah 4 hari keluhan belum membaik dan masih
demam, Pasien dibawa ke RSU Kumala Siwi, kemudian dicek Lab dengan hasil
trombosit 79.000, Hemoglobin 12.9, leukosit 3.200, hematocrit 36.7, dari RS Kumala
Siwi menyarankan anak di rawat inap, namun karena tempat penuh, pasien di beri pilihan
untuk ke RS lain, Sejak hari itu juga pasien langsung dibwa ke IGD RSI.
2. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat penyakit yang sama


disangkal

Riwayat alergi disangkal


Riwayat asma disangkal
Riwayat tuberkulosis paru disangkal

3. Riwayat keluarga :
Riwayat penyakit DB (-)
Riwayat tifoid disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat tuberkulosis paru disangkal

4. Riwayat Sosial Ekonomi


Rumah pasien berukuran 50 m2 beratapkan genting dan beralaskan lantai dengan dinding
tembok. Kamar tidak menggunakan kelambu, kadang menggunakan obat nyamuk bakar
/lotion anti nyamuk.

Rumah pasien berada di lingkungan padat penduduk. Di dekat rumah +- 350m terdapat
sungai. Masyarakat sekitar sering membuang sampai di dekat sungai, banyak kaleng bekas
serta plastik di dekat lingkungan rumah. Orangtua mengatakan ada adik tingkat sekolah yang
sakit demam berdarah atau sakit dengan keluhan serupa.
5. Riwayat kehamilan
Pasien dikandung cukup, selama hamil ibu rutin periksa ke bidan desa. Riwayat darah
tinggi, kencing manis, kejang, maupun perdarahan selam hamil di sangkal.
6. Riwayat kelairan
Pasien lahir spontan cukup bulan di bedan desa, langsung menangis, berat badan lahir
2900mg.
7. Riwayat Makanan
Riwayat makanan terakhir pasien nasi dan lauk yg biasa di makan seperti ayam, telur,
namun kurang suka sayur-sayuran

8. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi wajib pasien lengkap
STATUS GIZI
Usia : 12 tahun 4 bulan
Berat badan: 41 kg
Tinggi badan : 150 cm
IMT : 18,2 Normoweight

PEMERIKSAAN FISIK :
Tanggal 14 Maret 2020
 Keadaan umum : Tampak lemah, rewel
 Kesadaran : Komposmentis, GCS: E4V5M6
 Vital signs
Nadi : 121x/menit, isi dan tekanan teraba lemah, regular
Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler
SpO2 : 100 %
Suhu tubuh : 39.5 ° C per aksilla

Skala nyeri : 6/10

Kepala : Mesochepal, simetris,


Kulit : sianosis (-) petechie (-) purpura (-), ekimosis (-) ikterik (-) ulkus (-) turgor normal
Mata : mata cekung (-/-) konjungtiva anemis (-/-) konjungtiva haemorage (-/-) sklera
ikterik (-/-) air mata (+/+) edem palpebral (-/-)
Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-)
Telinga : normotia, discharge (-), hiperemis (-/-), serumen (-/-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, Kripte (-), detritus (-) Hiperemis (-)
Mulut : bibir kering (-), lidah kotor (-), bibir sianosis (-), atropi papil lidah (-)
Leher : simetris, pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-), kaku kuduk (-) Dada :
simetris, normochest, retraksi (-)

Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis di SIC V linea midclavicularis sinistra, tak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, gallop (-) bising (-)

Pulmo :
Inspeksi : normochest, simetris, retraksi intercostal dan suprasternal (-)
Palpasi : tidak ada hemithoraks yang tertinggal, vocal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler (+/+) Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)

Abdomen:
Inspeksi : datar, supel, tumor/ scar (-)
Auskultasi : bising usus (+) N
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, NT + epigastrium, defans muscular -
Hepar : tak teraba pembesaran
Lien : tak teraba pembesaran

Ekstremitas SUPERIOR INFERIOR


Edema -/- -/-

Akral dingin +/+ +/+

Sianosis -/- -/-


Capillary refill <2 detik

Hasil Laboratorium
Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Hemoglobin 13.3 g/dl 11.8-15.0
Hematokrit 39.9 % 33-45
Leukosit 3.9↓ Ribu/mm3 4.3-13
Trombosit 58↓ Ribu/mm3 150-400
Eritrosit 4.03 Juta/mm3 3.8-5.8
MCV 86.0 µm3 69-93
MCH 33.3 Pg 22-34
MCHC 38.6↑ g/dl 32-36
Eosinofil 0.8 % 1-5
Basofil 3.4 % 0-1
Segmen 34.1 % 28-78
Limfosit 41.5 % 20-50
Monosit 20.2↑ % 1-6

Hasil Rontgen

Kesan : Tak tampak gambaran efusi pleura dextra

DIAGNOSIS Di IGD
Observasi Febris H+4 dd Dengue Syok Syndrom

TERAPI Di IGD jam 07.55


- O2 nasal canul 2 lpm
- IVFD RL loading 500cc dalam 1 jam→30tpm
- Infus Paracetamol 500mg
- Inj Ranitidin 1 amp
- Cek Darah rutin cito
Lapor dr. Isfandiyar Fahmi Sp. A jam 09.25
Advise:
- Inf. Gelafusal loading 1 flabot
- Lanjut inf. RL 3cc/KgBB/jam
- Inf paracetamol 500mg/8jam
- Inj. Omeprazole 20mg/8jam
- Rontgen Thorax RLD
- Rawat ICU
LEMBAR FOLLOW UP

Waktu Observasi Terapi


14 Maret S: - O2 2 Lpm
2020 lemes,pusing, demam,nyeri perut +, mual +, muntah -, - Inf RL 3cc/KgBB/jam
Jam 10.03 makan minum ↓. BAK +, BAB -, flatus + - Inj. Omeprazole 20mg/8j
ICU
O: - Inf. Paracetamol 500mg/8j

KU/Kes: lemah/Compos mentis


TD: 112/77 mmhg
N: 114 x/menit isi dan tekanan lemah, reguler
RR: 20 x/menit
T: 37.7º C
SpO2: 98%
Skala nyeri: 4
Mata: cekung -/- air mata +/+ anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (+) epigastrium,
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
Lab:
Trombosit: 58.000
Hb : 13.5
Hematocrit : 39.9
Lekosit : 3.900
A: Dengue Syok Syndrome
Jam 14.00 S: Visite dr. Fahmi Sp.A
ICU
Lemas +, pusing +, nyeri perut +, demam + , BAB -, - Inf RL 3cc/KgBB/jam
flatus + - Inj. Omeprazole 20mg/8j

O: - Inf. Paracetamol 500mg/8j

KU/Kes: lemah/Compos mentis


TD: 107/66 mmhg
N: 115 x/menit
RR: 21x/m x/menit
T: 38.7º C
SpO2: 99%
Skala nyeri : 4
Mata: cekung -/- , anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (+) epigastrium,
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
Trombosit: 58.000
Hb : 13.5
Hematocrit : 39.9
Lekosit : 3.900

A: Dengue syok syndrome

15 Maret S: pusing +, nyeri perut +, BAB -, flatus + Visite dr. Fahmi Sp.A
2020
O: - Inf RL 3cc/KgBB/jam
- Inj. Omeprazole 20mg/8j
KU/Kes:lemah/Compos mentis
- Inf. Paracetamol 500mg/8j
TD: 112/78 mmhg
- Sucralfat syr 3x1cth
N: 109 x/menit
- Cek darah rutin besok pagi
RR: 22 x/menit
T: 37.9º C
SpO2: 99%
Skala nyeri: 3
Mata: cekung -/- ,anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (+) epigastrium,
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
A : Dengue Syok Syndrome

16 Maret S: pusing berkurang, nyeri perut berkurang, BAB -, Visite dr. Fahmi Sp.A
2020
flatus + - Inf RL 3cc/KgBB/jam

O: - Inj. Omeprazole 20mg/8j


- Inf. Paracetamol 500mg/8j
KU/Kes: lemah/Compos mentis
- Sucralfat syr 3x1cth
TD: 103/73 mmhg
- Pindah ruang
N: 98 x/menit
RR: 21 x/menit
T: 36.7º C
SpO2: 100%
Skala nyeri : 2
Mata: cekung -/- ,anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (+) epigastrium,
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
Lab:
Trombosit : 40.000 Basofil : 2.3
Hematocrit : 35.9 Segmen : 28.2
Hemoglobin : 13.0 Limfosit : 48.0
Lekosit : 4.100 Monosit : 18.7
Eosinophil : 2.8
A : Dengue Syok Syndrome

17 Maret S: pusing berkurang, nyeri perut berkurang, BAB -, Visite dr. Fahmi Sp.A
2020
flatus+ - Inf RL 3cc/KgBB/jam
Ruang
O: - Inj. Omeprazole 20mg/8j
- Inf. Paracetamol 500mg/8j
KU/Kes: lemah/Compos mentis
- Sucralfat syr 3x1cth
TD: 103/73 mmhg
- Dulcolac supp
N: 98 x/menit
RR: 21 x/menit
T: 36.7º C
SpO2: 100%
Skala nyeri : 2
Mata: cekung -/- ,anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (-)
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
Lab:
Trombosit : 52.000 Basofil : 3.8
Hematocrit : 36.1 Segmen : 37.0
Hemoglobin : 13.2 Limfosit : 44.5
Lekosit : 4.300 Monosit : 11.4
Eosinophil : 3.3

A : Dengue Syok Syndrome

18 maret S: pusing -, nyeri perut - BAB +, flatus+ Visite dr. Fahmi Sp.A
2020 - Terapi lanjut
O:
- Cek DR
KU/Kes: cukup /Compos mentis
TD: 110/70 mmhg
N: 83 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36.7º C
SpO2: 100%
Skala nyeri : 1
Mata: cekung -/- ,anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (-)
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
Lab:
Trombosit : 84.000 Basofil : 2.1
Hematocrit : 35.7 Segmen : 49.3
Hemoglobin : 13.1 Limfosit : 47.9
Lekosit : 6.700 Monosit : 8.2
Eosinophil : 2.5
A : Dengue Syok Syndrome
19 Maret S: - Visite dr. Fahmi Sp.A
2020 O: - BLPL

KU/Kes: baik /Compos mentis - Clabat 3x1c

TD: 110/70 mmhg - Paracetamol 3x1c

N: 82 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36.7º C
SpO2: 100%
Skala nyeri : -
Mata: cekung -/- ,anemis -/-
Mulut: bibir kering (-)
Cor: S1 S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Suara dasar vesikuler +/+, tambahan -/-
Abdomen: BU(+), supel, NT (-)
timpani
Ext: akral hangat ++//++, edem - -//- -
A : Dengue Syok Syndrome
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defisnisi
Demam dengue (DB) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan nyeri
sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis
hemoragik (Karyanti, 2009).

Apabila seseorang terinfeksi virus dengue tidak selamanya akan menjadi DBD.
Manifestasi infeksi virus dengue bervariasi dengan spektrum yang luas, mulai dari infeksi
tanpa gejala (asimtomatik), demam yang tidak khas, demam dengue (dengue fever) dengan
atau tanpa disertai perdarahan, demam berdarah dengue (DBD/dengue hemorrhagic fever),
sampai keadaan yang paling berat yang dapat menyebabkan kematian yaitu sindrom syok
dengue (SSD atau DSS) (Setiabudi, 2019).

Dengue Syok Sindrom (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DHF
disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari
DHF dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling
berat, yang berakibat fatal. Dengue syok Syndrom merupakan keadaan dengue berat yang
memasuki grade III dan IV. DSS dapat menimbulkan perdarahan hebat, kerusakan
multiorgan serta komplikasi yang paling buruk yaitu kematian. Manifestasi DSS juga dapat
ditemukan adanya hepatomegali, demam dengan suhu tinggi dan keadaan hemokonsentrasi
(Pang, 2007).

B. Epidemiologi
World Health Organization mengestimasi bahwa 2,5 miliar manusia tinggal di
daerah virus dengue bersirkulasi. Penyebaran secara geografi dari kedua vektor nyamuk
dan virus dengue menyebabkan munculnya epidemi demam dengue dan demam berdarah
dengue dalam dua puluh lima tahun terakhir, sehingga berkembang hiperendemisitas di
perkotaan di negara tropis (Setiati, 2006).

Pada tahun 2007 di Asia Tenggara, dilaporkan peningkatan kasus dengue sekitar
18% dan peningkatan kasus dengue yang meninggal sekitar 15% dibanding tahun 2006. Di
Indonesia demam berdarah dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting. Infeksi dengue terjadi secara endemis di Indonesia selama dua abad terakhir dari
gejala yang ringan dan self limiting disease. Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit ini
memiliki manifestasi klinis yang semakin berat sebagai demam berdarah dengue dan
frekuensi kejadian luar biasa meningkat (Sapir, 2005).

Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi yang padat mencapai 245 juta
penduduk. Hampir 60% penduduk tinggal di pulau Jawa, daerah kejadian luar biasa infeksi
dengue terjadi. Walaupun demikian, penyakit dengue banyak dilaporkan di kota besar dan
pedesaan di Indonesia dan telah menyebar sampai di desa-desa terpencil oleh karena
perpindahan dan kepadatan penduduk yang tinggi (Suwandono, 2014).

C. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B
Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang
terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Keempat tipe virus ini
telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling
sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4.
DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang
meninggal (Balasubramanian, 2016).

Vektor penularannya melalui nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus


menularkan virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Sehingga
penyakit ini termasuk kedalam kelompok arthropod borne diseases. Nyamuk Aedes
aegypti merupakan vektor terbanyak di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan daerah
pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk tersebut berperan dalam penularan.

Virus dengue berukuran 35-45 nm. Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang
dalam tubuh manusia dan nyamuk. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang
infeksius. Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan
sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari
sebelum demam (masa inkubasi instrinsik) (Santos, 2008).

Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut
terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Selama ± 1
minggu setelah menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut
dapat menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk
sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus
dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya (Santos, 2008).

Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum
menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar
darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari
nyamuk ke orang lain. Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat menularkan virus
dengue. Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah
binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00 dan sore
hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-
pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiple biter). Hal ini disebabkan
karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber makanan darah utamanya dalam
keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak bisa menghisap darah dengan
tenang sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah yang menyebabkan penularan
penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi (Balasubramanian, 2016).

D. Patogenesis
Nyamuk Aedes sp. yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetapi infektif sepanjang
hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan
menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue akan menuju
organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpatikus, sumsum
tulang serta paru-paru (Dewi, 2007).

Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu
netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity
(ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau
neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus,
dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD (Gibson, 2010).
Gambar 1. Patogenesis Infeksi Dengue (Martina, 2009)

Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD yang masih


kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody
dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan,
bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi
proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang
lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue
lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologous yang
terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue
serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk
kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi. Selanjutnya akan teraktifasi
dan memproduksi IL-1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating
factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF
alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma
ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas (Silva, 2008).

Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang


komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan
prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan.
Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi
infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies
akaibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada
anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag
mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF
(Wilder, 2008).

Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan
penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum
penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3 (Gibson, 2010).

Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di
antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotype virus
dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada
kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya (Wilder, 2008).
Gamabar 2. Multipel Imun Repon pada DHF (Rena, 2009)

E. Fase Perjalanan Penyakit


Berikut adalah fase perjalanan penyakit pada infeksi dengue (Setiabudi, 2019):

Gambar 3. Fase Perjalanan Penyakit pada Infeksi Dengue (Setiabudi, 2019)

1. Fase demam
Fase demam ditandai dengan demam yang mendadak tinggi, terus menerus ,
disertai nyeri kepala, nyeri otot seluruh badan, nyeri sendi, kemerahan pada kulit,
khususnya kulit wajah (flushing). Gejala lain seperti nafsu makan berkurang, mual,
dan muntah sering ditemukan.

Pada fase ini sulit dibedakan dengan penyakit bukan dengue, maupun antara
penyakit dengue berat dan yang tidak berat. Bila diperiksa laboratorium darah,
biasanya ada penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia) dan pada awal jumlah
trombosit dan nilai hematokrit (kekentalan darah) sering kali masih dalam batas
normal. Fase ini biasanya berlangsung selama 2–7 hari.

2. Fase kritis
Terjadi paling sering pada hari ke-4–6 (dapat terjadi lebih awal pada hari ke-3 atau
lebih lambat pada hari ke–7) sejak dari mulai sakit demam. Pada fase ini terjadi
peningkatan permeabilitas pembulu darah kapiler sehingga akan terjadi perembesan
plasma (plasma leakage), sehingga darah menjadi kental, dan apabila tidak mendapat
terapi cairan yang memadai, dapat menyebabkan syok sampai kematian. Sering
disertai tanda bahaya berupa muntah yang terus menerus, nyeri perut, perdarahan pada
kulit, dari hidung, gusi, sampai terjadi muntah darah dan buang air besar berdarah.
Fase ini juga dapat ditemukan badan dingin (terutama pada ujung lengan dan kaki)
sebagai tanda syok, tampak lemas, bahkan terjadi penurunan kesadaran. Pada
pemeriksaan darah dapat ditemukan penurunan jumlah trombosit yang disertai
peningkatan nilai hematokrit yang nyata.

Fase ini terjadi pada saat suhu tubuh mulai mengalami penurunan sampai
mendekati batas normal (defervescence). Hal ini yang sering menyebabkan
terlambatnya orang berobat, karena menganggap bila suhu tubuh mulai turun berarti
penyakit akan mengalami penyembuhan. Pada pasien yang tidak mengalami
peningkatan permeabilitas kapiler akan menunjukkan perbaikan klinis menuju
kesembuhan.

3. Fase pemulihan
Biasanya berlangsung dalam waktu 48 – 72 jam yang ditandai oleh perbaikan
keadaan umum, nafsu makan pulih, anak tampak lebih ceria, dan pengeluaran air
kemih (diuresis) cukup atau lebih banyak dari biasanya. Pada pemeriksaan
laboratorium darah nilai hematokrit akan mengalami penurunan sampai stabil dalam
rentang normal dan disertai peningkatan jumlah trombosit secara cepat menuju nilai
normal.

F. Manifestasi klinis
Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik yang
meliputi demam biasa (sindrom virus), demam dengue, atau demam berdarah dengue
termasuk sindrom syok dengue (DSS). Penyakit demam dengue biasanya tidak
menyebabkan kematian, penderita sembuh tanpa gejala sisa. Sebaliknya, DHF merupakan
penyakit demam akut yang mempunyai ciri-ciri demam, manifestasi perdarahan, dan
berpotensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian. Gambaran klinis
bergantung pada usia, status imun penjamu, dan strain virus. Berikut ini adalah bagan
manifestasi infeksi virus dengue: Infeksi virus dengue Asimtomatik Simtomatik Demam
yang tak Demam dengue Demam berdarah jelas penyebabnya dengue (sindrom virus)
(kebocoran plasma) Tanpa Dengan Perdarahan perdarahan DBD tanpa DBD dengan syok
syok (SSD) Demam dengue Demam Berdarah.
Gambar 4. Spekrum Klinis Infeksi Virus Dengue (Departemen Kesehatan RI,
2005)

G. Diagnosis
1. Demam dengue
a. Demam tinggi mendadak
b. Ditambah gejala penyerta 2 atau lebih:
1) Nyeri kepala
2) Nyeri retro orbita
3) Nyeri otot dan tulang
4) Ruam kulit
5) Meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan
6) Leukopenia
7) Uji HI >1280 atau IgM/IgG positif
c. Tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi, efusi pleura, asites,
hipoproteinemia).

2. Demam berdarah dengue


a. Demam atau riwayat demam akut selama 2-7 hari yang terkadang bifasik
b. Adanya kecenderungan manifestasi perdarahan minimal 1 tanda seperti:
1) Tes torniquet positif
2) Petekie, ekimosis, atau purpura
3) Perdarahan dari mukosa, traktus gastrointestinal
4) Hematemesis atau melena
c. Trombocitopenia < 100.000/mm3
d. Terdapat plasma leakage akibat peningkatan permeabilitas vaskuler,
manifestasinya minimal 1 atau lebih seperti:
1) Peningkatan hematokrit > 20 %
2) Efusi pleura, asites, efusi perikardium, edem pulmonar non cardiak atau
hipoproteinemia

3. Dengue syok sindrom


Memenuhi kriteria DBD ditambah dengan manifestasi gagal sirkulasi seperti: a.
Nadi yang cepat dan lemah

b. Tekanan darah yang menyempit (< 20 mmHg)


c. Hipotensi
d. Akral dingin, kulit lembab atau basah dan gelisah

Tabel 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO (2011)

DD/DBD Derajat Tanda dan gejala Laboratorium


De mam disertai minimal dengan 2 gejala • Leukopenia
• Nyeri kepala (jumlah leukosit
• Nyeri retro-orbital <4000 sel/mm3)
• Nyeri otot • Trombositopenia
• Nyeri sendi/tulang (jumlah trombosit
• Ruam kulit makulopapular <100.000
• Manifestasi perdarahan sel/mm3)
• Tidak ada tanda perembesan • Peningkatan
hematocrit
plasma
(5%-
10%)
• Tidak ada bukti
perembesan
plasma
DBD I Demam dan manifestasi perdarahan (uji bending Trombositopenia <100.000
3
positif) dan tanda perembesan plasma sel/mm ; peningkatan
hematokrit > 20 %,
DBD II Seperti derajat I ditambah perdarahan Trombositopenia <100.000
spontan sel/mm3; peningkatan
hematokrit > 20 %,
DBD* III Seperti derajat I atau II Trombositopenia <100.000
3
ditambah kegagalan sirkulasi (nadi sel/mm ; peningkatan
hematokrit > 20 %,
lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, hipotensi,
gelisah, diuresis menurun
DBD* IV Syok hebat dengan tekanan darah dan nadi yang Trombositopenia <100.000
tidak terdeteksi sel/mm3; peningkatan
hematokrit > 20 %,

Diagnosis infeksi dengue:


Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi dengan deteksi antigen virus
dengue (NS-1) atau dan uji serologis anti dengue positif (IgM anti dengue atau IgM/IgG anti
dengue positif)

4. Klasifikasi kasus demam berdarah dengan keparahan

Gambar 5 Klasifikasi Kasus Demam Berdarah dengan Keparahan (WHO, 2012)

Gambar 6. Manifestasi Klinis Dengue Syok Sindrom (WHO, 2012)

H. Penataaksanaan
Berdasarkan panduan WHO 2012, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan
ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C. Pasien yang termasuk Grup A dapat
menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus menjalani
perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi
dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan suportif.

1. Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan
mampu mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine
minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah
lengkap harus dilakukan. Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan.
Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah
baring dan asupan cairan oral yang cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien
beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan
diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning
signs selama perawatan di rumah.

2. Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien
dengan kondisi penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi
penyerta khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal
atau dengan indikasi sosial seperti tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal
sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu mentoleransi asupan
cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai
dengan memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan
tetes maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan
cairan keluar), produksi urine, dan warning signs.

Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai


berikut:

a. Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan
kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.

b. Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil atau
hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam
selama 2-4 jam.
c. Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT, tingkatkan
kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
d. Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan tetes
infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis
yang diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan yang adekuat dan
nilai hematokrit di bawah nilai baseline.

e. Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati fase
kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan,
kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati,
dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).

3. Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma
leakage) berat yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal
dengan distres nafas, perdarahan berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi
terbagi menjadi terapi syok terkompensasi (compensated shock) dan terapi syok
hipotensif (hypotensive shock).5

Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:


a. Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1
jam. Nilai kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan
tetes secara gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 24 jam dan
selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi cairan intravena
dipertahankan selama 24-48 jam.

b. Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan
pertama. Jika nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi
bolus cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika
membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan tetes secara
gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.

c. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan


dan memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).

Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:


a. Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus
diberikan dalam 15 menit.

b. Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam


selama 1 jam, kemudian turunkan kecepatan tetes secara gradual.
c. Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai
hematokrit sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (50%), lanjutkan
infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga selama 1 jam, kemudian
kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti dengan
cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes.

d. Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-
20 ml/kg/jam whole blood segar.

Gambar 7. Alur Tatalaksana DSS pada Anak (WHO, 2011)


Gambar 8. Algoritma Management
Sindrom Syok Dengue Terkompensasi (Who, 2012)

Gambar 9. Algoritma Management


Sindrom Syok Dengue Dekompensasi (WHO, 2012) Kriteria
pasien dapat dipulangkan apabila :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Secara klinis tampak perbaikan
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit > 50.000/µl
7. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Gambar 10. Managemen Kasus Infeksi Dengue (WHO, 2012)
I. Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi
penyebab ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan
dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat
dari koagulasi intravaskuler yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat
menembus sawar darah otak. Dikatakan juga bahwa keadaan ensefalopati berhubungan
dengan kegagalan hati akut. Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun
menjadi apatis atau somnolen, dapat disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada
DBD / SSD. Apabila pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk
memastikan adanya ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah
teratasi maka perlu dinilai kembali kesadarannya. Pungsi lumbal dikerjakan bila
kesadarannya telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hatihati bila jumlah
trombosit <50.000/u). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar
transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun,
alkalosis pada analisa gas darah, dan hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar
amoniak darah) (Hadinegoro, 2014).

2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun
jarang. Untuk mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan
volume intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan
baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg BB per jam.
Oleh karena bila syok belumteratasi dengan baik sedangkan volume cairan telah
dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijimpai
akut tubular nekrosis ditandai penurunan jumlah urine dan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin (Hadinegoro, 2014).

3. Oedema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata dan
ditunjang dengan gambaran oedema paru pada foto rontgen (Hadinegoro, 2014).

J. Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD
derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka
kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian
cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang,
dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang
dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai
komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk (Hadinegoro, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Balasubramanian, S., L. Janakiraman, S. S. Kumar, S. Muralinath, and S.Shivbalan. 2016. A


reappraisal of the criteria to diagnose plasma leakage in dengue hemorrhagic fever.
Indian Pediatr. 43:334–339.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana
pelayanan kesehatan.p.19-34

Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, dan Kurane I. Elevated Levels of Solube Tumour
Necrosis Factor Receptor 1 Thrombomodulin and Solube Endothelial Cell adhesion
Molecules in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever. Dengue Bulletin. 2007;Vol
31:103-10.

Gibson RV. Dengue Conundrums. International Journal of Antimicrobial Agents. 2010;Vol


36(26-39).

Hadinegoro, S..S.R., Pitfalls, dan Pearls.(2014). Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. Hal 63-72.

Karyanti MR, Hadinegoro SR. Perubahan epidemiologi demam berdarah dengue di Indonesia.
Sari Pediatri. 2009;10:424-32.

Martina, B.E.E., Koraka, P., dan Albert D.M.E.. 2009. Dengue Virus Pathogenesis: an
Integrated View. Clinical Microbiology Reviews Oct 22 (4) 564581; DOI:
10.1128/CMR.00035-09

Pang, T., Cardosa, M.J. & Guzman, M.G., 2007. Of cascades and perfect storms; the
immunopathogenesis of dengue haemorrhagic fever-dengue shock syndrome
(DHF/DSS). Imunology and cell Biology (85) pp: 43-45.

Rena, N.M.R.A, Utama, S., Parwati, M.T. 2009. Kelainan Hematologi pada Demam Berdarah
Dengue. J Peny Dalam, Volume 10 Nomor 3.

Santos, B., L. Segat, R. Dhalia, C. A. Brito, U. M. Braga-Neto, E. T. Marques, and S. Crovella.


2008. MBL2 gene polymorphisms protect against development of thrombocytopenia
associated with severe dengue phenotype. Hum. Immunol. 69:122–128.

Sapir D.G. dan Schimmer B. 2005. Dengue fever: new paradigms for changing epidemiology.
Emerging themes in Epidemiology. 2:1-10.
Setiabudi, Djatnika. 2019. Akses pada 28 Januari 2020: idai.or.id/artikel/seputar-
kesehatananak/memahami-demam-berdarah-dengue
Setiati T.E., Wangenaar J.F., Kruit M.D., Mairuhu A.T., Gorp E.C., dan Soemantri A. 2006.
Changing epidemiology of dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Dengue Bulletin.
30:1-14.

Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, Sperança MA, Terzian ACB, Nogueira ML. Risk
Factors for Dengue Virus Infection in Rural Amazonia: Population-based
Crosssectional Surveys. Am J Trop Med Hyg. 2008; Vol 79 (4): p. 485–94.

Suwandono A, Kosasih H, Nurhayati, Kusriastuti R, Harun S, Ma’roef C, dkk. 2006. Four


dengue virus serotypes found circulating during an outbreak of dengue fever and
dengue haemorrhagic fever in Jakarta, Indonesia, during 2014. Trans R Soc Trop Med
Hyg. 100:855-62.

WHO. 2011. Comprehensive Guidlines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Haemorrhagic Fever. Revised and Expanded. Regional Office for South East Asia.

WHO. 2012. Handbook for Clinical Management of Dengue. Regional Office for South East
Asia.

Wilder Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of International


Travel. Med Clin NAm. 2008; Vol. 92: p. 1377-90.
LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSHIP
DENGUE SYOK SYNDROME

Oleh:

dr. Fatimatu Solekhah

Pendamping

dr. Utari M.M.


dr. Wawan Eko D.

RSI SUNAN KUDUS


2020

Anda mungkin juga menyukai