Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI PARU(1.2)


Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir, berkembang selama neonatus dan
dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia tidak simetris.
Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah cabang yang
tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi fisiologi yang
berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara,
sehingga menyebabkan distribusi udara atau partikel yang terhisap tidak merata. Cabang
dari bronkus mengalami pengecilan ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian
disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-
paru. Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel
kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat
pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke
faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting dalam mekanisme pertahanan
paru. Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum
endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa
gangguan seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan
peningkatan produksi sputum.
Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus distal sampai
terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Pada pemeriksaan luar
pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat dibanding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan
sinistra dibagi oleh alur yang disebut incissura interlobaris dalam beberapa Lobus
Pulmonis. Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior : dibagi menjadi 3 segmen (apikal, posterior, inferior)
2. Lobus Medius : dibagi menjadi 2 segmen (lateralis dan medialis)
3. Lobus Inferior : dibagi menjadi 5 segmen (apikal, mediobasal,
anterobasal, laterobasal, posterobasal)
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior
Dibagi atas segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior, lingularis inferior.
2. Lobus Inferior
Dibagi atas 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan posterobasal.

5
Gambar 2.1: Bronkus dan Lobulus Paru

6
Gambar 2.2: Lobus dan segmentasi paru (dikutip dari Atlas
Anatomi Manusia Sobotta jilid 2, halaman 98-99, 2000).

Mekanisme Pertahanan Paru 3.4


Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun bersebelahan dengan
sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring dan terpajan oleh
mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup. Sterilitas saluran napas
bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan dan pembersihan yang efektif.
1. Pembersihan Udara
Temperatur dan kelembapan udara bervariasi, dan alveolus harus terlindung dari
udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi hidung, orofaring dan nasofaring,
mempunyai suplai darah yang besar dan memiliki area permukaan yang luas. Udara
yang terhirup melewati area-area tersebut dan diteruskan ke cabang trakeobonkial,
dipanaskan pada temperatur tubuh dan dilembapkan.
2. Pembau
Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung dibandingkan dengan di
trakhea n alveoli, sehingga seseorang dapat mencium untuk mendeteksi gas yang
secara potensial berbahaya, atau bahan-bahan berbahaya di udara yang dihirup.
Inspirasi yang cepat tersebut membawa udara menempel pada sensor pembau tanpa
membawanya ke paru-paru.
3. Menyaring dan Membuang Partikel yang Terhirup

7
Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya difiltrasi oleh bulu
hidung. Gerakannya menyebabkan partikel berukuran besar dapat dikeluarkan.
Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil terjadi akibat gravitasi di jalan nafas yang
lebih kecil. Partikel-partikel tersebut terperangkap dalam mukus yang ada di saluran
pernafasan atas, trakhea, bronkus dan bronkhiolus. Partikel kecil dan udara iritan
mencapai duktus alveolaris dan alveoli. Partikel kecil lainnya disuspensikan sebagai
aerosol dan 80%nya dikeluarkan. Pembuangan partikel dengan beberapa mekanisme:
- Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis
Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakhea, laring, dan tempat lain
di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi untuk mencegah penetrasi
lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan juga menghasilkan batuk atau bersin.
Bersin terjadi akibat stimulasi reseptor di hidung atau nasofaring, dan batuk terjadi
sebagai akibat stimulasi reseptor di trakhea. Inspirasi yang dalam demi mencapai
kapasitas paru total, diikuti oleh ekspirasi melawan glotis yang terutup. Tekanan
intrapleura dapat meningkat lebih dari 100mmHg. Selama fase refleks tersebut
glotis tiba-tiba membuka dan tekanan di jalan nafas menurun cepat, menghasilkan
penekanan jalan nafas dan ekspirasi yang besar, dengan aliran udara yang cepat
melewati jalan nafas yang sempit, sehingga iritan ikut terbawa bersama-sama
mukus keluar dari traktus respiratorius. Saat bersin, ekspirasi melewati hidung; saat
batuk ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut juga membantu
mengeluarkan mukus dari jalan nafas.
- Sekresi trakheobronkial dan transport mukosilier
Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia dimana terdapat
mukus yang dihasilkan oleh sel goblet. “Eskalator mukosilier” adalah mekanisme
yang penting dalam menghilangkan dalam menghilangkan partikel yang
terinhalasi. Partikel terperangkap dalam mukus kemudian dibawa ke atas kefaring.
Pergerakan tersebut dapat meningkat cepat selama batuk. Mukus yang mencapai
faring dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut atau hidung. Karenanya, pasien
yang tidak bisa mengeluarkan sekret trakheobronkial (misal tidak dapat batuk)
terus menghasilkaan sekret yang apabila tidak dikeluarkan dapat menyaebabkan
sumbatan jalan nafas.
4. Mekanisme Pertahanan dari Unit Respirasi Terminal
Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit-unit yang
dibentuk melalui percabangan progresif jalan napas. Kurang lebih 80% sel yang
membatasi jalan napas di bagian tengah merupakan epitel bersilia, bertingkat,

8
kolumner dengan jumlah yang semakin berkurang pada bagian perifer. Masing-masing
sel bersilia memiliki +200 silia yang bergerak dalam gelombang yang terkoordinasi
kira-kira 1000 kali per menit, dengan gerakan ke depan yang cepat dan kembali dalam
gerakan yang lebih lambat. Gerakan silia juga terkoordinasi antara sel yang
bersebelahan sehingga setiap gelombang disebarkan ke arah orofaring.
Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa permukaan hidung sebelah
distal biasanya akan dibersihkan pada saat bersin, sementara partikel yang terkumpul
pada permukaan bersilia yang lebih proksimal akan disapukan ke sebelah posterior ke
lapisan mukus nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau dibatukkan. Penutupan
glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran napas bagian bawah. Partikel
infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran napas dan diendapkan pada
permukaan alveolus dibersihkan oleh sel fagosit dan faktor humoral. Makrofag
alveolar merupakan fagosit utama dalam saluran napas bawah. Makrofag alveolar
akan menyiapkan dan menyajikan antigen mikrobial pada limfosit dan mensekresikan
sitokin yang mengubah proses imun dalam limfosit T dan B.

1.2 BRONKOPNEUMONIA
1.2.1 Definisi
2. Bronkopneumonia, disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi
berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Umumnya, bronkopneumonia
mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya
bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda
asing.4

2.1.1 Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO) Penyakit ini menyumbang 16% dari
seluruh kematian dibawah anak 5 tahun, yang menyebabkan kematian pada 920.136
balita, atau lebih dari 2500 per hari.(5) faktor risiko mortalitas pneumonia anak balita di
negara berkembang adalah pneumonia pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat Air Susu Ibu (ASI) adekuat, malnutrisi, defisiensi
vitamin A, prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan pajanan terhadap
polusi udara.4.6

9
Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 pneumonia menduduki
peringkat kedua sebagai penyebab kematian bayi (23.8%) dan balita (15.5%). Sedangkan,
cakupan penemuan pneumonia balita di provinsi Bengkulu mencapai 12,76 %.6

2.1.2 Klasifikasi Pneumonia 7.8


Menurut buku Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003 menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia.
Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia/nosocomial
pneumonia).
c. Pneumonia aspirasi.
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised.
Berdasarkan bakteri penyebab:
 Pneumonia bakteri/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiella pada
penderita alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
Pneumonia Atipikal disebabkan mycoplasma, legionella, dan chalamydia.
 Pneumonia virus.
 Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).
Berdasarkan predileksi infeksi:
a. Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan
besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
b. Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak
infeksi pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan
virus atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang tua.
c. Pneumonia interstisial.

2.1.3 Etiologi 7.8


Faktor Infeksi
- Bakteri
a. Pneumococcus, penyebab utama penumonia.  Pada orang dewasa
disebabkan oleh penumokokus 1 – 8, pada anak – anak tipe 14, 1, 6, 9. 

10
Insiden meningkat pada usia lebih kecil dari 14 tahun dan menurun
dengan meningkatnya umur.
b. Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari penyakit virus lain
seperti morbili, influenza, cacar air atau komplikasi dari bakteri lain
seperti pertusis, pneumonia oleh pneumokokus.
- Virus
Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus situmegalik.
- Pneumonia Hipostatik
Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang
sakit dengan kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahat di
tempat tidur yang lama sehingga terjadi kongesti pada paru belakang
bawah.  Kuman yang tadinya komensal berkembang biak menjadi patogen
dan menimbulkan radang.  Oleh karena itu pada anak yang menderita
penyakit dan memerlukan istirahat panjang seperti tifoid harus diubah –
ubah posisi tidurnya.
- Jamur : Candida albikans, Blastomycetes dermatitis, Koksidiomikosis,
Aspergilosis dan Aktinimikosis.
- Sindrom Loeffler
Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes
Secara klinis biasa, berbagai etiologi ini sukar dibedakan.  Untuk
pengobatan tepat, pengetahuan tentang penyebab pneumonia perlu sekali,
sehingga pembagian etiologis lebih rasional daripada pembagian anatomis.
o Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus
(RSV).
o Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,
Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
o Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP

11
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
o Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
1. Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung
(zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
2. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme
menelan seperti palatoskizis,pemberian makanan dengan posisi horizontal,
atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang
sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang
terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi
bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan .
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit
yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada
bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

2.1.4 Patogenesis 8.9


Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara
percikan (droplet). Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan
mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek
gravitasi. Agen-agen mikroba yang menyebabkan Pneumonia memiliki 3
bentuk transisi primer :
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi
pada orofaring
2. Inhalasi aerosol yang infeksius
3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal

12
Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang
menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang
terjadi. Akibatnya, faktor-faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi
mekanisme pertahanan sistem pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif
telah menjadi subjek penelitian akhir-akhir ini. Mekanisme daya tahan traktus
respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri
dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret
lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai anti mikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma
ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus

13
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

2.1.5 Manifestasi Klinis 8.10


Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39–40°C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai di awal
penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, dimana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada  bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya
daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya

14
kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung
halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens)
mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan
pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat
terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi
antara 2-3 minggu.
2.1.6 Pemeriksaan Fisik 8.11
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi
dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea;
dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah
negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi
bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter
dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang
interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin
positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat
interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae
supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan
adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head
bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala
disangga tegak lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat
dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress
pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya
pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior
dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga
menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama
inspirasi.
b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

15
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru
(kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah
(tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles
dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan
napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

2.1.7 Pemeriksaan Radiologi 11


Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan
corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir
lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah.
2.1.8 Pemeriksaan Laboratorium 10
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm 3 dengan neutrofil
yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta
peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru,
cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.
2.1.9 Kriteria Diagnosis 7.10
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :
a. Sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. Panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
Diagnosis Bronkopneumonia menurut WHO :

16
BP sangat Berat : Sianosis sentral dan tidak bisa minum
BP Berat : Ada retraksi tanpa sianosis, masih bisa minum
BP : Tidak ada retraksi tapi Takhiepnea
Bukan BP : Hanya batuk tanpa gejal diatas

2.1.10 Penatalaksanaan 12.8


a. Penatalaksaan umum
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai
sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi
elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat
intravena.
b. Penatalaksanaan khusus
- Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas
sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan
interpretasi reaksi antibioti awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada
penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung
- Antibiotika berdasarkan mikroorganisme
penyebab dan manifestasi klinis
Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan
angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90
mg/kgBB/hari).
Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam
pertama) menurut kelompok usia.
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol

17
- makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin,
azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali
sampai hari ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata
dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan
kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya
penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik
tidak efektif)
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
a. Kuman yang dicurigai atas dasar data klinis, etiologis dan epidemiologis
b. Berat ringan penyakit
c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Antibiotik :
Tabel pemilihan antibiotika berdasarkan etiologi :
Mikroorganisme
Streptokokus dan Stafilokokus M. Pneumonia Penicilin G 50.000-100.000 unit/hari IV atau
Penicilin Prokain 6.000.000 unit/hari IM atau
Ampicilin 100-200 mg/kgBB/hari atau
Ceftriakson 75-200 mg/kgBB/hari
H. Influenza Eritromisin 15 mg/kgBB/hari
Klebsiella dan P. Aeruginosa Kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari
Sefalosporin
Pencegahan:
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah
dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit saluran nafas
seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan

18
,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga
diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
Vaksinasi Pneumokokus
Vaksinasi H. Influenza
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.

3.2.13 Komplikasi 9
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi. Dengan antibiotik
komplikasi hampir tidak pernah dijumpai. 

3.2.14 Prognosis 7.10


Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1 %.  Anak dalam keadaan malnutrisi energi
protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka
kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan
sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan bervariasi dengan lamanya
sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang
memadai serta adanya penyakit yang menyertai.

19
BAB III
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : An. T
Usia : 10 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Karang tengah
Tanggal Periksa : 08 Maret 2020
Nomor Rekam Medis : 103365

2.2. ANAMNESIS (Alloanamnesa)


Keluhan Utama : Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :

20
Pasien An.T datang ke RSUD kepahiang diantar oleh orang tuanya dengan
keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Sesak tidak
dipengaruhi cuaca maupun aktivitas dan tidak disertai adanya suara napas
berbunyi mengi atau mengorok. 4 hari sebelum masuk rumah sakit
mengalami demam cukup tinggi dirasakan terus menerus dan turun ketika
diberi obat penurun panas. Demam tidak disertai kejang, penurunan
kesadaran, mimisan, gusi berdarah,mual,muntah maupun diare. 2 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengalami keluhan batuk, namun
dahak sulit dikeluarkan dan pasien juga bernapas dengan cepat terutama bila
batuk memberat. nafsu makan dan minum menurun, BAB dan BAK tidak ada
kelainan (normal).
Riwayat tersedak sebelum timbul sesak napas tidak ada, riwayat kontak
dengan penderita dewasa yang batuk lama disangkal. Pasien tinggal di tempat
tinggal selalu di lewati oleh kendaraan bermotor.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat sakit serupa :-
 Riwayat alergi obat/makanan : -
 Riwayat batuk lama :-
 Riwayat asma :-
 Riwayat masuk rumah sakit : -
Keterangan: Pasien baru pertama kali sakit seperti ini.
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : tidak ada
 Riwayat alergi : tidak ada
 Riwayat batuk lama : tidak ada
 Riwayat asma : tidak ada
Riwayat Kehamilan Ibu
Keluhan : tidak ada
Usia ibu hamil : 23 tahun
Kontrol : rutin setiap bulan ke bidan
Kondisi hamil : Selama hamil tidak pernah demam, tidak pernah minum
obat–obatan, tidak pernah jatuh, tidak pernah

21
hipertensi, tidak muntah berlebihan, tidak mengalami
pendarahan melalui jalan lahir saat hamil, dapat obat
penambah darah dan vitamin, nafsu makan bagus sama
seperti saat tidak hamil
Riwayat Persalinan
BBL : 3200 gr
PB : 46 cm
Lahir spontan di Rumah Bersalin, persalinan oleh Bidan
Usia kehamilan : Cukup bulan (39-40 minggu)
Bayi tunggal, presentasi kepala
Tidak ada kelainan
Lahir tanpa bantuan alat
Riwayat Pasca Lahir
Langsung menangis
Ibu tidak ada pendarahan
Anak tidak pernah sakit setelah lahir seperti asfiksia, infeksi intra partum,
trauma lahir dan lain-lain.

Riwayat Makanan (mulai lahir sampai sekarang, kualitas dan kuantitas )


Neonatus : ASI sampai dengan 6 bulan
6 bulan : 75-80 % ASI, sisa MPASI
Riwayat Imunisasi (imunisasi lengkap)
Ibu : TT (+)
Anak : DTP (+) jumlah: 4 kali usia: 2, 4, 6 bulan
BCG (+) jumlah: 1 kali usia: 2 bulan
Campak (+) jumlah: 1 kali usia: 9 bulan
Hepatitis B (+) jumlah: 3 kali usia: 0, 1, 6 bulan
Polio (+) jumlah: 5 kali usia: 0, 2, 4, 6 bulan
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan :
Pertumbuhan:
Normal
Tumbuh gigi mulai usia 6 bulan

22
Perkembangan:
Mulai bicara usia 8 bulan (1 kata) kemampuan bahasa
Mulai berjalan usia 10 bulan kemampuan motorik kasar
Perkembangan kesan normal
Riwayat Kebiasaan Pasien dan Keluarga:
 Riwayat kontak dengan penderita yang batuk lama (-)
 Riwayat adanya orang yang sering merokok di rumah (-)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (19-1-2015)


1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : composmentis (GCS E4V5M6)
3. Atropometri
 BB : 7.3 kg
 Status gizi kesan: normal (Z-Score : 0 - -2)
BB/U : -2 < SD < +2
TB/U : -2 < SD < +2
BB/TB : -2 < SD < +2

4. Tanda Vital
 Nadi : 135 x/menit
 RR : 45 x/menit
 Suhu : 38,5 oC (saat di ruang rawat inap) (suhu saat di IGD: 38,8 oC)
5. Rambut : distribusi pertumbuhan rambut rata dan lebat, warna rambut hitam
6. Kepala dan wajah : bentuk normocephal, turgor baik, sianosis (-), pucat (-)
7. Mata : conjungtiva anemis (-/-), radang (-/-), mata cekung (-/-)
8. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), rhinorrhea (-/-), epistaksis (-/-),
deformitas hidung (-/-)
9. Mulut : mukosa bibir pucat (-/-), sianosis bibir (-/-), bibir kering (-/-),
lidah kotor (-), tepi lidah hiperemis (-)
10. Telinga : otorrhea (-/-), kedua cuping telinga normal
11. Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-)

23
12. Thorax : normochest, simetris, retraksi dinding dada (+)
Cor : Inspeksi : ictus cordis tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II LPSS
Batas kanan atas : SIC II LPSD
Batas kiri bawah : SIC V 1 cm lateral LMCS
Batas kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular
Pulmo :

Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri


Palpasi : fremitus taktil kiri sama dengan kanan, melemah
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : + + - - + +
bronkhovesikuler + wheezing - ronkhi +
+ + - - + +
13. Abdomen :
Inspeksi : sejajar dinding dada
Palpasi : supel, nyeri (-), pembesaran hepar & lien (-)
Perkusi : timpani seluruh lapangan perut, shifting dullnes (-)
Auskultasi : bising usus normal (5x/menit)
14. Ekstremitas :
Akral hangat Edema

+ +

+ + - -

- -

L : sianosis (-), edema (-)


F : nyeri tekan (-)
M: normal, kekuatan otot baik
15. Kulit :
Ikterik (-), sianosis (-), turgor kulit baik, tida ada kelainan kulit

24
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel 1.1: Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 08 maret 2020)
Pemeriksaan Hasil Ket. Unit Nilai Normal
Hematologi
Hb 10,3 ↓ g/dl 11.7-15.5
HCT 31 ↓ % 35-47
Leukosit 12,0 ↑ Ribu/ul 4-11
Trombosit 402.000 N Ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.3 ↓ Juta/ul 4,5-6,5
Gambar 1.1: Thorax Photo AP (tanggal 09 maret 2020)

Keterangan:
Jantung : bentuk dan ukuran normal.
Paru-paru : bronchovascular pattern normal, tampak infiltrat di perihilar
dan paracardial kedua paru.
Sinus costophrenicus tajam, tulang-tulang baik.
Kesimpulan : Pneumonitis di perihilar kedua paru dan paracardial
Radiologis tak jelas tanda-tanda proses spesifik.

2.5 RESUME
a) Anamnesis :
 Badan panas sejak 4 hari sebelum MRS, badan panas mendadak tinggi dan
sepanjang hari.
 Batuk tidak berdahak dan pilek. tetapi semakin lama batuk menjadi semakin
memberat dan berdahak, nafas grok-grok dan sesak.

25
b) Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum tampak sakit sedang, RR 45 x/menit, suhu : 38,5 oC (saat di
ruang rawat inap) (suhu saat di IGD: 38,8 oC), nafas cuping hidung (-/-),
rhinorrhea (-/-), retraksi dinding dada (+), fremitus taktil kiri sama dengan
kanan tapi melemah, ronkhi di seluruh lapang paru.
c) Pemeriksaan Penunjang :
DL : leukositosis
Foto rontgen thoraks : bronchovascular pattern normal, tampak infiltrate
di perihilar dan paracardial kedua paru. Pneumonitis di perihilar kedua paru
dan paracardial.

2.6. DIAGNOSA
Working diagnostic : Bronkhopneumoni Berat
Differential diagnostic : Bronkhiolitis

2.7 PENATALAKSANAAN HOLISTIK


Non Farmakoterapi:
 KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi):
o Preventif :

Jauhi dari paparan asap rokok dan debu


Usahakan ventilasi udara di rumah bersikulasi dengan baik
o Kontrol ke poli anak

o Menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi


o Aktifitas dibatasi dengan lebih banyak beristirahat
o Meningkatkan kualitas dan kuantitas makanan
o Bila anak sakit segera berobat ke dokter
 Analisa dan Pola Pengaturan Gizi :

Perhitungan BMR dengan rumus Harris Benedict


66+(13,7xBB) + (5xTB) - (6,8xU) = 66 + (13,7x7.3) + (5x75) – (6,8x1)
= 534,2 kkal
Kebutuhan kalori terkait aktivitas dan stress:

26
- Aktifitas istirahat di tempat tidur (faktor: 1,2)
- Trauma stress ringan: demam (faktor 1,4)
Kalori = BMR x faktor aktifitas x faktor stress
= 534,2 x 1,2 x 1,4
= 897,4 kkal

Farmakoterapi:
Dasar penetalaksanaan:
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit 
sampai sesak nafas hilang Pemasangan infus untuk rehidrasi
- Obat penurun panas diberikan pada penderita
dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung.
- Antibiotika  Pilihan pada bayi dan anak usia
pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
- Inhalasi diberikan untuk transpor mukosilier.
- Infus NaCl 730 cc / 24 jam
Rumus dosis maintenance cairan:
Berat badan anak dibagi menjadi tiga bagian :
10 Kg  I = 100

Terapi An.A: 
7.3 x 100 = 730 cc
Total Kebutuhan Cairan = + 730 cc (2 flash)
( 730 x 60 tetes) / 1440 menit = 30 tetes/menit

- Injeksi Ceftriaxone 600 mg/24 jam drip dalam D5% 100 cc i.v
- Injeksi dexametason 3 x 2 mg i.v
- Injeksi parasetamol 3x100 mg iv
- Ambroxol syr 2x1/2 cth
- Citrizine syr 2x1/2 cth
- Lasal syr 3x1/2 cth

27
- Nebul Combiven 1 cc + PZ 2 cc 3x sehari

2.8 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

2.9 FOLLOW UP DAN FLOW SHEET


Nama : An.T
Diagnosis : Bronkhopneumonia Berat

Tabel 1.3: Flow Sheet


No Tanggal S O A P
1. 09/3/2020 Demam (+). KU: tampak sakit sedang, -Injeksi Ceftriaxone
Batuk berdahak RR 45 x/mnt, T : 38,2 oC, 600 mg/24 jam drip
& pilek (+), nafas cuping hidung (-/-),
dalam D5% 100 cc
rhinorrhea (-/-), retraksi
nafas grok2 &
dinding dada (+), fremitus Bronko- i.v
sesak (+), mual taktil kiri = kanan tapi pneumonia Berat -Injeksi dexametason
kadang (+) melemah, ronkhi di seluruh
lapang paru. 3 x 2 mg i.v
Makan-minum -Injeksi parasetamol
kurang/sedikit DL : leukositosis
3x100 mg iv
Foto rontgen thoraks :
tampak infitrat di perihilar -Ambroxol syr 2x1/2
dan paracardial kedua paru. cth
Pneumonitis di perihilar -Citrizine syr 2x1/2
kedua paru dan paracardial.
cth
-Lasal syr 3x1/2 cth
-Nebul Combiven 1
cc + PZ 2 cc 3x
sehari

2. 10/1/2020 Demam (+) KU: cukup, RR 35 x/mnt, -Injeksi Ceftriaxone


sumer-sumer & T : 36,5 oC, nafas cuping 600 mg/24 jam drip
jarang. Batuk hidung (-/-), rhinorrhea (-/-),
dalam D5% 100 cc
retraksi dinding dada (+),
berdahak &
fremitus taktil kiri = kanan Bronko- i.v
pilek berkurang, tapi melemah, ronkhi di pneumonia Berat -Injeksi dexametason
nafas grok2 & seluruh lapang paru.
sesak 3 x 2 mg i.v
berkurang,. -Injeksi parasetamol
mual kadang (+) 3x100 mg iv
-Ambroxol syr 2x1/2
Makan-minum
kurang/sedikit cth
-Citrizine syr 2x1/2

28
cth
-Lasal syr 3x1/2 cth
-Nebul Combiven 1
cc + PZ 2 cc 3x
sehari

3. 11/3/2020 Demam (-) KU: cukup, RR 30 x/mnt, -Injeksi Ceftriaxone


Batuk berdahak T : 36,0 oC, nafas cuping 600 mg/24 jam drip
& pilek hidung (-/-), rhinorrhea (-/-),
dalam D5% 100 cc
retraksi dinding dada (-),
berkurang,
fremitus taktil kiri = kanan, Bronko- i.v
sesak ronkhi di seluruh lapang pneumonia Berat -Injeksi dexametason
berkurang,. paru berkurang.
mual (-) 3 x 2 mg i.v
-Ambroxol syr 2x1/2
Makan-minum cth
mau
-Citrizine syr 2x1/2
cth
-Lasal syr 3x1/2 cth
-Nebul Combiven 1
cc + PZ 2 cc 3x
sehari

4. 12/3/2020 Demam (-) KU: cukup, RR 25 x/mnt, Injeksi Ceftriaxone


Batuk berdahak T : 36,2 oC, nafas cuping 600 mg/24 jam drip
& pilek jarang hidung (-/-), rhinorrhea (-),
dalam D5% 100 cc
retraksi dinding dada (-),
sekali, nafas
fremitus taktil kiri = kanan, Bronko- i.v
grok2 & sesak ronkhi (-). pneumonia Berat -Injeksi dexametason
(-),. mual (-)
3 x 2 mg i.v
Makan-minum -Ambroxol syr 2x1/2
mau, banyak cth
-Citrizine syr 2x1/2
cth
-Lasal syr 3x1/2 cth
-Nebul Combiven 1
cc + PZ 2 cc 3x
sehari
Pasien boleh
pulang

29
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Ada beberapa penyakit saluran
respiratorius yang dapat menyebabkan sesak napas pada anak di antaranya adalah
bronkopneumonia, bronkiolitis akut, efusi pleura,dan pneumotoraks. Pada pasien
ini, keluhan sesak napas didahului oleh batuk yang disertai dengan demam.
Keluhan tidak disertai bunyi mengi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan retraksi
subcostal pada dinding dadanya serta auskultasi berupa ronki basah halus yang
nyaring pada kedua lapang paru dan tidak ditemukan mengi. Pasien ini
didiagnosis bronkopneumonia menurut Buku Ajar Respirologi Anak terbitan
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2010. Pneumonia pada anak umumnya

30
didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan gangguan sistem
respiratori serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat menunjukkan
penumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori antara
lain takipnea, batuk, napas cuping hidung,ronki,dan suara napas melemah.
Pemeriksaan fisik bayi dengan bronkopneumonia biasanya menunjukkan tanda
klinis berupa pekak perkusi, suara napas melemah,dan adanya ronki basah halus.
Pada efusi pleura dan pneumotoraks ditemukan sesak napas namun biasanya pada
kedua kasus tersebut juga ditemui nyeri dada dan dapat didahului riwayat trauma
ataupun tidak, serta pada pemeriksaan fisiknya ditemukan penurunan gerakan
napas di sisi thoraks yang sakit, sehingga dapat disingkirkan dari diagnosis kerja.
Kemudian, pada bronkiolitis akut juga didapatkan sesak napas, awalnya biasanya
didahului dengan batuk dan disertai demam yang tidak terlalu tinggi, kemudian
pasien dapat mengalami takipnea, sianosis, dan pada pemeriksaan fisiknya
biasanya ditemukan auskultasi paru berupa bunyi mengi.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Pada


pemeriksaan darah lengkap ditemukan nilai yang bermakna pada jumlah leukosit
meningkat yaitu sebesar 12.000/ul. Hal ini menujukkan adanya infeksi akut pada
pasien.

Pada pemeriksaan rontgen thorak didapatkan gambaran infiltrate di


parakardial kanan dan kiri. Gambaran infiltrate ini merupakan gambaran khas
pada bronkopneumonia. Sedangkan pada bronkiolitis gambaran khas ditemukan
adanya penebalan peribronkial dan sering terdapat atelectasis subsegmental.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka
bronkiolitis dapat disingkirkan.

Pada kasus ini terdapat faktor resiko yang dapat memperkuat penegakkan
diagnosis, tingginya pajanan terhadap polusi udara yaitu asap kendaraan. Hal ini
dapat disimpulkan dari anamnesis ibu pasien mengaku bahwa asap yang berasal

31
dari kendaraan yang melewati rumah pasien dan hal ini dapat memperkuat
diagnosis bronkopneumonia dari pasien.

Antipiretik yang diberikan kepada pasien ini adalah parasetamol.


Parasetamol dapat diberikan dengan cara ditetesi (3x0.5 cc sehari) atau dengan
peroral/syrup. Indikasi pemberian parasetamol pada pasien ini adalah adanya
peningkatan suhu mencapai 38° C.

Terapi nebulisasi menggunakan salbutamol diberikan pada pasien ini


dengan dosis 1 respul/ 8 jam. Hal ini sudah sesuai dosis yang dianjurkan yaitu 0.5
mg/kgbb. Terapi nebulisasi bertujuan untuk mengurangi sesak akibat
penyempitan jalan nafas atau bronkospasme akibat hipersekresi mucus.
Salbutamol merupakan suatu obat agonis beta 2 adrenergik yang selektif terutama
pada otot bronkus. Salbutamol menghambat pelepasan mediator dari pulmonary
mast cell. Namun terapi nebulisasi bukan menjadi gold standar pengobatan dari
bronkopneumonia. Gold standar pengobatan bronkopneumonia adalah antibiotik.

Pasien dengan bronkopneumonia dapat diklasifikasikan menjadi 3


kategori. Kategori pertama yaitu pneumonia berat (sesak napas, harus dirawat dan
diberikan antibiotik). Kategori yang kedua yaitu pneumonia (tidak ada sesak
napas, napas cepat dengan laju napas >40 x/menit, tidak perlu dirawat, diberikan
antibiotik oral). Kategori yang ketiga yaitu bukan pneumonia (tidak ada napas
cepat dan sesak napas, tidak perlu rawat dan antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatik). Pada pasien ini ditemukan adanya sesak napas dan laju
napas yang cepat (>40 x/menit), sehingga pada pasien ini dilakukan perawatan di
RS dan diberikan terapi berupa antibiotik. Antibiotik lini pertama dapat digunakan
antibiotik golongan beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak
responsif terhadap beta-laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain
seperti gentamisin,amikasin,atau sefalosporin, sesuai petunjuk etiologi yang
ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol mengenai terapi
antibiotic yang optimal. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik
intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi
kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan

32
adalah antibiotik sprektrum luas seperti kombinasi beta-laktam/klavulanat dengan
aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Terapi diberikan ceftriaxone
600mg/24 jam sebagai antibiotik. tetapi dosis dari antibiotik ini sendiri tidak
sesuai dengan yang dianjurkan oleh WHO, yakni golongan beta lactam kombinasi
sebagai lini pertama dosis ampicilin 50 mg/kgbb/6 jam dan gentamicin 5-7
mg/kgbb/24 jam. Pasien ini mempunyai keluhan batuk berdahak yang sulit untuk
dikeluarkan, oleh karena itu pemberian ambroxol 3x½ cth dilakukan dengan dosis
pemberian 1,2-1,6mg/kgbb/hari. Status gizi pasien ini adalah baik. Menurut teori
yang ada, status gizi pada saat seseorang terkena bronkopneumonia memberikan
pengaruh pada prognosis dari pasien itu sendiri. Infeksi berat dapat memperjelek
keadaan pasien melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi
esensial tubuh. status gizi baik, fungsi dari pada organ lainnya juga baik. Oleh
karena itu untuk prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam untuk vitam,
functionam, dan sanationam. Pasien dengan bronkopneumonia dapat dipulangkan
jika gejala dan tanda pneumonia telah menghilang, asupan peroral adekuat,
pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (peroral), keluarga mengerti dan
setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol, kondisi rumah memungkinkan
untuk perawatan lanjutan dirumah. Anak-anak dengan bronkopneumonia berat
harus diterapi dengan ampicilin atau penicilin parenteral dan gentamicin sebagai
lini pertama pengobatan. Adapun dosis ampicilin 50 mg/kgbb atau benzyl
penicilin 50.000 unit per kgbb IM/IV setiap 6 jam selama 5 hari. Gentamicin 5-7
mg/kgbb IM/IV sekali sehari selama 5 hari. Ceftriaxone dapat digunakan sebagai
terapi lini kedua pada bronkopneumonia berat apabila terapi lini pertama
mengalami kegagalan. Pada kasus ini pasien sembuh, pulang dengan keadaan
gejala dan tanda pneumonia seperti laju napas cepat, retraksi subcostal, ronki
basah halus nyaring, telah menghilang, pasien juga tidak mengalami kesulitan
dalam pemberian asupan oral serta mendapatkan terapi antibiotik lanjutan berupa
amoksisilin 2x1 cth, serta keluarga setuju untuk kontrol kembali sehingga terapi
dapat dinilai efektif.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Ashraf H, Chisti MJ, Alam NH. Treatment of childhood pneumonia in

developing countries. Dalam: Smigorski K, editor. Health management.

Croatia: Sciyo; 2010. hlm. 60-88.

2. Said M. Pneumonia. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,

editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak

Indonesia; 2010. hlm. 350-65.

34
3. Unicef/WHO. Pneumonia: the forgotten killer of children. Geneva: The

United Nations Children’s Fund/World Health Organization; 2017

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan riset kesehatan dasar

2016. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

5. Reinhard V. Putz, Reinhard Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2.

Edisi 21. Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2000. Hal 99.

6. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC.

Jakarta : 1997. Hal 633.

7. Sectish Theodore C, Prober Charles G. Nelson Textbook of Pediatrics :

“Pneumonia”. Edisi ke-17. Saunders. 2004.

8. hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia: Jakarta. 2002.

9. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Edisi

12, Penerbit EGC, Jakarta, 2000, hal: 617-628.

10. Price SA, Wilson LM, 1995,  Pathophysiology: Clinical Concepts of

Disease Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit),

Edisi 4, Penerbit EGC, Jakarta, hal: 709-712.

11. Pasterkamp Hans. Kendig’s Disorder of the Respiratory Tract in

Children :”The History and Physical Examination” , Sixth Edition. WB.

35
Saunders Company Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney,

Tokyo. 1998.

12. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000.

36

Anda mungkin juga menyukai