Anda di halaman 1dari 36

DELIK ZINA : PERBANDINGAN ANTARA HUKUM

POSITIF RUU KUHP DENGAN TEORI HAD ZINA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Seminar Pendidikan
Agama Islam dengan dosen pengampu Dr. Wawan Hermawan, M.Ag., dan Usup
Romli, M.Pd.

Oleh :

Alya Fidzry (1706153)

Muhammad Haqi Ishlahi (1604972)

Nurya Ayu Destiani (1703506)

Vania Salsabila Octaviana Putri (1701589)

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI DAN KEUANGAN ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, berkat karunia dan rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat beserta salam semoga
senantiasa terlimpah curahkan kepada Baginda alam Rosululloh Muhammad
SAW.
Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Seminar
Pendidikan Agama Islam, dengan judul Delik Zina : Antara Hukum Positif RUU
KUHP dengan teori Had Zina. Begitu pula  bertujuan agar mahasiswa dapat
memahami dan mengetahui tentang Delik Zina baik dari sisi hukum positif
maupun hukum islam. Sehingga mahasiswa/mahasiswi dapat mengambil
kesimpulan atas apa yang kami bahas pada makalah ini dan kami pun  berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya bagi
mahasiswa maupun mahasiswi jurusan Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal yang kadangkala hanya
menuruti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran
yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah kami dilain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah mudah-
mudahan apa yang kami susun ini menghasilkan manfaat, baik untuk pribadi,
teman-teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi
hikmah dari judul ini sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada

Bandung, April 2020

i
Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................3
1.4 Manfaat..............................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................4
2.1 Tinjauan Umum Perzinahan.....................................................................................4
2.2 Tinjauan Umum Tentang Delik................................................................................7
2.3 Perzinahan Menurut Hukum Positif RUU KUHP....................................................9
2.3.1 Pengertian Overspel.........................................................................................9
2.3.2 Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan terhadap Pidana Penjara atau
Kurungan....................................................................................................................9
2.3.3 Pelaksanaan Pidana Penjara.............................................................................10
2.4 Perzinahan Menurut Hukum Pidana Islam.............................................................11
2.4.1 Sanksi Perzinaan.............................................................................................12
2.4.2 Teknis Pelaksanaan Sanksi..............................................................................12
BAB III PEMBAHASAN................................................................................................14
3.1 Persamaan dan Perbedaan Hukum pidana islam dan Hukum Positif Indonesia
Tentang Perzinaan........................................................................................................14
3.1.1 Hukum Islam...................................................................................................14
3.1.2 Hukum Positif.................................................................................................15
3.2 Contoh Kasus Perzinahan di Indonesia..................................................................21
BAB IV PENUTUP.........................................................................................................23
4.1 Kesimpulan............................................................................................................23
4.2 Saran......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif.............................................4


Tabel 2 Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang Zina.........................7
Tabel 3 Persamaan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang Zina........................8

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perzinaan didalam masyarakat Indonesia kenyataannya masih banyak


ditemukan, terlihat dari banyaknya aborsi yang disebabkan oleh hubungan gelap,
bayi-bayi yang dibuang dijalanan atau bahkan dijual oleh ibu kandungnya,
banyaknya tempat hiburan yang menyediakan fasilitas untuk melakukan
perbuatan maksiat, banyaknya hotel dan tempat penginapan yang tidak
menyeleksi pengunjung pria dan wanita yang bukan muhrim menginap dalam satu
kamar, dan lain sebagainya.
Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, selain karena kurangnya pemahaman
agama dan keimanan serta ahlak yang rendah dari sebagian anggota masyarakat,
faktor penyebab lain adalah lemahnya peraturan perundang-undangan hukum
positif di bidang hukum pidana serta masyarakat muslim yang tidak berdaya
untuk menegakkan aturan hukum pidana Islam karena tidak didukung aturan
hukum positif.
Indonesia adalah salah satu Negara hukum di dunia, maka dari itu masyarakat
Indonesia hidup di bawah naungan hukum positif meskipun banyak di daerah
tertentu masih menggunakan hukum adat. Pasal 1 ayat 3 Undang Undang Dasar
Negara Repulik Indonesia tahun 1945 (amandemen III) menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini dapat di artikan
bahwa Negara yang berhak untuk memberikan sanksi jika terjadi suatu
pelanggaran.[ CITATION Hen18 \l 1033 ]
Zina menurut fiqih adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa
ada ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan kelamin laki-laki ke dalam
kelamin perempuan, minimal sampai batas hasyafah (kepala zakar)[ CITATION
Hen18 \l 1033 ]. Hukum positif tidak memandang perbuatan zina ketika pelakunya
adalah pria dan wanita yang sama-sama belum berstatus kawin. Hukum Positif
memandang suatu perbuatan zina jika dilakukan dengan sukarela (suka sama

1
suka) maka pelaku tidak perlu dikenakan hukuman. Hal ini didasarkan pada
alasan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dan hanya menyinggung hubungan

2
2

individu tanpa menyinggung hubungan masyarakat. Dengan demikian, perbuatan


zina di mata hukum positif baru dianggap sebagai suatu tindak pidana dan didapat
dijatuhkan hukuman adalah ketika hal itu melanggar kehormatan perkawinan.
Menurut KUHP tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana.
Misalnya pasal 284 ayat 1 dan 2 menetapkan ancaman pidana penjara paling lama
9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal seorang atau keduanya
telah kawin, dan dalam padal 27 KUH Perdata (BW) berlaku bagian ini bisa
diartikan bahwa pria dan wanita yang melakukan zina tersebut belum kawin,
maka mereka tidak terkena sanksi hukuman tersebut di atas. Tidak kena hukuman
juga bagi keduanya asalkan telah dewasa dan suka sama suka (tidak ada unsur
paksaan) atau wanitanya belum dewasa dapat dikenakan sanksi, hal ini diatur
dalam KUHP pasal 285 dan 287 ayat 1.[ CITATION Muh18 \l 1033 ]
Menurut Hukum Pidana Islam, semua pelaku zina pria dan wanita dapat
dikenakan had, yaitu hukuman dera bagi yang belum kawin, Hukum PositifKUHP
dalam menyikapi masalah perzinahan, ada berbagai variasi hukuman (klasifikasi).
Dengan penerapan hukuman yang berbeda-beda yang tertuang dalam KUHP pasal
284 ayat 1dan 2, pasal 285, 286 dan 287 ayat 1. Sedangkan Islam menetapkan
hukuman dera jika pelaku zina yang belum kawin dan hukuman rajam jika telah
kawin. Menurut KUHP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan
suami/istri yang tercemar (pasal 284 ayat 2), sedangkan Islam tidak memandang
zina sebagai klach delict (hanya bisa dituntut) atas pengaduan yang
bersangkutan[ CITATION Muh18 \l 1033 ].
Dari pemaparan di atas penulis akan mengkaji bagaimana perbedaan hukuman
antara hukum pidana positif dengan hukum pidana Islam yang bertolak belakang
ini. Maka penulis akan menjelaskan lebih lanjut mengenai perbandingan antara
hukum positif RUU KUHP dan Hukum islam mengenai perzinaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum positif RUU KUHP


dengan hukum islam tentang perzinaan?
2. Bagaimana contoh kasus di Indonesia tentang perzinaan dilihat dari sisi
hukum positif RUU KUHP dan hukum islam?
3

1.3 Tujuan

1. Mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum positif RUU KUHP


dengan hukum islam tentang perzinaan.
2. Mengetahui contoh kasus di Indonesia tentang perzinaan dilihat dari sisi
hukum positif RUU KUHP dan hukum islam.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut :


1. Sebagai bahan pembelajaran bagi mata kuliah Seminar Pendidikan Agama
Islam
2. Sebagai bahan untuk menambah wawasan mengenai hukum perzinaan
baik dari sisi hukum positif maupun hukum islam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Perzinahan

Perzinahan atau disebut juga overspel merupakan salah satu perbuatan


pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP. Menurut Van Dale’s Groat
Woordenboek Nederlanche Taag istilah overspel berarti echbreuk, schending ing
der huwelijk strouw atau yang dimaknai juga sebagai pelanggaran terhadap
kesetiaan perkawinan.
Menurut putusan Hooge Raad tanggal 16 Mei 1946, overspel berarti
sebagai berikut: “is niet begrepenvleeselijk gemeenschap met een derde onder
goedkeuring van den anderen echtgenoot. De daad is dan geen schending van de
huwelijk strouw. I.c. was de man souteneur; hij had zijn vrouw tot publiek vrouw
gemaakt. Hij keurde haar levenswijze zonder voorbehoud goed”. Artinya : “di
dalamnya tidak termasuk hubungan kelamin dengan seorang ketiga dengan
persetujuan suami atau isterinya, perbuatan itu bukan pelanggaran terhadap
kesetiaan perkawinan yaitu andaikata suaminya adalah germo maka dia telah
membuat isterinya menjadi pelacur, ia menganggap cara hidupnya itu lebih baik
tanpa pengecualian. [ CITATION Suj19 \l 14345 ]
Demikian pula overspel menurut Noyon-Langemayer yang menegaskan
bahwa overspel kan aller door een gehuwde gepleegd woorden; de angehuwde
met wie het gepleegd wordt is volgent de wet medepleger, yang artinya
perzinahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah; yang tersangkut
dalam perbuatan itu adalah turut serta (medepleger). [ CITATION Suj19 \l 14345 ]
Untuk dapat dihukum, maka tindakan overspel itu haruslah dilakukan
karena adanya kesengajaan. Tindak pidana perzinahan atau overspel yang
dimaksud dalam Pasal 284 KUHP ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk
delict atau merupakan tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja.
Petunjuk untuk mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari Memorie van
Toelchting (MvT) yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki

4
5

dan mengetahui (willens en wettens). Sehingga dapat dikatakan bahwa sengaja


berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan.
Lebih jauh, berdasarkan Pasal 284 KUP, overspel yang dapat dikenai
hukuman adalah:
a. persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila
pasangan ini belum menikah kedua keduanya, maka persetubuhan
mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai overspel, hal mana berbeda
dengan pengertian berzinah yang menganggap persetubuhan antara
pasangan yang belum menikah juga termasuk di dalamnya.
b. partner yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai
peserta pelaku (medepleger). Ini berarti apabila partner yang disetubuhi
telah menikah juga, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta
pelaku.
c. persetubuhan tidak direstui oleh suami atau pun isteri yang
bersangkutan. Secara a contrario dapat dikatakan kalau persetubuhan
itu direstui oleh suami atau isteri yang bersangkutan maka itu bukan
termasuk overspel.[ CITATION Suj19 \l 14345 ]

Tindak pidana zina dalam hukum Islam berbeda dengan tindak pidana zina
dalam hukum konvensional. Hukum Islam menganggap setiap hubungan badan
yang diharamkan sebagai zina dan pelakunya harus dihukum, baik pelakunya
orang yang sudah menikah maupun belum, sedangkan hukum konvensional atau
hukum positif tidak menganggap setiap hubungan badan yang diharamkan sebagai
zina. Tindak pidana zina dijatuhkan kepada pelaku yang sudah bersuami atau
beristri, seperti ditetapkan dalam hukum Mesir dan Perancis. Selain dari mereka
yang sudah bersuami atau beristri, perbuatan demikian tidak dianggap zina, tetapi
bersetubuh atau merusak kehormatan. [ CITATION Mia18 \l 14345 ]
Dalam al-Qur’an,larangan zina antara lain terdapat dalam surat Al-Isra
ayat 32 sebagai berikut:

‫س ِبياًل‬
َ ‫ٓاء‬
َ ‫س‬ َ ‫ٱلز َن ٰ ٓى ۖ إِ َّن ُهۥ َكانَ ٰ َف ِح‬
َ ‫ش ًة َو‬ ۟ ‫َواَل َت ْق َر ُب‬
ِّ ‫وا‬

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu yang buruk.” (Q.S. Al-Isra’:32)
6

Menurut hukum Islam, zina secara harfiah berarti Fahisyah, yaitu perbuatan
keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan
perkawinan. Terdapat pendapat lain mengenai zina, walaupun hampir sama
bahkan sama dengan yang sudah dijelaskan diatas, yaitu kata dasar dari zana-
yazni. Hubungan seksual antara laki- laki dan perempuan yang belum atau tidak
ada ikatan ”nikah”, ada ikatan nikah semu (seperti nikah tanpa wali, nikah mut’ah,
dan hubungan beberapa laki- laki terhadap hamba perempuan yang dimiliki secara
bersama) atau ikatan pemilikan (tuan atas hamba sahayanya). Para Ulama dalam
memberikan definisi zina dalam kata yang berbeda, namun mempunyai substansi
yang hampir sama, yaitu:
1. Menurut Ulama Malikiyah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan
mukalaf yang menyetubuhi farji anak adam yang bukan miliknya secara
sepakat (tanpa ada syubhat) dan disengaja.
2. Menurut Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan
lelaki yang menyetubuhi perempuan didalam kubul tanpa ada milik dan
menyerupai milik.
3. Menurut Ulama Syafi’iyah mendefinisikan zina adalah memasukan zakar
kedalam farji yang haram tanpa ada syubhat dan secara naluri mengundang
syahwat.
4. Menurut Ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan keji
pada kubul atau dubur.
5. Menurut Ulama Zahiriyah mendefinisikna bahwa zina adalah menyetubuhi
orang yang tidak halal dilihat, padahal ia tahu hukum keharamannya atau
persetubuhan yang diharamkan.
6. Menurut Ulama Zaidiyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukan
kemaluan kedalam kemaluan orang hidup yang diharamkan, baik kedalam
kubul maupun dubur tanpa ada syubhat. [ CITATION Mia18 \l 14345 ]
Secara garis besar, pendapat-pendapat diatas dapat didefinisikan, bahwa
perzinaan adalah hubungan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang
tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan) atau perbuatan bersenggama
seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan
7

istrinya atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-
laki yang bukan suaminya. Dari definisi zina yang dikemukakan oleh para ulama
tersebut dapat diketahui bahwa unsur- unsur jarimah zina itu ada dua, yaitu:
1. Persetubuhan yang diharamkan,
2. Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum.
Sebelum membedakan kedua bentuk perzinaan, harus dipahami terlebih
dahulu mengenai unsur- unsur perbuatan (jarimah) yang dapat dikenakan
hukuman (uqubah) sehingga dapat dengan jelas mengetahui ketentuan hukum atas
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Sebagai berikut, jarimah terbagi
dalam tiga unsur:
1. Unsur formal (rukun syar’i) adalah adanya ketentuan nash yang melarang
atau memerintahkan suatu perbuatan serta mengancam pelanggarnya.
2. Unsur materiil (rukun maddi) adalah adanya tingkah laku berbentuk jarimah
yang melanggar ketentuan formal.
3. Unsur moril (rukun adabi) adalah bila pelakunya seorang mukalaf, yakni
orang yang perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Di dalam hukum Islam, hukuman zina dibagi berdasarkan status seseorang


tersebut. Yaitu : (1) pezina muhsan, (2) pezina ghairu muhsan, dan (3) pezina dari
orang yang berstatus hamba sahaya. Seseorang dikatakan pezina muhsan jika ia
melakukan zina setelah melakukan hubungan seksual secara halal (sudah menikah
atau pernah menikah). Hukuman atas pezina muhsan ini menurut jumhur Ulama
adalah dirajam. Pezina ghairu muhsan adalah orang yang melakukan zina tetapi
belum pernah melakukan hubungan seksual secara halal sebelumnya. Pezina ini
dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan keluar kampung selama satu tahun.
Adapun hukuman bagi pezina hamba sahaya, jika hamba sahaya itu perempuan
dan pernah menikah (muhsan), hukuman hadd-nya 50 kali cambukan. [ CITATION
Mia18 \l 14345 ]

2.2 Tinjauan Umum Tentang Delik

Kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa


Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam bahasa
Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik
8

merupakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan


pelanggaran terhadap undang-undang atau tindak pidana.[ CITATION Gra17 \l
14345 ]
Menurut Prof. Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” untuk kata
“delik”. Menurut beliau, kata “tindak” lebih sempit cakupannya daripada
“perbuatan”. Kata “tindak” tidak menunjukkan pada hal yang abstrak seperti
perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkret. Sementara menurut
Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa
(feit) dari sudut hukum pidana. Adapun Mr. Tirtaamidjaja menggunakan istilah
“pelanggaran pidana” untuk kata “delik”.[ CITATION Gra17 \l 14345 ]
Para pakar hukum pidana menyetujui istilah strafbaar feit, sedang penulis
menggunakan kata “delik” untuk istilah strafbaar feit. Para pakar hukum pidana
masing-masing memberi definisi sebagai berikut.
1. Vos : Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan
undang-undang.
2. Van Hamel : Delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap
hak-hak orang lain.

3. Simons : Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah


dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang
tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. [ CITATION
Gra17 \l 14345 ]

Dalam ilmu hukum pidana dikenal delik formil dan delik materiil. Yang
dimaksud dengan delik formil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan
pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, di
sini rumusan dari perbuatan jelas. Adapun delik materiil adalah delik yang
perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan
pidana oleh undang-undang. Dengan kata lain, hanya disebut rumusan dari akibat
perbuatan. Misalnya Pasal 338 tentang pembunuhan.[ CITATION Gra17 \l 14345 ]
Sementara dalam kitab al-Ahkam as-Sultaniyyah, Al-Mawardi, 
mengungkapkan, dalam hukum Islam, tindak pidana (delik, jarimah) diartikan
sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak atau agama yang diancam
9

oleh Allah dengan hukuman hudud (hukum atau ketetapan Allah SWT) atau takzir
(putusan hukum yang ditetapkan oleh hakim). Larangan-larangan syarak tersebut,
menurut Al-Mawardi,  bisa berupa mengerjakan perbuatan yang memang dilarang
atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Abdul Qadir Audah dalam At-
Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad’iy, menegaskan,
pengertian tindak pidana menurut hukum Islam sangat sejalan dengan pengertian
tindak pidana (delik) menurut hukum konvensional kontemporer. [ CITATION
Her12 \l 14345 ]

2.3 Perzinahan Menurut Hukum Positif RUU KUHP

2.3.1 Pengertian Overspel


Dari berbagai terjamahan KUHP di berbagai buku referensi, para
pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah
pengganti dari overspel. Ini karena Bahasa asli dalam KUHP adalah belanda.
Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain
menggunakan istilah gendak dan mukah. Menurut Noyon Langemayer yang
menegaskan bahwa overspel: kanaller door een gehuwde gepleegd woorden
deangehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet modepleger, yang
bermakna perzinaan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah,
sedangkan orang yang tidak terikat pernikahan dalam pebuatan itu adalah
turut serta (medepleger). Maka, overspel yang dapat dikenai sanksi pidana
menurut KUHP adalah:
1. Persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila
pasangan ini belum menikah keduanya, maka tidak dikenakan pasal
overspel, hal ini berbeda dengan pengertian zina.
2. Pasangan yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai
peseta pelaku (medepleger). Dengan demikian apabila pasangan yang
disetubuhi telah menikah juga, pasangannya tersebut dianggap bukan
sebagai peseta melainkan sebagai pelaku.
3. Persetubuhan tidak diizinkan oleh suami atau pun isteri yang
bersangkutan. Maka itu overspel. Jika direstui, maka bukan overspel.
10

2.3.2 Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan terhadap Pidana


Penjara atau Kurungan
Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan terhadap Pidana Penjara
atau Kurungan antara lain:
1. Menerima Salinan putusan pengadilan dan panitera Pengadilan Negeri
yang bersangkutan dalam waktu satu minggu untuk perkara biasa dan
empat belas hari untuk perkara dengan acara singkat
2. Kepala kejaksaan menggunakan surat perintah pelaksanaan putusan
pengadilan
3. Menyerahkan terpidana kepada Lembaga Pemasyarakatan
4. Membuat laporan pelaksanaan

2.3.3 Pelaksanaan Pidana Penjara


1. Tahap pertama
Lembaga Pemasyarakatan melakukan penelitian terhadap napi atau
disebabkannya suatu pelanggaran. Pembinaan ini dilakukan saat pelaku
berstatus napi sampai dengan sepertiga masa tahanannya. Ini disebut masa
orientasi selama satu bulan. Disini para napi mendapatkan pembinaan
kepribadian diantaranya adalah:
a) Pembinaan kesadaran beragama
b) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c) Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
d) Pembinaan kesadaran hukum
Pada tahap ini pembinaan dilakukan dengan pengawasan maksimal.
2. Tahap kedua
Apabila napi tersebut dianggap sudah memiliki kemajuan. Maka napi
diberikan kebebasan yang lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga
pemasyarakatan dalam pengawasan medium. Napi yang telah mengalami
kemajuan disini ditunjukkan dengan keinsyafan. Tahap ini dilakukan setelah
napi melalui antara masa sepertiga sampai setengah masa tahanannya. Disini
napi mendapatkan pembinaan kepribadian lanjutan:
a) Keterampilan untuk mendukung usaha mandiri
b) Keterampilan untuk mendukung usaha industri kecil
11

c) Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-


masing
d) Keterampilan yang mendukung usaha industri seperti pertanian dan
perkebunan
3. Tahap ketiga
Ini adalah tahap asimilasi antara bagian awal masa pembinaan di masa
setengah masa pidananya. Lalu, bagian keduanya ada setengah masa pidana
akhir sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam bagian lanjutan ini napi
sudah memasuki tahap asimilasi atau biasa disebut dengan asimilasi korvey.
Dan selanjutnya napi dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti
menjelang bebas dengan pengawasan minimum.
4. Tahap keempat
Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3 masa pidana yang
sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan tahap akhir yaitu
bagi napi yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas (CMB) atau
pembebasan bersyarat (PB). Namun setelah pembebasan bersyarat ini telah
habis, napi diwajibkan kembali ke lapas untuk mengurus surat bebas.

2.4 Perzinahan Menurut Hukum Pidana Islam


Pelaku zina tentunya akan mendapatkan sanksi yang berat bagi para
pelakunya berdasarkan al – Quran dan hadis. Hukuman bagi pelaku zina haruslah
memenuhi dua syarat yakin muttafaq dan mukhtalaf. Dan berikut syaratnya
sebagai berikut:
1. Baligh
2. Berakal. Jika orang berakal berzina dengan orang gila atau sebaliknya. Maka
yang dihukum adalah orang yang berakal.
3. Muslim
4. Tidak dalam paksaan
5. Zina dengan sesama manusia. Jika dengan hewan tidak ada had di dalamnya,
namun yang berlaku adalah hukum Ta’zir.
6. Pelaku zina tidak ada had jika menyetubuhi anak-anak.
7. Menyetubuhi mayat. Menunrut jumhur ulama tidak berlaku had. Namun
menurut malikiyah tetap berlaku.
12

8. Terjadinya perzinahan. Jika masuknya hasyafah (penis) ke dalam farji


(vagina) walau hanya sedikit. Adapun, jika terjadi persetubuhan melalui
dubur tidak berlaku had, namun berlakunya Ta’zir.
Wahbah az-Zuhaili menyatakan dalam kitabnya yaitu al – Fiqh al – Islam
Waadillatahu bahwa syarat terlaksananya had terbagi dua, pertama untuk
tegaknya had secara menyeluruh harus ada imamah (pemerintahan Islam). Kedua,
harusnya ada saksi atas perbuatan zina tersebut.

2.4.1 Sanksi Perzinaan


Perbuatan zina merupakan perbuatan keji dan pelakunya mendapatkan
dosa yang besar dengan ancaman hukuman cambuk dan rajam. Bagi pezina
yang sudah menikah dikenakan hukuman rajam. Adapun, bagi yang belum
menikah akan dikenakan cambuk atau dera sebanyak seratus kali. Dalil yang
melandaskannya adalah qs. An-Nur/24:2.
Abdul Qadir Audah menyatakan pendapat bahwa hukum jarimah zina itu
tiga macam yaitu:
1. Hukuman Dera (Cambuk) bagi yang belum menikah.
2. Hukuman Pengasingan (Taghrib) bagi yang belum menikah.
3. Hukuman Rajam bagi yang sudah menikah.

2.4.2 Teknis Pelaksanaan Sanksi


1. Cara Pelaksanaan Hukuman Rajam
a. Bagi laki-laki
Dilaksanakan dengan berdiri tanpa dimasukkan ke dalam lubang dan
tanpa dipegang atau diikat. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW
Ketika merajam Ma’iz dan orang Yahudi dan melemparinya dengan
tulang. Apabila melarikan diri dan pembuktiannya dengan pengakuan,
maka ia tidak perlu dikejar dan hukumannya dihentikan. Dan jika
pembuktiannya dengan kesaksian maka ia harus dikejar, dan hukuman
rajam diteruskan sampai mati.
b. Bagi wanita
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I maka ia boleh
dipendam sampai dada agar menutupi auratnya. Sedangkan, menurut
13

Imam Malik dan pendapat rajih dalam mazhab hambali wanita juga
tidak dipendam sama seperti laki-laki. Dalam hukuman rajam adalah
hukuman mati dengan jalan dilempari batu atau benda lain.

2. Cara Pelaksanaan Hukuman Dera dan Pengasingan


Hukuman dera atau jilid dilakukan dengan menggunakan cambuk
dengan pukulan sebanyak seratus kali cambukan. Dan cambuk tidak boleh
dalam keadaan basah karena akan menimbulkan luka. Disyaratkan cambuk
tidak boleh lebih dari satu, apabila ekor cambuknya lebih dari satu maka
pukulan cambuknya dihitung sebanyak ekornya. Apabila laki laki pakaiannya
dibuka kecuali bagian auratnya. Hukuman cambuk tidak boleh
mennyebabkan bahaya. Karena hukuman itu bersifat pencegahan. Oleh
karena itu, hukuman tidak boleh dilakukan baik pada saat cuaca panas
maupun cuaca dingin dan tidak boleh dilakukan pada orang yang sakit hingga
ia sembuh, dan wanita hamil sampai melahirkan.
Hukuman Pengasingan menurut Imam Syafi’I dan Imam Hambali
dikeluarkan dari keluarganya dengan tujuan agar pelaku merasa tidak diakui
oleh keluarganya sendiri karena telah melakukan perbuatan yang dilarang
selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Malik dan dan Imam Ahmad
diasingkan dengan artian dikeluarkan dari keluarga muslim ke non-muslim
dengan tujuan bisa bertobat dapat berkelakuan baik.[ CITATION Ami15 \l 1033 ]
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Persamaan dan Perbedaan Hukum pidana islam dan Hukum Positif
Indonesia Tentang Perzinaan

3.1.1 Hukum Islam


Abdul Wahab Khalaf mengartikan hukum Islam sebagai
perintah (doktrin) dari Allah Swt., yang berkaitan dengan
perbuatan orang-orang yang sudah mukallaf (orang yang
sudah dikenai beban syariat), dalam bentuk perintah
(mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan), perizinan
(boleh memilih), atau penetapan.
1. Keistimewaan Hukum Islam terhadap Hukum Positif
Dalam pandangan penegak Islam syariat, hukum Islam
adalah hukum yang wajib ditegakan jika ingin tercapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat baik di Indonesia maupun
dunia. Hal ini dikarenakan hukum Islam mempunyai banyak
keistimewaan dibandinkann dengan hukum positif yang
diterapkan oleh manusia. Keistimewaan ini dapat dirinci
sebagai berikut :
a) Hukum positif tidak memiliki keadilan hakiki karena dibuat
oleh manusia dengan hawa nafsu dan kepentingan,
sedangkan hukum Allah memiliki keadilan hakiki karena
berasal dari yang Maha Adil.
b) Hukum manusia hanya berdasarkan pertimbangan kekinian
dan berdasar pengalaman, karena manusia tidak dapat
mengetahui masa depan. Hukum manusia memiliki prinsip
yang terbatas yang teorinya baru muncul sekitar abad 19.
Berbeda dengan hukum Islam yang sudah ada sejak zaman
rasul yang sudah sempuna dan masalahah disegala ruang
dan waktu.

14
c) Hukum positif hanya mengatur hubungan antar manusia.
Hukum yang hanya mengandalkan aspek hukuman sering
membuat penjahat untuk mencari celah pembenaran atas
perilaku buruk mereka demi terbebas dari jerat hukum.
Sedangkan dalam hukum Islam, aspek keridhoan Allah
dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan.

15
15

d) Hukum positif mengabaikan aspek akhlak dan


menganggap pelanggaran hukum hanya sebatas yang
membahayakan individu dan masyarakat. Contoh: Hukum
zina tidak di sanksi jika tidak ada paksaan dari satu pihak.
e) Hukum mencerminkan pembuatnya, ketika pembuatnya
adalah manusia, maka hal ini harus dipahami bahwa
manusia penuh dengan kukurangan meskipun ada
kelebihannya. Sedangkan hukum Islam mencerminkan
kesempurnaan dan keagungan pembuatnya.
f) Hukum positif memiliki kaedah yang bersifat temporal, dan
hukum Islam bersifat tidak temporal. Hal ini dikarenakan
kaedah dalam hukum Islam bersifat elastis dan umum dan
juga berasal dari nash Islam yang bersifat tinggi dan mulia.
[CITATION Huk17 \l 1033 ]

3.1.2 Hukum Positif


Hukum positif atau juga sering disebut sebagai ius
constitutum, memiliki arti sebagai hukum yang sudah
ditetapkan dan berlaku sekarang di suatu tempat atau
Negara. Indonesia dengan sistem civil law-nya menggunakan
perundang-undangan, kebiasaan dan yurisprudensi sebagai
sumber hukum. Oleh karena itu bisa dikatakan agama, adat
dan norma kesusilaan juga menjadi bagian dari hukum di
Indonesia. Meskipun begitu, jika melihat di negara Indonesia,
sumber hukum yang berlaku berdasarkan TAP MPR No. III/
MPR/2000 adalah Pancasila, sedangkan urut-urutan peraturan
perundangundangannya adalah:
a) UUD 1945 yang telah diamandemen sebanyak empat kali
sejak 19 Oktober 1999
b) Ketetapan MPR
16

c) UU yang dibuat DPR bersama Presiden untuk


melaksanakan UUD 1945dan TAP MPR
d) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
e) Keputusan Presiden
f) Peraturan Daerah

Tabel 1 Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif


N Perbed Huku Huku
o. aan Dari m Islam m Positif
Segi
1 Sumbe Bersu Bersu
. r mber dari mber dari
Al-quran akal
dan Hadist pikiran
manusia
2 Obyek Peratur Melip
. an- uti
peraturan hubungan
lahir manusia
mengenai dengan
hubungan manusia
sesame dan
manusia hubungan
dengan manusia
benda dan dengan
dengan benda
Tuhan
3 Sanksi Berlak Berla
. u di dunia ku di
dan akhirat dunia saja

Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua, yaitu


pezina muhshan dan ghayru muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang
sudah memiliki pasangan sah (menikah), sedangkan pezina ghayru
muhshan adalah pelaku yang belum pernah menikah dan tidak memiliki
pasangan sah. Berdasarkan hukum Islam, perzinaan termasuk salah satu
dosa besar.Dalam agama Islam, aktivitas-aktivitas seksual oleh lelaki atau
perempuan yang telah menikah dengan lelaki atau perempuan yang bukan
17

suami atau istri sahnya, termasuk perzinaan. Dalam Al-Quran, dikatakan


bahwa semua orang Muslim percaya bahwa berzina adalah dosa besar dan
dilarang oleh Allah.[ CITATION Rah13 \l 1033 ]
Di dalam hukum pidana islam, zina merupakan tindak pidana yang di
ancam hukuman hadd atau hudud, yakni hukuman yang telah di tetapkan
oleh Allah di dalam Al Qur‟an ataupun hadist Nabi. Adapun larangan dari
pada tindak pidana zina terdapat dalam surat Al Isra’ ayat 32.

‫َواَل تَ ْق َربُوا ال ِّزنَا ۖ ِإنَّهُ َكانَ فَا ِح َشةً َو َسا َء َسبِياًل‬

Artinya :
dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS.Al-Isra’ : 32 ).

Di dalam surat Al Isra’ tersebut sudah jelas, bahwa perbuatan yang


mendekati zina tidak boleh, apalagi berbuat zina. Islam sangat melarang
keras terhadap zina.

Al-A’raf ayat 33

۟ ‫ق َوأَن تُ ْشر ُك‬


ِ ‫وا بِٱهَّلل‬ ِّ ‫ش َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَنَ َوٱإْل ِ ْث َم َو ْٱلبَ ْغ َى بِ َغي ِْر ْٱل َح‬ َ ‫قُلْ ِإنَّ َما َح َّر َم َربِّ َى ْٱلفَ ٰ َو ِح‬
ِ
َ‫وا َعلَى ٱهَّلل ِ َما اَل تَ ْعلَ ُمون‬ ۟ ُ‫ما لَ ْم يُنَ ِّزلْ ب ِهۦ س ُْل ٰطَنًا َوأَن تَقُول‬
ِ َ

Artinya :
Katakanlah : "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".

Di dalam hadist nabi juga di jelaskan bahwa :

‫عن عبدهللا رضي هللا عنو قال سالت رسؤالهلل صلى هللا عليو وسلم اى الذنب عندهللا اكبر قال ان‬
‫تجعل هلل ندا وىو خلقك قلت ثم اى قال ثم ان تقتل ولدك خشية ان يطعم معك قلت ثم اي قال ان تزاني‬
‫بحليلة جارك‬
18

Artinya :
dari Abdullah meriwayatkan, “aku bertanya, wahai Rasulullah, dosa dosa apa
yang paling besar disisi Allah?”, beliau menjawab, “kamu menjadikan
tandingan bagi Allah (berbuat syirik), padahal dialah yang telah menciptakan
kamu”, lalu aku bertanya lagi, “kemudian dosa apalagi ?”, beliau menjawab,
“kamu mebunuh anakmu karena takut kalau ia akan bersama kamu”,
kemudian aku bertanya lagi, “kemudian dosa apa lagi ?”, beliau menjawab,
“kamu berzina istri tetanggamu”. (HR.Al-Bukhori dan Ibbnu Hibban).

Di dalam hukum islam sangatlah tegas dijelaskan bahwa zina


merupakan perbuatan yang mempunyai konsekuensi yang besar, dan
penerapannya kerap membuat pelaku jera. Sementara itu di dalam Hukum
Positif Indonesia juga mengatur tentang larangan zina dan memang pada
dasarnya hal tersebut dipengaruhi oleh budaya timur yang menjunjung
tinggi nilai dan norma kesopanan.[ CITATION Ihd17 \l 1033 ]\

Hukum positif Indonesia juga mengatur mengenai


larangan zina juga terdapat di dalam hukum positif
Indonesia yakni di dalam pasal 284 KUHP.

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:


1) a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak
(overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku
baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan
gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku
baginya;
2) a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah
kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta
melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya
bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW
berlaku baginya.
19

2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan


suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku
Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan
permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena
alasan itu juga.
3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73, dan 75.
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam
sidang pengadilan belum dimulai.
5. Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak
diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena
perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah
meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Penggambaran Mengenai perbedaan perzinaan


menurut Hukum Pidana Islam dengan KUHP Pasal 284
adalah sebagai berikut.

Tabel 2 Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang Zina

No. Hukum Positif Hukum Islam


1. Merupakan delik aduan Merupakan delik
karena dipengaruhi faham biasa karena
individualism, liberalism, dan melanggar hak
individual rights. Allah, masyarakat
dan keluarga dari
pelaku zina.
2. Harus ada pihak yang Tidak perlu
mengadu (karena masuk menunggu ada pihak
ranah privat) yang mengadu
tetapi langsung
dapat di proses
3. Hanya suami, istri dan pihak -
ketiga yang dapat
mengadukan
4. Apabila pelaku belum Dalam Islam
menikah tidak dapat persetubuhan antara
dikategorikan sebagai pasangan yang
20

perbuatan zina belum menikah juga


termasuk di
dalamnya.
5. Apabila persetubuhan Baik direstui
direstui oleh suami atau pun ataupun tidak, tetap
isteri yang bersangkutan, dikategorikan
maka tidak termasuk zina sebagai zina.

Tindak pidana perzinaan dalam Islam merupakan delik


biasa bukan merupakan delik aduan. Islam itu memandang
bahwa zina itu termasuk dosa besar yang harus ditindak
tanpa menunggu pengaduan dari oang yang bersangkutan.
Karena sudah jelas ada nas yang melarang tindak pidana
tersebut. Apabila ada seseorang yang mengetahui ada
tindak pidana perzinaan maka ia dapat melaporkan
tindakan tersebut. Namun perlu juga diperhatikan dalam
kasus perzinaan ini hukum Islam tidak sembarangan dalam
memprosesnya. Ada syarat-syarat yang harus di
perhatikan sebelum melakukan pembuktian dalam kasus
perzinaan.
Berbeda dengan Hukum Pidana Islam, KUHP Indonesia
Pasal 284 mengkategorikan perzinaan itu dalam delik
aduan absoluth. Artinya tidak dapat dituntut apabila tidak
ada pengaduan dari pihak suami, isteri yang dirugikan
(dimalukan). Menurut KUHP, yang dapat melakukan
pengaduan adalah suami, isteri, atau pihak ketiga yang
tercemar. Apabila dalam kasus perzinaan ini tidak ada
pengaduan dari pihak-pihak yang telah disebutkan dalam
Pasal 284 ayat (2) maka suatu delik perzinaan tidak dapat
diproses secara hukum. Adapun bunyi Pasal 284 ayat (2)
adalah;
“tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan
suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka
berlaku Pasal 27 BW, dalam tanggang waktu tiga bulan
21

diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan


ranjang karena alasan itu juga”.
Di jelaskan bahwa, ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHP
berisi bahwa undang-undang menetukan terhadap pelaku
tindak pidana-tindak pidana perzinaan yang diatur dalam
Pasal 284 ayat (1) KUHP itu tidak dilakukan penuntutan
kecuali atas pengaduan dari suami atau isteri yang
tercemar.

Tabel 3 Persamaan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang Zina

Hukum Positif Hukum Islam


Di dalam hukum positif Di dalam hukum islam
juga mengatur tentang sangat tegas
larangan zina dan dijelaskan bahwa zina
memang pada merupakan perbuatan
dasarnya hal itu yang mempunyai
dipengaruhi oleh konsesuensi yang besar
budaya timur yang , dan penerapannya
menjunjung tinggi nilai kerap membuat pelaku
dan norma kesopanan. jera.

Hukum positif dan hukum islam memiliki persamaan


yaitu sama-sama melarang adanya perbuatan zina dan
bagi pelaku yang melakukan tindakan perzinaan akan
dikenakan sangsi.

3.2 Contoh Kasus Perzinahan di Indonesia

1. Bupati Katingan jadi tersangka kasus perzinaan


22

Pada Jumat 6 Januari 2017, seorang Bupati Katingan


provinsi Kalimantan Tengah yang bernama Ahmad
Yantenglie ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus
dugaan perzinaan, beliau dan seorang perempuan
berinisial FY, seorang istri polisi, dijadikan tersangka
setelah keduanya tertangkap basah sedang tidur tanpa
mengenakan busana di dalam kamar di sebuah rumah,
pada Kamis dini hari, 5 Januari. Namun keduanya tidak
ditahan, karena ancaman hukuman pelanggaran perzinaan
hanya 9 bulan penjara.
Menurut Direktur Kriminal Umum Polda Kalimantan
Tengah Kombes Pol Gusde Wardana, pihaknya tetap akan
melakukan pemeriksaan secara intensif. Namun tidak akan
melakukan penahanan dan hanya wajib lapor karena
ancaman hukumannya sembilan bulan. berdasarkan hasil
tes urine yang dilakukan oleh aparat Polda Kalimantan
Tengah dan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP),
Ahmad Yantenglie dan FY tidak terbukti menggunakan
narkotika.
Ia mengatakan, Ahmad Yantenglie dan FY sama-
sama mengakui telah menikah siri di Bogor, Jawa Barat,
namun sampai saat ini penyidik belum mendapatkan bukti
yang mendukung pernyataan keduanya. Polda Kalimantan
23

Tengah belum ada koordinasi dengan Kementerian Dalam


Negeri terkait Ahmad yang menjadi Bupati Katingan, hal ini
dikarenakan itu bukan ranahnya.
Kronologi kejadian penggerebakan tersebut bermula
saat Aipda SL, suami dari FY, pulang dari Sampit,
Kabupaten Kotawaringin Timur, ke kediamannya di
Kasongan, Kabupaten Katingan. Sesampainya di rumah
dan ingin mencari kunci, namun tidak ditemukan karena
dibawa istrinya FY yang sedang dinas malam di Rumah
Sakit Mas Amsyar Kasongan. SL pun pergi mencari FY ke
rumah sakit, namun tidak ada di tempat. SL pun pergi
mencari FY ke Jalan Nangka dan setibanya di salah satu
rumah terlihat tas milik istrinya. SL membuka paksa pintu
depan rumah tersebut dan kemudian memeriksa ke kamar.
Di kamar itulah ditemukan FY sedang tertidur dengan
Ahmad dalam keadaan tanpa busana. Atas kejadian itu, SL
melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Katingan Hilir.
[ CITATION Ant17 \l 1033 ]
Apabila ditinjau dari hukum positif, berdasarkan Pasal
284 ayat (2) KUHP yang berbunyi “tidak dilakukan
penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang
tercemar” seharusnya mereka berdua dikenakan hukuman
penjara, hal ini dikarenakan suami dari pelaku perzinaan
melaporkan masalah ini ke Polsek Katingan Hilir.
Sementara itu apabila ditinjau dari hukum Islam sangsi
seorang pezina yang telah menikah lebih berat dari yang
belum menikah yaitu dibunuh dengan cara dirajam. 
24
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Islam memandang bahwa zina itu termasuk dosa besar yang harus ditindak
tanpa menunggu pengaduan dari oang yang bersangkutan. Karena sudah jelas ada
nas yang melarang tindak pidana tersebut. . Islam itu memandang bahwa zina itu
termasuk dosa besar yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari oang
yang bersangkutan. Karena sudah jelas ada nas yang melarang tindak pidana
tersebut.
Rumusan delik perzinahan (overspel) yang ada dalam KUHP hanya
memidanakan kepada para pelaku zinah yang telah sama - sama atau salah
satunya telah terikat oleh perkawinan dan tidak menjatuhi hukuman kepada
mereka yang sama - sama masih lajang, itu dirumuskan pada Pasal 284 KUHP.
Berbeda dengan rumusan perzinahan dalam Hukum Islam. Hukum Islam dalam
memberikan aturan tentang perzinahan, bahwa setiap hubungan suami istri di luar
perkawinan yang sah maka itu disebut zinah, jadi tidak ada keharusan pelakunya
atau salah satu pelaku terikat dalam perkawinan. Hukum Islam hanya
mengklasifikasikan pelaku ke dalam pelaku yang belum terikat perkawinan yang
disebut ghairu muhhsan dan pelaku sudah yang terikat dalam hubungan
perkawinan disebut muhhsan
Sanksi delik perzinahan dalam KUHP berbobot sangat ringan, karena
hanya memberikan ancaman sanksi maksimal 9 (sembilan) bulan penjara. Hukum
Islam menempatkan delik perzinaan sebagai dosa besar, sehingga ancaman
sanksinya juga maksimal, yaitu :
1. Pelaku Ghairu Muhshan (belum menikah) dihukum seratus kali dera
(cambuk) dan diasingkan selama satu tahun.
2. Pelaku Muhshan (sudah menikah) dihukum rajam sampai mati.
Meninjau kasus Bupati Kaningan yang terkait perzinaan,dapat
disimpulkan apabila ditinjau dari hukum positif, berdasarkan Pasal
284 ayat (2) KUHP yang berbunyi “tidak dilakukan penuntutan

25
melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar”
seharusnya mereka berdua dikenakan hukuman

26
27

penjara, hal ini dikarenakan suami dari pelaku perzinaan


melaporkan masalah ini ke Polsek Katingan Hilir. Sementara itu
apabila ditinjau dari hukum Islam sangsi seorang pezina yang
telah menikah lebih berat dari yang belum menikah yaitu
dibunuh dengan cara dirajam. 

4.2 Saran
Perzinaan itu merupakan perbuatan tercela. Perzinaan dapat terjadi selain
karena kurangnya keimanan juga karena kurang tegasnya hukum pidana yang
mengatur mengenai perzinaan ini. Oleh karena itu perlua adanya tindakan dari
pemerintah mengenai hukum perzinaan ini. Pemerintah dalam menyusun
rancangan undang-undang ada baiknya mempertimbangkan norma kesusilaan
sehingga memasukkan perluasan makna perzinaan dalam KUHP. Dalam
pembuatan Peraturan PerundangUndangan, diharapkan para perancang
memperhatikan asas kemanfaatan dari Pasal yang dirancang tersebut. Apakah
Pasal itu nantinya akan menciptakan ketertiban atau malah sebaliknya. Negara
seharusnya dapat menjaga hak-hak warga negaranya, dan mempertimbangkan
nilai-nilai agama dan budaya yang ada dalam masyarakat.

Peran dari masyarakat pun sangat dibutuhkan, perlu adanya kesadaran dari
masyarakat sendiri mengenai tindakan zina ini yang tidak dapat dibenarkan.
Selain itu diharapkan setiap warga negara Indonesia terutama yang menganut
agama Islam agar lebih dan berperan aktif dalam memberi pemahaman atas nilai-
nilai agama dan moral di semua kalangan terutama dalam keluarga dan di
kalangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, M. (2018). Prostitusi dan Perzinahan Dalam Perspektif Hukum Islam.


Tahkim, Jurnal Peradaban Hukum Islam Vol.1, No.1 .

Amirrudin. (2015). Sanksi Tindak Pidana Perzinaan Menurut Kajian KUHP dan
Hukum Pidana Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung No.726K/Pid./2008) .
Surabaya: UIN Sunan Ampel .

Antara. (2017, Januari 06). Rappler.com. Retrieved from


https://www.rappler.com/indonesia/berita/157551-bupati-katingan-tersangka-
kasus-perzinaan

Donandi, S. (2019). Sanksi Hukum Bagi Kepala Daerah Yang Terbukti


Melakukan Perzinahan. Jurnal Problematika Hukum, Vol. 3, No, 2 .

Grace. (2017, Juni). Pengertian Delik. Retrieved from


http://hukumku.com/pengertian-delik/

Gunawan, H. (2018). Studi Komparatif Hukum Positif dan Hukum Islam


Terhadap Tindak Pidana Perzinahan dan Kesusilaan. Surakarta: Institut Agama
Islam Negeri .

Nasution, M. A. (2018). Tindak Pidana Zina Menurut Hukum Positif (KUHP)


Dan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Jurnal Hukum
Universitas Sumatera Utara , 1-29.

Nisa’, I. S. (2017). Studi Komparatif Hukum Pidana Islam dan Hukumum Positif
Tentang Delik Perzinaan . 94.

Rahmawati. (2013). Tindak Pidana Perzinaandalam Perspektif Perbandingan


Antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Pidana Islam. AN
NISA'A , 16.

28
Ruslan, H. (2012, Januari). Hakikat Tindak Pidana Islam. Retrieved from
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/23/ly84g4-
hakikat-tindak-pidana-islam-seperti-apa-sih

Yudha, A. K. (2017). Hukum Islam Dan Hukum Positif: Perbedaan, Hubungan


dan Pandangan Ulama. Jurnal Hukum Novelty , 160.

29

Anda mungkin juga menyukai