Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM APLIKASI TEKNIK KIMIA II


PERCOBAAN
SOLID-LIQUID EXTRACTON
(SLE)
Hari : SeninTugas ihaw
Kelompok :4
Praktikan : 1. Kaustar Mu’afa (02211740000086)
2. Ihaw Lius Halim (02211740000090)
3. Dewi Farra Prasetya (02211740000123)
Asisten : Ronald Pakpahan
Tanggal Percobaan :

Cuaca Suhu Udara Suhu Air Tekanan Udara


- 300C - 760 mmHg

Departemen Teknik Kimia


Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2020
RINGKASAN
Tujuan percobaan Condensing Vapor ini adalah untuk mengukur overall heat
transfer coefficient condensing vapor heat exchanger pada permukaan luar pipa
pendingin, mengetahui tipe kondensasi yang terjadi, Mengetahui hubungan ho dari
persamaan Nusselt, Q/A terhadap rate air pendingin (m) pada pipa horisontal dan vertikal
dan Mempelajari perbandingan h dari persamaan Eagle Fergusson dan Nusselt

Pada percobaan mula-mula dilakukan dengan Mengisi tangki penampung air


pendingin sampai overflow. Kemudian Memanaskan tangki pembangkit uap yang berisi air
kurang lebih ¾ bagian, tunggu hingga terbentuk uap yang cukup. Selanjutnya uap dialirkan
dengan cara membuka kran aliran uap. Bersamaan dengan mengalirkan uap, alirkan juga
air pendingin dengan cara membuka pula kran aliran air pendingin ke pipa pengembunan,
dengan variable debit air yang berbeda. Pada saat praktikum berlangsung, catat suhu uap
masuk dan keluar, suhu air pendingin masuk dan keluar, laju alir pendingin dan kondensat
yang terbentuk tiap selang waktu yang ditentukan dan jenis (embun) yang terbentuk.
Percobaan kemudian diulang dengan variasi diameter pipa, letak pipa (vertikal dan
horizontal) dan laju alir fluida yang berbeda (dengan bukaan/putaran kran (valve)) yang
berbeda.
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai Overall Heat Transfer Coefficient, h0 pada
aliran horizontal besar sebesar 1784,968828 kJ/jam.m2.oC, 1974,280413 kJ/jam.m2.oC dan
2217,508216 kJ/jam.m2.oC. Pada vertikal besar sebesar 1662,530718 kJ/jam.m2.oC,
1864,690568 kJ/jam.m2.oC dan 2196,89011 kJ/jam.m2.oC. Tipe kondensasi yang terjadi
adalah Dropwise Condensation untuk horizontal besar dan Filmwise Condensation utntuk
vertikal besar.
Pada pipa horizontal dan vertikal, Hubungan antara laju alir air pendingin (M)
terhadap nilai koefisien perpindahan panas, baik dari persamaan Nusselt (hNu) maupun
persamaan Eagle Fergusson (ho), dapat dilihat bahwa untuk nilai koefisien perpindahan
panas (ho) pada pipa vertikal lebih besar dibandingkan dengan pipa horizontal dan nilai
koefisien perpindahan panas dari persamaan Eagel Fergusson (ho) akan selalu lebih kecil
dibandingkan nilai koefisien perpindahan panas dari persamaan Nusselt (h Nusselt).
.

i
DAFTAR ISI

RINGKASAN..…………………………………………...…………….............................. i
DAFTAR ISI…………………………………………...………………............................. ii
DAFTAR TABEL……………………………………………...…...…...…...................... iii
DAFTAR GAMBAR…………………...………………………........................................ iv
DAFTAR GRAFIK...…………………...………………………........................................ v
BAB I PENDAHULUAN …………….....................……………...............................I-1
I.1 Latar Belakang .……………………………………...…………………...I-1
I.2.Permasalahan………………………...………………………………….…I.1
I.3.Tujuan……………..……………..………………………………………...I.2
BAB II TEORI PENUNJANG……………......................…………......................….II-1
BAB III METODOLOGI
III.1 Tahapan Pengerjaan…………………...…….……...............................III-1
III.2 Skema Alat…………..………………...…………................................III-1
III.3 Bagan Alir………………………...…………….....……………..........III-2
BAB IV HASIL DAN DISKUSI
IV.1 Hasil…………….….....................……………….................................IV-1
IV.2 Diskusi…….........….....................……………......................................IV-3
BAB V KESIMPULAN…….........…..................…………….....................................V-I
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ii
DAFTAR TABEL

Tabel IV.1.1 Data Percobaan Pipa Horisontal Besar……………………..…………..IV-1


Tabel IV.1.2 Data Percobaan Pipa Vertikal Besar………………………………..…..IV-1
Tabel IV.2.1 Perhitungan Fluks Panas Pada Pipa Horizontal………………….......…IV-1
Tabel IV.2.2 Perhitungan Fluks Panas Pada Pipa Vertikal…………………...........…IV-1

Tabel IV.3.1 Perhitungan H0 dengan Eangle-Fergusson pada pipa Horizontal…...….IV-2


Tabel IV.3.2 Perhitungan H0 dengan Eangle-Fergusson pada pipa Vertikal………....IV-2
Tabel IV.4.1 Perhitungan Tabel Perhitungan H0 dengan Nusselt pada Horizontal pada
pipa Horizontal………………………………………………………..………………...IV-2
Tabel IV.4.2 Perhitungan Tabel Perhitungan H0 dengan Nusselt pada Horizontal pada
pipa Vertikal………………………………………………………..…………………...IV-2

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1.1 Film condesation dan dropwise condensation………………………II-2


Gambar II.1.2 Skema alat DPHE…………………………………………………...II-8
Gambar II.1.3 Letak hi, ho, hio pada pipe………………………………………….II-9
Gambar III.1 Skema Alat Condensing Vapor……….............................................III-3
Gambar.IV.1 Kondensasi pada dinding vertikal ………….……………………...IV-3

iv
DAFTAR GRAFIK

Grafik IV.1 Grafik Q/A terhadap M……………………………………………….IV-3


Grafik IV.2 Grafik h0 terhadap M………………………………………………...IV-3
Grafik IV.3 Grafik hNu terhadap M……………………………………………….IV-3

Grafik IV.4 Grafik Perbandingan Perpindahan Panas Eagle-ferguson Vs Perpindahan


Panas Nusselt pada Pipa Horizontal…………………………………………………IV-8

Grafik IV.5 Grafik Perbandingan Perpindahan Panas Eagle-ferguson Vs Perpindahan


Panas Nusselt pada Pipa Vertikal……………………………………………………IV-9

v
BAB I PENDAHULUAN
I-1

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Kondensor adalah suatu alat yang berfungsi untuk mengubah fase refrigerat
dari uap bertekanan tinggi ke cairan yang bertekanan tinggi atau dengan kata lain pada
kondensor ini terjadi proses kondensasi. Kondensasi merupakan perbedaan wujud zat dari gas
atau uap menjadi zat cair. Kondensasi uap menjadi cairan adalah lawan dari penguapan
(evaporator). Contoh bentuk kondensasi di lingkungan sekitar adalah uap air di udara yang
terkondensasi secara alami pada permukaan yang dingin dinamakan embun.
Prosedur yang dilakukan dalam percobaan ini, pertama yaitu mengisi tangki
penampung air dingin sampai over flow, kemudian lakukan pemanasan terhadap tangki
pembangkit uap yang berisi air kurang lebih ¾ bagian, selanjutnya tunggu hingga terbentuk
uap yang cukup. Selanjutnya, alirkan uap dengan cara membuka kran aliran uap. Bersamaan
dengan mengalirkan uap, alirkan juga air pendingin dengan cara membuka kran aliran air
pendingin ke pipa pengembunan dengan variabel bukaan kran yang ditentukan. Langkah
selanjutnya, catat shu uap masuk dan suhu uap keluar, suhu air pendingin masuk dan suhu
pendingin keluar, catat pula laju alir pendinginan dan kondensat yang terbentuk tiap selang
waktu yang ditentukan, serta amati jenis embun. Ulangi percobaan diatas dengan variasi
diameter pipa, letak pipa (vertikal dan horizontal) dan variabel bukaan kran.
Tujuan pada praktikum condensing vapour adalah ntuk menentukan koefisien
perpindahan panas pada pipa vertikal dan horizontal menggunakan persamaan Nusselt. Untuk
mengetahui hubungan antara laju alir uap air dengan nilai koefisien perpindahan panas. Untuk
mengetahui hubungan perbedaan suhu uap air dan air terhadap nilai koefisien perpindahan
panas. Pada industri peristiwa kondensasi digunakan untuk proses penukar panas. Contohnya
pada peristiwa destilasi dimana uap akan terkondensasi menjadi uap sehingga menjadi destilat

I.3. Permasalahan
Suatu produk berupa larutan encer dingin harus di panaskan. Produk mula-mula
bersuhu ruangan dan suhu produk tersebut di naikan setinggi mungkin, namun lebih optimal
pada 75ºC. Uap panas yang berasal dari electric boiler akan digunakan sebagai pemanas.

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB I PENDAHULUAN
I-2

Diperlukan untuk memanaskan 10 liter / menit dari produk. Peralatan berupa Double pipe
heat exchanger yang berbentuk vertikal dan horisontal telah tersedia di dalam laboratorium
dengan spesifikasi seperti berikut :

- Diameter dalam tube : 0,0158 m

- Outer tube number : 0,0213 m

- Panjang alat : 0,5 m

Variabel yang digunakan dalam percobaan Condensing Vapor ini adalah :

1. Flowrate air pendingin.

2. Posisi pipa anular (vertikal dan horisontal).

1.2 Tujuan
Tujuan dari percobaan Condensing Vapor ini adalah :

1. Menentukan koefisien perpindahan panas dari uap yang mengembun pada permukaan
luar pipa pendingin.

2. Mengetahui tipe kondensasi yang terjadi.

3. Mengetahui hubungan ho dari persamaan Nusselt, Q/A terhadap rate air pendingin (m)
pada pipa horisontal dan vertikal.

4. Mempelajari perbandingan h dari persamaan Eagle Fergusson dan Nusselt

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-1

BAB II
TEORI PENUNJANG

II.1 Teori

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-2

Fluida dapat terdiri dari uap, gas, atau liquid. Perubahan fase dari fase uap menjadi fase
liquid disebut kondensasi, sedangkan perubahan fase liquid menjadi fase gas disebut
penguapan. Jumlah panas yang terlibat pada penguapan atau kondensasi adalah sama. Ketika
uap air murni masuk dan kontak dengan permukaan yang dingin misalnya permukaan pipa,
uap air tersebut akan mengkondensasi.

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-3

Kondensasi terjadi ketika suhu uap berkurang di bawah suhu saturasinya T sat. Hal ini,
biasanya dilakukan dengan membawa uap ke dalam kontak dengan permukaan padat yang
suhunya Ts yang berada di bawah suhu saturasi T sat uap. Tetapi kondensasi juga dapat terjadi
pada permukaan bebas cairan atau bahkan dalam gas ketika suhu cairan atau gas yang terkena
uap berada di bawah suhu Tsat. Dalam kasus terakhir, tetesan cairan yang tersuspensi dalam
gas membentuk kabut. Dalam bab ini, kami akan mempertimbangkan kondensasi pada
permukaan padat saja. Dua bentuk kondensasi yang berbeda diamati: film condensation dan
dropwise condensation. Dalam film condensation, kondensat membasahi permukaan dan
membentuk film cair pada permukaan yang meluncur di bawah pengaruh gravitasi. Ketebalan
film cair meningkat dalam arah aliran karena lebih banyak uap mengembun pada film. Inilah
bagaimana kondensasi biasanya terjadi dalxam praktik. Dalam dropwise condensation, uap
yang terkondensasi membentuk tetesan pada permukaan alih-alih lapisan film yang kontinyu,
dan permukaan ditutupi oleh tetesan yang tak terhitung dari berbagai diameter (Gambar 10-
20). Dalam film condensation, permukaan diselimuti oleh film cair dengan ketebalan yang
meningkat, dan “dinding cair” antara permukaan padat dan uap berfungsi sebagai resistensi
terhadap perpindahan panas. Panas penguapan hfg dilepaskan karena uap mengembun harus
melewati hambatan ini sebelum dapat mencapai permukaan padat dan dipindahkan ke
medium di sisi lain. Namun, dalam dropwise condensation, tetesan-tetesan itu meluncur ke
bawah ketika mereka mencapai ukuran tertentu, membersihkan permukaan dan membuatnya
menjadi uap. Tidak ada film cair dalam hal ini untuk menahan perpindahan panas. Sebagai
hasilnya, laju perpindahan panas yang lebih dari 10 kali lebih besar daripada yang terkait
dengan film condensation dapat dicapai dengan kondensasi dropwise. Oleh karena itu,
dropwise condensation adalah mode kondensasi yang disukai dalam aplikasi perpindahan
panas, dan orang-orang telah lama mencoba untuk mencapai dropwise condensation yang
berkelanjutan dengan menggunakan berbagai aditif uap dan pelapis permukaan. Namun,
upaya ini tidak terlalu berhasil, karena kondensasi dropwise yang dicapai tidak bertahan lama
dan dikonversi menjadi film condensation setelah beberapa waktu. Oleh karena itu,
merupakan praktik umum untuk bersikap konservatif dan menganggap film condensation
dalam desain peralatan transfer panas.

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-4

Gambar II.1.1 Film condesation dan dropwise condesation


(Cengel, 2002)

Proses kondensasi umumnya terjadi pada tekanan konstan karena perubahan tekanan
dalam kondensor tidak terlalu besar. Oleh karena itu proses penguapan atau kondensasi satu
komponen biasanya terjadi dalam keadaan isotermal (suhu tetap). Uap kondensasi dapat
terdiri hanya dari satu zat saja, atau campuran beberapa zat yang mampu mengkondensasi dan
beberapa zat yang tak mudah berkondensasi (noncondensible). Kondensasi dapat terbagi
menjadi 4 macam yaitu Berdasarkan mekanisme fisis :

 Film Wise Condensation

 Drop Wise Condensation

Kedua jenis kondensasi ini, masing-masing mempunyai koefisien perpindahan panas yang
tergantung pada tekstur atau kekasaran dari permukaan pipa dimana kondensasi terjadi.dan
posisi atau letak permukaan kondensasi, yaitu vertikal atau horisontal.
Film Wise Condensation.

Dalam kondensasi film, kondensat dapat membentuk film suatu lapisan tipis merata yang
mengalir di atas permukaan pipa karena pengaruh gaya gravitasi. Lapisan ini berada di antara
uap dan dinding pipa sehingga tahanan panasnya berpengaruh pada koefisien perpidahan
panas. Kondensasi film berlangsung pada tabung dimana uap maupun tabung tersebut
semuanya bersih, baik dalam keadaan dimana ada udara maupun tidak. Hal ini pertama kali
diselidiki oleh Nusselt, dimana diasumsikan :

1. Panas yang menyertai proses kondensasi hanya panas laten

1. Timbulnya film kondensat pada permukaan pipa pendingin hanya terjadi pada aliran
laminer dan perpindahan panas melalui film terjadi secara konduksi.

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-5

2. Ketebalan film kondensat pada setiap titik adalah fungsi dari kecepatan aliran dan jumlah
kondensat yang melalui titik tersebut.

3. Kecepatan dari lapisan film adalah fungsi dari hubungan friksi shearing force dan berat
film.

4. Kuantitas dari kondensat sebanding dengan banyaknya panas yang berpindah.

5. Temperatur permukaan pipa dengan temperatur film dianggap konstan.

6. Sifat-sifat fisik kondensat dianggap pada rata-rata temperatur film.

2. Lapisan film tipis sekali sehingga gradien temperatur merupakan fungsi linier.

3. Permukaan pipa kondensat dianggap bersih.

4. Lekukan film diabaikan.

Penurunan persamaan koefisien kondensasi dituliskan di bawah ini.


Kecepatan alir kondensat dirumuskan :
g  y 2 
u yy ' 
  2 

Pada jarak x dari atas permukaan kondensasi, kecepatan rata-rata aliran kondensat adalah :
y'
1 g 2
u
y' 
u.dy 
0
3
y'

Dari persamaan (2), dikalikan dengan g dan dengan diferensial dar x sampai x+dx,
  2 g 2   2 gy '2
d ( u y ' )  d  y '   dy '
 3  

d ( u y ' )  W '1dx

Untuk fluida berupa air, suatu hasil yang lebih akurat dapat diperoleh dari persamaan khusus
untuk air, yaitu persamaan Eagle-Fergusson:
hi = 4200 (1,35 + 0,02 Tav) Ut0,8/ ID0,2
Drop Wise Condensation

Pada kondensasi tetes, mula-mula kondensat membentuk inti nukleasi mikroskopik, dimana

tempat pembentukan nukleasi ini bisanya lubang-lubang kecil, goresan atau tempelan debu

pada permukaan. Kemudian tetes-tetes akan bergabung dengan tetes-tetes yang berdekatan

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-6

membentuk tetes-tetes yang lebih besar sebagaimana diamati pada dinding gelas yang berisi

air dingin dalam ruangan yang lembab lalu mengalir ke bawah karena gaya gravitasi.

Selama berlangsungnya kondensasi tetes, permukaan tabung yang agak luas ditutupi oleh

suatu film zat cair yang sangat tipis sehingga tahanan termalnya dapat diabaikan, Pada

kondensasi tetes koefisien perpindahan panas 4-8 kali lebih besar daripada kondensasi film.

Pada tabung yang panjang, kondensasi pada sebagian permukaan berupa kondensasi film,

sedang pada permukaan selebihnya adalah kondensasi tetes.

(Kern, 1965)

Berdasarkan letak kondensor :


 Vertikal condenser

 Horizontal condenser

Vertical condenser
Untuk tabung vertikal pada film condensation, ketebalan film bertambah sesuai dengan
kenaikan laju kondensat. Teori Nusselt menunjukkan bahwa kondensat mulai terbentuk di
puncak tabung dan ketebalan film bertambah dari atas ke bawah. Karena alasan ini koefisien
kondensasi pada permukaan vertikal menurun dari atas ke bawah. Perpindahan panas ke
permukaan terjadi secara konduksi melalui film dimana diasumsikan alirannya laminar
dengan rumus

hx = kf /
Untuk semua liquid viskositasnya akan menurun jika temperatur naik sedangkan koefisien
kondensasi dan temperatur kondensat akan naik . Koefisien rata-rata h untuk seluruh tabung
adalah:
qT
Ao  To mT    
h= =  b
  Do  L  To L  To

1 3
4k f   f  g 
2

h=  
3  3b   f  g 

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-7
1 3
 f
2

h=  3 
 k f   f  g 
2

1 3
 4 
h = 1.47  b 
 f 

sehingga:
1/ 4
 k 3f x 2 f xxg 
h  0,943 
  f xdLxTf 
Dimana :
Tf = (Ts+Tw)/2

kf, f dan f = properti-properti dari air.

g = gaya gravitasi

 = panas laten

L = Panjang kondensor

Harga koefisien kondensasi film dipengaruhi oleh posisi/letak kondensor. Pada pipa vertikal
sekitar 60 % kondensasi terjadi di setengan pipa atas. Perawatan pada pipa vertikal cenderung
lebih mahal dan lebih sulit. Tetapi pada pipa vertikal selain dapat mengkondensasikan uap
tetapi juga dapat mendinginkan kondensat di bawah suhu jenuh.
Horizontal condenser
Untuk pipa ¾ inchi, koefisien pada horizontal kondensor lebih besar 3,07 kali dari vertikal
kondensor (Chapter 12, hal 268, Kern). Untuk proses kondensasi dengan kapasitas besar, dan
koefisien perpindakan panas sekitar 800 btu/hr.ft2.oF digunakan kondensor horizontal untuk
mempermudah distribusi uap dan meremoval kondensat. Untuk kondensasi pada tabung
horisontal, analog dengan persamaan 4 akan didapatkan persamaan
1 3
 f2 
h=  3 
 k f   f  g 
3

1 3
 4 
= 1.51.  b 
 f 

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-8

1/ 4
 k 3f x 2 f xxg 
h  0,725 2 
  f xDoxT 

Dimana :
Tf = (Ts+Tw)/2

kf, f dan f adalah properti-properti dari air.

g = gaya gravitasi

 = panas laten

OD = Diameter luar tabung

Jika tabung yang digunakan lebih dari satu, maka persamaan di atas menjadi:
0.25
 k 3f   2f  g .   
h = 0.725.  2 3  Kern hla 260 pers 12.18
 N   f  Do  Tf 

(Kern, 1965)

Berdasarkan banyaknya uap terkondensasi :


 Kondensasi sebagian

Pada kondensasi ini tidak semua uap terkondensasi, sebagian tidak terkondensasi karena
bersifat noncondensible. Gas noncondensible adalah gas superheated yang tidak dapat
didinginkan sampai suhu uap jenuh ketika uap itu sendiri dikondensasi.
 Kondensasi total

Pada proses kondensasi ini, semua uap terkondensasi menjadi liquid.


(Kern, 1965)

Berdasarkan uap yang terkondensasi


 Superheated vapor condensation

Kondensasi uap superheated berbeda dengan uap saturated dalam hal panas sensibel yang
dipindahkan. Untuk kondensasi uap superheated, panas kondensasi dipindahkan karena
adanya perbedaan temperatur uap saturated dan temperatur dinding pipa, dengan rumus
Q = h A (Ts – tw)
 Subcooling vapor condensation

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-9

Digunakan untuk mendinginkan uap pada suhu lebih rendah dari suhu uap jenuh (subcooling).
Biasanya digunakan pada destilasi produk yang mudah menguap dan menyimpannya ke
tempat penyimpanan pada temperatur yang lebih rendah untuk menghindari penguapan. Jika
uap saturated melewati shell dari kondensor subcooling vertikal, akan membentuk dua daerah
yang berbeda yaitu bagian atas untuk kondensasi dan bagian bawah untuk subcooling.

(Kern, 1965)

Dalam operasi distilasi komponen yang lebih volatil (mudah menguap) selalu terpisah
sebagian saja dari komponen yang kurang volatil dan produknya atasnya tidak pernah murni
100%. Hal ini mungkin disebabkan kandungan dari trace ke kosentrasi substansial dari
komponen yang lebih berat dan kandungan tersebut tidak terkondensasi secara isotermal,
kecuali ketika produk atas campuran dengan titik didih tetap atau campuran membentuk
cairan yang immiscible ketika range suhu kecil pada kondensasi terhadap campuran, mungkin
tidak sampai (10 - 20) oF campuran dapat diperlakukan sebagai senyawa murni dengan selisih
suhu nyata menjadi LMTD untuk 1-1 kondensor atau F T x LMTD untuk 1-2 kondenser.
Penggunaan LMTD konvensional untuk kasus yang sama dianggap panas berlebih
dipindahkan dari uap per penurunan suhu sama. Pendekatan untuk suhu medium pendingin
dilibatkan dapat menyebabkan kesalahan serius. Untuk mayoritas servis asumsi tidak
menyebabkan kesalahan serius.
Sehingga untuk menghitung koefisien perpindahan panas yang terdapat dibagian luar pipa
dalam (ho) menggunkan rumus :

U C x hio
ho 
(hio  U C )

dimana UD = koefisien perpindahan panas overall desain/kotor.

Q
UD  A
LMTD

Q/A adalah fluks panas = m x cp x t , (panas yang diterima oleh fluida dingin), dan A yaitu
luas kontak permukaan perpindahan panas yang besarnya = a” x

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-10

Gambar II.1.2 Skema alat DPHE

a” = luas permukaan eksternal tiap ft

L = Panjang kondensor.

h1 = m Cp (t1 – Tref)

h2 = m Cp (t2 – Tref)

H1= M Cp (Td – Tref) + M  + M Cp (T1 – Td)

H2= M Cp (T2 – Tref)

Neraca panas : panas yang masuk = panas yang keluar

h1 + H1 = h2 + H2

mCp(t1 – Tref) + MCp(Td – Tref) + M + MCp(T1 – Td) = mCp(t2 – Tref) + MCp(T2 –Tref)

Dimana: m : Laju alir massa fluida dingin, Kg/s

h1: Entalpi fluida dingin pada aliram masuk , KJ/Kg

t1 : Temperatur fluida dingin pada aliran masuk, oC,K

h2 : Entalpi fluida dingin pada aliran keluar, KJ/Kg

t2 : Temperatur fluida dingin pada aliran keluar, oC, K

M : Laju alir massa fluida panas, KJ/Kg

H1: Entalpi Fluida panas pada aliran masuk, KJ/Kg

(Kern, 1965)

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB II TEORI PENUNJANG
II-11

Gambar II.1.3 Letak hi, ho, hio pada pipa

Koefisien Perpindahan Panas Individu


Persamaan untuk mencari koefisien perpindahan panas untuk fluida termasuk air
diturunkan dari persamaan Eagle & Ferguson. Untuk aliran air dalam pipa persamaannya
sebagai berikut:
4200 x(1.35  0,02t ) xUt 0,8
hi 
di 0, 2
Rumus tersebut digunakan apabila variabel yang digunakan tidak mengasumsikan seperti
yang digunakan Nusselt. Pada pipa ganda penggunaan permukaan pipa luar lebih umum
digunakan untuk menghitung koefisien perpindahan panas individual. Harga koefisien
tersebut dicari dari persamaan :
ID
hio  hix
OD
Syarat utama dari suatu proses kondensasi adalah bahwa uap dalam kondisi jenuh murni
berkontak dengan permukaan dingin seperti tube dan mulai melewati titik kritisnya.
Sedangkan dalam perhitungan digunakan Dt LMTD karena panas yang ditranfer sepanjang pipa
tidak sama sehingga dipakai Dt LMTD untuk menentukan temperatur rata-rata pada pipa tanpa
koreksi.
 T1  t 2    T2  t1 
LMTD 
 T  t  
Ln  1 2 
  T2  t1  
Menggunakan koreksi ft jika :
1. Persamaan matematikanya terlalu komplek.

2. Untuk menentikan keefektifan perpindahan panas.

3. Dipakai karena koefisien heat transfer dianggap konstan.

(Geankoplis, 2003)

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB III METODOLOGI
III-1

BAB III
METODOLOGI

III.1 Tahapan Pengerjaan


Metode untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut:
1. Mengisi tangki penampung air pendingin sampai overflow.
2. Memanaskan tangki pembangkit uap yang berisi air kurang lebih ¾ bagian, tunggu hingga
terbentuk uap yang cukup.
3. Selanjutnya mengalirkan uap dengan cara membuka kran aliran uap. Bersamaan dengan
mengalirkan uap, alirkan juga air pendingin dengan cara membuka pula kran aliran air
pendingin ke pipa pengembunan, dengan variable debit air yang berbeda.
4. Mencatat suhu uap masuk dan keluar, suhu air pendingin masuk dan keluar.
5. Mencatat pula laju alir pendingin dan kondensat yang terbentuk tiap selang waktu yang
ditentukan dan amati jenis (embun) yang terbentuk.
6. Mengulangi percobaan di atas dengan variasi diameter pipa, letak pipa (vertikal dan
horizontal) dan laju alir fluida yang berbeda (dengan bukaan/putaran kran (valve)) yang
berbeda.

III.2 Alat

Gambar III.1 Skema Alat Condensing Vapor

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB III METODOLOGI
III-2

Keterangan :
1. Penampung Air 5A. dan 5B. Kondensor Horizontal
2. Penampung Uap 6. Barometer
3. Bejana Penguap 7. Termometer
4A. dan 4B. Kondensor Vertikal 8. Elemen Pemanas

III.3 Bagan Alir


Tahapan tersebut digambarkan dalam bagan alir berikut ini:

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB III METODOLOGI
III-3

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-1

BAB IV
HASIL DAN DISKUSI

IV.1 Hasil Perhitungan

Tabel IV.1.1 Data Percobaan Pipa Horisontal Besar


Flowrate air Suhu oC Jenis Kondensat
No dingin (cm3/ s)
T1 T2 t1 t2
1 76,1875 97,5 96,5 29 42,3 Dropwise
2 81,125 98,5 96,9 29 43,3 Dropwise
3 89,9375 100,5 97,8 29 44,3 Dropwise

Tabel IV.1.2 Data Percobaan Pipa Vertikal Besar


Flowrate air Suhu oC
Jenis Kondensat
No dingin (cm3/ s)
T1 T2 t1 t2
1 76,25 99,3 97,8 29 43,6 Filmwise
2 81,25 99,9 98,2 29 44,2 Filmwise
3 90 101 100 29 44,7 Filmwise

Tabel IV.2.1 Perhitungan Fluks Panas Pada Pipa Horizontal


Flowrate
Delta air Cp
M (kg/jam) Q (kJ/jam) A (m2) Q/A (kJ/m2)
T (K) pendingin (kJ/ Kg)
(m3/jam)
14,6 0,2745 273,39102 4,18 16684,50717 0,1506 110786,9002
15,2 0,2925 291,3183 4,18 18509,19951 0,1506 122903,0512
15,7 0,324 322,69104 4,18 21176,92219 0,1506 140617,0132

Tabel IV.2.2 Perhitungan Fluks Panas Pada Pipa Vertikal


Flowrate
Delta air Cp
M (kg/jam) Q (kJ/jam) A (m2) Q/A (kJ/m2)
T (K) pendingin (kJ/ Kg)
(m3/jam)
13,3 0,274275 273,166929 4,18 15186,44225 0,1506 100839,59
14,3 0,29205 290,870118 4,18 17386,47043 0,1506 115448,0108
15,3 0,323775 322,466949 4,18 20623,05126 0,1506 136939,2514

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-2

Tabel IV.3.1 Perhitungan H0 dengan Eangle-Fergusson pada pipa Horizontal

Trata-
Flowrate LMTD Hi Ud hio ho
rata
(m3/jam) (oC) (Kj/jam.m2.oC) (Kj/jam.m2.oC) (Kj/jam.m2.oC) (Kj/jam.m2.oC)
(oC)
0,2745 36,3 62,0892926 6574035,375 1784,315708 4876514,503 1784,968828
0,2925 36,6 62,2759598 6936689,1 1973,523195 5145525,248 1974,280413
0,324 36,85 63,437293 7546216,584 2216,6301 5597663,006 2217,508216

Tabel IV.3.2 Perhitungan H0 dengan Eangle-Fergusson pada pipa Vertikal


Trata-
Flowrate LMTD Hi Ud hio ho
rata
(m3/jam) (oC) (Kj/jam.m2.oC) (Kj/jam.m2.oC) (Kj/jam.m2.oC) (Kj/jam.m2.oC)
(oC)
0,274275 35,65 60,67509433 6528584,287 1661,960168 4842799,612 1662,530718
0,29205 36,15 61,93525272 6898201,545 1864,011299 5116975,794 1864,690568
0,323775 36,65 62,35775191 7527568,705 2196,02611 5583830,307 2196,89011

Tabel IV.4.1 Perhitungan Tabel Perhitungan H0 dengan Nusselt pada Horizontal pada
pipa Horizontal
lamda f kf
Flowrate Tf delta rho f miu f hNu(kJ/jam.m2.o
(kJ/jam.m.o (kJ/jam.m.o
(m3/jam) o
( C) Tf (kg/m3) (kg/jam) C)
C) C)
70,9 27,3 977,22621 939,049
0,2745 2326 2,1797842 3781,421
5 5 29 2
71,5 27,3 976,86259 932,189
0,2925 2326 2,1814876 3789,872
5 5 29 89
72,8 28,1 976,48135 893,739
0,324 2326 2,1837588 3804,713
5 5 26 11

Tabel IV.4.2 Perhitungan Tabel Perhitungan H0 dengan Nusselt pada Horizontal pada
pipa Vertikal
lamda f kf
Flowrate Tf delta rho f miu f hNu(kJ/jam.m2.o
(kJ/jam.m.o (kJ/jam.m.o
(m3/jam) (oC) Tf (kg/m3) (kg/jam) C)
C) C)
0,27427 71,4 29,1 976,92346 1437,7151
2326 2,1809198 7134,428281
5 5 5 32 75
72,0 28,7 976,55984 1427,1492
0,29205 2326 2,1820554 7173,794661
5 5 33 11
0,32377 72,8 28,5 976,48135 1376,7004
2326 2,1837588 7255,228167
5 5 5 26 53

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-3

IV.2 Diskusi

Percobaan Condensing Vapor ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui


tipe kondensasi yang terjadi, menentukan koefisien perpindahan panas dari uap yang
mengembun dan fluks panas (Q/A), membandingkan h vertikal dengan h horisontal,
menghitung h Eagle-Fergusson dan h Nusselt dan membandingkan h Eagle-Fergusson
dan h Nusselt.
Percobaan yang dilakukan oleh Hifdillah dan Nofitasari (2018) menggunakan 2
jenis pipa, yaitu pipa vertikal besar dan horisontal besar yang masing-masing memiliki
jenis pipa steel dengan dimensi ½ “schedule 40. Langkah pertama mengisi tangki
penampung air pendingin hingga overflow. Lalu, Memanaskan tangki pembangkit uap
yang berisi air kurang lebih ¾ bagian. Hal ini dilakukan karena pemanasan akan
dilakukan hingga air berubah fasa menjadi uap air. Uap air panas yang terbentuk berupa
gas dan akan menambah tekanan pada pemanas. Dalam percobaan yang dilakukan
diperoleh 3 macam flowrate yang berbeda. Untuk pipa vertikal didapatkan flowrate air
sebesar 76.25 cm3/s, 81.25 cm3/s, dan 90 cm3/s. Flowrate untuk pipa horizontal sebesar
76.187 cm3/s, 81.125 cm3/s ,89.9375 cm3/s. Setelah itu mengamati jenis kondensasi yang
terjadi pada permukaan pipa dan mencatat suhu uap masuk (T1), suhu kondensat keluar
(T2), suhu dinding (Tw), suhu air pendingin masuk (t1) dan suhu air pendingin keluar (t2).
Selanjutnya dengan langkah yang sama dilakukan untuk posisi pipa yang berbeda.

1. Tipe kondensasi pada pipa vertikal dan horizotal


Pada pipa vertikal besar jenis kondensasfs i yang terjadi adalah film wise
condensation (kondensasi film). Dalam kondensasi film, kondensat dapat
membentuk film suatu lapisan tipis merata yang mengalir di atas permukaan pipa
karena pengaruh gaya gravitasi seperti pada Gambar IV.1. Lapisan ini berada di
antara uap dan dinding pipa sehingga tahanan panasnya berpengaruh pada koefisien
perpidahan panas. Hal ini telah sesuai dengan literatur bahwa kondensasi film terjadi
pada tube yang terbuat dari logam jika steam tube bersih.

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-4

Gambar IV.1 Kondensasi pada dinding vertikal

Pipa horisontal besar memiliki jenis kondensasi yang terjadi adalah drop wise
condensation (kondensasi tetes). Terjadinya kondensasi tetes ini karena pada saat kondensat
yang melapisi dinding tabung jatuh akibat gaya berat maka mula-mula terbentuk hambatan
aliran kondensat dan inilah yang menjadi awal terbentuknya nukleasi mikroskopik yang
menyebabkan terjadinya tempelan embun pada permukaan pipa sehingga akan terbentuk
tetsan air yang semakin lama makin membesar.
Pada industri, kondensasi dropwise adalah tipe kondensasi yang paling diharapkan karena
lapisan embun yang terbentuk hanya berada di sebagian dari kondensor sehingga perpindahan
panas dapat berjalan secara maksimal. Akan tetapi, baik kondensor vertikal dan horizontal
sering digunakan sesuai dengan kebutuhannya pada industri. Seperti pada kondensor vertikal
yang sering memiliki tipe kondensasi filmwise sebagian sering digunakan dalam kolom
distilasi, terutama di menara rektifikasi kontinue.

1. Hubungan antara Q/A, ho, dan hNusselt dengan flowrate massa air pendingin

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-5

Grafik IV.1 Grafik Q/A terhadap M


Pada kasus luas penampang yang konstan laju transfer panas yang sering disebut
flux memiliki persamaan flux = Q/A. Pada Grafik IV.1, terlihat bahwa kenaikan Q/A
sebanding dengan kenaikan flowrate masa air pendingin. Naiknya suhu air pendingin
akan menyebabkan kenaikan panas yang ditransfer semakin besar sehingga harga Q/A
akan naik. Hal ini dikarenakan setiap materi memiliki sejumlah energi yang
dikandungnya sehingga properti untuk memanaskan air dingin jadi lebih banyak. Jadi
dalam hal ini, aliran air berfungsi sebagai penyerap panas yang berasal dari steam. Panas
yang diserap dari steam oleh air sebesar Q = M Cp ∆T.
Dari grafik pada Grafik IV.1 dapat diamati bahwa fluks panas pada pipa
horizontal secara umum lebih kecil dibandingkan dengan fluks panas pada pipa vertikal.
Hal tersebut terjadi karena adanya kondisi pipa vertikal air pendingin bergerak melawan
gaya gravitasi yang menyebabkan konveksi natural dan air mengisi volume pipa secara
perlahan (tidak jatuh bebas) seperti pada ilustrasi Gambar.2. Oleh karena itu, dari
percobaan yang telah dilakukan dapat dikatakan jika dalam percobaan pipa vertikal,
proses transfer panas yang terjadi lebih besar jika dibandingkan dengan pipa horizontal.

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-6

Gambar.2 ilustrasi aliran air panas vertical

Grafik IV.2 Grafik h0 terhadap M


Pada Grafik IV.2 diperoleh hasil dari pipa vertikal dan horizontal. Untuk
mendapat ho, dapa digunakan persamaan Eagle Fergusson pada persamaan ( hi = 4200
0.8
x (1.35 + 0.02.Trata-rata) x Vt /di0.2 ). Sesuai dengan teori, jika flowrate air
pendingin naik, maka v akan naik dan tc akan turun, akan tetapi kenaikan v lebih besar
pengaruhnya daripada penurunan tc, sehingga jika flowrate air pendingin naik maka hi
akan naik, demikian juga dengan hio, karena hio diperoleh dengan persaamaan hio = hi x

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-7

(ID/OD). Kenaikan hio ini selanjutnya akan mempengaruhi kenaikan ho. Penurunan suhu
dinding dan suhu kondensat yang sebanding dengan kenaikan flowrate massa air
pendingin menyebabkan penurunan LMTD, dari hubungan Q= UD A (LMTD). Terlihat
bahwa penurunan LMTD akan menyebabkan kenaikan harga U D. Kenaikan harga UD dan
hio akan menyebabkan naiknya harga ho. Data yang diperoleh, untuk pipa vertikal dan
horizontal telah sesuai dengan teori dimana nilai ho naik seiring dengan naiknya flowrate
air masuk.

Grafik IV.3 Grafik hNu terhadap M

Untuk grafik Grafik IV.3. flowrate air pendingin dan suhu kalorik air menentukan
suhu dinding (Tw). Suhu film (Tf) dapat dihitung dengan suhu rata-rata dinding dan fluida
panas yang masuk sehingga didapatkan perbedaan suhu dinding dan suhu film sebagai
ΔTf. Sehingga dengan Persamaam Nusselt dapat dilihat jika perbedaan temperatur
makin besar, maka hNusselt akan semakin kecil. Pada tabel dapat dilihat pada pipa
horizontal terjadi kecenderungan hNusselt akan makin kecil jika flowrate massa air
pendingin naik. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, diperoleh jika percobaan
pada pipa vertical dan pipa horizontal sudah sesuai dengan teori.

2. Perbandingan ho dan hNusselt pada pipa vertikal dan horizontal.

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-8

Grafik IV.4 Grafik Perbandingan Perpindahan Panas Eagle-ferguson Vs


Perpindahan Panas Nusselt pada Pipa Horizontal

Grafik IV.5 Grafik Perbandingan Perpindahan Panas Eagle-ferguson Vs


Perpindahan Panas Nusselt pada Pipa Vertikal

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-9

Hubungan antara laju alir air pendingin (M) terhadap nilai koefisien perpindahan
panas, baik dari persamaan Nusselt (hNu) maupun persamaan Eagle Fergusson (ho), dapat
dilihat bahwa untuk nilai koefisien perpindahan panas (ho) pada pipa vertikal lebih besar
dibandingkan dengan pipa horisontal. Hal ini karena waktu tinggal aliran air pendingin
yang relatif lebih lama di dalam pipa vertikal dibandingkan dengan di dalam pipa
horisontal karena flowrate air pendingin yang tidak terlalu besar dan pada pipa vertikal
air pendingin bergerak melawan gravitasi. Selain itu, karena kondensat dari pipa
horisontal yang terjebak didalam sepanjang dinding pipa kaca yang menyebabakan
proses transfer panas tidak berjalan dengan optimal. Sedangkan untuk nilai koefisien
perpindahan panas hNu pada pipa horisontal lebih besar dibanding pipa vertikal. Hal
tersebut terjadi karena pada persamaan Nusselt (hNu) memberikan asumsi bahwa transfer
panas terjadi secara sempurna tanpa adanya error yang di perhatikan (secara teoritis).
Hasil yang didapat telah sesuai dengan teori dimana hNu pada pipa horisontal lebih besar
dibanding pipa vertikal.
Dari tabel hasil perhitungan, tampak bahwa nilai koefisien perpindahan panas
dari persamaan Eagel Fergusson (ho) selalu lebih kecil dibandingkan nilai koefisien
perpindahan panas dari persamaan Nusselt (h Nusselt). Hal ini karena nilai koefisien
perpindahan panas dari persamaan Eagel Fergusson (ho) hanya merupakan perpindahan
panas yang terjadi pada air, sedangkan nilai koefisien perpindahan panas dari persamaan
Nusselt (h Nusselt), merupakan perpindahan panas yang terjadi pada air dan pada steam.
Dari percobaan didapatkan bahwa alat tidak dapat memenuhi problem statement
yaitu tidak mampu menghasilkan suhu keluaran air pendingin sebesar 75°C. Maka dari
alat diperlukan scale up dengan cara memperbesar luasan perpindahan panas antara
steamdengan fluida pendingin. Bila ditinjau dari persamaan konveksi, Jika luas
penampang di perbesar, maka nilai perpindahan panasnya semakin besar, sehingga kalor
yang terserap oleh air pendingin dari steam akan meningkat. Maka dari hasil perhitungan
panjang mula-mula pipa 0.44 m membutuhkan scale-up alat hingga 2 meter atau 4.7159
kali lebih panjang daru panjang sebelumnya untuk mendapatkan air pendingin yang
keluar 75oC

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


BAB V KESIMPULAN
V-1

BAB V
KESIMPULAN

Dari data dan hasil perhitungan dalam percobaan dapat disimpulkan :


1. Nilai heat transfer coefficient, h0 di permukaan luar pipa antara lain
Horizontal besar: 1784,968828 Kj/jam.m2.oC
1974,280413 Kj/jam.m2.oC
2217,508216 Kj/jam.m2.oC

Vertikal besar : 1662,530718 Kj/jam.m2.oC,


1864,690568 Kj/jam.m2.oC
2196,89011 Kj/jam.m2.oC

2. Kondensasi yang terjadi pada pipa Vertikal adalah Filmwise Condensation dan
pada pipa horizontal adalah Dropwise Condensation
3. Hubungan antara laju alir air pendingin (M) terhadap nilai koefisien perpindahan
panas, baik dari persamaan Nusselt (hNu) maupun persamaan Eagle Fergusson
(ho), dapat dilihat bahwa untuk nilai koefisien perpindahan panas (ho) pada pipa
vertikal lebih besar dibandingkan dengan pipa horisontal.
4. Nilai koefisien perpindahan panas dari persamaan Eagel Fergusson (ho) akan
selalu lebih kecil dibandingkan nilai koefisien perpindahan panas dari persamaan
Nusselt (h Nusselt).

Laboratorium Teknik Kimia FTIRS-ITS


DAFTAR PUSTAKA

Cengel, Y. A. Heat Transfer A Practical Approach 2nd Edition. New York: McGraw-Hill. 2002.
Geankoplis, Christie J. Transport Processes and Separation Process Principles (Includes Unit
Operations). 4th edition. New Jersey: Prentice Hall. 2003.
Hifdillah & Nofitasari. “LAPORAN RESMI PRAKTIKUM OPERASI TEKNIK KIMIA II
CONDENSING VAPOR”. Surabaya : UPN “Veteran” Jatim. 2018.
Kern, Donald. Q. Proses Heat Transfer, International Edition. Singapore : Mc Graw Hill Book
Company. 1965.
APPENDIKS

Contoh : untuk Flowrate 90 cm3/s pada pipa vertikal


besar.
1. Penentuan Laju Alir Air Pendingin
a. Kalibrasi Aliran Air Pendingin
Volume (m3) = 90 cm3
Waktu (Jam) = 1 second
Laju volumetrik (ml/s) terukur
=V/t

= 0.324 m3/jam

b. Kecepatan Aliran Pendingin Masuk


 Jenis pipa dalam = steel dengan dimensi ½ “ schedule 40
 Diameter dalam (ID) = 0.0158 m
 Diameter luar (OD) = 0,0213 m
 Luas penampang dalam pipa dalam (Ai ) = ¼  (ID)2
= ¼  (0.0158 m)2

= 0,000196 m2

 Kecepatan alir air pendingin(Vt) = laju alir volumetrik terhitung / Ai


= 0.324 m3/jam / 0.000196 m2

= 1653.3362 m/jam
c. Laju Alir Massa Air Pendingin (M)
 Massa jenis air pada t1 (29oC).  = 995.96 kg /m3
 Laju alir massa air pendingin = laju alir volumetrik x 
= 0.324 m3/jam x 995.96 kg/m3

= 322.69104 kg/jam
2. Neraca Panas
a. Neraca Panas Air Pendingin
Cp air pada saat t rata-rata air pendingin 36.3 oC =4.19 kJ/ Kg K


 Neraca Panas Steam
Karena panas sensible <<< panas laten. maka perhitungan panas yang diserap oleh air
pendingin berasal dari steam pada saat perubahan fase steam menjadi air (panas laten).

3. Penentuan Fluks Panas Yang Terjadi


a. Panas Yang Diterima Air Pendingin
Q = 4489,6 KJ/jam

b. Luas Kontak Perpindahan Panas


Perpindahan panas berlangsung dari steam yang bersuhu tinggi di luar pipa air
pendingin (di dalam pipa gelas). ke air pendingin yang ada di dalam pipa steel
(berbentuk anulus). dengan demikian luas kontak perpindahan panas yang terjadi
dihitung berdasarkan diameter efektif.
OD =D1
ID
diameter dalam
`
pipa luar =D2
Steam

Air pendingin

Jenis pipa dalam = steel dengan dimensi ½ “ schedule 40

 Diameter dalam (ID) = 1,58 cm = 0.0158 m


 Luas penampang dalam pipa dalam (Ai ) = ¼  (0.0158 m)2 = 0.000196 m2

Pipa luar atau pipa besar :

 Diameter luar (ID) pipa dalam = 2,13 cm = 0.0213 m


 Diameter luar (OD) pipa Luar = 0,049955 m
 Diameter Equivalen (De) = ((OD2-ID2)/ID)
= ((0,0499552)-(0,02132)/0,0213)

= 0,0958 m2

Luas perpindahan panas (A) =  .De. L

 Panjang pipa (L) = 50 cm = 0.5 m


A =  . 0.0958 m x 0.5 m = 0.1506 m2

c. Fluks Panas (Q/A)


Q/A = 4489,6 KJ/jam / 0.1506 m2

= 29805Kj/ m2 Jam

4. Penentuan nilai hi dengan persamaan Eagel Fergusson


a. Penentuan Nilai hi
hi = 4200 x (1.35 + 0.02.Trata-rata) x Vt 0.8 /di0.2
Persamaan ini berlaku apabila satuan besaran-besarannya dalam SI
Karena harga V kurang dari 1 m/s maka dapat dipergunakan persamaan hi seperti di
atas.
t1 = 29 oC; t2 = 44.7oC
t rata-rata = (29+33.7)/2 = 36.85C

Proses berlangsung secara counter current sehingga

Cold
Hot Fluid   Diff
Fluid
101 Higher Temp 44.7 56.3
100 Lower Temp 29 71
1 Differences 15.7 14.7

o
C

b.Penentuan nilai hio


hio = hi x (di/do)

= kJ/jam.m2.C x (0.0158/0.0213)

= 5597663.006 kJ/jam.m2.C

c. Penentuan nilai UD
UD = (Q/A)/LMTD

= 140617.0132/63.4373 oC

= 2216.6301 kJ/jam.m2.C
5. Penentuan nilai h dengan persamaan Nusselt

Penentuan Suhu Film (Tf)


Tf = (T1 + Tw)/2
 T1 = 101oC;
 Tw = 44.7 C
 Tf = 72.85 oC

Pipa Vertikal
1/ 4
 k f 3 x2 xxg 
h  0,943 f 
 f xdLxTf 

Contoh perhitungan pada pipa vertikal besar


Pada Tf= 72.85 C:
g = 127008000 m/j2
f = 893.73911kg/m.j (Geankoplis. 1993. App A.2-11)
kf = 2.1837588 kJ/j.m.C (Geankoplis. 1993. App A.2-11)
f = 2326 kJ/j.m.C (Smith van Ness. Edisi 6. Tabel F.3)
f = 976.4813526kg/m3 (Geankoplis. 1993. App A.2-11)
∆tf = tf – t2 air =72.85 – 44.7= 27.35°C
L = 0.5 m
dengan memasukkan data di atas ke persamaan 5 diperoleh :
h = 3804.713051 kJ/h.m2.oC

Pipa Horizontal
1/ 4
 k 3 x2f xxg 
h  0,725 f 
 
2
f xDoxT 

dengan cara yang sama. pada Tf = 72.85oC. didapat h = 7255.22KJ/j.m2.oC

6. Scale Up ukuran HE
Contoh menggunakan pipa Vertikal dengan flowrate 10L/Min
 UD rata-rata = 2216.6301
 Asumsi bahwa t2 = 75ºC , sehingga ΔLMTD menjadi :

 44.84503789 ºC

 Q= 62047.03317 Kj/jam
 Dihasilkan A= 0.624185102 m2
 Asumsi bahwa diameter pipa Kaca tetap
 Asumsi menggunakan pipa 0,5 inch sch 40 yang memiliki OD sebesar 0,84 inch
sehingga didapatkan Panjang pipa sebesar 2.075000671 m
Sehingga Panjang pipa hasil scale up = 4.71591062 x Panjang pipa yang lama

Anda mungkin juga menyukai