TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
1. Definisi
Diabetes berasal dalam bahasa Yunani berarti mengalirkan atau
mengalihkan (siphon), mellitus dalam bahasa latin berarti madu atau
gula.[9]. Diabetes mellitus merupakan suatu keadaan metabolik yang
abnormal dimana terdapat intoleransi terhadap glukosa akibat kerja insulin
yang tidak adekuat. Gambaran utama Diabetes Mellitus adalah
ketidakmampuan menggunakan dan over produksi glukosa
(hiperglikemia), sintesis protein berkurang, lipolisis yang menyebabkan
hiperlipidemia, karena itu terjadi pembuangan secara cepat dan berat
badan turun. [1]
2. Penggolongan
a. Klasifikasi Diabetes Mellitus Menurut WHO 1985
1) Berdasarkan klinis
a) Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM/Diabetes melitus
tipe I).
b) Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM/Diabetes
melitus Tipe II).
1). Non-obese.
2). Obese.
c) Malnutrition-Related Diabetes Mellitus (MRDM).[2]
2) Berdasarkan risiko statistik
Termasuk golongan ini adalah penderita-penderita dengan toleransi
glukosa normal, tetapi ada risiko peningkatan kadar gula dalam
darah. Cirinya:
a) Pernah abnormal dalam toleransi glukosa
b) Potensial abnormal dalam toleransi glukosa (kedua orang
tua penderita Diabetes Mellitus).
c) Melahirkan dengan berat badan lebih besar dari 4 kg.[2]
b. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Kemampuan Pankreas
Menghasilkan Insulin
1) Diabetes Mellitus Tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Insulin Dependent Diabetes Mellitus terjadi karena adanya
kerusakan pada sel β pankreas yang parah, sehingga pankreas
kehilangan kemampuannya untuk menghasilkan insulin, akibatnya
jaringan-jaringan itu bisa bertahan untuk sementara waktu dengan
membakar otot dan lemak, akan tetapi proses akan menghasilkan
prodak sampingan berupa senyawa-senyawa keton dan asam-asam
yang dapat mencapai kadar toksik dan membahayakan bagi tubuh.
Penyakit ini dahulu disebut dengan Juvenil Onset Diabetes, karena
hampir selalu di bawah 30 tahun dan terjadi pada masa pubertas.
Pengobatan Insilin Dependent Diabetes Mellitus dapat dilakukan
dengan cara diet dan pemberian insulin dari luar. [10]
2) Diabetes Mellitus Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus)
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus lebih sering
ditemukan namun keadaannya tidak seburuk Diabetes Mellitus
Tipe I. Penyakit Diabetes Mellitus biasanya baru muncul pada
orang-orang yang berusia di atas 30 tahun, dan pada orang-orang
yang terlalu gemuk. Penyakit ini lebih disebut dengan Maturity
Onset Diabetes. Pankreas mungkin menghasilkan insulin dengan
cukup, tetapi tubuh kehilangan sebagian kemampuan untuk
memanfaatkan insulin tersebut secara efektif karena adanya
kerusakan reseptor insulin. Penyakit ini dapat diatasi dengan cara
mengurangi berat badan, berolahraga, diet dan pengobatan dengan
ADO (Anti Diabetik oral). [11]
insulin
Karbohidrat
Glukosa darah meningkat
≠ ≠
Energi Glikogen Glikosuria
dan lemak (urin mengandung glukosa)
Gejala
DM
GOD
Glukosa + O2 + H2O Asam Glukonat + H2O2
2) Golongan Biguanida
Berbeda dengan sulfonylurea, biguanida tidak menstimulasi
pelepasan insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada
orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan hingga berat badan
tidak meningkat, maka layak diberikan pada penderita yang
kegemukan. [16]
Mekanisme kerja dari obat golongan Biguanida adalah
bekerja langsung pada hati (hepar), meningkatkan produksi glukosa
hati dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. [12]
3) Meglitinida
Mekanisme kerjanya dengan merangsang sekresi insulin di
kelenjar pancreas. Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini
merupakan obat hipoglikemik generasi baru yang kerjanya mirip
sulfonylurea. Pada umumnya dipakai dalam bentuk kombinasi
dengan obat-obat antidiabetik oral lain.
4) Glukosidase-inhibitor
Menghambat kerja enzim-enzim yang mencerna
karbohidrat, sehingga memperlambat absorpsi glukosa dalam
darah, obat golongan ini yaitu Acarbose, Miglitol. [12]
5) Thiazolidindion
Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin. Berikatan
dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-
gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan
resistensi insulin.
6) Penghambat DPP-4 (DPP-4 blocker)
Obat-obat kelompok terbaru ini bekerja berdasarkan
penurunan efek hormone increatin. Increatin berperan utama
terhadap produksi insulin di pankreas dan yang terpenting adalah
GLPI (glukagon-like peptide) dan GIP (glucose-dependent
insulinotropic polypeptide). [16]
6. Metformin Hidroklorida
Rumus bangun :
B. Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun – temurun telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman, pengolahan jamu antara lain
adalah direbus atau digodok, dikeringkan atau dikonsumsi langsung. [18]
Pada dasarnya pemakaian obat tradisional mempunyai beberapa tujuan
yang secara garis besar dapat dibagi dalam empat kelompok antara lain adalah
untuk memelihara kesehatan dan menjaga kebugaran jasmani, untuk
mencegah penyakit (preventif), untuk memulihkan kesehatan (rehabilitasi),
dan sebagai upaya pengobatan penyakit baik untuk pengobatan sendiri
maupun untuk mengobati orang lain sebagai upaya untuk mengganti atau
mendampingi penggunaan obat jadi. [19]
Obat tradisional dapat diklasifikasikan menjadi : jamu (Empirical based
herbal medicine), obat herbal terstandar (Scientific based herbal medicine),
dan fitofarmaka (Clinical based herbal medicine). Jamu (Empirical based
herbal medicine) adalah obat bahan alam yang disediakan secara tradisional,
misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh
bahan yang menjadi penyusun jamu tersebut dan digunakan secara tradisional.
Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis,
tetapi cukup dengan bukti empiris saja. Obat herbal terstandar (Scientific
based herbal medicine) yaitu obat bahan alam yang disajikan dari ekstrak atau
penyaringan bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun
mineral. Proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan mahal,
serta ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian – penelitian pre –
klinik. Fitofarmaka ((Clinical based herbal medicine) merupakan bentuk obat
bahan alam dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern
karena proses pembuatannya telah terstandar serta ditunjang oleh bukti ilmiah
sampai dengan uji klinik pada manusia ketiga jenis obat bahan alam tersebut
sering disebut juga sebagai jamu. [20]
Obat tradisional yang sering disebut jamu merupakan salah satu unsur
budaya bangsa yang banyak dimanfaatkan secara turun temurun untuk
pengobatan sendiri. Pada dasawarsa terakhir ini produksi obat tradisional
semakin meningkat. Perkembangan ini didukung pula semakin tingginya
minat masyarakat pada obat tradisional karena dipandang lebih aman atau
dapat diterima oleh tubuh dibandingkan dengan bahan – bahan sintetik. [21]
C. Tanaman Rosella
1. Deskripsi
Tanaman rosella merupakan tanaman tunggal yang ketinggiannya
dapat mencapai 3-5 meter, tulang daun menjari, ujung tumpul, pangkal
berlekuk, panjang 6-15 cm, lebar 4-7 cm, penampang bulat dan hijau.
Bunga tunggal di ketiak daun, kelopak terdiri dari delapan sampai sebelas
daun kelopak, berbulu, panjang 1 cm, pangkal berlekatan, berwarna
merah. Mahkota bunga berbentuk corong terdiri dari 5 daun mahkota
dengan panjang 3-5 cm. Tangkai benang sari panjang 5mm, putik
berbentuk tabung dan berwarna kuning. [22]
Gambar 2.4. Tanaman Rosella [23]
2. Klasifikasi
Klasifikasi tanaman rosela (Hibiscus Sabdariffa Linn) adalah:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Malvales
Suku : Malvaceae
Marga : Hibiscus
Jenis : Hibiscus Sabdariffa,L. [22]
3. Nama Tanaman
Nama latin : Hibiscus sabdariffa Linn.
Sinonim :Hibiscus digitatus Cav., Hibiscus gossypiifolius Mill.,
Abelmoschus cruentus Bertol. [22]
4. Nama Daerah
Nama daerah: Gamet Balonda (Sunda), Mrambos (Jawa Tengah),
Kasturi roriha (Maluku). [22]
5. Kandungan Kimia
Secara umum, hampir semua bagian dari tanaman rosella dapat
dimanfaatkan mulai dari biji, akar, batang, kulit, daun, dan kelopaknya.
Tanaman Hibiscus sabdariffa Linn. ini mengandung saponin, flavonoid,
dan polifenol. [22]
Mengandung 15-30% asam tanaman seperti asam sitrat, malat, dan
tartrat, hibiscus acid, 15% antosianin, turunan flavone seperti gossypetin
(hexahidroxyflavo)-3-glucosida, fitosterol, 15% polisakarida mucilago,
dan 2% pectin. [24]
6. Khasiat dan penggunaan
Dapat digunakan sebagai bahan minuman yang mengandung nutrisi
dan bahan obat-obatan, sedangkan sebagai bahan obat (alami), berkhasiat
untuk meredam batuk, mempermudah buang air kecil, melunakkan feces,
[5]
pendingin tubuh, antiscorbutic, antidiabetes, antikolestrol, antibakteri,
mencegah keropos tulang, mengurangi derajat viskositas (kekentalan)
darah, dan menurunkan hipertensi, dapat membantu sistem imun, dan
mempunyai sifat astringent dan antiseptik. [6]
D. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar.
Flavonid terdapat dalam semua tumbuhan hijau kecuali alga, terdapat pada
semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, bunga, buah dan
[25]
biji. Pada tumbuhan berpembuluh, seringkali berbentuk senyawa
campuran, jarang sekali dijumpai senyawa tunggal dalam jaringan. Flavonoid
dapat diekstraksi dengan etanol 70% berupa senyawa fenol, karena itu
warnanya dapat berubah bila ditambah basa atau ammonia, jadi flavonoid
mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan. [26]
Di dalam tubuh manusia flavonoid dapat berfungsi sebagai
antioksidan, melindungi struktur sel dan sebagai antiinflamasi. [25]. Mekanisme
reaksi antara glukosa dengan flavonoid pada proses penurunan glukosa darah
dengan metode enzimatis terjadi dalam 2 tahap, yaitu :
+ Energi
Reaksi tahap pertama adalah glukosa direaksikan dengan flavonoid (di alam
berbentuk senyawa fenol) dengan metode enzimatis yang menggunakan enzim
GOD menghasilkan Energi, Asam Glukonat dan Hidrogen Peroksida. Reaksi
tahap kedua yaitu reaksi Hidrogen Peroksida dengan reagen 4-amino-antipirin
yang ditambahkan dengan enzim PAP menghasilkan senyawa yang berwarna
merah (kuinonimin). Hasil akhir senyawa yang berwarna merah tersebut
selanjutnya diukur dengan spektrofotometri dan didapatkan hasil bahwa pada
menit ke 30 penurunan kadar glukosa darah mencapai nilai optiomal. Semakin
lama waktu pengukuran akan mempengaruhi kepekatan warna dari flavonoid
yang bereaksi dengan glukosa (warna dari senyawa semakin pudar),
dikarenakan asam glukonat yang dihasilkan menguap sehingga warna dari
senyawa yang berwarna merah menjadi pudar. [27]
E. Infusa
Metode penyarian merupakan salah satu bagian dari isolasi bahan alam.
Metode penyarian dipilih berdasarkan beberapa faktor, yaitu sifat bahan uji,
daya penyesuaian dengan tiap macam metode penyarian, dan kepentingan
dalam memperoleh sari yang sempurna. Cara penyarian dapat dibedakan
menjadi infundasi, maserasi, perkolasi, dan penyarian berkesinambungan.
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk
menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati.
Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah
tercemar oleh kuman dan kapang. Sari yang diperoleh dengan metode
infundasi tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Cara pembuatannya adalah
campur simplisia dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air
secukupnya, panaskan diatas penangas air selama 15 menit terhitung mulai
suhu mencapai 90oC sambil sesekali diaduk, serkai selagi panas melalui kain
kassa, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh
volume infusa yang dikehendaki.
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati
dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit, infusa dibuat dengan cara
mencampur simplisia dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air
secukupnya, panaskan diatas penangas air selama 15 menit terhitung mulai
suhu 90oC sambil sekali- kali diaduk. Serkai selagi panas melalui kain kassa,
tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume
infusa yang dikehendaki. [28]
Pembuatan infusa merupakan cara yang paling sederhana untuk
membuat sediaan herbal dari bahan lunak seperti daun dan bunga. Dapat
diminum panas atau dingin. Khasiat sediaan herbal umumnya karena
kandungan minyak atsiri, yang akan hilang apabila tidak menggunakan
penutup pada pembuatan infusa, infusa disimpan dalam almari pendingin atau
pada tempat yang teduh dan dibuat segar setiap hari (24 jam), karena untuk
sediaan infusa hanya bertahan dalam waktu satu hari dan selebihnya
dikhawatirkan sediaan itu sudah terkontaminasi dengan jamur atau benda-
benda lain. [29]
F. Subjek Hewan Uji
Subjek uji yang digunakan untuk uji toksikologi adalah hewan uji yang sehat,
namun demikian, hasil ujinya tidak akan dimanfaaatkan untuk mengevaluasi
ketoksikan senyawa uji pada hewan uji yang bersangkutan, melainkan untuk
memperkirakan batas aman penggunaan atau pemejanannya
(meminumkannya) pada manusia. Analisis hasil uji toksikologi, melibatkan
analisis statistika, sehingga untuk memenuhi kebermaknaan statistik tertentu,
diperlukan jumlah hewan uji yang memadai, dan tentunya, masing-masing
hewan uji memiliki keterbatasan dalam hal penerimaan terhadap masukan
senyawa uji. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dengan seksama pada
pemilihan subjek uji yaitu meliputi pemilihan hewan uji, kondisi, jumlah
ketersediaan, keterbatasan ukuran hewan uji yang digunakan, faktor sediaan
uji, pemilihan jalur pemberian dan besar takaran atau konsentrasi yang
diberikan.
1. Pemilihan hewan uji
Pemilihan hewan uji idealnya harus dipilih semirip mungkin dengan
kondisi manusia, utamanya dalam hal absorpsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi terhadap senyawa uji. Hal ini dilakukan untuk memperkecil
perubahan respon antarjenis dan dalam satu jenis hewan uji terhadap efek
senyawa uji. Pada umumnya hewan uji yang sering digunakan adalah
mencit, tikus, kelinci, anjing, kera serta kucing. Hewan uji yang digunakan
adalah tikus putih galur wistar. Keuntungan penggunaan tikus putih galur
wistar terutama yang masih muda (± 2 bulan) adalah pada umumnya
mempunyai nafsu makan yang kuat dan masih dalam taraf pertumbuhan
yang optimal sedangkan kerugiannya berat badannya relatif belum stabil
dan sering menunjukkan fluktuatif. Secara hormonal tikus putih jantan
lebih stabil dibandingkan dengan tikus putih betina karena tikus putih
betina mengalami masa esterus dan masa bunting. [30]
2. Kondisi hewan uji
Kondisi hewan uji yang akan digunakan, benar benar harus berada dalam
kondisi sehat. Bila tidak, niscaya perkembangan patologis yang terjadi
selama uji toksikologi berlangsung sulit dievaluasi sumber penyebabnya.
Berasal dari senyawa uji atau kondisi bawaan dari hewan uji tersebut. Oleh
karena itu, pemeliharaan dan penanganan hewan uji sebelum dan selama
masa uji berlangsung, harus benar-benar diperhatikan. [29] Ciri hewan uji
yang sehat terutama pada jenis tikus dapat dilihat dari gerakannya yang
aktif, bulu tikus yang lebat dan tidak berdiri dan matanya yang bersinar
(tidak redup). [31]
3. Jumlah ketersediaan hewan uji
Ketersediaan jumlah hewan uji yang akan digunakan harus
dipertimbangkan. Hal ini berkaitan dengan kebermaknaan statistik sebagai
salah satu landasan penarikan kesimpulan hasil uji dan prinsip ekstrapolasi
kejadiannya pada diri manusia. Jumlah hewan uji yang digunakan harus
disesuaikan dengan metode statistika yang akan diterapkan untuk masing-
masing jenis uji toksikologi.[30]
4. Keterbatasan ukuran hewan uji
Berkaitan dengan keberagaman berat, luas permukaan badan, kapasitas
organ, dan volume cairan badan antarjenis hewan uji. Keberagaman
tersebut tentunya berpengaruh terhadap daya terima maupun kerentanan
hewan uji terhadap masukan dan ketoksikan senyawa uji. Volume
pemberian dosis pada hewan uji, harus disesuaikan dengan batas volume
maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji tertentu.
5. Faktor sediaan uji
Untuk keperluan uji toksikologi, bentuk sediaan sedapat mungkin
diusahakan sebagai larutan, agar dapat diberikan melalui semua jenis jalur
pemberian.
6. Pemilihan jalur pemberian
Dalam hal ini yang perlu diingat bahwa hasil uji toksikologi akan
dimanfaatkan untuk memperkirakan dan risiko penggunaan bahan uji pada
diri manusia. Karena itu jalur pemberian terpilih, harus melibatkan jalur
pemberian sediaan uji yang disarankan untuk manusia, pada umumnya
melalui oral.
7. Besar takaran atau konsentrasi yang diberikan
Besar takaran atau konsentrasi yang diberikan pada subjek atau hewan uji
dalam toksikologi melibatkan tiga peringkat dosis atau konsentrasi yang
berkisar dari konsentrasi terendah yang sama sekali tidak menimbulkan
efek toksik yang berarti, sampai dengan konsentrasi tertinggi yang
menimbulkan efek toksik yang berarti pada sekelompok hewan uji.
Khusus untuk obat dosis atau konsentrasi terendah [30]
H. KERANGKA TEORITIS
Diabetes Mellitus (DM)
Jenis pengobatan
Kelopak bunga
Pemakaian
Dengan kelopak bunga Rosella rosella :
Insulin
yang dikeringkan - umur
- asal
Keterangan :
*: di ukur
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual
J. HIPOTESIS PENELITIAN
Ada pengaruh berbagai konsentrasi infusa kelopak bunga rosella (Hibiscus
sabdariffa Linn) terhadap penurunan kadar glukosa darah pada tikus putih
jantan galur wistar.