Anda di halaman 1dari 14

BAB  I

 
GAMBARAN UMUM KAWASAN BERGAMBUT KALTENG
 

Kawasan bergambut di Kalimantan Tengah melingkupi hamparan areal yang cukup


luas, yakni diperkirakan mencakup areal seluas 3,472 Juta Ha, atau sekitar 21,98 % dari
total luas wilayah Propinsi Kalimantan Tengah yang mencapai 15,798 Juta Ha.

Ditinjau dari letak geografis wilayah Propinsi Kalimantan Tengah, kawasan


bergambut tersebut terletak di bagian selatan dari Garis Equator (0o Garis Lintang), atau
dengan kata lain terletak pada Garis Lintang Selatan hingga ke gugusan pantai di tepi laut
Jawa di bagian selatan Pulau Kalimantan, yang merupakan Batas Selatan dari Propinsi
Kalimantan Tengah. Sebagaimana diketahui bahwa Propinsi Kalimantan Tengah dibagi dua
oleh Garis Lintang atau Garis Equator menjadi 2 (dua) bagian, yakni Lintang Utara dan
Lintang Selatan.

Disamping kekhususan tersebut, Kalimantan Tengah secara geografis juga memiliki


ciri tersendiri lainnya yang khas, yakni perubahan ketinggian (dpl) secara simultan dari arah
selatan, yang berbatasan dengan Laut Jawa, hingga ke bagian utara di Gugusan Bukit
Raya/Bukit Baka yang merupakan Kawasan Lindung. Kondisi alamiah-geografis tersebut
merupakan faktor penentu yang mempengaruhi letak dan sebaran kawasan bergambut di
Kalimantan Tengah, yang juga memiliki pola perubahan yang sama, yakni dari selatan ke
utara.

Gambut hanya mungkin terbentuk apabila terdapat limpahan biomass atau vegetasi


pada suatu kawasan yang mengalami hambatan dalam proses dekomposisinya. Faktor
penghambat utama tersebut adalah genangan air sepanjang tahun atau kondisi rawa. Dalam
konteks yang demikian, hutan sebagai penghasil limpahan biomass, yang mendominasi
wilayah Kalimantan Tengah (sekitar 65,05 % dari total luas wilayah), khususnya pada areal-
areal yang selalu tergenang air adalah merupakan kawasan potensial terbentuknya gambut.
Tetapi sebaliknya, tidak semua areal hutan dapat membentuk lahan-lahan bergambut.

Berdasarkan kondisi obyektif sampai saat ini, kawasan bergambut di Kalimantan


Tengah dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok utama, yakni  :
 
Kawasan Bergambut Yang Belum Digarap

Kawasan bergambut pada kelompok ini umumnya masih berhutan atau


merupakan Kawasan Hutan, terdiri dari Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Lindung
dan Kawasan Konservasi lainnya. Mengingat arealnya masih berhutan, maka cukup
mudah membedakan ciri-ciri penyusun vegetasi di kawasan ini, yang umumnya
didominasi oleh jenis-jenis Meranti Rawa, Ramin, Jelutung, Agathis, Nibung dan
Rengas. Sebagian besar dari kawasan bergambut yang termasuk pada kelompok ini
dibebani Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mengingat vegetasi penyusun arealnya yang
masih potensial untuk dimanfaatkan.
Kawasan bergambut pada kelompok ini terletak pada 3 (tiga) kawasan utama yakni  :
a.      Kawasan hutan yang terletak diantara Areal Eks PLG di sebelah Timur (dibatasi
oleh sungai Sebangau) hingga areal Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di
sebelah Barat, dengan batas Utara adalah Jalan Trans Kalimantan dan di sebelah
Selatan berbatasan dengan Laut Jawa.
b.     Kawasan hutan yang terletak pada Blok E di sebelah Utara areal Eks PLG.
c.     Kawasan hutan yang terletak diantara kawasan TNTP hingga ke batas propinsi
dengan Propinsi Kalimantan Barat.
 
Kawasan Bergambut Areal Eks PLG
 
a.   Sebagaimana diketahui bahwa Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta
Hektar (PLG) adalah merupakan mega proyek nasional yang bermasalah karena
tanpa didahului oleh kajian-kajian secara matang dan mendalam serta perencanaan
yang tepat, mantap dan tidak terintegrasi secara lintas sektoral. Terlebih lagi areal
PLG yang sedemikian luas tersebut merupakan kawasan hutan bergambut dengan
berbagai karakteristik khusus dan khas, yang tentu saja semestinya memerlukan
penanganan secara khusus pula.
b.   Total luasan areal Eks PLG adalah seluas 1.119.493 Ha, yang terdiri atas 4 (empat)
Blok, masing-masing Blok A seluas 227.100 Ha, Blok B seluas 161.480 Ha, Blok C
seluas 568.635 Ha dan Blok D seluas 162.278 Ha.
 
Kawasan Bergambut TNTP

Kelompok ketiga kawasan bergambut di Kalimantan Tengah adalah pada


Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) dengan luas areal mencapai 415.040
Ha, yang secara khusus diperuntukkan sebagai habitat bagi satwa langka yang
dilindungi yakni orangutan (Pongo pygmaeus).

Kawasan Bergambut Terlantar

Kawasan bergambut yang diklasifikasikan sebagai kawasan yang terlantar


umumnya merupakan salah satu dampak dari kegiatan pembangunan akses
jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu,
sebaran dari kawasan bergambut pada kelompok ini terletak di sepanjang kiri kanan
Jalan Negara, seperti Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Palangka Raya –
Kuala Kapuas – Banjarmasin, Jalan Negara yang menghubungkan Sampit – Ujung
Pandaran, Sampit – Kuala Pembuang, Palangka Raya – Tumbang Talaken – Tumbang
Jutuh, Kotawaringin – Sukamara, dan lain-lain.
Menjadi terlantar karena pada umumnya kawasan bergambut pada kelompok ini
berdasarkan sistem Tata Ruang Propinsi Kalimantan Tengah (RTRWP) sudah tidak lagi
merupakan Kawasan Hutan Tetap di satu sisi, sedangkan di sisi lain di claim oleh
masyarakat sebagai areal tanah milik mereka, tetapi tidak digarap atau diolah
sebagaimana mestinya. 
Kelompok ini lebih tepat disebut sebagai lahan gambut terlantar atau lahan tidur yang
bergambut.
 
Kawasan Bergambut Yang Diolah Masyarakat

Kelompok terakhir dari kawasan bergambut yang terdapat di wilayah Propinsi


Kalimantan Tengah adalah kawasan bergambut yang telah diolah oleh masyarakat, atau
dengan kata lain dapat disebut sebagai lahan gambut produktif.
Kawasan bergambut pada kelompok ini (lahan gambut produktif) umumnya terdiri dari 
:

a.      Kawasan bergambut yang dijadikan sebagai kawasan pemukiman melalui program


transmigrasi, dan
b.     Kawasan bergambut yang dikelola menjadi lahan-lahan perkebunan besar
swasta (kelapa sawit), serta
c.     Kawasan bergambut yang dikelola masyarakat setempat baik sebagai lahan
perkebunan maupun hasil hutan ikutan lainnya (seperti kebun kelapa, kebun karet,
budidaya jelutung, kebun rotan, dan lain-lain).
 
Dari ke-5 kelompok tersebut di atas, ditinjau dari perspektif pengelolaan
berkelanjutan lahan gambut, maka 4 (empat) kelompok yang  pertama adalah merupakan
kawasan bergambut yang perlu mendapat prioritas penanganannya, yang tentu saja
dengan memperhatikan berbagai kondisi obyektifnya masing-masing.
 
 
BAB II

PERKEMBANGAN PENGELOLAAN KAWASAN BERGAMBUT


 
Perkembangan pengelolaan kawasan bergambut di Kalimantan Tengah dapat
dibedakan sebagai berikut:
 
1.    Pengelolaan Kawasan Bergambut melalui Program Pemerintah.
 
Penetapan kawasan-kawasan bergambut tertentu untuk tujuan-tujuan konservasi
berupa penetapan Kawasan Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Cagar
Budaya, Taman Wisata, Hutan Lindung, termasuk Kawasan Konservasi Air Hitam.
Masing-masing fungsi kawasan tersebut telah secara jelas diatur dan ditetapkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah (RTRWP) hasil Paduserasi
Tahun 1999.
Untuk tujuan pembangunan wilayah, pengelolaan kawasan bergambut yang berskala
besar dan sensasional adalah Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta
Hektar (PLG), mencakup areal seluruhnya seluas 1.119.493 Ha. Namun karena mega
proyek tersebut pelaksanaannya tidak didahului dengan kajian-kajian teknis, ilmiah dan
socio-ekonomis secara holistik dan tidak didukung dengan perencanaan yang tepat,
mantap dan terintegrasi secara lintas sektoral, dimana pelaksanaannya terhadap suatu
hamparan kawasan hutan bergambut yang sangat luas dengan berbagai karakterisitiknya
yang khas, maka yang terjadi justru adalah mega masalah yang hingga sekarang belum
kunjung selesai dan dapat teratasi secara paripurna.
Pengelolaan kawasan gambut untuk kepentingan pembangunan wilayah (selain
Proyek PLG) pada umumnya dalam bentuk-bentuk pembukaan lahan baru untuk
dijadikan sebagai lokasi pemukiman penduduk melalui program transmigrasi atau re-
settlement. Disamping itu adalah berupa pembangunan jaringan atau akses jalan yang
menghubungkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah.
Penetapan kawasan bergambut seluas ± 40 Ha di Nyaru Menteng (28 Km dari Kota
Palangka Raya) yang dikelola sebagai Areal Arboretum sekaligus sebagai tempat
rekreasi masyarakat kota Palangka Raya dan sekitarnya. Disamping itu, di dalam Areal
Arboretum Nyaru Menteng ini juga terdapat Pusat Reintroduksi Orangutanyang
dikelola oleh The Balikpapan Orangutan Survival Foundation.
 
2.    Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Pihak Swasta
Pengelolaan kawasan bergambut yang masih berupa hutan (Kawasan Hutan) yang
dilakukan oleh para pemegang HPH dalam rangka memanfaatkan tegakan hutan yang
bernilai ekonomis melalui kegiatan-kegiatan eksploitasi dan silvikultur.
Pengelolaan kawasan bergambut yang sudah tidak berupa hutan (bukan merupakan
Kawasan Hutan) oleh perusahaan perkebunan swasta besar (PSB) yang dikonversi
menjadi kebun-kebun kelapa sawit sekaligus sebagai sentra-sentra produksi crude palm
oil (CPO) di Kalimantan Tengah.
 
3.    Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Lembaga Perguruan Tinggi
 
a.    Mengacu RTRWP Hasil Paduserasi Tahun 1999 yang berlaku saat ini, di Kalimantan
Tengah telah dialokasikan kawasan hutan bergambut seluas ± 5.000 Ha yang
diperuntukkan sebagai Hutan Pendidikan dan Penelitian. Kawasan tersebut
dikelola sepenuhnya oleh pihak Universitas Palangka Raya, dan selama ini menjadi
tempat kegiatan praktek lapangan maupun research mahasiswa.
b.    Laborarium Gambut di sungai Sebangau yang dikelola oleh pihak Universitas
Palangka Raya bekerja sama dengan pihak Nottingham University, UK.
 
4.    Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Masyarakat
 
Kegiatan pengelolaan kawasan bergambut yang dilakukan oleh masyarakat lebih
merupakan pemanfaatan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan kebun-kebun
rakyat dan pengolahan lahan gambut sebagai lahan pertanian tanaman pangan,
dengan pola sebaran mengikuti konsentrasi pemukiman penduduk di sepanjang kiri kanan
Jalan Negara.
       
BAB  III
 
STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN BERGAMBUT
DI KALIMANTAN TENGAH
 

Kawasan bergambut di Kalimantan Tengah yang juga merupakan bagian integral dari
potensi sumber daya alam (SDA) merupakan salah satu focus utama atau central point perhatian
dari berbagai kalangan, baik para penentu kebijakan (pemerintah), para praktisi (dunia usaha),
masyarakat maupun kalangan akademisi, dengan sudut pandang (point of view) yang berbeda-
beda.

Dengan memahami kondisi obyektif kawasan bergambut di Kalimantan Tengah dan


dilandasi oleh cara pandang komprehensif-integralistik, yang merupakan penggabungan dari
berbagai perspektif baik ekonomi, ekologi, konservasi, lingkungan, IPTEK, dan socio-cultural
yang berasal dari berbagai elemen tersebut di atas, maka dapat ditentukan Strategi Pengelolaan
dan Pemanfaatan Kawasan Bergambut di Kalimantan Tengah, sebagai berikut  :
 
1.    Pengelolaan Kawasan Bergambut Untuk Tujuan Produksi
 
   Strategi ini tidak lain adalah memaksimalkan potensi kawasan bergambut Kalimantan
Tengah guna menghasilkan nilai tambah ekonomis secara berkelanjutan, baik pada areal-
areal yang masih berhutan (merupakan Kawasan Hutan Tetap) atau pada areal-areal yang
sudah tidak berhutan (bukan merupakan Kawasan Hutan).
    Untuk maksud tersebut ditempuh upaya-upaya menggalakkan investasi di Kalimantan
Tengah, baik investasi domestik maupun luar negeri, terutama di sektor kehutanan,
perkebunan dan pertanian pada umumnya. Terkait denga hal tersebut maka penciptaan iklim
investasi yang sehat dan kondusif merupakan prasyarat mutlak yang harus terpenuhi.
    Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mempertahankan luasan Kawasan Hutan
Tetap yang ada saat ini termasuk kawasan bergambut sebagaimana telah ditetapkan dalam
RTRWP Kalimantan Tengah hasil Paduserasi Tahun 1999.
    Memanfaatkan atau mengolah kawasan bergambut yang terlantar atau lahan tidur
bergambut menjadi lahan-lahan produktif dengan memberikan berbagai stimulan kepada
masyarakat setempat berdasarkan karakteristik lahan yang bersangkutan.
 
2.    Pengelolaan Kawasan Bergambut Untuk Tujuan Konservasi
 
    Strategi pengelolaan kawasan bergambut untuk tujuan konservasi adalah strategi yang
ditempuh dalam rangka mempertahankan, memperbaiki/rehabilitasi dan melindungi kawasan
bergambut beserta ekosistemnya serta fungsi-fungsi yang melekat atasnya secara lestari.
    Salah satu fokus utama dari strategi ini adalah melaksanakan kegiatan rehabilitasi areal
Eks PLG Satu Juta Hektar, dengan salah satu sasaran utama adalah kawasan bergambut yang
terdapat di dalam   Blok A, B, C dan D yang mengalami degradasi dan penurunan fungsi
sebagai akibat dari pembukaan lahan yang tidak terkendali. Untuk maksud tersebut saat ini
telah disusun Proposal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Eks PLG di Kalimantan Tengah.
    Kegiatan rehabilitasi juga dilaksanakan pada kawasan bergambut yang
terlantar dan lahan-lahan tidur bergambut milik masyarakat melalui program rehabilitasi
lahan yang antara lain dengan memanfaatkan Dana Alokasi Khusus – Dana Reboisasi (DAK-
DR)   40 % yang menjadi porsi daerah.
    Mempertahankan dan mengamankan keberadaan kawasan bergambut khususnya yang
masih berhutan beserta ekosistemnya yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi,
seperti Kawasan Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Cagar Budaya, Taman
Wisata, Hutan Lindung, termasuk Kawasan Konservasi Air Hitam, sehingga terjaga
kelestariannya.
 
3.    Pengelolaan Kawasan Bergambut Untuk Tujuan Produksi sekaligus Konservasi
 
Strategi ini menghendaki adanya keterpaduan yang tidak saling merugikan antara kedua
fungsi sumber daya alam hutan, termasuk pada kawasan hutan bergambut. Artinya disatu sisi
kawasan tersebut mampu menghasilkan nilai tambah ekonomis (berproduksi), tetapi di lain
sisi tidak merusak fungsi konservasi, baik terhadap habitat, maupun flora dan fauna yang
terdapat pada kawasan tersebut.
    Untuk pengelolaan yang menggabungkan aspek konservasi dan produksi ini, salah satu
contoh yang akan dikembangkan di Kalimantan Tengah adalah pengelolaan kawasan hutan
bergambut pada Blok E di sebelah Utara areal Eks PLG, tepatnya di Utara Saluran Primer
Induk 1 (SPI-1) dan Saluran Primer Induk 2 (SPI-2) seluas ± 300.000 Ha (dari total luas
seluruhnya 337.607 Ha) yang tertuang dalam Program Pembangunan Kawasan
MAWAS yang dimotori oleh The Balikpapan Orangutan Survival Foundation.
    Disamping untuk tujuan konservasi flora dan fauna beserta ekosistem kawasan hutan
bergambut pada Blok E tersebut, juga akan dikembangkan program “debt for nature swap
dan carbon offset agreement” dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan
pemerintah daerah setempat.
    Strategi ini juga akan dikembangkan pada areal-areal konservasi lainnya yang terdapat di
wilayah Propinsi Kalimantan Tengah.
 
Satu hal yang pasti yang hendaknya dapat disepakati bersama adalah bawah kegiatan
pemanfaatan dan pengelolaan kawasan bergambut di Kalimantan Tengah harus dilakukan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi, ekologi (lingkungan) dan sosial, yang
ketiga-tiganya harus mampu ditempatkan secara berimbang dan proporsional dengan
melibatkan seluruh stake holders, dimana komponen masyarakat setempat diposisikan
sebagai bagian integral dari suatu sistem perencanaan dan pengambilan keputusan atau
penentu kebijakan, sehingga pada akhirnya akan bermuara pada kemajuan daerah dan
masyarakat Kalimantan Tengah dengan sumber daya alam yang tetap terjaga kelestariannya.
 
 
  

 
BAB IV
 
KONSEP KEBIJAKAN PEMERINTAH PROPINSI
DALAM PENANGANAN KAWASAN EKS. PLG SATU JUTA HEKTAR
 
 
A. Kebijaksanaan Umum

Beberapa kebijaksanaan pokok yang sedang dipertimbangkan Pemerintah Propinsi dalam


menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 80 / 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan
dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah adalah
sebagai berikut:

1.   Menentukan Hirarki atau Prioritas Kegiatan.

Keputusan Presiden Nomor 80 / 1999 menyiratkan 2 (dua) hal yakni (1)


konsolidasi di daerah kerja A dan D serta (2) Perencanaan dan Pengelolaan di seluruh
kawasan PLG dengan ketebalan gambut < 3 meter. Dengan pemahaman bahwa daerah
kerja D adalah permukiman transmigran yang sudah lama berdiri dan sudah diserahkan
kepada daerah, maka prioritas konsolidasi utama tentunya terfokus pada daerah kerja A
dimana nasib lebih dari 15.000 KK sangat tergantung pada keputusan penanganan yang
cepat dan tepat. Daerah kerja D merupakan daerah yang kurang produktif karena
banyaknya lahan yang mati suri. Beberapa dugaan terhadap terjadinya hal tersebut adalah
dampak dari sistem irigasi yang ada maupun perlakuan terhadap lahan yang terjadi
selama ini sehingga berlangsung proses pencucian dan ketidaktersediaan unsur hara yang
kemudian bertambah parah dengan teroksidasinya lapisan pirit. Kasus daerah kerja D ini
(kawasan transmigrasi Pangkoh) juga diduga serupa dengan yang terjadi di daerah
transmigrasi Basarang yang dulunya merupakan daerah subur tanaman pangan khususnya
padi. Kedua kasus ini merupakan pengalaman yang berharga dan pahit, tidak boleh
terjadi dengan daerah A kawasan PLG yang dulunya juga adalah daerah yang terkenal
dengan produksi berasnya (sawah lama di daerah A merupakan 50 % dari total areal PLG
yang layak padi/pangan). Dengan demikian konsolidasi pertama adalah di daerah kerja A
sementara di D akan dilakukan kemudian.
          Untuk daerah kerja B dan C, didapati kenyataan bahwa data pendukung yang
lengkap belum ada (setidaknya selengkap daerah kerja A) karena itu kebijaksanaan di
daerah kerja B dan C adalah melakukan pengkajian atau appraisal.

2.  Menentukan Masa Depan Jaringan Kanal Yang Terlanjur Dibangun

      Banyak pendapat bahwa kanal-kanal yang memotong kubah atau area dengan gambut
kedalaman lebih dari 3 meter akan menyebabkan bencana ekologi karena akan
menggangu ekosistem, hidrologi dan kerusakan pada keseimbangan gambut itu sendiri.
Dari pihak pelaksana proyek didapat informasi bahwa telah dilakukan tindakan
pengamanan sementara yakni pemasangan sekat-sekat berupa timbunan yang dilakukan
pada setiap terjadi perbedaan level air sebesar satu meter di sepanjang saluran. Karena
tidak ada kejelasan langkah yang harus diambil (termasuk Laporan Akhir Tim Akhli
Lahan Basah), maka disini akan dikemukakan mengapa perlunya dievaluasi dan
diputuskan tindakan yang tepat untuk mencegah terjadinya bencana ekologi yang lebih
parah.

Ada 3 (tiga) hal pokok yang berkaitan dengan saluran dan kubah gambut yakni:

1).  Hidrologi yakni penurunan pH air sungai karena air gambut masam yang tercuci
keluar, termasuk disini juga pernurunan BOD sungai

2).  Kerusakan berupa hilangnya elastisitas penyangga gambut hingga terjadi penyusutan,


kekeringan dan ketergenangan

3).  Penebangan ilegal atau pencurian kayu dari kawasan gambut yang seharusnya
dikonsevasi dan dipreservasi. Bila ini terus terjadi maka fungsi gambut terhadap
lingkungan hidup akan rusak.

Keputusan mengenai masa depan saluran atau kanal yang sudah dibangun harus
memuaskan tujuan yang menghindari terjadinya ketiga hal tersebut, yakni tidak ada aliran
permukaan dari gambut dalam ke aliran sungai, tidak terjadinya kerusakan kawasan
gambut dan tidak terjadinya pemakaian saluran sebagai sarana pencurian dan transportasi
atau penjarahan kayu di wilayah konservasi dan preservasi. Mungkin opsi yang harus
diambil akan sangat pahit dan tidak menyenangkan namun demi pencegahan kerusakan
yang lebih parah maka tindakan nyata dan cepat harus diambil. Keputusan ini selayaknya
bukan dilakukan oleh pelaksana atau oleh tingkat proyek tetapi merupakan keputusan
program atau perencanaan. Karena itu disarankan evaluasi dilakukan oleh pihak ketiga
yang imparsial.
      Kanal-kanal yang sudah dibangun melintasi baik kawasan bergambut < 3 meter
maupun kawasan yang mempunyai lapisan gambut > 3 meter. Karena itu dipandang
layak untuk dikemukakan disini karena dampaknya justru terberat pada kegiatan
budidaya dan sosial ekonomi penduduk,  apapun bentuknya nanti di kawasan dengan
ketebalan gambut < 3 meter.

3.    Menentukan Kriteria Minimal Konsolidasi dan Pengkajian

          Ketebalan gambut hanya merupakan salah satu waktu yang perlu diperhatikan
dalam pemanfaatan lahan di kawasan PLG. Walaupun mungkin dibawah 3 meter bila
mineral dibawah gambut tersebut adalah kuarsa atau pasir maka dengan sendirinya areal
tersebut harus dilindungi. Ada beberapa faktor yang bisa dijadikan kriteria minimal baik
dalam mendeliniasi untuk tujuan konsolidasi ataupun dalam menentukan jenis kajian
yang dibutuhkan sebagai penyusun data pokok. Faktor-faktor pembatas itu adalah:

a.      Ketebalan lapisan gambut

b.     Ketebalan/kedalamam lapisan pirit

c.     Status permukaan air tanah (hidrometri)

d.     Status vegetasi atau penutup lahan

e.      Sifat-sifat istimewa atau habitat khusus yang perlu dilindungi.

          Faktor-faktor pembatas tersebut digunakan untuk memberikan arahan mengenai


kegiatan apa yang tidak boleh dilakukan dan bukannya untuk mengatur aktifitas yang
akan dilaksanakan. Hal ini penting dalam konsep pemberdayaan dan kebebasan petani
untuk melakukan usahatani dan bergerak menuju agribisnis. Tugas pemerintah adalah
menyediakan buku pintar atau guide line, arahan yang dapat digunakan bersama sebagai
acuan kegiatan budidaya yang ramah lingkungan. Walaupun suatu daerah layak untuk
pertanaman pangan bilamana masyarakat ingin dan lebih berminat pada hutan rakyat
tanaman karet dengan rotan maka itulah yang dibantu secara teknis dan bimbingan
kelompok. Suatu daerah yang hanya layak untuk hortikultur atau tanaman keras tentunya
tidak dianjurkan atau dibiarkan untuk dijadikan sebagai lahan tanaman pangan karena
akan merugikan masyarakat sendiri beserta lingkungannya.

 
B.  Kebijaksanaan Pemberdayaan

Bilamana Konsolidasi dan Pengelolaan PLG dijadikan sebagai suatu gerakan atau usaha
pemberdayaan masyarakat maka perubahan paradigma ini memerlukan perubahan
pengorganisasian, pengelolaan, keuangan dan pendanaan. Orientasi yang selama ini sebagai
proyek pemerintah harus diganti sebagai usaha pemberdayaan dengan adanya kegiatan-
kegiatan dan keterlibatan kelompok masyarakat untuk ikut merencana dan mengelola asset
yang ada. Hal ini mungkin merupakan jawaban yang terbaik dalam menangani kasus tuntutan
santunan yang jelas akan memakan waktu, dana yang besar dan tidak pasti kapan semua itu
akan berakhir.

Pola yang dapat diadopsi adalah pola SSN atau JPS, dimana kegiatan utama dirancang
dan dikerjakan oleh masyarakat melalui kelompok, dana disalurkan melalui rekening
kelompok dan tugas pemerintah adalah memberikan bimbingan teknik, administrasi dan
fasilitasi. Perbedaan dengan JPS, harus ada usaha untuk membentuk dan meningkatkan
kemampuan kelompok (capacity building) dan ada usaha pendampingan di dalam kelompok,
bukan menjadi tenaga akhli atau konsultan, tetapi betul-betul bekerja bersama kelompok. Di
dalam organisasi kegiatan akan ada semacam counterpart atau pendamping Tim Pengarah di
Tingkat Propinsi dan Tim Pembina di Tingkat Kabupaten.

C.  Kebijaksanaan Tata Ruang

Selama ini seluruh kawasan PLG dalam RTRWP dipetakan sebagai KPP atau Kawasan
Peningkatan Produksi. Sesudah diperoleh data data dasar atau baseline data yang memadai
terutama tentang faktor-faktor pembatas, maka data tersebut beserta kegiatan budidaya yang
direncanakan (layak) akan menjadi penentu deliniasi arahan penggunaan lahan dalam tata
ruang PLG sekaligus sebagai bahan masukan dalam review RTRWP. Berkaitan dengan
Keppres 80/1999 Pasal 1 Ayat 5 dan Pasal 2 Ayat 1 maka dalam berkoordinasi dengan Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), sudah selayaknya masukan dari tata ruang PLG
yang dijadikan acuan bagi Tata Ruang Kapet dan bukan sebaliknya. Hasil tersebut yang
kemudian akan menjadi bahan review RTRWP.
BAB V
 
PENUTUP
 
 

Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan diharapkan dapat mewujudkan


terpeliharanya lingkungan lahan gambut secara lestari, serta meningkatkan kehidupan ekonomi
dan sosial masyarakat. Permasalahan yang timbul pada pengembangan lahan gambut adalah
akibat pemanfatan yang kurang bijaksana dan tidak memperhatikan azas keberlanjutan.

Demikianlah beberapa hal yang dapat kami sampaikan tentang Perspektif Pemerintah
Propinsi dalam Manajemen Pemanfaatan Lahan Gambut Secara Bijaksana dan Berkelanjutan.
Semoga bermanfaat sebagai masukan dalam dalam Acara Diskusi ini.

Kami berharap semoga dialog yang berkembang dalam pertemuan ini dapat
menghasilkan kesepakatan antar  berbagai pihak yang terkait untuk menghasilkan pendekatan
baru dalam pengembangan lahan gambut yang berkelanjutan khususnya di Kalimantan Tengah.

Sekian dan terima kasih.


 

Anda mungkin juga menyukai