Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Asma bronkial adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh
dunia. Meskipun penyakit ini bukan merupakan penyebab kematian yang utama
tetapi penyakit ini mempunyai dampak sosial yang cukup besar terhadap produktifitas
kerja dan kehilangan angka sekolah yang tinggi serta angka kejadiannya meningkat
terus dari waktu ke waktu. Asma bronkial dapat terjadi pada segala usia dengan
menifestasi yang sangat bervariasi dan berbeda-beda antara satu individu dengan
individu lainnya.1
Prevalensi asma bronkial pada anak-anak bervariasi antara 0-30%, sedangkan
pada dewasa secara umum berdasarkan beberapa survei sekitar 6% pada beberapa
negara yang berbeda. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1992, asma, bronkhitis kronis dan emfisiema merupakan penyebab
kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5.6%. Pada tahun 1995, prevalensi asma
bronkial diseluruh Indonesia sebesar 13 dari 1000 penderita. 1
Asma bronkial adalah satu diantara beberapa penyakit yang tidak bisa
disembuhkansecara total. Kesembuhan dari satu serangan asma tidak menjamin
dalam waktudekat akan terbebas dari ancaman serangan berikutnya. Apalagi bila
karenapekerjaan dan lingkungannya serta faktor ekonomi, penderita harus
selaluberhadapan dengan faktor alergen yang menjadi penyebab serangan.
Biayapengobatan simptomatik pada waktu serangan mungkin bisa diatasi oleh
penderitaatau keluarganya, tetapi pengobatan profilaksis yang memerlukan waktu
lebihlama, sering menjadi problem tersendiri. 1

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


 Nama : Ny. S
 Umur : 27 tahun
 Tanggal lahir : 1 Mei 1981
 Jenis kelamin : Perempuan
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Agama : Islam
 Alamat : Bonto perak, Pangkep
 Tanggal masuk : 5 Mei 2019
 Nomor RM : 13 91 42

2.2 ANAMNESIS
a. Anamnesis
Autoanamnesis dan alloanamnesis
b. Keluhan Utama
Sesak napas
c. Anamnesis Terpimpin
Pasien masuk IGD RSUD Batara Siang diantar oleh suaminya dengan
keluhan sesak napas sejak tadi malam. Riwayat batuk berdahak sejak 3
hari yang lalu. Batuk tidak membaik saat istirahat maupun beraktivitas.
Batuk disertai nyeri dada kiri bagian atas seperti tertusuk dan tidak
menyeba, nyeri hanya timbul saat batuk.

d. Anamnesis Sistematis

2
Demam ada. Tidak ada sakit kepala. Tidak ada mual, tidak ada muntah.
Buang air besar lancar, warna kuning. Buang air kecil lancar, warna
kuning.
e. Riwayat Penyakit Sebelumnya
1. Ada riwayat asma
Kontrol ke poli paru (Cefixime 100 mg 2x2, N-asetilsistein 3x1,
Metylprednisolon 4 mg 2x1, Fenoterol Hidrobromide inhalasi)
2. Tidak ada riwayat hipertensi
3. Tidak ada riwayat diabetes mellitus
4. Tidak ada riwayat sakit jantung
5. Tidak ada riwayat penyakit ginjal
6. Tidak ada riwayat alergi obat
f. Riwayat Pribadi dan Keluarga
1. Tidak ada riwayat merokok
2. Tidak ada riwayat keluhan yang sama dalam keluarga
3. Tidak ada riwayat minum alkohol
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum
Sakit sedang, gizi kurang (BB: 40 kg, TB: 152 cm, IMT: 17,3 kg/m2).
b. Kesadaran
Composmentis
c. Vital Sign
 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Nadi (arteri radialis) : 88x/menit, regular, kuat angkat
 Respirasi : 32x/menit
 Suhu (axilla) : 36,50C
 SpO2 : 94%
d. Status Generalis

3
1. Kepala
Normochepal, rambut pendek, lurus, warna hitam, distribusi
rambut merata, rambut tidak mudah dicabut.
2. Mata
Eksopthalmus/Enopthalmus (-/-), gerakan mata dalam batas
normal, mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterus
(-/-), reflex kornea (+/+), pupil bulat isokor Ø 2,5 mm, reflex
cahaya (+/+).
3. Telinga
Simetris kiri dan kanan, discharge (-)
4. Hidung
Deviasi septum (-), discharge (-)
5. Mulut
Kering (-), sianosis (-), perdarahan gusi (-), faring hiperemis(-),
tonsil T1-T1 hiperemis (-), lidah kotor (-).
6. Leher
 Tidak ada pembesaran kelenjar limfe
 Tidak ada pembesaran kelenjar gondok
 Pembuluh darah: bruit (-)
 Tumor (-)
7. Thorax
Pulmo
 Inspeksi
Simetris kiri dan kanan,jejas (-), retraksi (-)
 Palpasi
Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
 Perkusi

4
Sonor seluruh lapang paru, batas paru hepar ICS VI kanan,
batas paru belakang kanan ICS IX, batas paru belakang kiri
ICS X
 Auskultasi
Bunyi pernapasan vesikuler, bunyi tambahan: rhonki(+/+),
wheezing (+/+)
Cor
 Inspeksi
Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi
Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi
Pekak
 Auskultasi
Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
 Inspeksi
Datar, ikut gerak napas
 Palpasi
Nyeri tekan epigastrik (-), massa (-), hepar dan lientidak
teraba
 Perkusi
Timpani
 Auskultasi
Peristaltik (+) kesan normal

5
9. Punggung
 Tidak terdapat deformitas, tidak terdapat massa, sikatriks
(-), nyeri ketok costovertebrae (-/-), gerakan simetris kiri =
kanan
10. Genitalia
 Tidak dilakukan pemeriksaan
11. Rectum dan anus
 Tidak dilakukan pemeriksaan
12. Ekstremitas
 Superior
Akral hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-), deformitas
(-/-), CRT < 2 detik.
 Inferior
Akral hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-/-), deformitas
(-/-), CRT < 2 detik.
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rencana Pemeriksaan
 Darah rutin, kreatinin, SGPT, dan GDS
 Pemeriksaan x-ray thorax PA

a. Pemeriksaan Laboratorium (27 April 2019)


Darah Rutin
Pemeriksaa Hasil Nilai Normal Satuan
n
WBC 9,2 x 103 4,0 – 10,0 uL
RBC 4,18 x 106 3,50 – 5,50 uL
HGB 12,8 11,0 – 16,0 g/dL
HCT 37,6 37,0 – 54,0 %
MCV 90,0 80,0 – 100,0 fL

6
MCH 30,6 27,0 – 38,7 Pg
MCHC 34,0 32,0 – 37,0 g/dL
PLT 355 x 103 150 – 400 uL
Lymph 24,9 14,0 – 53,5 %
Mid 8,5 3,0 – 16,0 %
Gran 66,6 50,0 – 70,0 %

Kimia Darah
Pemeriksaa Hasil Nilai Normal Satuan
n
Glukosa 88 70 – 150 mg/dL
sewaktu
SGPT 28,7 < 40 U/L
Kreatinin 0,23 < 1,1 mg/dL

b. Foto Thorax

Interpretasi :
- Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada normal
- Sinus costophrenicus dan diafragma normal
- Corakan bronkovesikuler paru normal
- Kedua hilus normal

7
- Cor : CTR normal. Aorta normal
- Trakea di tengah
Kesan : Radiografi thorax normal

2.5 DIAGNOSIS AWAL


 Asma Bronchial

2.6 DIFFERENTIAL DIAGNOSIS


 PPOK

2.7 PENATALAKSANAAN AWAL


 Posisi setengah duduk, kurang lebih 45
 O2, 2-4 lpm via nasal kanul
 IVFD RL 20 tpm
 Nebulizer combivent (1 kali di ugd)
 N- acetylsistein tab. 3x1

2.8 PROGNOSIS
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : Bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

2.9 FOLLOW UP
TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER

8
27/04/2019 S: Sesak napas, ada batuk berdahak P:
O: Sakit sedang, gizi lebih, compos mentis  O2, 2-4 lpm via nasal
 TD: 100/70 mmHg kanul
N: 88 x/menit  IVFD RL 20 tpm
P: 32 x/menit  Nebulizer combivent
S: 36,50C  Inj. Metylprednisolon
 Anemis -/-, ikterus -/- 125 mg /12jam/iv
 Bunyi pernapasan: vesikuler  N-asetilsistein tab 3x1
Bunyi tambahan: Rh +/+, Wh +/+  Cefixime 200 mg 2x1
 Bunyi jantung: I/II regular, bunyi tambahan  Inj. Omeprazole/ 12 jam/
(-) iv
 Peristaltik (+) kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba
 Ekstremitas: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
A: Asma Bronchial
28/04/2019 S: sesak terkadang, batuk ada P:
O: Sakit sedang, gizi lebih, compos mentis  IVFD RL 20 tpm
 TD: 120/80 mmHg  Inj. Viccilin SX 1,5g/
N: 82 x/menit 12jam/ iv
P: 22 x/menit  Inj. Metilprednisolon ½
S: 36,50C amp/ 12jam/iv
 Anemis -/-, ikterus -/-  Inj. Ranitidin amp/12
 Bunyi pernapasan: vesikuler jam/IV
Bunyi tambahan: Rh -/-, Wh +/+  N- asetilsistein tab 3x1
 Bunyi jantung: I/II regular, bunyi tambahan  Nebulizer combivent/8
(-) jam
 Peristaltik (+) kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba

9
 Ekstremitas: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
A: Asma Bronchial
29/04/2019 S: sesak ada, batuk ada P:
O: Sakit sedang, gizi lebih, compos mentis  IVFD RL 16 tpm
 TD: 120/80 mmHg  Inj. Viccilin SX 1,5g/12
N: 82 x/menit jam/IV
P: 24 x/menit  Inj. ranitidin/12 jam/IV
S: 36,50C  Inj. Metylprednisolon 1/2
 Anemis -/-, ikterus -/- amp/12 jam/iv
 Bunyi pernapasan: vesikuler  N-asetilsistein 3x1
Bunyi tambahan: Rh -/-, Wh +/+  Nebulizer combivent/ 8
 Bunyi jantung: I/II regular, bunyi tambahan jam
(-)
 Peristaltik (+) kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba
 Ekstremitas: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
A: Asma Bronchial
30/04/2019 S: sesak kadang-kadang, ada batuk berdahak P:
O: Sakit sedang, gizi lebih, compos mentis  IVFD RL 20 tpm
 TD: 110/70 mmHg  Nebulizer combivent/8
N: 88 x/menit jam
P: 28 x/menit  Inj. Ranitidine /12 jam/IV
S: 36,50C  Inj. Vicciline SX 1,5gr/
 Anemis -/-, ikterus -/- 12j/iv
 Bunyi pernapasan: vesikuler  Metylprednisolon 4 mg
Bunyi tambahan: Rh +/+, Wh +/+ 3x1
 Bunyi jantung: I/II regular, bunyi tambahan  N-asetilsistein 3x1
(-)  Azithromycin tab 500

10
 Peristaltik (+) kesan normal mg, 1x1
Hepar dan lien tidak teraba
 Ekstremitas: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
A: Asma Bronchial
01/06/2018 S: Tidak ada sesak, tidak ada batuk P:
O: Sakit ringan, gizi lebih, compos mentis  IVFD RL 20 tpm
 TD: 120/80 mmHg  Ranitidin tab 2x1
N: 80 x/menit  N- asetilsistein tab 3x1
P: 20 x/menit  Azithromycin tab 500
0
S: 36,5 C mg, 1x1
 Anemis -/-, ikterus -/-  Metylprednisolon 4 mg
 Bunyi pernapasan: vesikuler 3x1
Bunyi tambahan: Rh -/-, Wh -/-
 Bunyi jantung: I/II regular, bunyi tambahan
(-)
 Peristaltik (+) kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba
 Ekstremitas: Akral hangat (+/+), edema (-/-)
A: Asma Bronchial

2.10 RESUME
Perempuan, 37 tahun, masuk IGD RSUD Batara Siang diantar
keluarganya dengan keluhan sesak napas, sesak napas sejak tadi malam, batuk
berdahak sejak 2 hari yang lalu. Batuk tidak meredah saat istirahat maupun
beraktivitas. Batuk disertai nyeri dada kiri bagian atas. Nyeri hanya timbul
saat batuk, seperti tertusuk dan tidak menyebar. Demam ada, tidak ada sakit
kepala. Tidak ada mual. Tidak ada muntah. Buang air besar lancar, warna
kuning. Buang air kecil lancar, warna kuning. Ada riwayat asma. Tidak ada
riwayat keluhan yang sama dalam keluarga. Tidak ada riwayat merokok. Dari

11
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah100/70 mmHg. Pemeriksaan fisik
thorax, pada auskultasi didapatkan bunyi tambahan wheezing dan rhonki pada
hemithorax kanan dan kiri. Pemeriksaan fisik jantung dan abdomen dalam
batas normal. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil normal.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

12
Gambar 1 : Anatomi Sistem Pernapasan2
3.1.1 Anatomi
Organ-organ yang termasuk dalam saluran pernapasan terdiri atas: 2
a. Hidung (Cavitas nasi)
Suatu rongga berbentuk piramid dan terbagi menjadi dua bagian yang
simetris. Pada dinding lateral terdapat tiga pasang tonjolan, yaitu Concha nasalis
superior, Concha nasalis media, dan Concha nasalis inferior yang berfungsi
melembabkan udara yang masuk dan menyesuaikan dengan suhu tubuh, diantara
ketiga Concha nasalis terdapat Meatus nasi superior, inferior dan media, yang
merupakan muara dari Sinus paranasalis dan Ductus nasolacrimalis. Di dalamnya
juga terdapat bulu-bulu hidung yang berfungsi menyaring udara. 2

b. Faring (Pharynx)
Faring terbagi menjadi:2
1. Nasopharynx berhubungan dengan Cavum nasi,
2. Oropharynx berhubungan dengan Cavum oris,
3. Laryngopharynx berhubungan dengan Larynx.
c. Laring (Larynx)

13
Pada sistem pernapasan laring berfungsi untuk mencegah benda asing baik
padat maupun cair masuk ke dalam trakhea dan menghasilkan suara oleh Plica
vocalis. Laring dibentuk oleh enam kartilago, tiga yang berpasangan dan tiga yang
tidak berpasangan. 2
d. Trakhea
Trakhea adalah suatu pipa yang dibentuk oleh kartilago yang berbentuk huruf
U membuka ke dorsal dan ditutupi oleh jaringan ikat. Panjangnya kira-kira 11 cm dan
diameternya ± 2,5 cm. 2
e. Bronkus (Bronchus)
Terbagi atas dua, yaitu bronkus kiri dan kanan. Masing-masing memiliki
bronkus primer yang bercabang menjadi bronkus sekunder, yang kemudian
bercabang lagi menjadi bronkus tersier. 2
f. Paru-paru (Pulmo)
Paru-paru adalah organ yang elastis berbentuk seperti kerucut dan berisi
udara, terletak dalam rongga toraks. Paru kanan memiliki tiga lobus dan paru kiri
memiliki dua lobus. Setiap paru memiliki sebuah apeks yang mencapai bagian atas
iga pertama dan berbatasan dengan Arteri subclavia, basis pulmo terletak di atas
diafragma, sebuah permukaan (facies) mediastinalis (medial) yang terpisah dari paru
lain oleh mediastinum, dan permukaan kostal berbatasan dengan kosta. 2
Permukaan mediastinal memiliki hilus (akar), tempat masuk dan keluarnya
pembuluh darah Bronkus pulmonalis, dan bronkhiolus dari paru. Paru-paru memiliki
pembungkus yang disebut pleura. Pleura terbagi dua, yaitu Pleura parietalis yang
melekat pada dinding thoraks dan Pleura visceralis yang melekat di paru-paru. 2

3.1.2 Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses masuknya O2 dari udara ke dalam
jaringan-jaringan dan CO2 yang di keluarkan melalui udara ekspirasi, proses tersebut
terbagi dalam 3 stadium: 3

14
a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses pergerakan udara masuk-keluar paru secara berkala
kedalam alveolus. Ventilasi secara mekanis dilakukan dengan mengubah secara
berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus
melalui ekspansi dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-otot
inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-ganti, secara tidak langsung
menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan secara berkala mengembang-
ngempiskan rongga thoraks, dengan paru secara resesif mengikuti gerakannya.
Karena kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, maka inspirasi merupakan proses
aktif dan ekspirasi merupakan proses pasif. 3
b. Difusi
Difusi merupakan tahap pertukaran O2 di alveolus dan CO2 di kapiler paru.
Gas O2 yang berasal dari udara yang kita hirup dari atmosfer yang masuk ke saluran
napas karena adanya perbedaan tekanan dan CO2 yang berasal dari kapiler paru yang
dibawa oleh darah. Gas CO2 ini diperoleh dari sisa-sisa metabolisme dari sel-sel yang
ada ditubuh kita. Jadi, gas O2 dari paru-paru (alveolus) akan bertukar dengan gas CO2
dari jaringan dimana O2 akan dibawa ke jantung kembali untuk diedarkan ke seluruh
tubuh dan CO2 akan dibawa keluar tubuh melalui paru-paru. 3
c. Transportasi
Proses ini adalah proses penyebaran O2 dari paru yang dibawa oleh darah
(eritrosit/Hb) ke jantung. Transportasi dilakukan dengan mengikuti proses sirkulasi
sistemik/besar. O2 ini akan diberikan ke sel-sel yang memerlukan untuk
menghasilkan ATP (energi) dalam melanjutkan kehidupannya dalam tubuh. 3

3.2 Defenisi Asma Bronkial


Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,

15
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.4
Obstruksi saluran nafas ini dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan
bahkan menetap tetapi dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan
bernafas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lubang saluran nafas,
dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertropi
otot polos bronkus. 5
3.3 Prevalensi
Prevalensi asma bronkial dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
jeniskelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan.
Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak
perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama
dan pada masa menopause perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Umumnya
prevalensi anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi
dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan
kota yang lain di negara yang sama, di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7
%. 5
Asma bronkial merupakan penyakit yang sangat dikenal di masyarakat.
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien, status atopi, faktor keturunan. 4 – 5% populasi di AS ditemukan menderita
asma. Lebih dari 10 % anak – anak ditemukan asma. Data dari Centers for Disease
Control and Prevention menunjukkan 10 – 11 juta orang mendapat serangan akut
pada tahun 1998, 13,9 juta patient rawat jalan, 2 juta pasien dengan kondisi gawat,
dan 423 ribu pasien rawat inap, dengan total biaya $ 6 milyar. 6
3.4 Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronkial belum diketahui. Berbagai teori
sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan

16
parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan simpatis (blok pada reseptor
beta adrenergik dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik). 7
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu:7
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan sifat imunologik peka terhadap
alergen keadaan ini disebut atopi. Alergen yang telah lama kita kenal antara lain
debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.7
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang
tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh
adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi dan kegiatan jasmani. Serangan asma ini
menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.7
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.7

3.5 Patogenesis
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang
menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma,
adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yaitu : seorang yang alergi terhadap zat alergen
tertentu akan mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel
plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel
mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara

17
antigen dan IgE yang diikat sel mast, yang memacu pengelepasan mediator
farmakologis aktif amin vasoaktif dari sel mast dan basofil. Mediator-mediator
tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vaskular dan
vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis. Sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang
terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan
bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi IgE orang tersebut
meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin,
zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik
eosinofilik dan bradikinin. 7,8

Pencetus serangan
(Allergen, emosi/stress, obat-obatan, infeksi)

Reaksi antigen-antibodi

Pelepasan mediator
(histamin, bradikinin, anafilaktoxin)

Kontraksi otot polos Permeabilitas kapiler Sekresi Mukus

Bronkospasme Kontraksi otot polos Produksi mukus


Edema mukosa
Hipersekresi

18
Obstruksi saluran nafas

Hipoventilasi
Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi paru
Gangguan difusi di alveoli

Hipoxemia
Hiperkapnia

Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal
pada dinding bronkhioulus kecil maupun merangsang sekresi mukus yang kental
dalam lumen bronkhioulus juga disertai spasme otot polos bronkhiolus sehingga
menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. 7
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada
selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa
menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka
sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan
obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat
melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu
paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran
mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. 5,7

19
Gambar 2 : Patogenesis Asma7

3.6 Gambaran Klinis


Gambaran klinis asma bronkial adalah sesak nafas, serangan episodik batuk,
dan mengi, disertai rasa gelisah. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti
rasa berat di dada, dan pada asma alergik kadang disertai pilek atau bersin. Meskipun
pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya
pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. 5
Pada serangan asma yang lebih berat, gejala-gejala yang timbul makinbanyak,
antara lain :silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi dada,takikardi dan
pernafasan cepat dangkal. 5

Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis : 11

20
Klasifikasi derajat asma pada anak:11
Sedangkan pada anak, secara arbiter Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang; 2) Asma episodik
sering; dan 3) Asma persisten

21
3.7 Diagnosis
3.7.1 Anamnesis
Diagnosis asma bronkial didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk,
sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh
batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan
jasmani. 5,6,7
Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan. Dengan
mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya maka diharapkan gejala asma
dapat dicegah. 5,7

22
Gejala asma sangat bervariasi dari suatu individu ke individu lain, dan bahkan
bervariasi pada individu sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul
dibandingkan siang hari. 5,7
3.7.2 Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada penderita asma, keadaan umum penderita tampak
sesak nafas dan gelisah dimana penderita lebih nyaman dalam posisi duduk,
pernafasan cepat dengan ekspirasi memanjang sampai sianosis. 5
Pada dinding toraks akan terlihat lebih mengembang dengan diafragma
terdorong kebawah, dan pada auskultasi akan terdengar bunyi wheezing (mengi).
Penderita juga menggunakan otot-otot bantu pernafasan untuk memaksimalkan
proses ekspirasi akibat tidak terjadinya pertukaran gas secara normal. 5,7
3.7.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan beta adrenergik. Peningkatan
VEP1 sebanyak ≥ 12% atau (≥ 200mL) menunjukkan diagnosis asma bronkial.
Pemeriksaan spirometri selain untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.5
b. Uji provokasi bronkus
Hal ini bertujuan untuk membuktikan adanya hiperaktivitas dari bronkus,
antara lain dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani dan udara dingin.5
c. Pemeriksaan sputum dan eosinofil total.
Pemeriksaan sputum pada penderita yang dicurigai menderita asma sangat
karakteristik dengan ditemukannya banyak eosinofil.5
d. Uji kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik
dalam tubuh.5

23
e. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum.
Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.5
f. Foto dada
Foto dada dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran
nafas dan adanya kecurigaan proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti
bronkhitis dan atelektasis.5
g. Analisis gas darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. 5
3.8 Diagnosis Banding 10,11
Dewasa :
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
2. Bronkitis kronik
3. Gagal Jantung Kongestif
4. Batuk kronik akibat lain-lain
5. Disfungsi larings
6. Obstruksi mekanis (misal tumor)
Anak :
1. Benda asing di saluran napas
2. Emfisema
3. Laringotrakeomalasia
4. Stenosis trakea
5. Bronkiolitis
3.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempetahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut

24
merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal
inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperresponsif dan obstruksi jalan
napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui
berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat, aman dan
terjangkau.4
Berdasarkan pathogenesis terjadinya asma, pengobatan asma dapat ditinjau
dari berbagai pendekatan, antara lain: 5,9
1. Mencegah ikatan allergen-IgE
a. Menghindari allergen
b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil allergen yang dosisnya
makin ditingkatkan.
2. Mencegah pelepasan mediator
Dengan menggunakan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus
yang dicetuskan allergen, yang mekanisme kerjanya mencegah pelepasan mediator
dari mastosit, selain itu dapat juga digunakan obat golongan beta 2 maupun teofilin.
3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator
a. Simpatomimetik;
1. Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol) pemberian
inhaler atau nebulizer.
2. Epinerfrin diberikan subkutan
b. Aminofilin dipakai waktu serangan asma akut.
c. Kortikosteroid sistemik.
d. Antikolinergik (ipatropium bromida) dipakai sebagai suplemen
bronkodilator agonis beta 2 pada serangan asma.
4. Mengurangi respons dengan jalan merendam inflamasi pada saluran nafas.
Meredam inflamasi dengan menggunakan natrium kromolin atau secara lebih
paten dengan kortikosteroid baik secara oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada
asma bronkial akut atau kronik.

25
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi:
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan) 10
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui
oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan
apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan
harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan
berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya
pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
• bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
• kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang
sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan
secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin
oral. Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya)
kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari.
Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada
dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau
14 drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin
IV.
Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV Pada
serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja cepat
ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip).
Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin
subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan
nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).
Untuk lebih jelasnya lihat algoritma berikut:10

26
27
28
29
2. Penatalaksanaan asma jangka panjang 10
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi
beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi:
a. Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :
1. Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
2. Mengenali gejala serangan asma secara dini
3. Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
4. Mengenali dan menghindari faktor pencetus
5. Kontrol teratur
Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien
adalah pelangi asma, sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.

30
b. Obat Anti Asma.4,5,10
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada
saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan
asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol
asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol
lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan
apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
a) Inhalasi kortikosteroid
b) β2 agonis kerja panjang
c) antileukotrien
d) teofilin lepas lambat
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri dari pengontrol dan pelega.
1. Pengontrol (controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikas setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah. Yang
termasuk obat pengotrol :
a) Kortikosteroid inhalasi
b) Kortikosteroid sistemik
c) Sodium kromoglikat
d) Nedokromil sodium
e) Metilsantin
f) Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
g) Agonis beta-2 kerja lama, oral
h) Leukotrien modifier
i) Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1)

31
2. Pelega (reliever)
Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
dengan gejala akut, seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas. Termasuk pelega adalah :
a) Agonis beta-2 kerja singkat
b) Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat
pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi
hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain).
c) Antikolinergik
d) Aminofilin
e) Adrenalin
3.10 Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: 10
1. Pencegahan primer
2. Pencegahan sekunder
3. Pencegahan tersier
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan
risiko asma (orangtua asma), dengan cara :
a) Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak.
b) Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin.
c) Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan.
d) Diet hipoalergenik ibu menyusui.

32
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang
telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam
ruangan terutama tungau debu rumah.
Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak
yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter
yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children)
mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan
dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu
rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian
setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).
Penanggulangan serangan asma lebih penting ditujukan untuk mencegah
serangan asma bukan untuk mengatasi serangan asma. Pencegahan serangan asma
terdiri atas:
a) Menghindari faktor-faktor pencetus
b) Obat-obatan dan terapi imunologi
Penggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau
reaksi-reaksi yang akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.
3.11 Prognosis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.10,11
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan
timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun
setelah diagnosis.10,11

3.12 Komplilasi

33
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma
letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah.
Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus
Harrison.10,11
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga
dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung
lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi
bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat
dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak
dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagak jantung,
bahkan kematian.10,11

DAFTAR PUSTAKA

34
1. Ardinata, Dedi. Eosinofil dan Patogenesa Asma [online]. 3 Februari 2015
[cited Desember 2008]; Avaible from: URL:
http://www.departemenfisiologifkusu/eosinofildanpatogenesaasa.html.
2. Rafiah, St. Pengenalan Sistem Organ. Dalam: Tim Penyusun BMD, editor.
Bahan Ajar Mekanisme Dasar Penyakit. Makassar: Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin; 2008. h.6-7.
3. Wilson Lorraine M. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan. Dalam: Price
Sylvia A,Wilson Lorraine M,editor. Patofisiologi.Volume 2.Edisi 6.Jakarta:
EGC; 2006.h.736-753.
4. Dexa Media. Jurnal Kedokteran dan Farmasi [online]. 3 Februari 2015 [cited
Maret 2006]; Available from: URL:
http://www.dexamedia/imunobiologiasmabronkhial.html.
5. Sundaru Heru, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam: Sudoyo, Ayu W, dkk,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Pusat
Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006. h404-414.
6. McFadden E. Rjr. Asthma. In: Kasper Dennis L, Fauci Athony S, Longo Dan
L, Braunwald Eugene, Hauser Stephen L, Jameson J Larry, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 16thed. New York United States of America:
McGraw – Hill Companies Medical Publishing Division; 2005. p. 1508 –
1516.
7. Asma Bronkial. [online] 2015 feb 3 [cited 2009 Mar 28]; Available from
URL: http://doctorology.net/?p=144
8. Baratawidjaja Karnen Garna, Iris Rengganis. Reaksi Hipersensitivitas, editor.
Imunologi Dasar. Edisi 8. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. h.369-397.

35
9. Meiyanti, Julius. I. Mulia. Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma
Bronkial.[online]. 3 Februari 2015. Avaible from: URL:
http://www.fktrisakti/managemenasmabronkial.html
10. Buku pedoman pengendalian penyakit asma[online]. 13 Februari 2015 [cited
2009]; Avaible from: URL: http://www.depkes.go.id
11. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia [online]. 13
Februari 2015 [cited 2003]; Avaible from: URL: http://www.klikpdpi.com

36

Anda mungkin juga menyukai