Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan seorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya,
hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja
yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya
seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari
bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan oleh
Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa, “pewarisan hanya
berlangsung karena kematian”. Oleh karena itu, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris
telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka. Dalam hal ini,
ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu anak yang ada
dalam kandungan seorang perempuan pun dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si
anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap tidak pernah ada. Jelasnya, seorang
anak yang lahir saat ayahnya telah meninggal, berhak mendapat warisan. Hal ini diatur dalam
Pasal 836 KUH Perdata, yang menentukan bahwa, “Dengan mengingat akan ketentuan dalam
Pasal 2 KUH Perdata ini supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat
Hukum waris menurut konsepsi perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan
bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud
1
Effendi Perangin-Angin, Hukum Waris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 3.
2
Ibid., hlm. 4.
harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam
hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan
diwariskan, demikian pula haknya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum
Menurut Pitlo, “Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang
ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati
dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan
antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antar mereka dengan pihak ketiga”.4
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang
dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan
2) Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan
1) Sistem pribadi, yaitu yang menentukan bahwa ahli waris adalah perseorangan, bukan
3
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Revika Aditama,
2011), hlm. 25.
4
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Terjemahan M. Isa Arief, Jakarta:
Intermassa, 1979, hlm. 1.
5
Eman Suparman, Loc.Cit.
6
Effendi Perangin-Angin, Loc.Cit.
3) Sistem perderajatan, yaitu ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris
Dalam hukum waris BW, berlaku suatu asas yang menentukan bahwa, “Apabila
seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang
termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang. Berdasarkan sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka jelas
bahwa masalah-masalah penting yang menyangkut kewarisan diatur di dalam Buku II tentang
Kebendaan. Sistematika tersebut memberi petunjuk bahwa hak kewarisan dan segala sesuatu
yang timbul karenanya dipandang sebagai hak kebendaan. Dalam kaitan ini memang banyak
bukti bahwa hukum waris memiliki dimensi hukum kebendaan. Hal ini dapat ditinjau dari
beberapa aspek antara lain yang tercantum di dalam Pasal 833, Pasal 834, dan Pasal 1000 Kitab
Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW adalah, “Adanya hak mutlak dari
para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian harta warisan”. 9 Ini
berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan,
tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam
7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Vorkink van Hoeve S Gravenhage,sa,), hlm. 8.
Dalam Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 28.
8
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 13.
9
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm. 12.
1) Seorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat
dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi
2) Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1066 tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sistem hukum
waris BW memiliki ciri yang khas, yaitu menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris
secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Atau apabila tidak
untuk dibagi maka harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.
Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum perdata yang
bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam
lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Namun, ketentuan tersebut ada
beberapa pengecualian, yaitu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang
10
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 82.
3) Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatcschap menurut BW
maupun firma menurut Wvk, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya
Pengecualian lain, yaitu ada beberapa hak yang terletak dalam lapangan hukum keluarga,
2) Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari ayah
atau ibunya.
peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara
tegas dijelaskan dalam Pasal 833 ayat (1) BW, yang menyatakan bahwa: “sekalian ahli waris
dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan
segala piutang dari yang meninggal”.12 Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia
Adapun yang dimaksud dengan saisine adalah, ahli waris yang memperoleh segala hak
dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian
pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta
yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta perkawinan dalam BW dari siapa pun
juga, merupakan sutau kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari
tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan
pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang
11
Ibid.
12
Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 28
13
Lihat Surbekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermassa, 1977), hlm. 79. Dalam Eman Suparman, Ibid.
ditegaskan dalam Pasal 849 BW, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang tidak memandang
akan sifat atau asal dari daripada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur
pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem waris adat
yang membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris. Sedangkan sistem
BW, tidak mengenal hal tersebut, melainkan harta asal yang dibawa masing-masing ketika
menikah, maupun harta yang diperoleh selama perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan
bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.14
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang
meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-
kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa
surat wasiat. Dasar hukum seorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem
Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum bagi
harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang
tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak
menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta
kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan
juga melalui cara yang ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu
pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat
adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak
dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat
diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya dengan surat wasiat, maka
sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi,
pemberian seorang calon pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk
4. Ahli Waris Menutut Sistem Hukum Waris Perdata dan Porsi Bagiannya
ketentuan yang menyangkut masalah ahli waris tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 832,
Pasal 833, Pasal 834, Pasal 837 dan Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
ahli waris adalah keluarga sedarah dan suami-istri yang masih hidup. Jika yang pertama tidak
ada, maka negara lah yang maju menjadi ahli waris. Menurut undangundang, seluruh ahli waris
dengan sendirinya memperoleh hak milik atas semua harta peninggalan pewaris.18
Ahli waris memiliki hak untuk mengadakan gugatan kepada siapa saja demi
memperjuangkan hak warisnya. Gugatan yang berisi tuntutan untuk memperoleh warisan yang
didasarkan kepada hak waris yang dimilikinya lebih dikenal dengan “heriditatis pelitio”. Gugatan
17
Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 29.
18
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 66.
semacam itu dapat ditujukan kepada setiap orang sejauh menyangkut diserahkannya segala
sesuatu yang timbul dari hak waris termasuk di dalamnya segala hasil pendapatan dan ganti
rugi.19
Pada dasarnya semua harta peninggalan adalah milik ahli waris, dalam hal ini berlaku
hukum waris menurut undang-undang. Adapun ketetapan dalam wasiat tetap diakui
keberadaannya. Oleh sebab itu, setiap ahli waris dapat menuntut pembayaran dari suatu harta
warisan atau harta peninggalan. Artinya adalah semua harta warisan atau harta peninggalan harus
segera dibagi-bagi kepada para ahli waris dalam keadaan utuh tidak terbagi-bagi, jadi dalam satu
kesatuan.
keberadaan suami atau istri (yang hidup paling lama) dengan pewaris. Mereka yang berhak
a) Golongan I: Anak, atau keturunannya dan janda atau duda, yang jumlah bagiannya
ditetapkan di dalam Pasal 852, Pasal 852 a, Pasal 852b, dan Pasal 515 KUH Perdata. 20
Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke
bawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda dan/atau duda yang ditinggalkan
atau yang hidup paling lama, masingmasing memperoleh satu bagian yang sama.
Oleh karena itu, bila terdapat empat orang anak dan janda maka mereka
b) Golongan II: Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis
jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 854, Pasal 855, Pasal 856, dan Pasal 857
19
Ibid.
20
Ibid., hlm. 67.
21
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 87..
KUH Perdata.22 Bagi orangtua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian
mereka tidak akan kurang ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun
mereka menjadi ahli waris bersama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila terdapat 3
(tiga) orang saudara yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu,
maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta
warisan; sedangkan separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang
c) Golongan III: meliputi kakek, nenek, dan leluhur dalam garis lurus ke atas, yang
jumlah bagiannya telah ditetapkan dalam, Pasal 853, Pasal 858 ayat (1) KUH
Perdata.24 Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan
pertama dan golongan kedua, maka dalam kondisi ini sebelum harta warisan dibagi,
terlebih dahulu harus di bagi 2 (dua) atau yang disebut dengan kloving. Selanjutnya
separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris, dan
bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris.
Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek
pewaris untuk bagian dari garis ayah; sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus
d) Golongan IV: Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke
samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Yang terdiri dari, paman
dan bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu,
yang bagiannya telah ditetapkan dalam Pasal 858 ayat (2), Pasal 861, Pasal 832 ayat
22
Sudarsono, Loc.Cit
23
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 88.
24
Sudarsono, Loc.Cit.
25
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 90.
(2), Pasal 862, Pasal 863, Pasal 864, Pasal 865, dan Pasal 866 KUH Perdata. Cara
pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris golongan ketiga,
yaitu harta warisan dibagi 2 (dua), satu bagian untuk paman dan bibi serta garis
keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta
26
Ibid., hlm. 91.