Anda di halaman 1dari 15

CLINICAL SCIENCE SESSION

TERAPI KORTIKOSTEROID

Oleh :
Isni Maulina Sukmara 1301-1212-0565
Saravana Kumar a/l Rajanthran 1301-1212-3540

Preceptor :
Rasmia Rowawi, dr., SpKK (K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2013
KORTIKOSTEROID SISTEMIK

Kortikosteroid sistemik adalah turunan sintetik dari steroid alami (kortisol)


yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kortikosteroid disebut sistemik bila
diminum atau diberikan melalui suntikan. Beberapa contoh dari kortikosteroid
sistemik adalah prednisone, prednisolone, methylprednisolone, betamethasone,
dexamethasone, triamcinolone and hydrocortisone.
Kortikosteroid sistemik memiliki mekanisme kerja yang sama seperti
kortisol alami dan banyak dipergunakan untuk mengobati beberapa penyakit
serius. Penyakit kulit yang diobati dengan steroid sistemik diantaranya pempigus
dan pempigoid, serta bentuk parah dari dermatitis.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan menurut masa
kerjanya, yaitu kerja singkat (<12 jam), sedang(12-36 jam), dan lama (>36 jam).

Tabel 1. Beberapa jenis kortikosteroid sistemik1


Potensi Dosis
Lama Waktu paruh
Kortikosteroid ekuivalen
Mineralkortikoid Glukokortikoid kerja (menit)
(mg)*
Glukokortikoid
Kortisol (hidrokortison) 1 1 S 90 20
Kortison 0,8 0,8 S 30 25
6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 180 4
Prednisone 0,8 4 I 60 5
Prednisolon 0,8 4 I 200 5
Triamsinolon 0 5 I 300 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 200 0,75
Mineralokortikoid
Aldosteron 300 0.3 S -
Fluorokortison 150 15.0 I 2.0
Keterangan:
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Farmakokinetik
Lebih dari 90 % glukokortikoid yang diabsorbsi terikat dengan protein
plasma, kebanyakan terikat dengan globulin pengikat kortikosteroid dan sisanya
dengan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendah,
sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya tinggi. Pada kadar
rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar
kortikosteroid meningkat, jumlah hormon yang terikat albumin dan yang bebas
juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan.
Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin. (3)
Kortikosteroid dimetabolisme dalam hati oleh enzim mikrosom
pengoksidasi. Metrabolitnya dikonjugasi menjadi asam glukoronat dan sulfat.
Produknya diekskesikan melalui ginjal.

Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran plama secara difusi
pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik
dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor-steroid.
Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus
dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologis steroid.
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan
kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-
inflamasinya dengan menginhibisi pembentukan prostaglandin dan derivat lain
pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-
inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi
membran lisosom dari sel-sel fagosit.
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya.
Mekanisme yang terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada
kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan kortikosteroid topikal pada terapi
urtikaria pigmentosa.

Efek
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh :
a. Glukokortikoid
- Menimbulkan metabolisme
Glukokortikoid membantu glukoneogenesis dengan jalan meningkatkan
ambilan asam amino oleh hati dan ginjal serta meningkatkan aktivitas
enzim glukoneogenik. Obat-obat ini merangsang katabolisme protein dan
lipolisis.
- Meningkatkan retensi terhadap stress
Dengan meningkatkan kadar glukosa plasma, glukokortikoid memberikan
energi yang diperlukan tubuh untuk melawan stress yang disebabkan oleh
trauma, infeksi, perdarahan, dan ketakutan. Glukokortikoid dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah, degan jalan meningkatkan efek
vasokonstriksi rangsangan adrenergik pada pembuluh darah kecil.
- Merubah kadar sel darah dalam plasma
Glukokortikoid menyebabkan penurunan eosinofil, basofil, monosit, dan
limfosit dengan jalan meredistribusinya ke dalam jaringan limfoid dari
sirkulasi. Sebaliknya, glukokortikoid meningkatkan kadar haemoglobin
trombosit, eritrosit, dan leukosit polimorfonuklear dalam darah.
- Efek anti-inflamasi
Glukokortikoid memiliki kemampuan untuk mengurangi respon
peradangan secara dramatis dan untuk menekan imunitas. Penggunaan
klinik kortikoteroid sebagai anti-inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu
gejalanya dihmbat sedangkan penyebabnya masih ada.
- Mempengaruhi komponen lain sistem endokrin
Penghambatan umpan balik produksi kortikotropin oleh peningkatn
glukokortikoid menyebabkan penghambatan sintesis glukokortikoid lebih
lanjut, sedangkan hormon pertumbuhan meningkat.
- Efek pada sistem lain
Dosis tinggi glukokortikoid merangsang asam lambung dan produksi
pepsin yang dapat menyebabkan eksaserbasi ulkus. Efeknya pada susunan
saraf pusat mempengaruhi status mental. Terapi glukokortikoid kronik
dapat menyebabkan kehilangan massa tulang berat. Miopati mnimbulkan
keluhan lemah.
b. Mineralokortikoid
Mineralokortikoid membantu kontrol volume cairan tubuh dan konsentrasi
elektrolit, terutama Na, K.

Indikasi
Penggunaan kortikosteroid lebih banyak bersifat empiris, kecuali untuk
terapi substitusi pada defisiensi.
Indikasi penggunan kortikosteroid, yaitu :
- terapi pengganti pada insufisiensi adrenokortikal primer (Addison’s
disease),
- terapi pengganti pada insufisiensi adrenokortikal sekunder atau tersier,
- diagnosis sindrom Cushing,
- terapi pengganti pada hiperplasia adrenal kongenital,
- menghilangkan gejala peradangan,
- pengobatan alergi.
Umumnya penyakit kulit diobati dengan glukokortikoid oral termasuk
penyakit bula serius (pemfigus, pemfigoid bulosa, pemfigoid sikatrik, erythema
multiforme, toxic epidermal necrolysis); penyakit jaringan ikat (dermatomyositis,
systemic eryhematosus; vasculitis; dermatosa neutrofilik (pioderma gangrenosum,
acut febrile neutrophilic dermatosis); sarcoidosis; lepra reaktiof tipe 1,
hemangioma kapilare; panniculitis; dan urtikaria/angioedema.
Penggunakan glukokortikoid singkat, dapat dilakukan pada dermatitis
yang parah (dermatitik kontak, dermatitik atopik, fotodermatitis, dermatitis
exfoliatif, dan erythroderma). Penggunaan glukokortikoid masih kontroversial
untuk pengobatan erythrema nodosum, lichen planus, cutaneus T cell lymphoma,
dan discoid lupus erythromatosus.

Cara Pemberian dan Dosis


Sediaan kortikosteroid dapat diberikan secara oral, parenteral (IV, IM,
intrasinovial, dan intra lesi), topikal pada kulit dan mata (dalam bentuk salep,
krim, losio), serta aerosol melalui jalan nafas. Kortikosteroid sistemik banyak
digunakan dalam bidang dermatologi karena obat tersebut memiliki efek anti-
inflamasi.
Pemberian glukokortikoid intralesi dapat langsung diberikan terhadap lesi
yang sedikit atau lesi tertentu yang resisten. Konsentrasinya bergantung pada
lokasi injeksi dan sifat lesi. Konsntrasi yang lebih rendah digunakan untuk wajah,
sementara keloid membutuhkan konsentrasi tinggi. Ada kesulitan yang serius
terhadap pemberian intramuskular karena penyerapannya yang tidak stabil dan
kurangnya kontrol harian terhadap dosis, terutama pada steroid-steroid yang long-
acting sehingga menyebabkan meningkatnya potensi efek samping.
Jika glukokortikoid oral diresepkan, prednison merupakan sediaan yang
paling umum dipilih. Dosis inisial sering diberikan harian untuk mengontrol
proses penyakit, dapat berkisar antara 2,5 mg sampai beberapa ratus miligram per
hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, pengobatan glukokortikoid dapat
dihentikan tanpa tapering. Dosis minimal yang memungkinkan dari agen short-
acting untuk diberikan setiap pagi akan meminimalisir efek samping. Karena
kadar kortisol memuncak pada sekitar jam 8 pagi, aksis HPA paling sedikit
tersupresi bila diberikan pada pagi hari tersebut. Ini disebabkan karena feedback
maksimal dari supresi sekresi ACTH oleh pituitari telah terjadi. Glukokortikoid
kadar rendah saat malam memberikan efek sekresi yang normal dari ACTH.
Glukokortikoid intravena digunakan dalam dua situasi. Yang pertama
adalah untuk penanganan stress pada pasien yang sakit akut atau yang menjalani
operasi, dan untuk pasien yang memiliki adrenal supresi dari terapi glukokortikoid
harian. Yang kedua adalah untuk pasien dengan penyakit tertentu, seperti resistent
pyoderma gangrenosum, pemfigus atau pemfigoid bulosa yang parah, SLE yang
serius, atau dermatomyositis, untuk mencapai pengendalian yang cepat terhadap
penyakit. Methylprednisolone digunakan dengan dosis 500 mg sampai 1 g perhari
karena potensinya yang tinggi dan aktivitas retensi sodium yang rendah. Efek
samping serius yang berhubungan dengan pemberian intravena adalah reaksi
anafilaktik, kejang, aritmia, dan sudden death. Efek samping lain adalah hipotensi,
hipertensi, hiperglikemi, pergeseran elektrolit, dan psikosis akut. Pemberian yang
lebih lambat, 2-3 jam, telah meminimalisir banyak efek samping yang serius. (2)
Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta

dosisnya:3,7

Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari


Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg
Efek Samping
Efek samping terapi kortikosteroid tergantung pada dosis, lama
pengobatan, dan macam kotikosteroi. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa
hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat. Efek samping
dapat timbul karena penghentian obat tiba-tiba atau pemberian obat terus-menerus
terutama dengan dosis besar
Efek samping penggunaan jangka pendek dapat berupa :
- Gangguan tidur
- Penambahan berat badan
- Nafsu makan meningkat
- Efek psikologis
- Jarang tapi mengkhawatirkan : mania, psikosis, gagal jantung, tukak lambung,
diabetes, dan nekrosis aseptik pada pinggul
Efek samping terapi kortikosteroid yaitu :
- Osteoporosis
Osteoporosis terjadi pada 40% dari pasien-pasien dengan terapi kortikosteroid
sistemik, terutama menonjol pada anak-anak, remaja, dan wanita
postmenopause. Kira-kira sepertiga pasien terbukti memiliki fraktur vertebra
setelah 5-10 tahun menggunakan steroid. Bone loss terjadi paling cepat pada 6
bulan pertama penggunaan glukokrtikoid, namun berlanjut lebih lambat
setelah itu, dengan kehilangan 3-10& tulang per tahun pada banyak pasien.
Beberapa bone loss dapat reversible setelah glukokortikoid dihentikan, paling
tidak pada pasien yang muda.
Glukokortikoid menginhibisi osteoblas, meningkatkan ekskresi kalsium oleh
ginjal, menurunkan absorbsi kalsium intestinal, dan meningkatkan resorpsi
tulang oleh osteoklas.
- Avascular necrosis
Avascular necrosis (AVN) dimanifestasikan oleh nyeri dan terbatasnya
pergerakan satu atau lebih sendi. Ditemukan hipertensi intraoseus, diikuti
iskemik tulang dan nekrosis. Hipertrofi liposit intraoseus mungkin
menyebabkan hiupertensi intraoseus ini. Glukokortikoid juga mendorong
apoptosis dari osteoblas, yang juga mendukung terjadinya AVN. Penyakit
yang telah ada sebelumnya, seperti SLE, meningkatkan kemungkinan adanya
steroid-induced AVN. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pasien yang
mengembangkan AVN memiliki trombofilia atau hipofibrinolisis, yang
membawa pada oklusi trombotik dari aliran vena dari tulang, penurunan
perfusi arterial, dan infark tulang.
- Aterosklerosis
Glukokortikoid meningkatkan banyak faktor resiko yang berkaitan dengan
pembentukan aterosklerosis, diantaranya hipertensi arterial, resistensi insulin,
intoleransi glukosa, hiperlipidemia, dan obesitas sentral. Karenanya adalah
wajar bahwa pasien yang mengkonsumsi glukokortikoid memiliki
peningkatan resiko untuk aterosklerosis. penderita dengan Cushing’s disease
memiliki angka kematian 4 kali lebih tinggi dari komplikasi kardiovaskular,
termasuk CAD, CHF, dan cardiac stroke. Resiko untuk aterosklerosis bertahan
untuk paling tidak 5 tahun setelah normalisasi kadar serum kortisol pada
Cushing’s disease, dan penemuan serupa dapat ditemukan pada pasien-pasien
dengan terapi glukokortikoid kronis.
- Suppresi aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal
Aksis HPA dengan cepat disupresi setelah onset terapi glukokortikoid. Untuk
sampai 12 bulan setelah terapi dihentikan, respon steroid akan menurun. Jika
terapi terbatas sampai 1-3 minggu, aksis HPA dapat kembali dengan cepat.
Gejala-gejala supresi adrenal diantaranya letargi, mual, anoreksia, demam,
hipotensi ortostatik, hipoglikemi, dan kehilangan berat badan.
Juga ada withdrawal syndrome steroid, dimana pasien mengalami gejala-
gejala insufisiensi adrenal meskipun memiliki respon kortisol yang tampaknya
normal terhadap ACTH. Gejala-gejala umumnya termasuk anoreksia, letargi,
malaise, mual, kehilangan berat badan, deskuamasi, nyeri kepala, dan demam.
Lebih jarang, terjadi muntah, mialgia, dan athralgia. Pasien-pasien ini telah
terbiasa pada kadar glukokortikoid yang tinggi, dan gejala menghilang setelah
glukokortikoid dimulai lagi. Masalah ini dapat diatasi dengan tapering
glukokortikoid yang lebih lambat, biasanya 1 mg prednison tiap minggu.
- Efek samping imunologis
Glukokortikoid mengganggu reaksi hipersensitivitas tipe lambat karena
inhibisinya terhadap limfosit dan monosit.
Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek samping.
Hendaknya diperiksa tensi dan berat badan (seminggu sekali), EKG (sebulan
sekali) terutama pada usia 40 tahun, dan pemeriksaan laboratorium (Hb, jumlah
leukosit, hitung jenis, LED, urin lengkap, kadar Na, K dalam darah, gula darah
seminggu sekali), serta foto thorax (3 bulan sekali untuk melihat TB paru).

Tabel 2. Efek Samping Kortikosteroid7

Kontraindikasi
Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada
keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas
biasanya kortikotropin dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif
kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs.
Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan
hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa,
positive purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic,
katarak, osteoporosis, kehamilan.

Strategi untuk mengurangi efek samping glukokortikoid


1. Evaluasi sebelum pengobatan.
Untuk meminimalisir masalah, evaluasi awal harus memasukkan riwayat
pribadi dan keluarga, dengan perhatian lebih pada predisposisi terhadap
diabetes, hipertensi, hiperlipidemi, glukoma, dan penyakit-penyakit lain yang
berhubungan dengan terapi steroid. Tekanan darah dan berat badan awal harus
diukur. Jika pengobatan diperkirakan diperpanjang, pemeriksaan mata dan tes
PPD harus dilakukan, Pemeriksaan untuk infeksi lain harus berhubungan
denga riwayat dan pemeriksaan fisik. Jika penggunaan jangka panjang
glukokortikoid direncanakan, pengukuran densitas tulang spinal awal harus
didapatkan.
2. Evaluasi selama pengobatan
Pada kunjungan follow-up, harus ditanyakan apakah ada keluhan poliuri,
polidipsi, sakit perut, demam, gangguan tidur, dan efek psikologis pada
pasien. Mungkin terdapat efek yang serius pada afek dan bahkan psikosis pada
pasien dengan dosis tinggi glukokortikoid. Berat badan dan tekanan darah
harus dimonitor. Elektrolit serum, gula darah puasa, dan kadar kolesterol serta
trigliserida harus diukur. Pemeriksaan mata harus dilakukan dengan
monitoring yang hati-hati untuk perkembangan katarak dan glukoma.
3. Pengukuran-pengukuran preventif
- Diet
Diet harus dalam rendah kalori, lemak, sodium, dan tinggi protein.
Konsumsi alkohol, kopi, dan nikotin harus diminimalisir. Olah raga
harus dianjurkan.
- Infeksi
Pasien dengan tes PPD positif harus diberikan profilaksis dengan
isoniazid. Demam atau temuan fokus infeksi harus diperiksa dengan
pendekatan diagnosa yang tepat.
- Komplikasi gastrointestinal
Terdapat peningkatan hampir sembilan kali lipat insidensi ulkus
peptikum pada pasien dengan glukokortikoid dan NSAID. Pada pasien
dengan dua atau lebih faktor resiko (seperti pasien yang mengkonsumsi
NSAID, adanya riwayat ulkus peptikum, atau dosis total glukokortikoid
>1000 mg, profilaksis harus dipertimbangkan. Profilaksis dapat berupa
antasid, H2 receptor blocker, atau proton pump inhibitor.
- Supresi adrenal
Pasien yang menerima glukokortikoid lebih lama dari 3-4 minggu harus
dianggap memiliki supresi adrenal yang membutuhkan tapering
glukokortikoid untuk mengembalikan aksis HPA. Tapering paling baik
dilakukan dengan mengganti dari dosis harian ke dosis selang hari,
diikuti pengurangan dosis bertahap.
- Osteoporosis
Beberapa terapi dikembangkan untuk mencegah osteoporosis pada
pangguna glukokortikoid. Pencegahan dapat dengan suplemen kalsium
dan vitamin D. Pada wanita post menopause dan premenopause yang
menjadi amenorheic karena glukokortikoid, hasil yang baik didapatkan
dengan pemberian Hormon Replacement Therapy. Pria dengan kadar
testosteron serum yang rendah yang menerima pengobatan
glukokortikoid harus mendapatkan suplemen testosteron. Peningkatan
osteolisis karena steroid menyembangkan digunakannya beberapa agen
yang menghambat resorpsi tulang, seperti biphosphonate dan calcitonin.
Rekomendasi saat ini termasuk pengukuran densitas tulang dan studi
seerial untuk mengidentifikasi awal adanya densitas tulang yang hilang.
Densitas tulang terbaik diukur di spina lumbal pada pasien kurang dari
60 tahun dan di leher femur pada pasien lebih dari 60 tahun.
- Aterosklerosis
Tekanan darah, lipid serum, dan jadar glukosa harus diperiksa secara
serial. Abnormalitas harus diobati dengan manipulasi diet dan
pengobatan yang perlu.
- Avascular necrosis
Deteksi awal penting karena intervensi awal dapat mencegah progressi
pada penyakit degenerasi sendi. Pasien harus selalu dipantau apakah ada
keluhan nyeri dan keterbatasan gerakan sendi. Pemeriksaan yang sensitif
untuk deteksi AVN adalah bone scan dan MRI.
Berikut hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid
jangka panjang8
No. Efek samping Monitor
1. Hipertensi Tekanan darah
2. Berat badan meningkat Berat badan
3. Reaktivasi infeksi PPD, (12 hari setelah pemakaian
4. Abnormalitas metabolik prednison)
Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita
5. Osteoporosis diabetes dan hiperlipidemia)
6. Mata Densitas tulang
Katarak
Glaukoma Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12
7. Ulkus peptik bulan)
Tekanan intraokular (saat bulan pertama
8. Supresi kelenjar adrenal dan ke enam)
Pertimbangkan pengunaan antagonis H2
atau proton pump inhibitor
Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum
kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering
off.

Interaksi obat
Obat-obat seperti barbiturat, fenitoin, dan rifampin, yang menginduksi enzim
mikrosomal hepar, dapat mempercepat metabolisme glukokortikoid Obat-obat
seperti cholestyramine, colestipol, dan antasid mengganggu absorbsi glukortikoid.
Glukokortikoid mengurangi kadar serum salisilat dan membuat kebutuhan dosis
yang lebih tinggi untuk warfarin sebagai antikoagulan.

Penghambat Kortikosteroid
- Metirapon
Metirapon mempengaruhi sintesis kortikosteroid dengn jalan menghambat
langkah akhir (11-hidroksilasi) sintesis glukokortikoid yang menyebabkan
peningkatan 11-deoksikortisol sama seperti androgen adrenal dan
mineralokortikoid kuat, 11-deoksikortikosteron.
- Aminoglutetimid
Aminoglutetimid bekerja dengan jalan menghambat konversi kolesterol
menjadi pregnenolon. Akibatnya, sintesis semua steroid aktif berkurang.
Aminoglutetimid diberikan bersama dengan deksametason pada pengobatan
kanker payudara untuk mengurangi androgen dan produksi estrogen.
Aminoglutetimid juga berguna pada pengobatan keganasan korteks adrenal
untuk mengurangi sekresi steroid.
- Ketokonazol
Ketokonazol menghambat dengn kuat sintesis hormon gonad dan hormon
steroid.
- Mifepriston
Mifepriston merupakan suatu antagonis glukokortkoid kuat. Obat ini
membentuk kompleks dengan reseptor glukokortikoid, tetapi disosiasi obat
yang cepat dari reseptor menyebabkankesalahan translokasi ke dalam nukleus.
- Spironolakton
Spironolakton bersaing pada reseptor mineralokortikoid sehingga
menghambat reabsorbsi Na di ginjal. Obat ini dapat juga mengantagonis
sintesis aldosteron dan testosteron.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi


kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347
2. Agusni Indropo. Mekanisme Kerja Kortikosteroid Topikal. Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD
Soetomo. Surabaya; 2001. Diunduh dari
http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/bipkk/article/viewFile/191/191
3. Doctorology Indonesia. Kortikosteroid dan Efek Sampingnya. 2009.
http://doctorology.net/?p=61
4. http://img.medscape.com/fullsize/migrated/550/721/apt550721.fig1.gif
5. Abidin Taufik. Oral Corticosteroid. 2009. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/13461798/Oral-Kortikosteroid
6. Freeberg. M. Irwin, Eisen. Z. Atrhur, Wolff. Klaus, dkk. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. Volume II B. Sixth Edition. Newyork;
Mc Graw-Hill Medical Publishing Division. 2003; 2381-2387, 2322-2327
7. Corticosteroid. 2009. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1063590-treatment

Anda mungkin juga menyukai