Anda di halaman 1dari 5

Nama : Arya Wira Bhaswara

NIM :
Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik
Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Review Buku

Judul Buku :“Reorentasi Pembaharuan Islam”.


BAB :I
Penulis : M. Dawam Raharjo
Reviewer : Arya Wira Bhaswara
Tanggal : 9 September 2019

1. Pendahuluan
Buku ini membahas sebuah fenomena terkait dengan pembaharuan islam serta retorika
pluralism yang terjadi terlebh khusus di Indonesia. Pergulatan terkait dengan isu sekularisme
kian menguat antara poros barat dan dari islam. Nurcholish Madjid atau Abdulaziz Sachedina
hanyalah contoh dari perkembangan isu global Dunia Islam tahun 1990-an (paska run tuhnya
komunisme). Dunia Islam pada era ini memang ditandai dengan pergulatan baru Islam dan
gagasan demokrasi mutakhir, terutama sekularisme, liberalisme dan pluralisme sebagai isu
paling kontroversial.
Sehingga, pergulatan isu sekularisme, liberalisme dan pluralisme ini meluas menjadi
debat isu Islam versus Barat, baik di kalangan Islam maupun di Barat sendiri, dan terlebih
setelah Samuel Huntington mempublikasikan artikelnya, dan kemudian bukunya, The Clash
of Civilization, dan terjadinya peristiwa 11 September 2001, yang memasukkan terorisme
sebagai musuh baru dunia, sekaligus—sering salah kaprah, karena menganggap Islam
sebagai agama kekerasan yang penuh intoleransi, karena dianggap terlibat dalam sebagian
aksi-aksi teror itu.
Sejak masa ini, muncullah pertanyaan di kalangan akademisi, dan terutama di kalangan
media, apakah Islam itu agama yang mendorong penganutnya pada fanatisisme dan
kekerasan? Ahli-ahli Islam di Barat maupun Dunia Islam, baik yang percaya maupun tidak
dengan argumen bahwa Islam adalah agama kekerasan, mencoba mencari, atau menolak
adanya akar-akar Islam untuk tindak kekerasan. Persis pada poin ini terjadilah kebingungan
di kalangan para ahli ketika mereka melihat pandangan-pandangan teologis dari
kelompokkelompok Islam Fundamental Radikal semacam Taliban dan Osamah bin Laden,
Organisasi-organisasi Jihad, Wahabi radikal, Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, dan seterusnya—
termasuk di Indonesia seperti Fron Pembela Islam ( FPI), Majelis Mujahidin Indonesia
( MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI), yaitu kalangan Islam Radikal—yang semuanya
menegaskan superioritas Islam dan menganggap Barat (dan segenap ideidenya seperti
sekularisme, liberalisme dan pluralisme) sebagai musuh atau ancaman bagi masa depan
Islam. Sementara di Barat juga terjadi hal yang sama menganggap Islam sebagai ancaman,
seperti ditunjukkan oleh Samuel Huntington dalam bukunya di atas, The Clash of
Civilizations.
2. Isi
Sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI), Juli 2005, tentang
pengharaman sekularisme, liberalisme dan pluralisme, pemikiran ketiga hal tersebut pun
mulai disorot bukan lagi hanya oleh sekelompok intelektual atau akademisi yang biasa
bekerja dalam isu antaragama, tetapi berbagai kalangan umum juga mulai ikut
membicarakan makna dari paham ini. Sehingga sejak fatwa MUI ini istilah sekularisme,
liberalisme dan pluralisme menjadi istilah yang begitu populer dibicarakan bukan hanya
oleh para intelektual, tapi juga masyarakat sampai ke dunia pesantren, pengajian, bahkan
dalam khutbah Jum’at seluruh Indonesia. Pro-kontra pun muncul dan memenuhi banyak
halaman surat kabar, majalah dan jurnal nasional maupun lokal.
Ada tiga pertimbangan MUI mengapa perlu dikeluarkan fatwa pengharaman
sekularisme, liberalisme dan pluralisme: Pertama, bahwa pada akhir-akhir ini menurut
MUI telah ber kembang paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme serta paham-
paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat; Kedua, bahwa berkembangnya
sekularisme, liberalisme dan pluralisme di kalangan masyarakat telah menimbulkan
keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang
masalah tersebut; Dan ketiga, bahwa karena itu MUI memandang perlu menetapkan
fatwa tentang paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme untuk dijadikan pedoman
oleh umat Islam. Dasar pertimbangan sosial-politik ini, kemudian diselaraskan oleh MUI
dengan pandangan-pandangan teologis MUI sendiri yang “eksklusif” berdasarkan ayat-
ayat al-Qur’an: Q. 3:85; 3:19; 109:6; 33:36; 60: 8-9; 28: 77; 6:116 dan 23:71.14 Dari
pertimbangan inilah MUI kemudian membuat defi nisi sendiri istilah sekularisme,
liberalisme dan pluralisme sebuah defi nisi yang berbeda sekali dengan apa yang biasa
termuat dalam buku-buku fi lsafat dan teologi yaitu:1
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap
pemeluk agama tidak boleh meng klaim bahwa hanya agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk
agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu
terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Liberalisme adalah
memahami nash-nash agama ( al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran
yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran
semata. Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan
untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia
diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Berdasarkan definisi tersebut, MUI pun membuat ketentuan hukum, yaitu bahwa:
Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama … adalah paham yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham
pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. Dalam masalah akidah dan ibadah, umat
Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan akidah dan ibadah
umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Bagi masyarakat Muslim
yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang
tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap
melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling
merugikan.
Berdasarkan perkembangan yang sangat penting dan crusial berkaitan dengan tiga
konsepsi ini: sekularisme, libe ralisme dan pluralisme di Indonesia, dan kaitannya dengan
masalah aktual belakangan ini, yaitu kebebasan beragama, maka buku akan

1
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 7/MUNAS VII/ MUI/II/ 2005 tentang Pluralisme, Liberalisme
dan Sekularisme Agama, 29 Juli 2005. Juga lihat, wawancara dengan KH. Ma’ruf Amin, Jakarta, 30 April 2008. KH.
Ma’ruf Amin pada waktu fatwa MUI ini dikeluarkan adalah Ketua Majelis Fatwa MUI. Kini ia adalah Wakil Presiden
RI
memfokuskan pada “Pemikiran Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme pada Kalangan
Intelektual Islam Progresif”.

3. Critical Review terkait dengan isi dalam buku pada bab 1


Beberapa landasan telah diterakan dalam mereview buku dalam bab 1 ini. Hal
yang perlu ditegaskan bahwa pada bab 1 dalam buku ini memang tengah ingin
menegaskan bahwa paham sekularisme, liberalisme dan pluralisme keagamaan secara
substansial adalah bagian integral dari spirit Islam dan sangat penting, bahkan merupakan
suatu keharusan dikembangkan dewasa ini untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang adil, terbuka, dan demokratis. Akan tetapi, hanya beberapa literasi dan lebih
mendominasi ke bagian retorika dari pemahaman barat sedangkan tidak dikomparasi
secara equal serta membahas terkait dengan fatwa yang berketimpangan, akan tetapi
perlu digaris bawahi bahwa harus adanya pendekatan komparasi yang seimbang seperti
hal terkait dengan fatwa bahwa fatwa itu sendiri pada hakikatnya tak lebih dari sebuah
pendapat dan pemikiran belaka dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh
diikuti atau diabaikan sama sekali. Pendeknya fatwa bersifat tidak mengikat. Justru,
menurutnya, cara-cara yang ditempuh MUI melalui fatwa-fatwanya semakin mem-
persempit ruang gerak teks agama atau al-Qur’an sendiri. Al-Qur’an terkurung dalam
perangkap penafsiran MUI, karena penafsiran yang diproduksi terutama oleh kelompok-
kelompok non-mainstream dianggap pinggiran dan tidak resmi sehingga perlu dirapikan
dan ditertibkan dengan sejumlah fatwa ini.2 Padahal, fatwa tidak boleh melanggar prinsip
hak asasi manusia yang dibela Islam sejak mula. Prinsip itu antara lain hak untuk
memeluk suatu agama atau keyakinan, termasuk hak untuk mengikuti jejak tafsir tertentu
dalam Islam”.3 Inilah tantangan yang paling berat dalam pluralisme, apabila keragaman
ini tidak bisa dijadikan fondasi untuk membangun kebersamaan. Harus diakui, bahwa
fatwa MUI ini telah menjadi salah satu bolduser yang merusak kebhinnekaan. Fatwa
MUI telah membunuh khazanah pluralisme atau keragaman yang ada pada bangsa ini.”4
Akan tetapi ada beberapa tingkat positif yang dibahas oleh buku ini yaitu
sejauhmana argumen (atau tepatnya: konseptualisasi) sekularisme, liberalisme dan

2
Abdul Moqsith Ghazali, “Oligarki Penafsiran Agama”, h. 24
3
Abdul Moqsith Ghazali, “Metodologi Berfatwa dalam Islam”, h. 129
4
Zuhairi Misrawi, Jakarta, 2008.
pluralisme telah dikembangkan oleh para pemikir Islam Progresif di Indonesia? Dan juga
sejauhmana mereka telah menggunakan kekayaan teks dalam tradisi Islam dan pemikiran
modern. Secara lebih khusus, sejauh mana argumen sekularisme, liberalisme dan
pluralisme ini disadari merupakan fondasi perlindungan kebebasan beragama di
Indonesia sekarang ini. Selain itu, sejauh mana usaha-usaha yang telah dilakukan oleh
para pemikir Islam Progresif di Indonesia dalam mewujudkan argumen untuk
sekularisme, liberalisme dan pluralisme itu?
Selain itu, buku ini merupakan buku kajian filsafat yang cukup paradigmatik.
konsep besar seperti Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme sebagai narasi-narasi
besar dalam kajian Filsafat digali lebih intens dalam buku ini, tiga narasi besar filsafat
tersebut kemudain disandingkan dengan Islam. Islam dalam hal ini sebagai salah satu
ajaran yang luhung, dan pandangan tokoh-tokoh Islam yang menganggap masih terdapat
benang merah antara keislaman dengan tiga narasi besar tersebut.

Anda mungkin juga menyukai