1. Pendahuluan
Dermatitis Atopi adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronik residif,
disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada bayi (fase
infantil), bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak). Dermatitis atopi kerap terjadi
pada bayi dan anak, sekitar 50% menghilang pada saat remaja, kadang dapat menetap,
atau bahkan muncul saat dewasa.
Data epidemiologi mencakup prevalensi, usia, jenis kelamin, distribusi tempat dan
penyebaran geografis baik di dalam maupun di luar negeri belum tercatat dengan baik.
Evaluasi lanjut tentang berbagai faktor risiko dan faktor yang mempengaruhi penyakit
telah dikemukakan oleh para peneliti, hasilnya bervariasi bergantung pada negara tempat
penelitian berlangsung.
Sampai saat ini etiologi dermatitis atopi dianggap multifaktor, namun patogenesis
yang pasti masih diteliti oleh pakar, baik di bidang genetik, maupun berbagai faktor
eksternal dan internal, termasuk sawar kulit. Perjalanan penyakit bervariasi dipengaruhi
berbagai faktor tersebut serta berkaitan erat dengan penyakit atopi lainnya, yakni asma
bronkial, rinitis alergi, urtikaria dan hay fever.1
Manifestasi dermatitis atopi dan tempat predileksi berbeda pada fase bayi, anak
dan dewasa. Rasa gatal yang hebat dan perjalanan penyakit yang kronik residif
menyebabkan gangguan psikologis pada pasien, keluarga, serta dokter yang merawat,
juga dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Masalah pada dermatitis atopi sangat
kompleks sehingga penatalaksanaan perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang
mempengaruhi di antaranya faktor genetik, sawar kulit, faktor predisposisi, faktor
pencetus, serta faktor lingkungan. Menimbang penyebab dermatitis atopi multifaktor,
para pakar dermatologi telah mengadakan pertemuan konsensus tatalaksana dermatitis
atopi pada tahun 2002 dan 2003. Dermatitis atopi tidak dapat disembuhkan, namun
dikendalikan. Oleh karena itu upaya preventif merupakan hal penting.
Sinonim penyakit ini adalah eczema dan S. Prurigo Besnier.1
2. Epidemiologi
Prevalensi dermatitis atopi bervariasi, prevalensi dermatitis atopi yang yang
diteliti di Singapura tahun 2002 menggunakan kriteria United Kingdom (UK) working
party pada anak sekolah ( usia 7-12 tahun ) sebesar 20,8% dari 12.323 anak. Penelitian di
Hannover (Jerman) prevalensi dermatitis atopi (menggunakan kriteria Hanifin Rajka)
pada anak sekolah ( usia 5-9 tahun ) ditemukan sebesar 10,5% dari 4219 anak. Umumnya
pada penelitian epidemiologi, diagnosis ditetapkan dengan menggunakan kriteria
diagnostik UK Working party, karena lebih praktis dan mudah digunakan. Sedangkan
penelitian di Rumah Sakit menggunakan kriteria Hanifin Rajka.
Penelitian tentang perjalanan penyakit dermaitis atopi dari berbagai negara
industri memperlihatkan data yang bervariasi. Di negara berkembang 10-20% anak
menderita dermatitis atopik dan 60% di antaranya menetap sampai dewasa.
3. Etiologi dan patogenesis
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi berbagai faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor predisposisi genetik (melibatkan
banyak gen) yang menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan pada sistem
imun, khususnya hipersensitivitas terhadap berbagai alergen dan antigen antimikroba.
Faktor psikologis dapat merupakan penyebab atau dampak dermatitis atopik. Hubungan
disfungsi sawar kulit dan patogenesis meliputi perubahan paada sistem imun, alergen
dan antigen, predisposisi genetik, mekanisme pruritus dan faktor psikologis. Faktor
higiene akhir-akhir ini diduga merupakan salah satu faktor risiko di dalam keluarga.
Hubungan disfungsi sawar kulit dan patogenesis dermatitis atopi
Dermatitis atopi erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat
menurunnya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan lorikrin),
berkurangnya volume siramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans-
eppidermal water loss (TEWL). Sawar kulit dapat menurun akibat terpajan protease
eksogen yang berasal dari tungau debu rumah dan superantigen staphylococcus
aureus serta kelembapan udara.
Perubahan sawar kulit mengakibatkan peningkatan absorpsi dan hipersensitivitas
terhadap alergen. Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas kemampuan
menyimpan air serta perubahan komposisi lipid esensial kulit. Menyebabkan kulit
lebih kering dan sensitiviitas gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah.
Perubahan sistem imun (imunopatologik)
Penelitian genetik terhadap pasien asma memperlihatkan gen yang sama dengan
pasien dermatitis atopik yaitu, gen pada 11q13 sebagai pengkode reseptor igE.
Ekspresi reseptor ig E tersebut pada sel penyaji antigen dapat memicu terjadinya
rangkaian peristiwa imunologi.
Alergen dan superantigen
- Alergen
Faktor eksogen, terutama alergen hidup ( debu rumah, tungau debu rumah)
berperan penting terhadapa patogenesis. Alergen hirup lainnya yang sering
memengaruhi adalah human dander, animal dander, molds, grasses, dan pollen.
Kadar ig E spesifik meningkat pada debu rumah, bulu anjing, bulu kucing, bulu
kuda, dan jamur.
- Superantigen
Berbagai hasil penelitian menunjukkan peningkatan kolonisasi Staphylococcus
Aureus yang mampu melekat di kulit karena interaksi antara protein A2 dan
asam teikoik. Pada dinding sel dengan fibronektin, laminin, dan fibrinogen.
Perubahan komposisi lipid serta berkurangnya sfongosin dan natural
antimicrobial agent memungkinan Staphylococcus Aureus tumbuh dan
berkolonisasi. Sebagian galur Staphylococcus Aureus memproduksi toksin yang
bertindak sebagai superantigen antara lain enterotoksin A (SEA), enterotoksin B
(SEB) dan toksin SSS penyebab Staphylococcal scalded skin syndrome.
Predisposisi genetik
Penelitian genetik berdasarkan silsilah keluarga menyatakan, bahwa risiko
terjadinya dermatitis atopi pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar
dizigot 25%. Sering dijumpai pada sebuah keluarga, namun penurunnya tidak
mengikuti hukum Mendel. Ada kecenderungan lebih banyak terjadi pada perempuan.
Sejak lama telah diketahui keterkaitan dermatitis atopi dengan asma bronkial, rinitis
alergik, dan peningkatan kadar igE dalam serum dengan Human leukocyte antigen
(HLA) pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda.
Mekanisme pruritus pada dermatitis atopik
Patofisiologi pruritus pada DA belum diketahui pasti. Pada umumnya para pakar
berpendapat bahwa sensasi gatal dan nyeri disalurkan melalui saraf C tidak bermielin
di daerah taut dermoepidermal. Rangsangan ke reseptor gatal tersebut menjalar
melalui saraf spinal sensorik kemudian ke hipotalamus kontralateral dan selanjutnya
ke korteks untuk dipersepsikan.
Rangsangan ringan dan superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa
gatal, namun bila lebih dalam dan intensitas tinggu dapat menyebabkan sensasi nyeri.
Patogenesis DA berkaitan dengan faktor genetik dan hipersensitivitas tipe I fase
lambat. Namun kemudian dianggap pada DA dapat terjadi reaksi yang diperantarai
hipersensitivitas tipe IV dan tipe I.
Untuk memahami patogenesis pruritus pada DA, perlu memahami lebih dulu
berbagai faktor yang berpengaruh pada DA, antara lain IgE, sel inflamasi DA,
mediator, sitokin, serta faktor lainnya. Telah ditemukan peningkatan kadar histamin di
kulit pasien DA, namun peningkatan tersebut tidak disertai dengan peningkatan di
dalam darah. Hasil salah satu penelitian memperlihatkan antihistamin hanya memberi
efek minimal sampai sedang dalam mengatasi pruritus pada DA. Hal tersebut terjadi
karena mungkin histamin bukan satu-satunya zat pruritogenik. Perlu dipikirkan
kemungkinan mediator lain yang dikeluarkan oleh sel mas atau faktor non imunologik
yang diduga sebagai penyebab pruritus, yaitu zat tergolong neuropeptida, protease,
opoid, eikosanoid dan sitokin.
4. Klasifikasi
Klasifikasi DA umumnya didasarkan atas keterlibatan organ tubuh, DA murni hanya
terdapat di kulit. Sedangkan DA dengan kelainan di organ lain, misalnya asma bronkhial, rhinitis
alergika, serta hipersensitivitas terhadap berbagai alergen polivalen (hirup dan makanan). Bentuk
DA murni terdiri atas 2 tipe yaitu tipe DA intrinsik dan ekstrinsik. DA instrinsik adalah DA
tanpa bukti hipersensitivitas terhadap alergen polivalen dan tanpa peningkatan kadar IgE total
didalam serum. Tipe kedua adalah DA ekstrinsik, bila terbukti pada uji kulit terdapat
hipersensitivitas terhadap alergen hirup dan makanan.
Klasifikasi yang lebih praktis untuk aplikasi klinis didasarkan atas usia saat terjadinya
DA, yaitu DA fase infantil, anak dan dewasa.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi dan tempat predileksi DA pada masing-masing fase dapat berbeda.
Dibandingkan dengan dermatitis lainnya, DA secara subyektif lebih gatal. Rasa gatal dan
garukan yang terus menerus memicu kerusakan barier kulit sehingga memudahkan alergen dan
iritan. Keadaan tersebut menyebabkan DA sering berulang (kronik residif). Perjalan penyakit
yang demikian berdampak gangguan fisik dan emosi pasien, sehingga kualitas hidup menurun.
1. DA fase infantil
DA lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan-2 tahun) umumnya awitan DA
terjadi pada usia 2 bulan. Tempat predileksi utama diwajah diikuti kedua pipi dan
tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan
tangan dan tungkai terutama bagian volar atau fleksor.
Dengan bertambahnya usia, fungsi motorik bertambah sempurna, anak mulai
merangkak dan belajar berjalan sehingga lesi kulit dapat ditemukan dibagian ekstensor,
misalnya lutut, siku atau ditempat yang mudah mengalami trauma. Gambaran klinis pada
fase ini lebih mirip dengan dermatitis akut, eksudatif, erosi dan ekskoriasi. Karena gatal
dan garukan lesi mudah mengalami infeksi sekunder. Fase infantil dapat mereda dan
menyembuh. Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak atau fase
remaja.
Pada bayi usia kurang dari 1 tahun beberapa alergen makanan (susu sapi, telur,
kacang-kacangan) kadang-kadang masih berpengaruh, tetapi pada usia yang lebih tua
alergen hirup dianggap lebih berpengaruh. Namun demikian, hal tersebut masih
diperdebatkan.
2. DA fase anak
Pada DA fase anak (usia 2-10 tahun) dapat merupakan kelanjutan fase infantil
atau muncul tanpa didahului fase infantil. Tempat predileksi lebih sering di fosa kubiti
dan poplitea, fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher, dan tersebar simetris.
Kulit pasien DA dan kulit pada lesi cenderung lebih kering. Lesi dermatitis cenderung
menjadi kronis disertai hiperkeratosis, hiperpigmentasi, erosis, ekskoriasi, krusta dan
skuama. Pada fase ini pasien DA lebih sensitif terhadap alergen hirup, wol dan bulu
panjang.
3. DA fase remaja dan dewasa
DA fase remaja dan dewasa (usia >13 tahun) dapat merupakan kelanjutan fase
infantil atau fase anak. Tempat predileksi mirip dengan dase anak dapat meluas mengenai
kedua telapak tangan, jari-jari, pergelangan tangan, bibir, leher bagian anterior, skalp dan
puting susu. Manifestasi klinis bersifat kronis berupa plak hiperpigmentasi,
hiperkeratosis, likenifikasi, ekskoriasi dan skuamasi. Rasa gatal lebih hebat saat
beristirahat, udara panas dan berkeringat. Fase ini berlangsung krini-residif sampai usia
30 tahun bahkan lebih.
6. Kriteria diagnosis DA
Diagnosis DA dapat ditegakkan secara klinis dengan gejala utama gatal, penyebaran
simetris, tempat predileksi (sesuai usia), terdapat dermatitis yang kronik-residif, riwayat atopi
pada pasien atau keluarganya. Kriteria tersebut disebut sebagai kriteria mayor Hanafin Rajka.
Untuk memastikan diagnosis, dibutuhkan 3 tanda minur lainnya. Dalam praktik sehari-hari dapat
digunakan kriteria William, guna menetapkan diagnosis DA yaitu
1. Harus ada
Kulit yang gatal (tanda garukan pada ank kecil)
2. Ditambah 3 atau lebih tanda berikut:
Riwayat perubahan kulit/kering difosa kubiti, fosa poplitea, bagian anterior
dorsum pedis atau seputar leher (termasuk kedua pipi pada anak <10 tahun)
Riwayat asma atau hay fever pada anak <4 tahun pada generasi 1 dalam
keluarga)
Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
Dermatitis fleksural (pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada anak <4 tahun)
Awitan dibawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak < 4 tahun)
Kriteria William lebih sederhana, praktis dan cepat karena tidak memuaskan beberapa
kriteria minun hanafin rajka yang hanya didapatka pada kurang dari 50% pasien DA. Kriteria
william lebih spesifik sedangkan kriteria hanafin rajka lebih efektif.
Tabel 1. Diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin Rajka.
KRITERIA MAYOR (harus terdapat 3) KRITERIA MINOR (harus ≥ 3 )
• Riwayat dermatitis di regio fleksor • Kulit kering
• Onset sejak usia dibawah 2 tahun • Ichthyosis
• Terdapat ruam yang gatal • Palmar hiperlinearitas
• Riwayat asma (personal) • Keratosis pilaris
• Riwayat kulit kering • Alergi tipe I dan meningkatnya IgE
• Dermatitis regio fleksor serum
• Dermatitis di kaki dan tangan
• Cheilitis
• Nipple eczema
• Meningkatnya Staphylococcus
aureus dan Herpes simplex
• Perifolikular keratosis
• Pityriasis alba
• Onset usia yang dini
• Konjungtivitis berulang
• Dennie-Morgan lipatan infraorbital
• Keratokonus
• Katarak
• Eritema wajah/ wajah pucat
• Lipatan pada leher anterior
• Gatal saat berkeringat
• Intoleransi pada wol atau pelarut
lemak
• Perifollicular accentuation
• Intoleransi pada makanan
• Dipengaruhi lingkungan dan
emosional