Chapter I
Chapter I
PENDAHULUAN
berkembang serta mampu beraktivitas dan memelihara kondisi tubuhnya. Untuk itu
bahan pangan atau biasa kita sebut dengan “makanan” perlu diperhatikan jenis dan
mutunya agar aman dikonsumsi. Makanan pada umumnya tersusun atas air, protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, serat dan mineral. Komponen tersebut berperan penting
dalam memberikan karakter terhadap makanan baik sifat fisik, kimia maupun
fungsinya. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi di bidang pangan, berbagai jenis
makanan dapat dibuat lebih awet, lebih menarik, lebih aman, lebih enak serta praktis
tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit
teknis yang ditetapkan terhadap produk rumah makan dan restoran, personel dan
merupakan salah satu upaya untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap hasil
disebutkan dalam sistem kesehatan nasional. Salah satu upaya yang diprogramkan
yang luas, salah satu diantaranya adalah higiene sanitasi makanan (Depkes, 2004)
dengan Bahan Tambahan Makanan (BTM) adalah bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan kandungan khas makanan.
Bahan tambahan makanan tersebut mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang
bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai
bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu
logam berat pada zat pewarna tesebut. Timbulnya penyalahgunaan tersebut antara lain
disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan
disamping itu harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan
harga zat pewarna untuk pangan. Hal ini disebabkan bea masuk zat pewarna untuk
bahan pangan jauh lebih tinggi daripada zat pewarna bahan nonpangan. Lagi pula,
warna dari zat pewarna tekstil atau kulit biasanya lebih menarik (Cahyadi, 2009).
pewarna yang dilarang digunakan dalam makanan, pewarna yang diizinkan serta batas
masyarakat terutama produsen pangan menggunakan bahan pewarna yang dilarang dan
berbahaya bagi kesehatan. Sebagai contoh sering ditemukan pada kasus pada IRTP
(Industri Rumah Tangga-Pangan) menggunakan pewarna untuk tekstil atau cat yang
umumnya berwarna cerah, lebih stabil selama penyimpanan serta harganya lebih
murah namun mereka belum mengetahui dan menyadari bahaya dari pewarna tersebut
(Nur’an, 2011).
Jenis olahan berbahan baku kedelai berupa tempe maupun olahan lain terus
berkembang setiap tahunnya. Berbagai macam olahan kedelai kini sudah banyak
tersedia, baik dipasar tradisional maupun di pasar modern. Saat ini olahan tersebut
tidak hanya dianggap sebagai panganan murah, tetapi juga sebagai salah satu alternatif
pangan sehat yang penjualannya sudah mulai meningkat di Indonesia, bahkan mulai
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Valentine (2009) diketahui dari 12 sampel
terdapat 1 sampel kue apem mengandung zat pewarna yang tidak di izinkan yaitu
izinkan tetapi melebihi kadar penggunaan, dan 6 sampel yang lain mengandung zat
pewarna yang di izinkan dan memenuhi syarat kesehatan. Begitu juga dengan hasil
penelitian Sonianjar (2007) diketahui dari 12 sampel manisan jambu biji ada 8 sampel
yang mengandung pewarna Green S, Penelitian yang dilakukan oleh Tresniani (2003),
pewarna tekstil. Saat menaburi kedelai dengan ragi, produsen tempe menggunakan
Pewarna tekstil mengandung zat kimia berbahaya dan diklasifikasikan sebagai bahan
Sampel tempe yang dicurigai mengandung zat kimia berbahaya, berupa tempe
yang siap dipasarkan maupun dalam bentuk olahan, diuji di laboratorium Dinas
Kesehatan Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Hasilnya, dari keempat sampel tempe
yang diuji, ada yang positif mengandung pewarna tekstil, zat kimia bukan untuk
makanan. Tempe yang mengandung zat kimia berbahaya apabila dikonsumsi terus
menerus akan terakumulasi dalam tubuh dan berdampak negatif jangka panjang
tempe yang merupakan industri rumahan dinilai masih amat kurang. Alasan produsen
pewarna secara fisik lebih menarik karena biji kedelai terlihat cerah dan warna tempe
kelurahan Tanjung Sari pada tanggal 02 Desember 2011 menyatakan bahwa ada
produsen tempe lain yang menambahkan zat pewarna sewaktu pengolahan tempe.
Dampak yang terjadi akibat penggunaan zat pewarna metanil yellow dapat
berupa iritasi pada saluran pernafasan, iritasi pada kulit, iritasi pada mata, dan bahaya
kanker pada kandung kemih. Apabila tertelan dapat menyebabkan mual, muntah, sakit
perut, diare, panas, rasa tidak enak dan tekanan darah rendah. Bahaya lebih lanjut
yakni menyebabkan kanker pada kandung dan saluran kemih (Kristanti, 2010).
tentang pelaksanaan higiene sanitasi pengolahan dan pemeriksaan zat pewarna metanil
yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang di jual di Pasar Sei Sikambing Kota
Hasil olahan kedelai berupa tempe yang banyak dikonsumsi oleh berbagai
Berdasarkan bahaya penggunaaan zat pewarna yang tidak diizinkan, maka perlu
dilakukan pemeriksaan zat pewarna metanil yellow pada hasil industri pengolahan
tempe yang dijual di Pasar Sei Sikambing Kota Medan Tahun 2012.
1.3 Tujuan
pemeriksaan zat pewarna metanil yellow pada hasil industri pengolahan tempe yang
8. Untuk mengetahui ada tidaknya zat pewarna metanil yellow pada hasil industri
pengolahan tempe yang dijual di pasar Sei Sikambing Medan tahun 2012.