Anda di halaman 1dari 10

HUKUM WARIS

1. Pengertian Hukum Waris

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang

ditinggalkan seorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya,

hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja

yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya

seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari

bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh

undang-undang diwarisi oleh ahli warisnya.1

Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa, “pewarisan hanya

berlangsung karena kematian”. Oleh karena itu, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris

telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka. Dalam hal ini,

ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu anak yang ada

dalam kandungan seorang perempuan pun dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si

anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada. Jelasnya, seorang

anak yang lahir saat ayahnya telah meninggal, berhak mendapat warisan. Hal ini diatur dalam

Pasal 836 KUH Perdata, yang menentukan bahwa, “Dengan mengingat akan ketentuan dalam

Pasal 2 KUH Perdata ini supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat

warisan jatuh meluang”.2

Hukum waris menurut konsepsi perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan

bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud

1
Effendi Perangin-Angin, Hukum Waris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 3.
2
Ibid., hlm. 4.
harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam

hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan

diwariskan, demikian pula haknya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum

keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.3

Menurut Pitlo, “Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum

mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang

ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati

dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan

antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antar mereka dengan pihak ketiga”.4

Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang

dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan

terjadi jika terpenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu:5

1) Ada seseorang yang meninggal dunia

2) Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan

pada saat pewaris meninggal dunia

3) Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Sifat hukum waris Perdata Barat (BW) yaitu, menganut:6

1) Sistem pribadi, yaitu yang menentukan bahwa ahli waris adalah perseorangan, bukan

kelompok ahli waris.

2) Sistem bilateral, yaitu mewaris dari pihak ibu maupun bapak.

3
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Revika Aditama,
2011), hlm. 25.
4
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Terjemahan M. Isa Arief, Jakarta:
Intermassa, 1979, hlm. 1.
5
Eman Suparman, Loc.Cit.
6
Effendi Perangin-Angin, Loc.Cit.
3) Sistem perderajatan, yaitu ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris

menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.

Dalam hukum waris BW, berlaku suatu asas yang menentukan bahwa, “Apabila

seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada

sekalian ahli warisnya”.7

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang

termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat

dinilai dengan uang. Berdasarkan sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka jelas

bahwa masalah-masalah penting yang menyangkut kewarisan diatur di dalam Buku II tentang

Kebendaan. Sistematika tersebut memberi petunjuk bahwa hak kewarisan dan segala sesuatu

yang timbul karenanya dipandang sebagai hak kebendaan. Dalam kaitan ini memang banyak

bukti bahwa hukum waris memiliki dimensi hukum kebendaan. Hal ini dapat ditinjau dari

beberapa aspek antara lain yang tercantum di dalam Pasal 833, Pasal 834, dan Pasal 1000 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.8

Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW adalah, “Adanya hak mutlak dari

para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian harta warisan”. 9 Ini

berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan,

tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam

Pasal 1066 BW, yaitu:

7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Vorkink van Hoeve S Gravenhage,sa,), hlm. 8.
Dalam Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 28.
8
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 13.
9
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 12.
1) Seorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat

dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi

di antara para ahli waris yang ada

2) Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian

yang melarang hal tersebut

3) Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya

untuk beberapa waktu tertentu

4) Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama 5 (lima) tahun,

namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1066 tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sistem hukum

waris BW memiliki ciri yang khas, yaitu menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris

secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Atau apabila tidak

untuk dibagi maka harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.

2. Warisan dalam Sistem Hukum Waris

Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum perdata yang

bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam

lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Namun, ketentuan tersebut ada

beberapa pengecualian, yaitu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang

tidak dapat beralih kepada ahli waris antara lain:10

1) Hak untuk memungut hasil (vruchtgebruik)

2) Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi

10
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 82.
3) Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatcschap menurut BW

maupun firma menurut Wvk, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya

salah seorang anggota atau persero.

Pengecualian lain, yaitu ada beberapa hak yang terletak dalam lapangan hukum keluarga,

tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak, yaitu:11

1) Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak

2) Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari ayah

atau ibunya.

Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa menurut BW, kematian seseorang mengakibatkan

peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara

tegas dijelaskan dalam Pasal 833 ayat (1) BW, yang menyatakan bahwa: “sekalian ahli waris

dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan

segala piutang dari yang meninggal”.12 Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia

kepada ahli warisnya disebut “saisine”.13

Adapun yang dimaksud dengan saisine adalah, ahli waris yang memperoleh segala hak

dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian

pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.

Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta

yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta perkawinan dalam BW dari siapa pun

juga, merupakan sutau kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari

tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan

pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang

11
Ibid.
12
Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 28
13
Lihat Surbekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermassa, 1977), hlm. 79. Dalam Eman Suparman, Ibid.
ditegaskan dalam Pasal 849 BW, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang tidak memandang

akan sifat atau asal dari daripada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur

pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem waris adat

yang membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris. Sedangkan sistem

BW, tidak mengenal hal tersebut, melainkan harta asal yang dibawa masing-masing ketika

menikah, maupun harta yang diperoleh selama perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan

bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.14

3. Pewaris dan Dasar Hukumnya

Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang

meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-

kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa

surat wasiat. Dasar hukum seorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem

hukum waris BW ada 2 (dua) cara, yaitu:15

a) Menurut ketentuan Undang-Undang

b) Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).

Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum bagi

harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang

meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya

tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak

menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta

kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan

harta yang akan ditinggalkan oleh seseorang tersebut.16


14
Ibid., hlm. 28.
15
R Subekti, Op.Cit., hlm. 78.
16
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 85
Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris

juga melalui cara yang ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu

pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat

adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak

dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat

diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat

lagi diubah, dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun.17

Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya dengan surat wasiat, maka

sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi,

pemberian seorang calon pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk

menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato.

4. Ahli Waris Menutut Sistem Hukum Waris Perdata dan Porsi Bagiannya

Undang-undang mengatur beberapa hal yang menyangkut ahli waris. Ketentuan-

ketentuan yang menyangkut masalah ahli waris tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 832,

Pasal 833, Pasal 834, Pasal 837 dan Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Ketentuan Undang-Undang pada prinsipnya menegaskan bahwa yang berhak menjadi

ahli waris adalah keluarga sedarah dan suami-istri yang masih hidup. Jika yang pertama tidak

ada, maka negara lah yang maju menjadi ahli waris. Menurut undangundang, seluruh ahli waris

dengan sendirinya memperoleh hak milik atas semua harta peninggalan pewaris.18

Ahli waris memiliki hak untuk mengadakan gugatan kepada siapa saja demi

memperjuangkan hak warisnya. Gugatan yang berisi tuntutan untuk memperoleh warisan yang

didasarkan kepada hak waris yang dimilikinya lebih dikenal dengan “heriditatis pelitio”. Gugatan

17
Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 29.
18
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 66.
semacam itu dapat ditujukan kepada setiap orang sejauh menyangkut diserahkannya segala

sesuatu yang timbul dari hak waris termasuk di dalamnya segala hasil pendapatan dan ganti

rugi.19

Pada dasarnya semua harta peninggalan adalah milik ahli waris, dalam hal ini berlaku

hukum waris menurut undang-undang. Adapun ketetapan dalam wasiat tetap diakui

keberadaannya. Oleh sebab itu, setiap ahli waris dapat menuntut pembayaran dari suatu harta

warisan atau harta peninggalan. Artinya adalah semua harta warisan atau harta peninggalan harus

segera dibagi-bagi kepada para ahli waris dalam keadaan utuh tidak terbagi-bagi, jadi dalam satu

kesatuan.

Undang-undang menetapkan adanya keluarga sedarah yang berhak mewaris dan

keberadaan suami atau istri (yang hidup paling lama) dengan pewaris. Mereka yang berhak

mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:

a) Golongan I: Anak, atau keturunannya dan janda atau duda, yang jumlah bagiannya

ditetapkan di dalam Pasal 852, Pasal 852 a, Pasal 852b, dan Pasal 515 KUH Perdata. 20

Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke

bawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda dan/atau duda yang ditinggalkan

atau yang hidup paling lama, masingmasing memperoleh satu bagian yang sama.

Oleh karena itu, bila terdapat empat orang anak dan janda maka mereka

masingmasing mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan.21

b) Golongan II: Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis

lurus ke atas, yaitu orangtua, (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang

jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 854, Pasal 855, Pasal 856, dan Pasal 857

19
Ibid.
20
Ibid., hlm. 67.
21
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 87..
KUH Perdata.22 Bagi orangtua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian

mereka tidak akan kurang ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun

mereka menjadi ahli waris bersama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila terdapat 3

(tiga) orang saudara yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu,

maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta

warisan; sedangkan separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang

saudara yang masing-masing memperoleh 1/6 bagian.23

c) Golongan III: meliputi kakek, nenek, dan leluhur dalam garis lurus ke atas, yang

jumlah bagiannya telah ditetapkan dalam, Pasal 853, Pasal 858 ayat (1) KUH

Perdata.24 Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan

pertama dan golongan kedua, maka dalam kondisi ini sebelum harta warisan dibagi,

terlebih dahulu harus di bagi 2 (dua) atau yang disebut dengan kloving. Selanjutnya

separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris, dan

bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris.

Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek

pewaris untuk bagian dari garis ayah; sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus

diberikan kepada nenek.25

d) Golongan IV: Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke

samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Yang terdiri dari, paman

dan bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu,

yang bagiannya telah ditetapkan dalam Pasal 858 ayat (2), Pasal 861, Pasal 832 ayat

22
Sudarsono, Loc.Cit
23
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 88.
24
Sudarsono, Loc.Cit.
25
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 90.
(2), Pasal 862, Pasal 863, Pasal 864, Pasal 865, dan Pasal 866 KUH Perdata. Cara

pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris golongan ketiga,

yaitu harta warisan dibagi 2 (dua), satu bagian untuk paman dan bibi serta garis

keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta

keturunannya dari garis ibu.26

26
Ibid., hlm. 91.

Anda mungkin juga menyukai