GAMBARAN UMUM KAWASAN BERGAMBUT KALTENG
Kawasan bergambut di Kalimantan Tengah yang juga merupakan bagian integral dari
potensi sumber daya alam (SDA) merupakan salah satu focus utama atau central point perhatian
dari berbagai kalangan, baik para penentu kebijakan (pemerintah), para praktisi (dunia usaha),
masyarakat maupun kalangan akademisi, dengan sudut pandang (point of view) yang berbeda-
beda.
BAB IV
KONSEP KEBIJAKAN PEMERINTAH PROPINSI
DALAM PENANGANAN KAWASAN EKS. PLG SATU JUTA HEKTAR
A. Kebijaksanaan Umum
Banyak pendapat bahwa kanal-kanal yang memotong kubah atau area dengan gambut
kedalaman lebih dari 3 meter akan menyebabkan bencana ekologi karena akan
menggangu ekosistem, hidrologi dan kerusakan pada keseimbangan gambut itu sendiri.
Dari pihak pelaksana proyek didapat informasi bahwa telah dilakukan tindakan
pengamanan sementara yakni pemasangan sekat-sekat berupa timbunan yang dilakukan
pada setiap terjadi perbedaan level air sebesar satu meter di sepanjang saluran. Karena
tidak ada kejelasan langkah yang harus diambil (termasuk Laporan Akhir Tim Akhli
Lahan Basah), maka disini akan dikemukakan mengapa perlunya dievaluasi dan
diputuskan tindakan yang tepat untuk mencegah terjadinya bencana ekologi yang lebih
parah.
Ada 3 (tiga) hal pokok yang berkaitan dengan saluran dan kubah gambut yakni:
1). Hidrologi yakni penurunan pH air sungai karena air gambut masam yang tercuci
keluar, termasuk disini juga pernurunan BOD sungai
3). Penebangan ilegal atau pencurian kayu dari kawasan gambut yang seharusnya
dikonsevasi dan dipreservasi. Bila ini terus terjadi maka fungsi gambut terhadap
lingkungan hidup akan rusak.
Keputusan mengenai masa depan saluran atau kanal yang sudah dibangun harus
memuaskan tujuan yang menghindari terjadinya ketiga hal tersebut, yakni tidak ada aliran
permukaan dari gambut dalam ke aliran sungai, tidak terjadinya kerusakan kawasan
gambut dan tidak terjadinya pemakaian saluran sebagai sarana pencurian dan transportasi
atau penjarahan kayu di wilayah konservasi dan preservasi. Mungkin opsi yang harus
diambil akan sangat pahit dan tidak menyenangkan namun demi pencegahan kerusakan
yang lebih parah maka tindakan nyata dan cepat harus diambil. Keputusan ini selayaknya
bukan dilakukan oleh pelaksana atau oleh tingkat proyek tetapi merupakan keputusan
program atau perencanaan. Karena itu disarankan evaluasi dilakukan oleh pihak ketiga
yang imparsial.
Kanal-kanal yang sudah dibangun melintasi baik kawasan bergambut < 3 meter
maupun kawasan yang mempunyai lapisan gambut > 3 meter. Karena itu dipandang
layak untuk dikemukakan disini karena dampaknya justru terberat pada kegiatan
budidaya dan sosial ekonomi penduduk, apapun bentuknya nanti di kawasan dengan
ketebalan gambut < 3 meter.
Ketebalan gambut hanya merupakan salah satu waktu yang perlu diperhatikan
dalam pemanfaatan lahan di kawasan PLG. Walaupun mungkin dibawah 3 meter bila
mineral dibawah gambut tersebut adalah kuarsa atau pasir maka dengan sendirinya areal
tersebut harus dilindungi. Ada beberapa faktor yang bisa dijadikan kriteria minimal baik
dalam mendeliniasi untuk tujuan konsolidasi ataupun dalam menentukan jenis kajian
yang dibutuhkan sebagai penyusun data pokok. Faktor-faktor pembatas itu adalah:
B. Kebijaksanaan Pemberdayaan
Bilamana Konsolidasi dan Pengelolaan PLG dijadikan sebagai suatu gerakan atau usaha
pemberdayaan masyarakat maka perubahan paradigma ini memerlukan perubahan
pengorganisasian, pengelolaan, keuangan dan pendanaan. Orientasi yang selama ini sebagai
proyek pemerintah harus diganti sebagai usaha pemberdayaan dengan adanya kegiatan-
kegiatan dan keterlibatan kelompok masyarakat untuk ikut merencana dan mengelola asset
yang ada. Hal ini mungkin merupakan jawaban yang terbaik dalam menangani kasus tuntutan
santunan yang jelas akan memakan waktu, dana yang besar dan tidak pasti kapan semua itu
akan berakhir.
Pola yang dapat diadopsi adalah pola SSN atau JPS, dimana kegiatan utama dirancang
dan dikerjakan oleh masyarakat melalui kelompok, dana disalurkan melalui rekening
kelompok dan tugas pemerintah adalah memberikan bimbingan teknik, administrasi dan
fasilitasi. Perbedaan dengan JPS, harus ada usaha untuk membentuk dan meningkatkan
kemampuan kelompok (capacity building) dan ada usaha pendampingan di dalam kelompok,
bukan menjadi tenaga akhli atau konsultan, tetapi betul-betul bekerja bersama kelompok. Di
dalam organisasi kegiatan akan ada semacam counterpart atau pendamping Tim Pengarah di
Tingkat Propinsi dan Tim Pembina di Tingkat Kabupaten.
Selama ini seluruh kawasan PLG dalam RTRWP dipetakan sebagai KPP atau Kawasan
Peningkatan Produksi. Sesudah diperoleh data data dasar atau baseline data yang memadai
terutama tentang faktor-faktor pembatas, maka data tersebut beserta kegiatan budidaya yang
direncanakan (layak) akan menjadi penentu deliniasi arahan penggunaan lahan dalam tata
ruang PLG sekaligus sebagai bahan masukan dalam review RTRWP. Berkaitan dengan
Keppres 80/1999 Pasal 1 Ayat 5 dan Pasal 2 Ayat 1 maka dalam berkoordinasi dengan Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), sudah selayaknya masukan dari tata ruang PLG
yang dijadikan acuan bagi Tata Ruang Kapet dan bukan sebaliknya. Hasil tersebut yang
kemudian akan menjadi bahan review RTRWP.
BAB V
PENUTUP
Demikianlah beberapa hal yang dapat kami sampaikan tentang Perspektif Pemerintah
Propinsi dalam Manajemen Pemanfaatan Lahan Gambut Secara Bijaksana dan Berkelanjutan.
Semoga bermanfaat sebagai masukan dalam dalam Acara Diskusi ini.
Kami berharap semoga dialog yang berkembang dalam pertemuan ini dapat
menghasilkan kesepakatan antar berbagai pihak yang terkait untuk menghasilkan pendekatan
baru dalam pengembangan lahan gambut yang berkelanjutan khususnya di Kalimantan Tengah.