NIM : 3190076
FAKULTAS : EKONOMI
JURUSAN : (S1)AKUNTANSI PERPAJAKAN
MATA KULIAH : ETIKA PROFESI AKUNTANSI
HAKIKAT EKONOMI
Ekonomi berasal dari kata Yunani oikonomia yang berarti pengelolaan rumah (Capra,
2002). Yang dimaksud dengan pengelolaan rumah adalah cara rumah tangga memperoleh dan
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup (fisik) anggota rumah
tangganya. Dari sini berkembang disiplin ilmu ekonomi yang dapat didefinisikan sebagai ilmu
yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi. Pada tingkat ekonomi makro,
para ekonom dan pejabat birokrasi pemerintah sudah sangat mengenal konsep – konsep
ekonomi, seperti pendapatan nasional bruto ( Gross National Product – GNP), konsumsi,
tabungan, investasi dan jumlah uang beredar, suku bunga, inflasi, neraca perdagangan, neraca
pembayaran, kurs valuta, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), dan sebagainya.
Ilmu ekonomi berkembang berdasarkan asumsi dasar yang masih dipegang hingga saat
ini, yaitu adanya kebutuhan (needs) manusia yang tidak terbatas dihadapkan pada sumber
daya yang terbatas (scarce resources) sehingga menimbulkan persoalan bagaimana
mengekploitasi sumber daya yang terbatas tersebut secara efektif dan efisien guna memenuhi
kebutuhan manusia yang tak terbatas.
Ilmu ekonomu modern dewasa ini telah menanamkan paradigma tentang hakikat manusia
sebagai berikut :
a) Manusia adalah makhluk ekonomi
b) Manusia mempunyai kebutuhan tak terbatas
c) Dalam upaya merealisasikan kebutuhannya, manusia bertindak rasional.
Dampak dari paradigma ini adalah
a) Tujuan hidup manusia hanya mengejar kekayaan materi dan melupakan tujuan
spiritual
b) Manusia cenderung hanya mempercayai pikiran rasionalnya saja dan mengabaikan
adanya potensi kesadaran trasendental (kesadaran spiritual, kekuatan tak terbatas,
Tuhan) yang dimiliki manusia
c) Mengajarkan bahwa sifat manusia itu serakah.
Setelah lebih dari setengah abad sejak Indonesia merdeka, indonesia mencoba
mengimplementasikan sistem ekonomi pancasila dalam proses pembangunan bangsa. Setelah
melewati pergolakan pada tahun 1965 dan setelah adanya peralihan Orde Lama di bawah
presiden Soekarno ke rezim pemerintah Orde Baru di bawah presiden Soeharto yang sejak
1970-an secara serius mencanangkan pembangunan ekonomi, indonesia sempat mengalami
pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi secara berkelanjutan.
Sayangnya, menjelang abad ke -20 Indonesia mengalami krisis ekonomi sehingga bangsa ini
kembali terpuruk dan kembali menjadi negara miskin.
Krisis ekonomi ternyata diikuti oleh krisis politik dan sosial, yang ditandai oleh
munculnya pergolakan rakyat dengan dukungan para mahasiswa yang menuntut agar Presiden
Soeharto dan kabinetnya mengundurkan diri.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah : mengapa bangsa Indonesia yang menerapkan
sistem Ekonomi Pancasila yang secara konseptual lebih baik dibandingkan dengan sistem
ekonomi komunis ataupun sistem ekonomi kapitalis, sampai saat ini sebagian besar rakyatnya
masih tetap miskin? Jawabannya sebenarnya sangat sederhana : karena perekonomian bangsa
ini dalam realitanya dibangun berlandaskan “Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)”.
Jelas sekalli bahwa praktik KKN dalam pembangunan ekonomi sangat bertentangan dengan
etika dan ajaran agama manapun.
Etika dan Sistem Ekonomi
Etika pada intinya mempelajari perilaku/tindakan seseorang dan kelompok atau lembaga
yang dianggap baik atau tidak baik. Sistem ekonomi adalah seperangkat umur (manusia,
lembaga, wilayah, sumber daya) yang terkoordinasi untuk mendukung peningkatan produksi
(barang dan jasa) serta pendapatan untuk menciptakan kemakmuran masyarakat. Namun
semua sistem ini memunculkan dampak negatif yang serupa.
Dampak yang paling mudah dilihat adalah kerusakan lingkungan. Selain itu, kesenjangan dan
ketidakadilan dalam distribusi kekayaan antara golongan kaya dan golongan miskin juga
semakin lebar.
Kesimpulannya adalah bahwa sistem ekonomi apa pun dapat saja memunculkan banyak
persoalan yang bersifat tidak etis. Etis tidaknya suatu tindakan lebih disebabkan tingkat
kesadaran individual para perilaku dalam aktivitas ekonomi (oknum birokrasi, pejabat negara,
pemimpin perusahaan), bukan pada sistem ekonomi yang dipilih oleh suatu negara. Di sini
yang berperan adalah tingkat kesadaran dalam memaknai hakikat dirinya—hakikat manusia
sebagai manusia utuh atau manusia tidak utuh.
Dimensi Spiritual
Kegiatan bisnis dalam pandangan Barat tidak pernah dikaitkan dengan agama. Padahal
kalau ditelusuri dalam ajaran agama-agama besar, ada ketentuan yang sangat jelas tentang
kegiatan bisnis ini. Dalam agama Islam dijumpai suatu ajaran bahwa menjalankan kegiatan
bisnis ini merupakan bagian dari ibadah, asalkan kegiatan bisnis (ekonomi) diatur berdasarkan
wahyu yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (Dawan Rahardjo, 1990).
Selanjutnya Dawan Rahardjo mengatakan bahwa ada tiga doktrin dalam Islam, yaitu: ibadah,
akhirat, dan amal saleh.
Kegiatan bisnis yang spiritual tumbuh berdasarkan paradigma sebagai berikut:
• Pengelola dan pemangku kepentingan (stakeholders) menyadari bahwa kegiatan bisnis
adalah bagian dari ibadah (God devotion).
• Tujuan bisnis adalah untuk memajukan kesejahteraan semua pemangku kepentingan
atau masyarakat (prosperous society).
• Dalam menjalankan aktivitas bisnis, pengelola mampu menjamin kelestarian alam
(planet conservation).
Gambar 4.1
Kegiatan Bisnis Spiritual
Manusiawi Utilitarianisme
Teonom Tinggi
Transendental
Pro dan Kontra terhadap CSR Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, masih
banyak yang menentang implementasi CSR walaupun telah banyak pelaku bisnis dan
pemangku kepentingan terkait yang menyadari dan menyetujui pentingnya perusahaan untuk
melaksanakan program CSR.
Alasan-alasan yang menentang CSR ini antara lain:
a. Perusahaan adalah lembaga ekonomi yang tujuan pokoknya mencari keuntungan,
bukan merupakan lembaga sosial.
b. Perhatian manajemen perusahaan akan terpecah dan akan membingungkan mereka
bila perusahaan dibebani banyak tujuan.
c. Biaya kegiatan sosial akan meningkatakan biaya produk yang akan ditambahkan pada
harga produk sehingga pada gilirannya akan merugikan masyarakat/konsumen itu
sendiri.
d. Tidak semua perusahaan mempunyai tenaga yang terampil dalam menjalankan
kegiatan sosial.
Sementara itu, alasan-alasan yang mendukung CSR ini adalah:
a. Kesadaran yang meningkat dan masyarakat yang makin kritis terhadap dampak negatif
dari tindakan perusahaan yang merusak alam serta merugikan masyarakat sekitarnya.
b. Sumber daya alam yang makin terbatas.
c. Menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik.
d. Perimbangan yang lebih adil dalam memikul tanggung jawab dan kekuasaan dalam
memikul beban sosial dan lingkungan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.
e. Bisnis sebenarnya mempunyai sumber daya yang berguna.
f. Menciptakan keuntungan jangka panjang.