Peningkatan zat protein secara fungsional terdiri dari dua subunit yaitu S1
dan S2. SARS-2-S menggunakan ACE-2 untuk masuk. Kemudian virus memediasi
keterikatan virus pada membran sel inang, kemudian akan terjdi fusi kedua
membran sel. Proses ini membutuhkan proses pencetakan protein protease serin
seluler (TMPRSS2). Zat tersebut yang memungkinkan peningkatan pembelahan
protein, yang mengatur seluruh mekanisme. Infektivitas virus ini lebih tinggi 20
kali dari pendahulunya SARS-CoV ditahun 2003. Berdasarkan Analisis
bioinformatika, transkriptom sel tunggal mengungkapkan bahwa ACE2
diekspresikan dalam sel AT2 paru, esofagus bagian atas, dan pada enterosit yang
menyerap dari ileum dan usus besar. Selain itu, penelitian lain memberikan bukti
tambahan bahwa coronavirus dapat menginfeksi saluran pencernaan, karena
koekspresi ACE2 dan TMPRSS2 yang tinggi terdeteksi dalam enterosit, serta di
kerongkongan dan paru-paru.
Patogenesis diare
Jin et al.mendefinisikan diare sebagai buang air besar> 3 kali sehari. Dalam
studi retrospektif mereka, 53/651 pasien (81,4%) mengalami diare saat onset dan
durasi gejala median adalah 4 hari. Bukti yang disajikan oleh Chan et al.
memberikan data dari kluster keluarga dengan COVID- 19 bahwa Dua dari 7
pasien mengalami 3 sampai 4 hari diare dengan jumlah evakuasi mulai dari 5
hingga 8 per hari. Di sisi lain, pada seorang pria muda berusia 22 tahun, diare
mengakibatkan jumlah evakuasi yang lebih rendah (3 hingga 4 per hari) dan
dikaitkan dengan demam ringan. Menariknya, gejala-gejala ini hilang setelah terapi
antivirus (lopinavir oral dan ritonavir), mendukung hubungan antara gejala dan
penyakit COVID-19. Kasus COVID-19 pertama yang diketahui di Amerika juga
menunjukkan gejala diare selama dua hari berturut-turut. Sampel tinja
dikumpulkan mengikuti pergerakan usus untuk memverifikasi keberadaan virus.
Yang penting, tes ini positif 7 hari setelah onset penyakit yang diperkirakan,
menunjukkan viral load yang tinggi. Sayangnya, pada sisa studi yang dipelajari
didapat bahwa diare bukan karakter terhadap infeksi covid-19 dan tidak ada data
yang sesuai terkait total number evacuation, konsistensi kotoran (Bristol care) dan
durasi gejala yang muncul.
Pencegahan
Sejauh ini, belum ada vaksin yang dikembangkan untuk mencegah COVID-
19 , tetapi beberapa vaksin potensial sedang diuji (NCT04299724, NCT04276896,
NCT04313127, dan NCT04283461). Tindakan pencegahan saat ini yang diadopsi
untuk mencegah infeksi adalah langkah-langkah standar untuk mencegah infeksi
virus pada saluran pernapasan seperti memakai masker dan sarung tangan, mencuci
tangan secara rutin dengan sabun dan air. Dilakukannya pembatasan berpergian
dan mencegah kontak dengan orang yang ducirugai atau yang terkonfirmasi
terinfeksi covid-19. Ditemukannya virus dalam tinja dan waktu persistensi
fekalnya yang lama menunjukkan bahwa transmisi oro-fecal mungkin saja terjadi,
yang mengarah ke beberapa implikasi dan memerlukan tindakan pencegahan
tambahan. Pertama-tama, kontak dengan sumber kontaminasi yang mungkin (mis.
Air liur, muntah, dan tinja) harus dihindari dengan perhatian yang lebih besar
terhadap kebersihan. Kedua, manajemen rawat jalan harus dimodifikasi. Konsultasi
gastroenterologis yang dapat ditunda dan prosedur endoskopi yang tidak mendesak
harus dijadwal ulang dan setiap pasien harus dikelompokkan berdasarkan gejala
atau berdasarkan kemungkinan kontak dengan orang yang terinfeksi atau berasal
dari daerah berisiko tinggi. Alat Pelindung Diri (APD) termasuk sarung tangan,
kacamata, gaun, dan alat pelindung pernafasan harus diadopsi oleh profesional
kesehatan dari unit endoskopi untuk menghindari penyebaran virus (Tabel 3).
Ketiga, semua kandidat untuk transplantasi mikrobiota tinja dan donor yang sehat
harus diskrining terhadap virus.
Selain itu, model hewan menunjukkan bahwa ACE dan penghambat reseptor
angiontensin adalah terkait dengan peningkatan level ACE-2 yang beredar.
Berdasarkan etiopatogenesis diare dan peran kunci ACE2, penggunaan ACE atau
angiontensin receptor (AR) blocker harus diselidiki, terutama pada pasien usia
lanjut atau kardiovaskular, karena dapat menyebabkan risiko lebih tinggi terkena
diare akibat COVID-19. Hipotesis ini belum dapat dikonfirmasi, dan penyelidikan
lebih lanjut diperlukan untuk menunjukkan apakah penggunaan ACE / AR
inhibitor merupakan faktor risiko untuk COVID-19.
Treatment
Saat ini tidak ada terapi spesifik yang dapat diberikan pada kasus covid 19.
Penangnan utamanya hanyalah berdasar terapi supportif pada pasien. Tidak ada
bukti pada efikasi obat anti diare yang paling baik digunakan pada infeksi covid
19. Tetapi rehidrasi yang adekuat dan pemantauan kadar potassium harus
dilakukan pada pasien dengan diare.
Reference: