Anda di halaman 1dari 13

” Konflik Perbatasan Sipadan-Ligitan Antara Indonesia dan

Malaysia”

Penyusun: Muhammad Iqra Irwan , Ridanlirahman Yusran, Sitti Deapati Puteri,


Syaikhah Syuhrah.

(Mahasiswa Universitas Hasanuddin Fakultas Ekonomi dan Bisnis)

ABSTRAK
Muhammad Iqra Irwan , Ridanlirahman Yusran, Sitti Deapati Puteri,
Syaikhah Syuhrah, Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Hasanuddin, Menyusun Jurnal dengan judul: “Konflik
Perbatasan Sipadan-Ligitan Antara Indonesia dan Malaysia”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konflik yang terjadi di
perbatasan Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, cara
penyelesaiannya, dan keputusan akhir konflik perbatasan Sipadan-Ligitan yang
diberikan oleh Mahkamah Internasional (MI).
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
literatur, dilakukan dengan cara pengumpulan informasi yang berkaitan dengan
masalah yang akan diteliti, diperoleh dari media elektronik (internet) dan jurnal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : 1.Kasus perbatasan Sipadan-
Ligitan, mencuat pada tahun 1967 dalam pertemuan teknis hukum laut antara
Indonesia dan Malaysia, dimana kedua negara memasukkan Pulau Sipadan dan
Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. 2. Mahkamah kemudian menyatakan
bahwa ukuran yang objektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut
adalah dengan menerapkan doktrin effective occupation sebagai “pisau
analisis”. 3. Mahkamah Internasional memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan
jatuh ke tangan Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title
Theory).

Kata Kunci: Konflik, Perbatasan Indonesia-Malaysia, Mahkamah Internasional.


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki


lebih dari 17.000 pulau, di mana hanya sekitar 7.000 pulau yang berpenghuni.
Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Sumatera dan Papua merupakan Pulau besar di
Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memiliki pulau-pulau kecil seperti Bali,
Karimunjawa, Gili, Lombok, dll. Dengan status negara kepulauannya, Indonesia
dikelilingi dengan wilayah perairan yang sangat luas dan berbagai macam sumber
daya alam yang melimpah.1

Hal tersebut membuat Negara Indonesia rentan terhadap masalah-masalah


yang berkaitan dengan kesatuan NKRI. Salah satu contohnya yaitu, diklaimnya
pulau yang merupakan wilayah NKRI oleh negara tetangga. Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan merupakan objek permasalahan dimana posisinya yang berada di
pulau terluar Indonesia. Pulau ini terletak di sebelah selatan garis 4°10’ LU yang
mana berdasarkan pasal IV Konvensi 1891, wilayah yang berada di sebelah
selatan garis tersebut merupakan wilayah milik Indonesia (Wirajuda, 2003).2

Sejak tahun 1969, Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sudah


dipersengketakan kepemilikannya oleh Indonesia dan Malaysia. ketika Tim
Teknis Landas Kontinen Indonesia–Malaysia membicarakan batas dasar laut antar
kedua negara. Kedua Pulau Sipadan dan Ligitan tertera di peta Malaysia sebagai
bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada
peta yang menjadi lampiran perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja tim
teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa harus membuat
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan secara fakta menjadi milik Indonesia. Maka
dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung

1
“Sekilas tentang Indonesia” ( https://www.indonesia-frankfurt.de/pendidikan-budaya/sekilas-
tentang-budaya-indonesia/, Diakses pada 6 September 2019)
2
Rusiti, “Analisis Kasus Sengketa Kepemilkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan Serta
Penyelesaiannya”, 2018, Hal. 1.
kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa
dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil
hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua
pulau tersebut dalam “status quo”.

Pada tahun 1992 Indonesia dan Malaysia sepakat menyelesaikan masalah


ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara.
Para pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan
Kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).
Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak
mendapatkan hsil yang maksimal, kedua pihak berpegang pada prinsipnya
masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebuntuan. Pada pertemuan tgl. 6-7
Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui
rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Special
Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute
between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over Sipadan Island
and Ligitan Island”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke
Mahkamah International (MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses litigasi
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di MI mulai berlangsung. Kedua negara
memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written
pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter
Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya
proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3–12 Juni 2002.

Special agreement adalah persyaratan prosedural yang memungkinkan


mahkamah memiliki jurisdiksi terhadap kasus yang dibawa ke mahkamah
internasional. Masalah pokok yang dimintakan dalam special agreement adalah
mahkamah international dapat memutus suatu perkatra berdasarkan perjanjian-
perjanjian, fakta historis, dan bukti-bukti dokomen yang diberikan oleh indonesia
dan malaysia ke pengadilan. Special agreement juga mencantumkan tentang
kesediaan kedua negara untuk menerima hasil keputusan dewan juri dengan
lapang dada dan menerimanya sebagai keputusan yang bersifat akhir dan
mengikat (final and binding).3

Rumusan Masalah

Sebuah penelitian akan lebih terarah jika ada rumusan masalah. Untuk itu,
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang menyebabkan terjadinya kasus Sipadan Ligitan?


2. Bagaimana penyelesaian kasus Sipadan Ligitan ?
3. Bagaimana Putusan Mahkamah Internasional terkait Kasus Sipadan
Ligitan?
Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat pada penulisan ini maka


tujuannya adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui Apa yang menyebabkan terjadinya kasus Sipadan Ligitan.


2. Mengetahui Bagaimana penyelesaian kasus Sipadan Ligitan.
3. Mengetahui Bagaimana Putusan Mahkamah Internasional terkait Kasus
Sipadan Ligitan.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi penulis, makalah ini diharapkan memberikan manfaat berupa


pengetahuan mengenai konflik sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan.
2. Bagi sisi akademis, makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa
informasi-informasi mengenai konflik sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan.

3
Rakaditya, Alvin, “Sengketa Sipadan Ligitan Indonesia dan Malaysia yang
Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional”,2018, Hal. 1
3. Bagi pembaca, makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan
pembaca serta mampu menumbuhkan dan memerkuat semangat
nasionalisme untuk terus menjaga kesatuan dan keutuhan NKRI.
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1997), konflik berarti percekcokan,


pertentangan, atau perselisihan. Konflik juga berarti adanya oposisi atau
pertentangan pendapat antara orang-orang atau kelompok-kelompok. Setiap
hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat,
atau perbedaan kepentingan.4

Batas wilayah negara merupakan garis batas pemisah kedaulatan suatu


negara yang didasarkan atas hokum internasional. Setiap daerah yang berada pada
posisi terdepan dari NKRI pasti memiliki batas wilayah negara, biasanya batas
wilayah ini ditandai dengan adanya patok berupa tiang yang terbuat dari besi dan
batu beton. Secara geografis, Indonesia memiliki batas wilayah darat, laut, udara
dan batas wilayah negara secara unilateral.5

METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan jenis penelitian deskriptif


yang memberikan gambaran tentang konflik perbatasan Sipadan-Ligitan antara
Indonesia dan Malaysia. Pada umumnya kegiatan penelitian deskriptif meliputi
pengumpulan data, analisis data, interprestasi data serta diakhiri dengan
kesimpulan pada penganalisisan data tersebut.

Sumber Data
4
http://etheses.uin-malang.ac.id/758/6/10410110%20Bab%202.pdf, Diakses pada 22 September
2019.
5
https://www.anri.go.id/assets/collections/files/mkn-56-for-web-568c89e02ab4a.pdf, Diakses
pada 22 September 2019.
Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang
melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada (Hasan, 2002: 58). Data
ini digunakan untuk mendukung informasi yang telah diperoleh yaitu dari bahan
pustaka, literatur, penelitian terdahulu, buku, dan lain sebagainya.6
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipakai pada penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data melalui
teks-teks tertulis maupun soft-copy edition, seperti buku, e-book, artikel-artikel
dalam majalah, surat kabar, buletin, jurnal, laporan atau arsip organisasi, makalah,
publikasi pemerintah dan lain-lain. Pengumpulan data melalui studi kepustakaan
menjadi bagian yang penting dalam penelitian ketika peneliti memutuskan untuk
melakukan kajian pustaka dalam menjawab rumusan masalahnya.

PEMBAHASAN

Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pulau yang terletak di sekitar
perbatasan wilayah Sabah (Malaysia) dan Kalimantan Timur (Indonesia). Kedua
pulau ini dikelilingi oleh air laut dan memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Terdapat ribuan jenis coral dan sekitar 3000 jenis ikan di laut Sipadan. Disamping
itu, laut Sipadan merupakan destinasi wisata selam yang indah. Apabila
menyelam dengan kedalaman tidak kurang dari tiga meter, maka akan disambut
oleh ribuan jack fish dan ribuan baracuda. Beberapa hewan langka yang hidup di
sekeliling Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diantaranya hiu coral jenis black tip
and white tip, penyu hijau, dan hawksbill turtle (Artika, 2012).7

Kasus Sengketa Sipadan Ligitan

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan


Malaysia atas pemilikan terhadap kedua Pulau yang berada di Selat Makassar
yaitu Pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N
118°37′43.52″E dan Pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N

6
http://repository.upi.edu/8083/5/s_pkn_0808386_chapter3.pdf, Diakses pada 20 Oktober 2019
7
Rusiti, “Analisis Kasus Sengketa Kepemilkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan Serta
Penyelesaiannya”, 2018, Hal. 3.
118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan
Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini
melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun


1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-
masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke dalam
batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan
dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini
berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak
swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di
bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana Sipadan dan Ligitan tiba-
tiba menjadi berita. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut
Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2
itu, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah
penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu
memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga
merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur
meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya,
Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.
Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau
tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara
atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT
pertama ASEAN di Pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan
membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi
di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan
karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim Pulau Batu Puteh,
sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa Kepulauan Spratley di
Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan
Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi
hutan melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak
Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan
Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian
melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996,
Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah
diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim,
dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua
negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal
29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula
Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.8

Penyelesaian dan Keputusan Mahkamah Internasional Terkait Kasus


Sengketa Sipadan Ligitan

MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa


kedua Pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh
Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-
Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi
Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris
yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan
(Chain of Title Theory).

MI menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa


merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran
atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU
yang memotong Pulau Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah

8
Rakaditya, Alvin, “Sengketa Sipadan Ligitan Indonesia dan Malaysia yang
Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional”,2018, Hal. 5
timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima
Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak
terdapat dalam Memori van Toelichting (MvT).

Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana


penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum
karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil
alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam
perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan
Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Penguasaan
efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969
sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi
hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas
kedua pula yang bersengketa.

Berkaitan dengan efektivitas Indonesia dan Malaysia, yaitu:

A. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah


menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan
kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu
pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat
menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia
atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat
mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang
ditetapkan pada 18 Februari 1960-yang merupakan produk hukum awal
bagi penegasan konsep kewilayahan wawasan nusantara, juga tidak
memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
B. Berkaitan dengan pembuktian effectivitas Malaysia, Mahkamah
menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan
adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai
yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian
upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi
yudisial, dan administrasi atas kedua Pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan
pengumpulan telur penyu sejak 1917.

b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di


Pulau Sipadan pada tahun 1930-an;

c. Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung, dan;


d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau
Sipadan dan pada tahun 1963 di Pulau Ligitan.
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya
effective occupation atas Pulau-Pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah
mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:

A. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini


dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke
Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal
Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903.
Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan
adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an
dan bahkan awal 1970an.
B. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle
Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan
Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun
1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris,
bukan Malaysia.
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan
bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-
Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan
terhadap kasus Pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya
dalam suatu perundang-undangan nasional.
Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat
bahwa “activities by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not
take place on the basis of official regulations or under governmental authority”
Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-
undangan Indonesia atau di bawah otoritas pemerintah, maka mahkamah
menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya
effective occupation. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia
yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan,
Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum.
Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan
adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory
which is specified by name”.

PENUTUP

Kesimpulan

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun


1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-
masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke dalam
batas-batas wilayahnya

International Court of Justice / Mahkamah Internasional (MI) dalam


persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status
kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang
disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria
pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance
dan ecology preservation”. Dalam keputusannya Mahkamah Internasional
memutuskan untuk menolak klaim Indonesia dan Malaysia. Kedua negara
dianggap tidak bisa memberikan bukti kuat bahwa Sultan Bulungan ataupun
Sultan Sulu menguasai kedua pulau tersebut. Dengan demikian, sekalipun
Indonesia dan Malaysia dianggap sebagai penerus dari kedua kesultanan tersebut,
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak termasuk wilayah yang kemudian
diwariskan kepada Indonesia dan Malaysia. Dalam putusan akhirnya, MI
memutuskan Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ketanga Malaysia karena adanya
peraturan Inggris yang menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative
assertions of authority over territory which is specified by name”.

Saran

Pemerintah harus memperbaiki perbatasan wilayah antar negara dan


memperkuat penjagaan perbatasan dengan menambah personil TNI yang selalu
siap siaga. Selain menjaga dan memperkuat, pemerintah juga harus membangun
infrakstruktur di wilayah-wilayah perbatasan agar masyarakat wilayah tersebut
tidak merasa disisihkan oleh negaranya sendiri. Meningkatkan kualitas SDM
Indonesia yang paham akan Hukum Internasional serta fasih berbahasa asing,
khususnya bahasa Inggris.
Daftar Pustaka

“Sekilas tentang Indonesia”, https://www.indonesia-frankfurt.de/pendidikan-


budaya/sekilas-tentang-budaya-indonesia/, Diakses pada 6 September 2019)

Rusiti, “Analisis Kasus Sengketa Kepemilkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Serta Penyelesaiannya”, 2018, Hal. 1.

Rakaditya, Alvin, “Sengketa Sipadan Ligitan Indonesia dan Malaysia yang


Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional”,2018, Hal. 1

http://etheses.uin-malang.ac.id/758/6/10410110%20Bab%202.pdf, Diakses pada


22 September 2019.

https://www.anri.go.id/assets/collections/files/mkn-56-for-web-
568c89e02ab4a.pdf, Diakses pada 22 September 2019.

http://repository.upi.edu/8083/5/s_pkn_0808386_chapter3.pdf, Diakses pada 20


Oktober 2019

Rusiti, “Analisis Kasus Sengketa Kepemilkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Serta Penyelesaiannya”, 2018, Hal. 3.

Rakaditya, Alvin, “Sengketa Sipadan Ligitan Indonesia dan Malaysia yang


Diselesaikan Oleh Mahkamah Internasional”,2018, Hal. 5

Anda mungkin juga menyukai