Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH USHL FIQH

HUKUM MUKHTALAF
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushl Fiqh
Dosen Pembimbing Hauli Haikal, M.Pd.I

Disusun Oleh :

- Rifaldi Pratama (IAT3/U20191111)


- Naily Ulfiah (IAT3/U20191123)
- Hidayatul Ulfa (IAT3/U20191135)
- Nur Laily Rahmawati (IAT3/U20191147)

PROGRAM STUDI ILMU AL QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. atas segala limpahan rahmat, nikmat
serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hauli Haikal, M.Pd.Iselaku
pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat
dalam proses penyelesaian makalah ini, terima kasih juga kami sampaikan kepada
rekan-rekan mahasiswa yang ikut mendukung makalah ini sehingga bisa selesai
pada waktu yang telah ditentukan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Uslh Fiqh dan
berharap agar makalah ini bisa bermanfaat dan menambah pengetahuan rekan-
rekan mahasiswa dan para pembaca yang lain. Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah
ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran rekan-rekan mahasiswa
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Jember, 05 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

A. Istihsan............................................................................................ 2
B. Qoul Shohabiy................................................................................ 3
C. Maslahah Mursalah......................................................................... 4
D. Syar’un Man Qoblana..................................................................... 5
E. Urf .................................................................................................. 6
F. Istihsab............................................................................................ 7
G. Saddud Dzari’ah.............................................................................10

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 13

A. Kesimpulan .................................................................................... 13
B. Saran .............................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada
pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para
ulama dalam mengambil keputusan (istinbat) suatu hukum. Di antara dalil-
dalil hukum tersebut terdapat dalil hukum yang disepakati dan ada yang
diperdebatkan. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang
tidak, akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak
menyepakati adanya dalil hukum Qiyas. Dan ini telah dijelaskan oleh
makalah- makalah sebelumnya.

Sedangkan dalil hukum yang diperdebatkan oleh sebagian ulama ada


yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang
tidak sepakat, maka di sinilah terjadi dua bagian, yang sebagian sepakat dan
yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai
sumber hukum. Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana
saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak
disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil (istinbat) sebuah
hukum dan jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu
hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja macam-macam Hukum Mukhtalaf ?
2. Apa pengertian, sumber hukum dan macam-macam dari Istihsan, Qoul
Shohabiy, Maslahah Mursalah, Syar’un Man Qablana, Al-‘Urf, Istishab,
Saddudz Dzari’ah?
C. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ushl Fiqh.
2. Menjelaskan pengertian, sumber hukum dan macam-macam dari
Istihsan, Qoul Shohabiy, Maslahah Mursalah, Syar’un Man Qablana,
Al-‘Urf, Istishab, Saddudz Dzari’ah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap sesuatu lebih baik
atau mencari kebaikan. Menurut ulama ushul fiqh, Istihsan ialah berpaling
pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum lain
karena ada alasan yang lebih kuat. Imam asy-Syarkhasi dalam kitabnya
“al-Mabsut”, menyimpulkan bahwa istihsan ialah menghindarkan
kesulitan demi kemudahan. Sebab kemudahan merupakan unsur pokok
atau prinsip dalam agama1.
2. Dasar Hukum Istihsan
Firman Allah :

‫يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العس‬


Yang artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.”
Juga Sabda Nabi Muhammad :

‫خير دينكم اليسر‬


Yang artinya : “Sebaik-baik agamamu adalah kemudahan.”
3. Macam- macam Istihsan
Di lihat dari ma’aridhnya (dalil lain yang bertentangan), istihsan ini
terbagi menjadi tiga macam :
a. Istihsan Sunnah, yaitu Istihsan yang disebabkan oleh adanya
ketetapan sunnah yang mengharuskan meninggalkan dalil Qiyas
pada kasus yang bersangkutan. Contohnya yaitu : ketetapan ijma’
tentang sahnya akad istihsna’ (perburuhan atau pesanan). Menurut

1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih (Jakarta, Pustaka Jaya2011), hlm. 406.

2
3

b. qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran (objek) akad tidak
ada ketika akad itu dilangsungkan.
c. Istihsan Ijma’, yaitu Istihsan yang meninggalkan
penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama’
yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntutan
qiyas. Contohnya adalah kasus kontrak kerja
pertukaran barang dengan imbalan jasa.
d. Istihsan Dhorurat, yaitu Istihsan yang disebabkan
oleh adanya keadaan dlarurat(terpaksa) dalam suatu
masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk
meninggalkan dalil qiyas. Contonya yaitu:
mensucikan kolam atau sumur yang tidak mungkin
dilakukan jika tetap berpegang pada dalil qiyas.
Dalam hubungan ini, pengarang kitab “Kasyful Asrar”
menerangkan : “untuk mensucikan kolam atau
sumur yang terkena najis, tidaklah mungkin dengan
cara menuangkan air kedalamya. Air yang masuk
kedalam kolam akan menjadi najis lantaran
bersentuhan dengan air yang najis. Demikianlah
seterusnya, saling terkait, hingga semuanya menjadi
najis. Oleh karena itu para ulama’ memilih
menggunakan dalil Istihsan dengan meninggalkan
penerapan dalil qiyas, karena ada dlarurat yang tidak
bisa dihindarkan. Pengaruh dlorurat dengan
demikian, mampu menggugurkan khitab (perintah
atau larangan Allah).2

B. QOUL SHOHABIY
1. Pengertian Qoul Shohabiy

2
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih (Jakarta, Pustaka Jaya2011), hlm. 403.
4

Qoul Shohabiy adalah pendapat sahabat Rasulullah


Saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak
dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan Hadist.
Sedangkan yang dimaksud dengan “sahabat” adalah
setiap orang Islam yang hidup bergaul bersama Nabi dalam
waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasul” 3.
Makna Qoul Shohabiy adalah pendapat yang disampaikan
sahabat tanpa menyandarkannya kepada Rasulullah SAW,
dan tidak memiliki marfu’.
Para sahabat tersebut antara lain: Umar bin Khottob,
Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Umar bin
Khottob, Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Umar, Aisyah dll.

C. MASLAHAH MURSALAH
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu
maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi
didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat atau madharat. Dari sini dapat
dipahami, bahwa maslahat memiliki dua terma yaitu
adanya manfaat ( ‫ ) إجابي‬dan menjauhkan madharat4.(‫)سلبي‬
Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini
menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti
pendapat fuqaha bahwasanya “menghilangkan mafsadat
didahulukan dalam menegakkan maslahat”.Adapun
mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak ‫غيرمقيد‬
yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh
nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan
3
Ibid., hlm. 405.
4
Al Ghazaly, Al Mustarfa, Op cit, juz: 1, hal.139.
5

tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa


menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
2. Dasar Hukum Maslahah Mursalah

‫وما ارسلناك اال رحمة للعا لمين‬


Artinya: “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.(Q.S. Al
Anbiya’:107)

‫ياايها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم‬


‫وشفاء لما في الصدور وهدا ورحمة للمؤمنين‬
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
(Q.S. Yunus: 57)
3. Objek Maslahah Mursalah
Hanya boleh pada urusan adat dan muamalat saja,
tidak pada wilayah ibadat, karena wilayah ini telah di
jelaskan secara jelas dalam Alquran dan Hadis Nabi5.

D. SYAR’UN MAN QOBLANA


1. Pengertian Syar’un Man Qoblana
Definisi Syar’un Man Qablana adalah hukum-hukum
yang disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat sebelum kita
yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk
disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
2. Macam- macam Syar’u Man Qoblana6.

5
Abu Hamid Ghazāli, Al-Mustasyfā fī ‘Ilm al-Ushūl( Beirut,Dār al-Kutūb al-
Ilmiyyah, 1993), hlm.71
6
Ahmad Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya Kusuma, 1993) hlm. 33.
6

a. Yang masih dipakai: syari’at umat terdahulu yang


sampai saat ini masih sering diikuti oleh umat Nabi
Muhammad SAW. Contoh: puasa Daud.
b. Yang ditinggalkan: syari’at umat terdahulu yang
sudah dipakai oleh umat Nabi Muhammad SAW.
Contohnya: pada umat Nabi Musa, baju yang terkena
darah maka syari’atnya bagian yang terkena darah
harus dipotong, namun apa jadinya jika di masa
umat Nabi Muhammad SAW itu masih terjadi? maka
solusinya adalah dengan di cuci bukan membuang
bagian tadi sehingga baju menjadi tidak utuh.

E. URF
1. Pengertian Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui. ‘Urf adalah
apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka
mempraktekkannya, baik perkataan maupun perbuatan atau
meninggalkan. Sedangkan menurut para ahli ushulfiqh adalah
sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka
menjadikan tradisi.
2. Macam- macam Urf
Pembagian ‘urf ada dua diantaranya:
a. ‘Urf Shahihah yaitu kebiasaan yang bisa dijadikan
landasan hukum.
1. ‘Urf shahih ‘am
Adalah suatu kebiasaan yang telah disepakati
oleh setiap manusiadimanapun dan kapanpun
mereka berada. Seperti sesuatu yang berikan
olehlaki-laki kepada wanita pinangannya berupa
7

perhiasan dan pakaian adalahhadiah yang tidak


termasuk sebagian dari mas kawinnya.
2. ‘Urf shahih khas
Adalah suatu kebiasaan yang hanya diakui oleh
satu negara, satuprovinsi ataupun satu sekelompok
masyarakat, seperti halnya dalam
masalahperniagaan atau bercocok tanam dan lain
sebagainya. Dan ‘urf yang sepertiini ketika dijadikan
landasan dari sebuah hukum, maka status
keputusannyatidaklah valid dan hanya berlaku
ditempat dan pada masa keputusan hokum tersebut
di tetapkan. Karena ‘urf khas ini bersifat dinamis
yang selalu berubahseiring perubahan zaman.

b. ‘Urf Fasidah yaitu suatu kebiasaan yang tidak bisa


dijadikan landasan hukum, karena bertentangan dengan
nash-nash qot’i.
Kaidah- kaidah Urf .Para ulama ushul fiqih merumuskan
kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan urf,di
antaranya7:
1. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan
perubahan zaman dan tempat.
3. Yang baik itu menjadi urf sebagaimana yang
disyaratkan itu menjadi syarat.
4. Yang ditetapkan dengan urf sama dengan yang
ditetapkan dengan nash.

F. ISTISHAB

7
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Pustaka Setia, 2010)
8

1. Pengertian Istishab
Istishab secara bahasa berarti “meminta ikut serta
secara kontinyu”. Adapun menurut pengertian istilah
sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama,
istishab berarti: “Menganggap status sesuatu (hukumnya)
tetap seperti keadaan semula tanpa perubahan, sebelum
terbukti ada sesuatu yang mengubahnya
(membatalkannya)”8. Senada dengan pengertian di atas,
istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum yang telah
ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai
ada bukti yang mengubah kedudukannya”. Contoh:
Seseorang yang sebelumnya diketahui masih hidup tetap
dianggap hidup selama belum ada bukti bahwa ia telah
wafat, atau seseorang yang sudah berwudlu masih terus
dihukumi punya wudlu sampai ada bukti yang
membatalkannya.
2. Dasar Hukum Istishab
a. Al-Quran

‫قل ال اجد في ما اوحي الي محرما علي طاعم‬


‫يطعمه اال ان يكون ميتة او لحم خنزير‬
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku,sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalaumakanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi...”. (Q.S. Al An’am:145)

Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala


sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil
yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini

8
Muhammad Abū Zahrah, Ushūl al-Fiqh, (Beirut: Dār al-Fikr, 1957)
9

ditunjukkan dengan firman Allah: “Katakanlah (wahai


Muhammad)” ‘Aku tidak menemukan...”. pernyataan ini
menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru,
maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
b. Ijma’
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa
ada beberapa masalah fiqh yang telah ditetapkan
melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah
para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu
apakah ia sudah bersuci,maka ia tidak boleh melakukan
shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk
pada hukum asal bahwa ia belum suci. Ini berbeda jika
ragu apakah wudhu’nya sudah batal apa belum, maka
dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan
sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu
belum batal.
c. Dalil ‘Aqli
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan
oleh pendukung pendapat ini adalah:
a) Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa
sebelumnya dan tidak adanya faktor yang
menghapus hukum tersebut membuat dugaan
keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-
zhann al-rajih). Dan dalam syari’at Islam, sebuah
dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah,
maka dengan demikian istishhab adalah hujjah
pula.
b) Disamping itu, keika hukum tersebut ditetapkan
pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka
penghapusan hukum itu pun harus didasarkan
10

atas keyakinan, berdasarkan kaidah al yaqin la


yaqin al-yazulul yuzalu bi al-syakk.
3. Macam- macam Istishab
Istishab terbagi menjadi empat macam:
a. Istishab Ibahah Ashliyah: “Pada dasarnya hukum
segala sesuatu adalah mubah/boleh, selama tidak
ada bukti yang melarangnya”. Istishab model ini
banyak berperan dalam bidang muamalah. Dasarnya
adalah Firman Allah di dalam surat al-Baqarah ayat
29:

‫هو الذي خلق لكم ما في االرض جميعا ثم‬


‫استوا الي السماء فسواهن سبع سموات وهو‬
‫بكل شيء عليم‬
Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. Contoh:
Makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dll.
adalah halal selama tidak ada dalil/bukti yang
melarangnya.

b. Istishab Baro’ah Asliyah: ”Pada dasarnya setiap


orang terbebas dari tuntutan/kesalahan selama tidak
ada bukti yang mengubah statusnya”. Jika ada orang
lain yang menuduhnya maka ia harus membuktikan
tuduhannya, jika tidak terbukti maka ia terbebas.
Sebab pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari
segala tuntutan. Contoh: pada dasarnya manusia
tidak punya hutang. Jika dituduh mempunyai utang
11

maka pihak penuduh harus memberikan bukti, jika


tidak maka pihak tertuduh bebas dan ia dihukumi
tidak punya hutang.
c. Istishab Hukmi: “Pada dasarnya hukum segala
sesuatu tetap berlaku selama tidak ada bukti yang
mengubahnya”. Contoh: seseorang yang memiliki
sebidang tanah, maka tanah tersebut masih tetap
dihukumi miliknya, selama tidak ada bukti bahwa
tanah tersebut telah dijual ataupun dihibahkan.
Ataupun seorang wanita yang telah menikah maka ia
tetap harus dihukumi punya suami selama tidak ada
bukti bahwa ia telah dicerai. Ataupun seseorang yang
telah berwudlu masih dihukumi punya wudlu selama
tidak ada bukti bahwa ia telah batal. Hal ini senada
dengan kaidah fiqih:
“pada prinsipnya segala sesuatu hukumnya tetap
selama tidak ada bukti yangmengubahnya”
Macam Istishab di atas no.1, 2 dan 3 seluruh ulama
sepakat dapat dijadikan sebagai landasan hukum.
d. Istishab Wasfi: “Pada dasarnya sifat dari segala
sesuatu masih berlaku sebelumada bukti yang
mengubahnya”. Contoh: Air yang diketahui bersih
tetap dihukumi bersih selama tidak ada bukti bahwa
air tersebut najis. Ataupun seseorang yang punya
sifat idiot tetap ia masih dihukumi idiot (ia tidak wajib
menjalankan kewajiban karena kurang akal) selama
tidak ada bukti bahwa ia telah sempurna akalnya.
Khusus Macam Istishab no. 4 ini terjadi perbedaan
pendapat antar Ulama:
12

1) Madzhab Syaf’i dan Hanbali: Dapat dijadikan sebagai


landasan hukum secara mutlak.
2) Madzhab Hanafi dan Maliki: Perlu pemilahan. Sebab
kaidah ini hanya berlaku untuk mempertahankan haknya
yang sudah ada bukan untuk menimbulkan haknya yang
baru.

G. SADDUD DZARI’AH
1. Pengertian Saddud Dzari’ah
Saad secara bahasa adalah menutup, sedangkan
dzarī’ah adalah jalan yang menghubungkan kepada suatu
tujuan, baik yang mengandung suatu kemafsadahan
maupun mengandung suatu kemaslahatan, berupa
perbuatan ataupun perkataan. Dengan demikian saad
dzarī’ah secara bahasa berarti menutup jalan ke suatu
tujuan. Menurut istilah, Saad al-Dzarī’ah adalah Setiap
sesuatu yang menghubungkan kepada sesuatu yang
dilarang, yang mengandung kemafsadatan dan
kemadhorotan.
2. Dasar Hukum Saddud Dzari’ah
a. Al Quran

‫وال تسب الذين يدعون‹ من دون الله فيسب‬


‫الله عدوا بغير علم كذالك زينا لكل امة‬
‫اجلهم ثم الي ربهم مرجعهم فينبئهم‹ بما كا نو‬
‫يعملون‬
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
13

tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap


umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka,
lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang
dahulu mereka kerjakan." (Q.S. Al An’am: 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat
ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina
berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke
arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan
memaki Allah SWT secara melampaui batas.

‫وال يضربن بارجلن ليعلم ما يخفين من‬


‫زينتهن‬
“...dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan...”.
(Q.S. An Nur: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar
gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi
karena perbuatan itu akan menarik hati laki-laki lain
untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan
itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu
yang menuju kearah perbuatan zina.
b. Hadits
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan)
maksiat yang (dilakukan)keadaan-Nya.Barang siapa
menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia
akan terjerumus ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
14

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan


perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan
maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus
mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan
dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan
yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang
mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

3. Obyek Saddud Dzari’ah


Suatu bagian dimana umat sepakat melarangnya;
contoh, Menjual anggur kepada pembuat minuman keras,
menggali sumur dibelakang pintu rumah dalam keadaan
gelap dengan tujuan agar orang yang masuk rumah akan
terjerumus kedalamnya. Perbuatan ini dilarang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Diantara dalil – dalil hukum tersebut terdapat dalil hukum


yang disepakati dan ada yang diperdebatkan. Dalil hukum yang
disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi
antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak
akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak
menyepakati adanya dalil hukum qiyas. Dan ini telah dijelaskan
oleh makalah- makalah sebelumnya.
Sedangkan dalil hukum yang diperdebatkan oleh sebagian
ulama ada yang menjadikan dalil- dalil tersebut sebagai sumber
hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi
dua bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak
sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja
dalil hukum yang disepakati danmana saja dalil hukum yang
tidak disepakati.

B. Saran
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini dan kedepannya.

13
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Al-Ghazāli, Abu Hamid. 1993.Al-Mustasyfā fī ‘Ilm al-Ushūl.
Beirut:Dār al-Kutūb
al- Ilmiyyah
Hanafie, Ahmad. 1993. Ushul Fiqh. Jakarta : Widjaya Kusuma
Muhammad Abu Zahrah.2011. “Ushul Fikih”. Jakarta: Cahaya
Ilmu
Rachmat Syafe’I, Rachmad. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:
Pustaka Setia
Zahrah, Muhammad Abu. 2009. Terjemah Ushul Fiqih. Jakarta:
Pustaka Jaya

14

Anda mungkin juga menyukai