Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


“Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila diajak kepada Allah dan
rasul-Nya agar menghukum diantara mereka, mereka berkata “kami mendengar
dan kami ta’at.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.An-
nur(24) : 51).
Unsur utama pembentuk akhlak islami adalah taat kepada Allah dan Rasul-
Nya. Tanpa taat tidak akan muncul akhlak, tanpa akhlak tidak akan ada iman,
dan tidak ada islam, kemudian tidak ada sunah, lalu tidak ada al-qur’an.
Taat kepada Allah berarti menaati atau patuh terhadap segala perintahnya dan
menjauhi larangannya. Mengenai ketaatan tidak akan jauh dari istilah
ketaqwaan. Asal lafal taqwa adalah wiqayah (penjagaan) antara dirinya dan
neraka. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam buku wanita yang dirindukan
surga,2009:70). Maksud dari penjagaan/pemeliharaan adalah memelihara
hubungan baik dengan Allah Swt. dan memelihara diri daripada sesuatu yang
dilarangNya.
Oleh sebab itu, ketaatan erat kaitannya dengan mematuhi hukum yang telah
ditentukan oleh allah Swt. dengan mentaati perintah allah berarti seorang
manusia atau mukallaf sedang menjauhi hukuman dari allah Swt. yang akan
diberikan di akhirat kelak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan hukum ?
2. Apakah itu perintan dan makna dari larangan tuhan ?
3. Siapakah mukalaf itu ?
4. Apakah yang dimaksud dengan ketaatan kepada tuhan ?

1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui ketaatan pada
hukum tuhan dan mengetahui perimtah yang harus kita taati atau kita lakukan
serta mngetahui larangan apa saja yang harus kita hindari. Dan dalam pembutan
mkalah ini juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang
masalah perintah dan larangan tuhan serta bagaimana cara mentaati kepada
hukum tuhan.

2
BAB II
KETAATAN PADA HUKUM TUHAN

A. PENGERTIAN

1. Hukum
Dalam KBBI hukum memiliki beberapa pengertian.Pertama, hukum adalah
peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku
oleh dan untuk orang banyak.Kedua, hukum adalah segala undang-
undang,peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup di
masayarakat. Ketiga, hukum adalah ketentuan (kaidah,patokan) mengenai
sesuatu peristiwa atau kejadian (alam dan sebagainya). Keempat, hukum adalah
keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim (di pengadilan). W.J.S
Poerwadarminta, kamus besar bahasa indonesia, (jakarta: balai pustaka,1991),
halaman 363-364.
Berdasarkan pengertian di atas, ada beberapa aspek yang terkait dengan
hukum,.Pertama, aspek isinya, yaitu peraturan, undang-undang, ketentuan,
kaidah, patokan dan keputusan (pertimbangan).Kedua, aspek pembuatnya, yaitu
sebuah kekuasaan yang dalam hal ini dapat berbentuk pemerintah, maupun
pemangku adat.Ketiga, aspek tujuannya yaitu untuk mengatur pergaulan hidup
di masyarakat,peristiwa atau kejadian. Keempat, aspek penggunanya, yaitu
hakim yang bertugas di pengadilan. Dalam kedudukan ini, seorang hakim
memutuskan suatu perkara berdasar undang-undang atau peraturan yang telah
ada, misalnya KUHP (kitab undang-undang hukum pidana), atau ia membuat
sebuah produk ketetapan yang mengikat seseorang yang menjadi sasaran atas
keputusan tersebut.
Di dalam ajaran islam, istilah hukum biasanya diwakili oleh istilah fikih. Secara
harfiah, fikih berarti paham atau memahami sesuatu secara
mendalam.Sedangkan secara istilah dan redaksional, fikih memiliki pengertian
yang bermacam-macam. Ulama-ulama hanafiyah berpendapat , bahwa fikih
adalah ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan
dengan amalan para mukalaf. Selanjutnya al-jurjani, ulama mazhab hanafi

3
berpendapat, fikih ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syarak yang
amaliyah dan diambil dari dalil-dalilnya yang sangat rinci.Sementara itu,
pengikut-pengikut imam syafi’i mengatakan, fikih adalah ilmu yang
menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para
mukalaf, yang dikeluarkan (dinisbatkan) dari dalil-dalil yang jelas. Selanjutnya
imam ghazali berkata : “ fikih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syarak yang tertentu bagi perbuatan-peebuatan para mukalaf, seperti wajib,
haram, mubah, sunah, makruh, sahih, fasid, bathil, qadha, ada’, dan sebagainya.
Selanjutnya, muhammad ali al-thanthawi berpendapat, fikih adalah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syarak yang amaliyah dan diambil dari dalil-
dalilnya yang rinci. Sementara itu, ibnu khaldun berpendapat bahwa fikih adalah
ilmu yang dengannya diketahui segala hukum allah yang berhubungan dengan
segala pekerjaan mukalaf, baik yang wajib, haram, makruh, dan yang harus
(mubah) yang diambil ( diistinbatkan) dari al-qur’an dan sl-sunnah dan dari
dalil-dalil yang telah ditegakkan syara. Sementara itu, jalaludin al-mahali,
berpendapat bahwa fikih adalah ilmu yang menerangkan hukum0hukum syara’
(ilmu yang menerangkan segala hukum syara’) yang berhubungan dengan
amaliah yang diusahakan memperolehnya dari dalil-dalil yang jelas
(tafshili)).Dalam pada itu imam ibnu hazm berpendapat, fikih adalah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syariat yang diambil dari al-quran dan dari kalam
rasul yang diutus membawa syariat, yang hanya darinya, hukum-hukum itu
menjelaskan maksudnya.Fikih juga berarti mengetahui hukum-hukum al-quran,
nasikh, mansukh, hukum-hukum perkataan rasul, yang shahih dan yang tidak
shahih. Dan juga menerangkan apa yang diijmakan ulama, apa yang mereka
perselisihkan, dan cara mengembalikannya kepada al-qur’an dan al-sunnah.
Selanjutnya abdus salam al-qabbani berpendapat, fikih adalah ilmu yang
menerangkan segala hukum syarak, yang didasarkan pada dalil-dalilnya yang
jelas (tafshili).
T.M. Hashbi ash-shiddieqy, pengantar hukum islam, jilid I, (jakarta : Bulan
Bintang,1980),cet.IV, halaman 22-28.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas, dapat diketahui hal-hal sebagai
berikut :

4
Pertama, dilihat dari segi kedudukannya, fikih adalah merupakan sebuah ilmu,
sebagaimana ilmu-ilmu agama islam lainnya. Sebagai sebuah ilmu, fikih
memiliki syarat rukun dan ketentuan yang lazimnya bagi sebuah ilmu, yaitu ada
ruang lingkup, metodologi, sasaran, kegunaan, dan tokoh yang
mengembangkannya.
Kedua, dilihat dari sumbernya, fikih bersumberkan pada dalil-dalil al-qur’an dan
al-sunnah yang jelas dan terperinci, kemudian dilengkapi dengan dalil yang
bersumber dari hasil ijtihad (berpikir keras) yang dapat mengambil bentuk ijma’
ulama, qiyas (analogi), maslahah, istihsan, ‘urf, istishab dan syariat sebelum
islam (syar’u man qablana).
Ketiga, dilihat dari segi isinya, fikih berisi ketentuan dan ketetapan mengenai
kewajiban, yaitu hukum syarak yang bersifat perbuatan (amaliah) yang dapat
mengambil bentuk wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, sahih, fasid, bathil,
qadha dan ada. Di kalangan para ulama ada yang membagi hukum syarak ini ke
dalam 2bagian besar, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Keempat, dilihat dari segi sasarannya, fikih diperuntukkan bagi orang-orang
mukalaf, yaitu orang-orang mukmin yang telah mencapai usia dewasa serta sehat
jasmani dan rohaninya.
Kelima, dilihat dari segi proses penetapannya (istimbatnya), fikih diproses
melalui berpikir keras (ijtihad) para ulama, yang selain memiliki persyaratan
akademik keilmuan, juga persyaratan integritas moral dan kepribadian yang
mulia. Dengan ciri yang kelima ini, betapapun hebatnya, fikih tetap merupakan
hasil pemikiran manusia yang selain memiliki kelebihan juga memiliki
kekurangan.
Keenam, dilihat dari segi sifat dan coraknya, fikih mencakup hukum taklifi dan
hukum wadh’i, hukum taklifi adalah tuntutan untuk dikerjakan oleh para
mukalaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara
dikerjakan atau ditinggalkan. Hukum taklifi terbagi lima, yaitu :
1. Ijab, yaitu khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang pasti. Efek dari khitab (perintah) ini disebut wujud dan
perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan disebut wajib atau fardhu. Yang

5
termasuk ke dalam ijab ini antara lain perintah mengerjakan shalat sesuai waktu
yang ditentukan. (lihat QS An-nisa, 4 : 103);
2. Nadb, ialah seruan syarak yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan. Efek dari seruan ini disebut nadb
dan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan secara sukareka ini disebut
mandub atau sunnah ;
3. Tahrim, yakni khitab syarak yang menuntut untuk ditinggalkan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Efek dari khitabah tersebut dinamai
hurmah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut haram atau
mahzhur.
4. Karahah, yaitu khitab syarak yang menuntut untuk meninggalkan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas. Efek dari khitab ini disebut karahah,
dan perbuatan yang dituntut untu ditinggalkannya disebut makruh
5. Ibahah, yaitu khitab yang mengandung hak pilihan bagi orang mukalaf
antara mengerjakan atau meninggalkannya. Efek dari khitabah ini disebut
ibahah, sedang perbuatan yang diperkenankan untuk dikerjakan atau
ditinggalkan itu disebut mubah, jaiz atau halal.
Adapun hukum wadh’i adalah khitab syarak yang mengandung pengertian
bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebab, syarat atau penghalang sesuatu.
Dilihat dari segi bentuknya,hukum wadh’i ini meliputi :
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani’
4. Rukhshah
5. Azimah
6. Sah dan batal
1. Syariat islam berarti hukum syari’at atau hukum syara’, sedangkan fikih
islam berarti hukum fikih atau kadang-kadang hukum islam.
Pada prinsipnya, syaria’at adalah wahyu allah yang terdapat dalam al-qur’an dan
sunnah (hadits). Syaria’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang
lebih luas dari fikih, berlaku abadi, dan menunjukan kesatuan dalam islam.
Sedangkan fikih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang

6
syariat sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fikih. Karena itu, sifatnya
instrumental, ruang lingkupnya terbatas, tidak berlaku abadi, dapat berubah dari
masa ke masa, dan dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain.
(daud, ali M, 1999, 45-46).
2. Ruang lingkup hukum islam
Hukum islam baik dalam pengertian syari’at, maupun fikih dapat dibagi dalam
dua bagian, yaitu ibadah dan mu’amalah. Ibadah adalah aktifitas seorang
mukmin yang bersifat vertikal (hubungan manusia dengan tuhannya) secara
ritual yang tatacara dan pelaksanaannya telah diatur dengan rinci oleh allah dan
rasulnya (dalam hadits), yaitu shalat, zakat, dan haji.
Adapun mu’amalah adalah ketettapan-ketetapan allah yang mengatur hubungan
manusia dengan lainnya yang terbatas pada aturan-aturan pokok, dan tidak
seluruhnya diatur secara rinci sebagai ibadah. Oleh karena itu, sifatnya terbuka
untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk
melakukan usaha itu (Daud, Ali M,1999;49).

 Sistematika hukum islam :


1. Hukum perorangan/keluarga. Mencakup masalah perkawinan, waris.
Yang berkaitan dengan hukum ini berjumlah 70ayat.
2. Hukum perdata. Hukum ini berkaitan dengan transaksi jual-beli,
perburuhan, utang piutang, jaminan, gadai. Ayat yang berhubungan
berjumlah 70ayat.
3. Hukum pidana. Hukum ini berkaitan dengan pelanggaran dan kejahatan.
Ayat yang berkaitan berjumlah 30ayat.
4. Hukum acara. Hukum ini berkenaan dengan peradilan, kesaksian,
pembuktian, sumpah, ayat ini berjumlah 13 ayat.
5. Hukum tata negara. Hukum ini berkaitan dengan sistem pemerintahan
dan prinsip-prinsip peraturannya. Ayatnya berjumlah 10ayat.
6. Hukum internasional. Berkaitan dengan hubungan antar negara,
kerjasama, perdamaian. Ayatnya berjumlah 25.

7
7. Hukum perekonomian dan keuangan. Berkaitan dengan pendapatan
negara, baitul maal, dan pendistribusiannya pada masyarakat. Ayatnya
berjumlah 10ayat. (abdul Wahab khalaf,1973:32-34).

 Susunan mu’amalah dalam arti luas seperti diibawah ini :


1. Munakahat, ialah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya.
2. Waratsah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris.
Ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan. Disebut juga
faroid.
3. Mu’amalaat dalam arti khusus ialah hukum yang mengatur masalah
kebendaan dan hak-hak atas benda, jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam, perseroan.
4. Jinayat memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-pebuatan yang
diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud, qishos, ataupun
ta’zir.
5. Hukum-hukum yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kepala
negara, pemerintahanm baik pemerintahan pusat maupun daerah, pajak.
6. Siyar ialah hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
7. Muhashanat, mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan hukum acara
8. (Daud, Ali M, 1999; 51-52).

3. TUJUAN HUKUM ISLAM


Secara umum adalah dar-ul mafaasidiwa jalbul mashaalihi (mencegahterjadinya
kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan).Mengarahkan manusia kepada
kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup mereka dunia dan akhirat, dengan
jalan mengambil segala yang berguna dan mencegah atau menolak yang
madlarat, yang tidak beguna dalam kehidupan manusia.
As-sunnah/hadits mempunyai relasi yang erat terhadap keberadaan al-
qur’an.Karena sunnah/hadits merupakan dasar operasional dalam memahami
hukum-hukum al-qur’an.

8
1. As-sunah sebagai penguat al-qur’an
Artinya sunnah berfungsi sebagai pengatur pesan-pesan atau aturan-aturan yang
tersurat dalam ayat-ayat al-qur’an, misalnya, al-qur’an menyebutkan suatu
kewajiban dan larangan, lalu rasul dalam sunnahnya menguatkan kewajiban dan
larangan tersebut. Dalam hal ini sunnah berperan sebagai berikut :
 Menegaskan kedudukan hukum, seperti penyebutan hukum wajib/fardhu.
 Menerangkan posisi kewajiban atau larangan dalam syari’at islam
 Menjelaskan sangsi hukum bagi pelanggarnya.
2. As-sunnah sebagai penjelas al-qur’an
Artinya, as-sunnah memberikan penjelasan terhadap maksud ayat antara lain
 Menjelaskan makna yang rumit dari ayat al-quran, misalnya QS.2 : 238
(Shalat wustha, yang dimaksud adalah shalat ashar)
 Mengikat makna-makna ayat yang bersifat lepas “taqyid al-mutlaqah” dari
ayat a-quran. Misal tentang hukum potong tangan bagi pencuri (QS.5:38),
pengertian tangan yang dimaksud adalah pergelangan tangan.
 Mengkhususkan ketetapan-ketetapan yang disebut al-al-quran secara umum
takhshish al-‘am. Misal, allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba(QS.2:275). Jual beli sifatnya umum, maka rasul melarang (khusus) jual
beli yang tidak jelas benda/objeknya, waktu, tempat, harga (H.R.Muslim).
 Menjelaskan ruang lingkup masalah yang terkandung dalam nash-nash al-
qur’an.
 Mennjelaskan mekanisme pelaksanaan dan hukum-hukum yang ditetapkan
al-quran.
3. As-sunnah sebagai pembuat hukum
Artinya sunnah menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh al-qur’an.
Misalnya, al-qur’an menyebutkan empat macam makanan yang haram (QS.5:3)
kemudian rasul menetapkan ketetapan baru dengan melarang (memakan) semua
binatang buas, yang bertaring dan burung yang berkaki penyambar
(HR.muslim).

9
4. Definisi Taqwa
Syaikh islam ibnu taimiyah mengungkapkan,”takwa mencakup perbuatan yang
diperinttah allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya”.
Pengarang Al Mufradaat mengatakan,”takwa menurut syara’ adalah menjaga diri
dari perbuatan dosa dengan meninggalkan yang dilarang.”
Bisa juga diartikan bahwa takwa adalah menjaga diri dari perbuatan dosa, dan
dosa itu akan mendatangkan siksaan, dengan mengerjakan yang wajib dan
meninggalkan yang haram menurut syara’.

5. Definisi Iman
Iman adalah tunduknya jiwa kepda kebenaran dengan membenarkannya dan
mempunyai syarat yang integral; pertama, pembenaran dengan hati, kedua,
pengakuan dengan lisan.Ketiga, mengamalkannya dengan anggota
tubuh.Masing-masing dari ketiga perkara ini yaitu akidah, perkataan yang benar
dan amal shalihah, dapat dikatakan iman. Allah berfirman,”
dan allah tidak akan menyia-nyiakan iman mu.” (QS.al-baqarah : 143) yakni,
shalatmu.
Firman allah,”dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun
kami adalah orang-orang yang benar.”(QS.yusuf (12): 17) yakni membenarkan
kepada kami.
6. Definis Amal Saleh
Amal shaleh adalah setiap perbuatan yang datang dari makhluk hidup dengan
sengaja.Amal ini lebih spesifik daripada perbuatan karena perbuatan terkadang
dinisbatkan kepada makhluk hidup yang tanpa sengaja, dan terkadang
dinisbatkan kepada benda tidak bergerak.
Adapun amal sedikit sekali dipakai untuk benda mati,dan amal tidak pernah
dipakai untuk binatang,kecuali perkataan mereka,”Al Baqar Al ‘Awamil (sapi
pekerja)”. Amal dipakaiuntuk amal yang baik dan amal yang buruk.Allah Ta’ala
berfirman,”sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh”. (QS .
Maryam (19):96) Firman Allah pula,”orang-orang yang mengerjakan
kejahatannya,kemudian bertaubat sesudah itu ...” (QS. Al’araaf(7):153).

10
B. PERINTAH DAN LARANGAN BESERTA CAKUPAN MAKNANYA
1. Pengertian perintah AMR
1). Definisi Perintah
Kata perintah dalam Bahasa Arab adalah Amr. Kata Amr menurut bahasa berarti
perintah melakukan sesuatu,kedaan,urusan, sesuatu, sedangkan menurut Istilah
adalah : “( Perintah adalah lafal yang menunjukan atas tuntutan pekerjaan dari
pihak atas.)
Maksudnya adalah bahwa manusia itu di berikan amanat dalam bentuk perintah
yang manusia itu harus mematuhinya dan mengerjakanya agar kita semakin
dekat dengan sang Maha Kuasa, maksudnya tuntutan pekerjaan adalah kita
mengerjakan segala perintah-perintahnya misalnya dalam artian beribadah,
seperti shalat, zakat, puasa, berbakti kepada kedua orangtua dan lain-lain.
Al-Ghazali mendefinisikan Amr dengan:
“ perkataan yang menuntut ketaatan orang yang diperintah untuk mengerjakan
sesuatu yang diperintahkan. “
Maksudnya adalah bahwa orang yang diperintah itu harus menuntut untuk
melaksanakan apa yang diperintahnya karena perinta itu merupakan anjuran
untuk dilaksanakan.

1). Bentuk-bentuk Perintah (Amr)


1. Sighat fi’il Amr, misalnya firman Allah Swt:
“ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-
benar takwa kepada-Nya.” (Q.S Ali Imran 3:102).
2. Sighat mudhari’ yang disertai dengan lam Amr:
“ Agar orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.”(QS.At-
Thalaq 65:7)
3. Kalimat khabar yang dimkasud untuk menuntut, seperti firman Allah
Swt:
“Para Ibu hendaknya meyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh.”(QS.
Al-Baqarah 2: 233)

11
1) Makna-makna perintah (Amr)
Jumhur ulama berpendapat bahwa Amr itu meunjukkan arti wajibnya sesuatu
yang diperintahkan dan tidak di palingkan dari makna wajib kepada makna lain,
kecuali dengan qarinah yang menunjukan terhadap hal itu.
Dari sisi syara’ Amr yang berarti wajib itu berakibat terhadap orang yang
melanggarnya medapat dosa dan siksaan dengan bukti bahwa syara’ mencela
orang yang meninggalkan kewajiban dan syara’ menyebutnya sebagai
‘ashi(orang yang durhaka).
Amr untuk arti selain wajib kadang-kadang bermakna:
(a). Wajib
Wajib merupakan perintah yang harus dilaksanakan oleh semua manusia yang
beriman yang jika mengerjakanya mendapatkan pahala dan jika meninggalkan
akan mendapatkan dosa dan azab yang sangat pedih.
(b). Nadb/sunnah,
Sunnah merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Rasululah yaitu
segala ucapan, perbuatan dan tingkah laku Rasulullah dalam menjalankan
kehidupan, yang jika mengerjakan akan mendapat pahala dan jika meninggalkan
pun tidak menimbulkan dosa.
(c). Iltimas, seperti ucapan kepada orang yang sama dengan anda
Contoh: berikan aku pulpen, wahai saudara!
(d). Ta’jiz (melemahkan)
Merupakan suatu firman Allah Swt yang di tunjukan kepada kaum kafir yang
menganggap bahwa Al-Quran di buat oleh Rasulullah, maka turunlah ayat yang
ditujukan kepada kaum kafir yang perintahnya yaitu buatlah satu surat yang
semisal Al-Quran.
(e). Ibahah (membolehkan)
Merupakan membolehkan suatu hal yang berhubungan baik dengan islam.
(f). Taswiyah (mempersamakan)
Merupakan bahwa semua manusia di muka bumi ini sama, yang
membedakannya hanyalah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt.

12
(g). Ikram (menghormati atau memuliakan)
Maksudnya kita sebagai umat muslim harus saling menghormati kepada semua
makhluk hidup yang ada di bumi dan janganlah merendakan orang lain.
(h). Imtinan (memberikan karunia)
Merupakan bahwa Allah sering sekali memberikan karunia kepada semua
hamba-hambanya seperti misalnya diberi rezeki dan di berikan nikmat sehat.

A. LARANGAN (NAHL)
1. Pengertian Larangan
Larangan dalam bahasa Arab adalah Nahi.Kata nahi menurut bahasa artinya
adalah mecegah, sedangkan menurut istilah adalah tuntutan untuk meninggalkan
perbuatan dengan perkataan dari pihak atas.Pihak atas disini adalah seperti
firman Allah Swt.
Muhamamad Zaki Abd Al-Bar mendefinisikan nahi dengan:
“sesuatu yang mendorong untuk mengosongkan perbuatan.”Maksudnya adalah
bahwa dalam hidup ada sebuah larangan dan kita harus menjauhinya agar kita
hidup tanpa dosa, dan maksud mengosongkan perbuatan itu berarti kita harus
meninggalkan semua hal-hal yang berkaitan dengan dosa.
Dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa nahi adalah tuntutan atau
dorongan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan yang datangnya dari pihak
atas.

2. Bentuk-bentuk Larangan (Nahi)


a) Menggunakan lafal tahrim (pengharaman), seperti firman Allah Swt.
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,......” (QS Al-Maidah 5:3)
b) Menggunakan lafal “tidak halal”, seperti firman Allah Swt.
“ tidak halal bagimu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka. “(QS.Al-Baqarah 2:229).
c) Menggunakan perintah untuk meninggalkan, seperti firman Allah Swt.
“dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi.” (QS.Al-An’am
6:120).

13
d) Menggunakan lafal “melarang”, seperti firman Allah Swt.
“dan Allah melarang dari keji dan kemungkaran.” (QS.An-Nahl 16:90).

3. Makna-makna larangan (Nahi).


Jumhur Ulama berpedapat bahwa makna nahi secara hakiki adalah untuk
mengharamkan. Sedangkan makna selain itu ulama lain menyebut makna hakiki
dengan makna asal, sehingga menurut mereka:”menurut aslinya larangan itu
mengharamkan.”
Alasan yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:
a). Akal yang sejahtera tentu dapat menerima secara pasti tentang keharusan
meninggalkan suatu perbuatan yang terkandung dalam penjelasan nahi.
Suatu yang dilarang adakalanya haram mengerjakannya dan adakalanya hanya
makruh saja, akan tetapi diantara kedua hal tersebut yang sudah di yakini adalah
makruh, karena orang yang melarang suatu perbuatan dilakukan, paling minim
orang itu tidak menyukai perbuatan itu dilakukan. Tidak menyukai itu bukan
berarti mengharamkan.
Bagi orang yang yang melanggar larangan dengan arti haram, maka orang
tersebut mananggung dosa dan siksaan sebagaimana orang yang meninggalka
perintah.

B. MUKALLAF
1. Pengertian Mukallaf
Mukallaf bisa juga disebut sebagai subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang
yang dituntut oleh Allah Swt untuk berbuat dan segala tingkah lakunya
diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah Swt. Jelasnya Mukallaf adalah orang-
orang yang dibebani hukum. Para ulama ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum
alaihi adalah mukallaf yang dituntut oleh hukum untuk suatu perbuatan, jadi
mukallaf itu merupakan devinisi lain dari mahkum alaihi. Dalam paradigma
hukum, Mukallaf secara bahasa adalah secara bahasa bentuk ism al-ma’ful dari
fi’il al-madli “kallafa” yang bermakna memebebanka.Maka, kata Mukallaf
berarti orang yang dibebani hukum.

14
Muhammad Abu Zahrah medefinisikan mahkum alaih dengan “orang mukallaf”
karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau di tolak, dan
termasuk atau tidak dalam cakupan perintah dan larangan. Dalam ilmu ushul
fikih Mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baik
yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya, semua yang
berkaitan dengan seluruh aktivitas Mukallaf memiliki implikasi hukum, dan
karenanya harus dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.
Secara istilah, Mukallaf adalah “ seorang manusia yang mana pelakunya itu
bergantung dengan ketentuanal-syari’ atau hukumnya.”
Dari sini dapat difahami bahwa mukallaf adalh orang yng telah dianggap mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah Swt maupun
larangan-Nya, semua yang berkaitan dengan seluruh aktivitas Mukallaf memiliki
implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggungjawabkan, baik di dunia
maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah
Swt, begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum taklifi yang sudah
diterangkan.

2. Syarat-syarat Mukallaf
a. Akil
Akil merupakan yang jika di artikan dalam bahasa Indonesia adalah akal sehat
yang berarti syarat mukallaf akil adalah orang itu berakal sehat dan mampu
untuk menjalankan perintah-Nya.
b. Baligh
Merupakan suatu orang yang usia nya telah cukup untuk menjalankan syariat
agama, menurut kriteria umur seorang laki-laki dikatakan baligh pada umur 15
tahun dan jika untuk perempuan pada umur 9 tahun. Menurut ciri-ciri fisik yang
di alami tubuh untuk laki-laki adalah pernah mengalami mimpi basah dan untuk
perempuan ditadai dengan menstruasi.
c. Mumayyiz
Mumayyiz adalah orang tersebut sudah bisa membedakan antara yang baik
untuk dirinya dan yang buruk untuk dirinya. Karena dengan semakin matang
usia manusia pasti dapat membedakannya.

15
d. Sampai dakwah / sampai seruan
Maksudnya disini adalah bahwa orang itu sudah mengetahu tentang perintah-
perintah dan larangannya misalnya melalui sekolah atau adanya tontonan
dakwah yang biasa disiarkan di TV atau mengikuti lembaga dakwah yang ada di
sekitar daerahnya. Apalagi jaman sekarang sudah canggih pasti banyak ilmu
yang lebih ia dapatkan.

C. KETAATAN KEPADA ALLAH


Ketaatan kepada allah bersifat mutlak. Allah Swt adalah sumber syariat
dan landasan ketaatan. Oleh karena itu semua perintah ketaatan kepada siapapun
harus bersumber dan berlandaskan syariat Allah Swt dan atas izin-Nya.
Ayat-ayat perintah tentang ketaatan kepada Allah Swt. sungguh sangat banyak,
misalnya Q.S Al- Anfal : 20 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar perintah-
perintah-Nya.”
Dari beberapa ayat, kita dapat menyimpulkan bahwa ketaatan adalah termasuk
karakter orang-orang yang beriman.

16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi, sebagai seorang muslim atau mukallaf wajib mentaati perintah allah
Swt. dan menjauhi segala larangannya agar terhindar dari siksaan di akhirat
kelak. Hukum Allah jelas tertera dalam ayat suci al-Qur’an dan diperjelas di
dalam as-sunnah atau hadist rasulullah Saw. Ketaatan seseorang sangat
ditentukan dengan ketakwaannya terhadap allah Swt. dan akan mendapat
balasannya yaitu surga. Sebaliknya bagi orang-orang yang tidak menaati aturan
allah Swt. maka mendapat siksaan di neraka. Nauuzubillah min dzalik.
3.2 Saran
Bertakwalah kepada Allah Swt. karena sebagai manusia, kita tidak
berhak membangkang terhadap segala yang telah menjadi hukum dan ketetapan
Allah Swt yang bersifat mutlak.

17

Anda mungkin juga menyukai