Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH QBL 5

“Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman”

Dosen: Ns. Lima Florensia, S,Kep., M.Kes


Anggota:
Ailsa Dzakiyah Dzahabiyah H. (1910711058)
Aprilla Rahma Utaminingtyas (1910711064)
Aulya Vira Maylinda (1910711061)
Diya Alvionita (1910711055)
Talitha Syifa Laili (1910711054)
Yeni Wisyani (1910711050)
Yulia Prabhawaty (191071163)
Zhafirah Zhafarani (1910711062)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2019
1. Konsep Keamanan Pasien/Safety

a. Pasien Safety
Patient safety adalah pasien pasien bebas dari cidera yang tidak
seharusnya terjadi atau terbebas dari cidera yang potensial akan terjadi
(penyakit, cidera fisik/ sosial psikologis, cacat, kematian) terkait dengan
pelayanan kesehatan. Patient Safety adalah suatu sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : assessment
risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
risiko. Sistem ini mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya di ambil (DepKes,2006)

b. Tujuan Pasien Safety


1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
2. Meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan
masyarakat
3. Menurunya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di rumah sakit
4. Terlaksananya program program pencegahan sehingga tidak terjadi
penggulangan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).

c. Sistem Keselamatan Pasien


1. Pelaporan insiden, laporan bersifat anonym dan rahasia
2. Analisa, belajar, riset masalah dan pengembangan taxonomy
3. Pengembangan dan penerapan solusi serta monitoring / evaluasi
4. Penetapan panduan, pedoman, SOP, Standar Indikator
Keselamatan Pasien berdasarkan pengetahuan dan riset
5. Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarganya.

1
d. Faktor yang memengaruhi keselamatan dan keamanan
1. Usia
Ini kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki individu. Anak anak biasanya belum mengetahui tingkat
kebahayaan dari suatu lingkungan yang dapat menyebabkan cedera
pada mereka. Sedangkan lansia umumnya akan mengalami
penurunan sejumlah fungsi organ yang dapat menghambat
kemampuan mereka untuk melindungi diri, salah satunya adalah
kemampuan persepsi-sensorik.
2. Perubahan Persepsi – Sensorik
Persepsi – sensorik yang akurat terhadap stimulus
lingkungan merupakan hal yang vital bagi keselamatan individu.
Individu yang mengalai gangguan persepsi – sensorik
(pendengaran, penglihatan, penciuman, sentuhan) berisiko tinggi
mengalami cedera.
3. Gangguan Kesadaran
Segala bentuk gangguan kesadaran (misalnya : pengaruh
narkotika, obat penenang, alcohol, disorientasi,tidak sadar,kurang
tidur,halusinasi) dapat membahayakan keselamatan dan keamanan
seseorang.
4. Mobilitas dan Status Kesehatan
Klien dengan gangguan ekstremitas (misalnya : paralisis,
lemah otot, gangguan keseimbangan tubuh, inkoordinasi)
berisikotinggi mengalami cidera. Sedangkan klien yang lemah
karena penyakit atau prosedur pembedahan tidak selalu waspada
dengan kondisi mereka.
5. Keadaan Emosi
Emosi yang tidak stabil akan mengubah kemampuan
seseorang dalam mempresepsikan bahaya lingkungan. Situasi yang

2
penuh tekanan dapat menurunkan tingkat konsentrasi, mengganggu
penilaian,dan menurunkan kewaspadaan terhadap stimulus
eksternal.
6. Kemampuan Berkomunikasi
Klien dengan gangguan bicara atau afasia, individu dengan
hambatan bahasa, dan mereka yang tidak dapat membaca,atau buta
huruf berisiko mengalami cidera.
7. Pengetahuan Tentang Keamanan
Informasi tentang keamanan sangat penting guna
menurunkan tingkat kebahyaan lingkungan. Dalam hal ini perawat
bertanggung jawab memberikan informasi yang akurt kepada klien
yang berada dirumah sakit
8. Gaya Hidup
Gaya hidup yang menyebabkan individu beresiko tinggi
antara lain lingkungan kerja yang tidk mn, lingkungn perumahan di
daerah rawan (misalnya: sungai, lereng, pegunungan, jalan raya),
tingak sosial ekonomi yang rendah, akses yang mudah untuk
mendapatkan obat – obatan, dll.
9. Lingkungan
Kondisi lingkungan yang tidak aman dapat mengancam
keselamtan dan keamanan individu. Stimulus lingkungan seperti
bunyi yang sangat keras menyebabkan gangguan pada fungsi
pendengaran. Bahan –bahan berbahya seperti racun, zat kimia,
emisi, logam berat (merkuri), racun bakteri (tetanus, difteri,
botulisme) dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan saraf.
Lebih lanjut, kondisi ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
normal tubuh, baik yang sifatnya sementara atau menetap.

2. Evidence Based Pencegahan Jatuh

a. Evidence-Based Pencegahan Jatuh

3
Praktik evidence-based merupakan pendekatan praktik klinis untuk
memecahkan masalah dengan bukti terbaik yang terbaru bersama keahlian
klinis, pilihan, dan nilai-nilai klien dalam pengambilan keputusan tentang
perawatan klien (Melnyk dan Fineout-Overholt, 2005).
Tujuan praktik berbasis-bukti adalah tnemberi data berbasis-bukti
kepada perawat untuk melakukan pelayanan klien yang efektif. Praktik
berbasis-bukti membantu perawat dalam memecahkan masalah di
lingkungan klinis. Praktik ini juga membantu perawat menyediakan
pelayanan kesehatan yang inovatif, melebilii standar kualitas, dan
membantu melalui proses pengambilan keputusan yang efektif dan'
menemukan perawat menyediakan pelayanan klien yang konsisten efisien
(Spector, 2005).

b. Tahapan Evidence-based:

 Tanyakan sebuah pertanyaan klinis


 Kumpulkan bukti yang paling relevan dan baik
 Evaluasilah bukti yang telah dikumpulkan dengan kritis
 Gabungkan semua bukti dengan keahlian klinis serta pilihan klien
dalam membuat keputusan praktik atau perubahannya
 Evaluasilah keputusan praktik atau perubahannya
Pencegahan jatuh:
 Orientasi pasien ke area tempat tidur, toilet dan bangsal
 Mendidik pasien dan keluarga, memberikan informasi yang sesuai
secara budaya tentang risiko terjatuh dan masalah keselamatan
 Anjurkan pasien tentang penggunaan bel panggilan, pastikan hal
itu dalam jangkauan dan sarana untuk dihubungi untuk bantuan
jika diperlukan
 Pastikan barang yang sering digunakan (termasuk alat bantu
mobilitas) mudah dijangkau, di sisi tempat tidur yang sesuai, dalam
keadaan baik dan disesuaikan untuk pasien.

4
 Tempat tidur dan kursi berada pada ketinggian yang sesuai untuk
pasien menginstruksikan pasien menggunakan kontrol bed (jika
perlu)
 Pastikan rem tempat tidur selalu di setiap saat dan rem kursi aktif
saat tidak melakukan mobilisasi
 Posisikan meja di samping tempat tidur di sisi non exit tempat tidur
 Tempatkan kutub IV dan semua rencana / lampiran lainnya (jika
perlu) di sisi keluar tempat tidur
 Pastikan lampiran (seperti kateter, drainase luka, infus) diamankan
 Rapihkan barang-barang dan rintangan dari ruangan

3. Konsep Restains Pada Pasien

a. Restain mempunyai 2 pengertian yaitu, merupakan alat pelindung yang


digunakan untuk membatasi mobilitas pasien. Sedangkan dalam ilmu
kedokteran kejiwaan, restain adalah suatu bentuk tindakan menggunakan
tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang
berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik
dan psikologis individu.

b. Tujuan Restain :

1. Memberikan keamanan.

2. Mempermudah pemerikasaan.

3. Menjalankan prosedur diagnostik dan terapeutik.

4. Mempertahankan pada posisi yang diinginkan.

c. Kriteria Pemasangan Restain

1. Membatasi gerakan klien seminimal mungkin.

2. Tidak menggangu pengobatan maupun kesehatan pasien.

5
3. Mudah diganti.

4. Aman digunakan pada pasien tertentu.

5. Tidak mencolok.

d. Indikasi Restain

1. Perilaku amuk.

2. Agitasi (kecemasan memuncak) yang tidak dikendalikan oleh


pengobatan.

3. Ancaman terhadap integritas fisik berhubungan dengan penolakan klien


untuk makan, minum, dan beristirahat.

e. Jenis Restain

1. Restain jaket.

2. Restain sabuk.

3. Restain ekstremitas.

f. Cara melakukan restain

1. Melakukan komunikasi terkait tindakan.

2. Memastikan area yang akan dipasangkan restain bebas dari memar,


luka, dan bengkak.

3. Memberikan padding/bantalan sebelum memasang restain, agar tonjolan


tulang/tubuh klien yang akan dipasangkan restain tidak lecet atau memar

4. Mengikat restain pada tempat tidur.

6
5. Mengatur rentang gerak klien. Restain yang diikat pada tubuh klien
jangan terlalu kencang agar klien masih bisa bergerak.

4. Kenyamanan

a. Teori kenyamanan terdiri atas tiga tingkatan, yaitu :


 Relief: kondisi resipien yang membutuhkan penanganan spesifik dan
segera,
 Ease: kondisi tenteram atau kepuasan hati dari klien yang terjadi karena
hilangnya ketidaknyamanan fisik yang dirasakan pada semua kebutuhan,
 Transcendence: keadaan dimana seseorang individu mampu mengatasi
masalah dari ketidaknyamanan yang terjadi.
b. Kolcaba memandang bahwa kenyamanan merupakan kebutuhan dasar
seorang individu yang bersifat holistik, meliputi kenyamanan fisik,
psikospiritual, sosiokultural, lingkungan.
1. Kenyamanan fisik berhubungan dengan mekanisme sensasi tubuh
dan homeostasis, meliputi penurunan kemampuan tubuh dalam merespon
suatu penyakit atau prosedur invasif. Beberapa alternatif untuk
memenuhi kebutuhan fisik adalah memberikan obat, merubah posisi,
backrub, kompres hangat atau dingin, sentuhan terapeutik.
2. Kenyamanan psikospiritual dikaitkan dengan keharmonisan hati dan
ketenangan jiwa, yang dapat difasilitasi dengan memfasilitasi kebutuhan
interaksi dan sosialisasi klien dengan orang-orang terdekat selama
perawatan dan melibatkan keluarga secara aktif dalam proses
kesembuhan klien.
3. Kebutuhan kenyamanan sosiokultural berhubungan dengan
hubungan interpersonal, keluarga dan masyarakat, meliputi kebutuhan
terhadap informasi kepulangan (discharge planning), dan perawatan yang
sesuai dengan budaya klien. Beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan
sosiokultural adalah menciptakan hubungan terapeutik dengan klien,
menghargai hak-hak klien tanpa memandang status sosial atau budaya,
mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya, dan memfasilitasi

7
kerja tim yang mengatasi kemungkinan adanya konflik antara proses
penyembuhan dengan budaya klien.
4. Kebutuhan yang terakhir adalah kebutuhan akan kenyamanan
lingkungan yang berhubungan dengan menjaga kerapian dan kebersihan
lingkungan, membatasi pengunjung dan terapi saat klien beristirahat, dan
memberikan lingkungan yang aman bagi klien (Kolcaba, Tilton, &
Drouin, 2006).

5. Sifat Nyeri
 Nyeri merupakan sebuah pengalaman universal, sifat pastinya masih
tetap menjadi sebuah misteri. Diketahui bahwa nyeri sangat bersifat
subjektif dan individual dan bahwa nyeri merupakan salah satu
mekanisme pertahanan tubuh yang menandakan adanya masalah.
Nyeri yang tidak ditangani menyebabkan bahaya fisiologis dan
psikologis bagi kesehatan dan penyembuhannya. McCaferry
mendefinisikan nyeri sebagai 'sesuatu apapun pengalaman yang
dikatakan seseorang, ada kapanpun orang itu mengatakannya'
(McCaferry & Paserro, 1999, hlm 5). Dasar definisi ini adalah
keinginan penuh pemberi perawatan untuk percaya bahwa klien
mengalami nyeri dan bahwa klien adalah orang yang benar-benar
berwenang terhadap nyeri tersebut.
 Pengalaman nyeri merupakan suatu hal yang kompleks, mencakup
aspek fisik, emosional, dan kognitif. Nyeri adalah suatu hal yang
bersifat subjektif dan personal. Stimulus terhadap timbulnya nyeri
merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan atau mental yang terjadi
secara alami. Nyeri merupakan suatu pengalaman yang melelahkan
dan membutuhkan energi. Nyeri dapat mengganggu hubungan
personal dan mempengaruhi makna hidup (Davis, 2002). Kita tidak
dapat mengukur nyeri secara objektif, seperti melalui tes darah. Hanya

8
klien yang mengetahui kapan nyeri tersebut timbul dan bagaimana
perasaan kalian ketika menjadi terjadi. Untuk membuktikan bahwa
mereka sedang dalam keadaan nyeri bukan merupakan tanggung
jawab dari klien, tetapi hal tersebut merupakan tanggung jawab
perawat untuk menerima adanya keluhan nyeri yang diungkapkan
oleh klien (American Pain Society [APS], 2003).
 Asosiasi internasional untuk penelitian nyeri (International
Association for the study of Pain, IASP, 1979) sebagaimana dikutip
dalam Suzanne C. Smeltzer, (2002) mendefinisikan nyeri sebagai
suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual,
potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi
kerusakan.
 Sherwood L. (2001), menyatakan bahwa nyeri sebenarnya merupakan
mekanisme protektif yang dimaksudkan untuk menimbulkan
kesadaran telah atau akan terjadi kerusakan jaringan.
 (Potter, 2012), nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual dan potensial yang tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada
suatu bagian tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif
dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit,
seperti emosi, perasaan takut dan mual.
 Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Menurut
McCaferry (1980) dalam E. S Sauer (1992), "Whatever the
experiencing person says it is, existing whenever he says it does".
Nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri
tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa
nyeri.
 McMahon (1994) menemukan 4 atribut pasti untuk pengalaman sifat
nyeri antara lain:

9
1. Nyeri bersifat individu, nyeri hanya dapat dirasakan dan dapat
digambarkan secara akurat oleh individu yang mengalaminya itu
sendiri. Sensasi terhadap nyeri yang dirasakan individu bersifat
pribadi subjektif artinya antara individu satu dengan yang lainnya
mengalami sensasi yang berbeda.
2. Tidak menyenangkan dan tidak nyaman, suatu perasaan dimana
seseorang merasa dirinya tidak sehat atau merasa terganggu dengan
keadaan yang sekarang dialaminya dan bisa menghambat aktivitasnya.
3. Merupakan suatu kekuatan yang mendominasi, rasa nyeri bisa
mendominasi keseluruh tubuh karena perasaan kita berfokus pada
nyeri tersebut.
4. Bersifat tidak berkesudahan, suatu sifat yang tidak tahu secara pasti
kapan nyeri itu hilang atau sembuh.
6. Fisiologi Nyeri

 Proses fisiologi nyeri disebut dengan nosisepsi. Di dalam nosisepsi, akan


berhubungan dengan system saraf perifer yang terdiri dari saraf sensorik
primer yang khusus bertugas mendeteksi kerusakan jaringan dan
membangkitkan sensasi sentuhan, panas, dingin, nyeri, dan tekanan.
 Reseptor yang bertugas merambatkan sensasi nyeri dinamakan nosiseptor.
Nosiseptor merupakan ujung-ujung saraf perifer yang bebas dan tidak
bermielin atau sedikit bermeilin
 Reseptor nyeri tersebut dapat dirangsang oleh stimulus mekanis
(sentuhan,gesekan&tekanan), suhu, kimiawi(zat kimia yang merangsang
nyeri : bradikinin, serotonin, histamine, ion kalium, asam, asetilkolin dan
enzim proteolitik).
 Proses fisiologi nyeri ada 4 :
1. Transduksi : Pada fase ini terjadi di perifer, stimulus yang
membahayakan (bahan kimia, suhu, listrik, mekanis) mmicu pelepasan
biokimia (neurotransmitter eksitatori seperti prostaglandin, bradikinin,
kalium, histamine, dan substansi P) yang mensensitisasi nosiseptor.

10
2. Transmisi : fase transmisi terdiri dari 3 bagian. Yang pertama, nyeri
merambat dari serabut saraf perifer ke medulla spinalis. Ada dua jenis
serabut saraf perifer yang terlibat dalam proses tersebut yaitu serabut
A-delta yang mengirimkan sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan
jelas/nyata yang membatasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas
dari nyeri tersebut, dan serabut C yang menghantarkan impuls yang
tidak terlokalisasi secara jelas, terbakar/sangat panas, dan menetap.
(Wall&Melzack, 1999). Yang kedua, menghantarkan nyeri dari
medulla spinalis ke batang otak dan thalamus melalui jarak
spinotalamikus (STT), STT merupakan suatu system diskriminatif
yang membawa informasi sifat dan lokasi stimulus ke thalamus. Yng
ketiga, sinyal diteruskan ke korteks sensorik somatic (tempat nyeri
dipersepsikan). Impuls yang dihantarkan melalui STT mengaktifkan
respon anatomi dan limbic.
3. Persepsi : Individu menyadari adannya nyeri. Korteks somatosensory
mengidentifikasi lokasi dan intensitas nyeri dan gabungan korteks,
terutama system limbic yang menentukan bagaimana seseorang
merasakan nyeri. Persepsi memberikan individu perasaan sadar akan
nyerinya sehingga membuat individu tersebut bereaksi dengan respon
fisiologis dan respon perilaku.
4. Modulasi : Setelah otak menerima adanya stimulus nyeri, terjadi
pelepasan neurotransmitter inhibitor seperti opioid endogenus
(endofrin dan enkefalin), serotonin, norepinefrin, dan asam
aminobutirik gamma yang bekerja menghambat transmisi nyeri dan
membantu menciptakan efek analgesic (McCaffery&Pasero, 1999)
 Teori Gate Control merupakan teori yang pertama mengungkapkan bahwa
nyeri memiliki komponen emosional dan kognitif serta sensasi secara
fisik. Teori tersebut mengatakan bahwa impuls nyeri akan melewati
gerbang dalam posisi terbuka dan akan dihentikan ketika gerbang ditutup.
Gerbang yang dimaksud adalah substansi gelatinosa pada medulla spinalis

11
yang bekerja layaknya gerbang yang memungkinkan atau menghalangi
masuknya implus nyeri ke otak.
 Respon nyeri ada 2 :
1. Respon fisiologis : suatu respon individu secara fisik yang ditandai
dengan meningkatnya tekanan darah, denyut nadi (perubahan tanda vital),
orang yang nyeri belum tentu mengalami perubahan tanda vital, hanya
pada kasus dengan nyeri traumatis berat hingga seseorang merasa syok
2. Respon perilaku : dapat berupa gerak tubuh dan ekspresi wajah. Tidak
semua orang dapat menunjukan ekspresi tersebut, tetapi bukan berarti ia
tidak merasakan nyeri melainkan toleransi nyerinya (sanggup menahan
nyeri) yang tinggi.
 Contoh reaksi fisiologis terhadap nyeri seperti :
1. Stimulus simpatis (nyeri sedang) : respons dapat berupa peningkatan
denyut jantung, efeknya adalah peningkatan transport oksigen.
2. Stimulus parasimpatis (nyeri berat) : respons dapat berupa ketegangan
otot, efeknya kelelahan.

7. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


1. Factor fisiologis
a. Usia
Menurut Potter & Perry (1993) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap
nyeri. Anakanak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan
kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-
anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai
kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri
kepada orang tua atau perawat. Anak belum bisa mengungkapkan
nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada

12
orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007).
Seorang perawat harus menggunakan teknik komunikasi yang
sederhana dan tepat untuk membantu anak dalam membantu anak
dalam memahami dan mendeskripsikan nyeri. Sebagai contoh,
pertanyaan kepada anak, “ Beritahu saya Universitas Sumatera Utara
dimana sakitnya?” atau “apa yang dapat saya lakukan untuk
menghilangkan sakit kamu?”. Hal-hal diatas dapat membantu
mengkaji nyeri dengan tepat. Perawat dapat menunjukkan serangkaian
gambar yang melukiskan deskripsi wajah yang berbeda, seperti
tersenyum, mengerutkan dahi atau menangis. Anak-anak dapat
menunjukkan gambar yang paling tepat untuk menggambarkan
perasaan mereka.
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena
mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani
dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika
nyeri diperiksakan
b. Kelemahan (fatigue)
Kelemahan meningkatkan presepsi terhadap nyeri dan menurunkan
kemampuan untuk mengatasi masalah. Apabila kelemahan terjadi di
sepanjang waktu istiraha, persepsi terhadap nyeri akan lebih besar.
Nyeri terkadang jarang dialami setelah tidur/istirahat cukup daripada di
akhir hari yang panjang. Rasa keletian juga menyebabkan sensasi nyeri
semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri dapat terasa
lebih berat lagi. Nyeri sering kali berkurang setelah individu
mengalami suatu periode tidur yang lelap dibanding pada akhir hari yg
melelahkan.

13
c. Gen
Riset terhadap orang yang sehat mengungkapkan bahwa informasi
genetic yang diturunkan dari orang tua memungkinkan adanya
peningkatan atau penurunan sensitivitas seseorang terhadap nyeri.
Pembentukan sel-sel genetic kemungkinan dapat menentukan toleransi
nyeri seseorang.
2. Factor social
a. Perhatian
Tingkatan dimana klien memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri
yang dirasakan, mempengaruhi presepi nyeri. Meningkatnya perhatian
berhubungan dnegan meningkatnya nyeri, sebaliknya, distarksi
berhubungan dengan kurangnya respon nyeri.
b. Pengalaman sebelumnya
Setiap orang belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya. Adanya
pengalaman sebelumnya bukan berarti seseorang tersebut akan lebih
mudah menerima rasa nyeri di masa yang akan datang. Frekuensi
terjadinya nyeri di masa pampau yang cukup sering tanpa adanya
penanganan atau penderitaan akan adanya nyeri yang llebih berat,
dapat menyebabkan jecemasan atau bahkan jetakutan yang timbul
secara berulang. Sebaliknya, Apabila seseorang telah memiliki
pengalaman yang berulang akan rasa nyeri yang sejenis namun
nyerinya telah dapat ditangani dengan baik, maka hal tersebut akan
memudahkanya untuk menginterpretasikan sensasi nyeri. Sebagai
hasilnya, klien menjadi lebih baik dalam persiapan untuk mengambil
tindakan yang perlu dilakukan dalam penanganan nyeri.
Ketika klien tidak memiliki pengalaman terhadap kondisi yang
menyakitkan, persepsi pertama terhadap nyeri tersebut dapat merusak
kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah. Dalam fase
antisipasi dari pengalaman nyeri, perawat perlu untuk
memmpersiapkan klien melalui penjelasan yang jelas tentang jenis

14
nyeri yg akan timbul dan metode yang digunakan untuk
menguranginya, agar menurunkan persepsi nyeri.
c. Keluarga dan dukungan social.
Orang dengan nyeri terkadang bergantung kepada anggota
keluarga yang lain atau teman dekat, untuk dukungan, bantuan, atau
perlindugan. Meski nyeri masih terasa, tetapi kehadiran keluarga
ataupun teman terkadang dapat membuat pengalaman nyeri yang
menyebabkan stress sedikit berkurang. Kehadiran orang tua juga
sangat penting bagi anak-anak yang mengalami nyeri.
3. Factor budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi
terhadap nyeri (Calvillo & Flaskerud, 1991). Nyeri memiliki makna
tersendiri pada individu dipengaruhi oleh latar belakang budayanya
(Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) nyeri biasanya menghasilkan
respon efektif yang diekspresikan berdasarkan latar belakang budaya yang
berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu tenang
dan emosi (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) pasien tenang umumnya
akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki sikap dapat menahan
nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan berekspresi secara verbal
dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan merintih dan menangis
(Marrie, 2002). Karena, ada beberapa budaya yang percaya bahwa
menunjukan rasa sakit adalah hal yg wajar, tp ada jg yang cenderung lebih
introvert.
4. Factor psikologis
a. Kecemasan
Tingkat dan kualitas nyeri yang diterima klien berhubungan
dengan arti dari nyeri tersebut. Kecemasan terkadang meningkatkan
persepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga menyebabkan perasaan

15
cemas. Kecemasan ini memicu adanya masalah manajemen nyeri yang
serius.
b. Teknik koping
Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi
yang mengancam. Seseorang yg memiliki control terhadap situasi
internal merasa bahwa mereka dapat mengontrol kejadian-kejadian dan
akibat yg terjadi dalam hidup mereka, seperti nyeri. Sebaliknya,
seseorang yang masih memiliki control terhadapsituasi eksternal,
meras a bahwa factor lain dalam hidupnya seperti perawat,
bertanggung jawab terhadap akibat dari suatu kejadian. Penting bagi
perawat untuk mengerti sumber koping yg digunakan klien selama
terjadi pengalaman yg menyakitkan. Sumber-sumber tsb seperti
komunikasi dg keluarga yg mendukung, latihan fisik, atau berdoa
dapat digunakan dalam recnana perawat untuk mendukung klien dan
memberikan tingkat penanganan nyeri.
8. Teknik dan Pengkajian Nyeri
Perawat perlu melakukan pendekatan manajemen nyeri secara sistematis
untuk dapat mengerti dan mengobati nyeri pada klien. Manajemen nyeri yang
berhasil tergantung dari bagaimana hubungan saling percaya antara petugas
kesehatan, klien, dan keluarga dibangun. (Potter & Perry, 2009).

a. Pengkajian

Pengkajian nyeri yang akurat penting untuk upaya penatalaksanaan


nyeri yang efektif. Karena nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan
dirasakan secara berbeda pada masing-masing individu, maka perawat perlu
mengkaji semua faktor yang memengaruhi nyeri, seperti faktor psikologis,
fisiologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. (Mubarak & Chayatin,
2008). Pengkajian masalah nyeri secara umum mencakup lima hal, yaitu:

16
pemicu nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri, intensitas nyeri, dan waktu
serangan. Cara mudah mengingatnyaadalah dengan PQRST.

 P : Provoking atau pemicu, yaitu faktor yang memicu timbulnya nyeri.


 Q : Quality atau kualitas nyeri, misalnya rasa tajam, atau rasa tumpul.
 R : Region atau daerah, yaitu daerah atau lokasi yang terdapat nyeri.
 S : Severity atau keparahan, yaitu intensitas nyeri atau seberapa parah
nyeri tersebut.
 T : Time atau waktu, yaitu jangka waktu serangan dan frekuensi nyeri.

b. Karakteristik Nyeri

Pengkajian terhadap karakteristik nyeri membantu perawat untuk


memperoleh suatu pemahaman terhadap jenis nyeri, pola nyeri, serta jenis
intervensi yang dapat memberikan pertolongan terhadap nyeri. Secara
umum, pengkajian karakteristik nyeri meliputi beberapa aspek, antara lain:

 Lokasi. Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien


menunjukkan area di mana ia merasa nyeri. Pengkajian ini bisa dilakukan
dengan bantuan gambar tubuh. Klien bisa menandai bagian tubuh yang
mengalami nyeri.
 Intensitas. Salah satu karakteristik yang paling subjektif dan paling
berguna dalam pelaporan nyeri adalah intensitasnya. Penggunaan skala
intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk
menentukan intensitas nyeri pasien. Skala intensitas nyeri mencakup skala
penjelasan secara verbal, skala dengan skor angka, dan skala analog visual.
Ketika menggunakan skala angka, skala 0-3 mengindikasikan nyeri ringan,
4-6 nyeri sedang, dan 7-10 nyeri hebat. Meski setiap klien memilih skala
nyeri yang berbeda-beda, tetapi penting bagi perawat untuk memilih dan
menggunakan skala yang sama secara konsisten pada klien tertentu. Perawat
tidak menggunakan skala nyeri untuk membandingkan nyeri satu klien
dengan klien lain.

17
Mengkaji intensitas nyeri pada anak-anak membutuhkan teknik-
teknik khusus. Anak-anak tidak selalu tahu arti/maksud dari kata nyeri,
karena itulah perawat harus menggunakan kata-kata seperti auw/aduh, boo-
boo, atau sakit. Ada beberapa teknik unik yang tersedia untuk mengukur
intensitas nyeri pada anak-anak. Beyer et al.(1992) mengembangkan “The
Oucher”. Tampilan ekspresi wajah anak-anak mengisyaratkan anak-anak ke
dalam pemahaman makna kata nyeri dan tingkat keparahannya.

18
 Kualitas. Kemungkinan klien akan menggambarkan nyeri sebagai
sesuatu yang terasa berat, berdenyut, tajam, atau tumpul. Walaupun daftar
dari penjelasan yang dimaksud sudah tersedia, tetapi akan lebih akurat
apabila klien dapat menggambarkan nyerinya dengan menggunakan bahasa
mereka sendiri jika memungkinkan. Perawat perlu mencatat kata-kata yang
digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang
akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta
pilihan tindakan yang diambil. Ada beberapa ketetapan tentang cara
seseorang menggambarkan jenis nyeri tertentu. Nyeri yang berhubungan
dengan infark miokard sering kali digambarkan sebagai sensasi hebat dan
menusuk, sedangkan nyeri karena insisi bedah sering kali digambarkan
sebagai sensasi tumpul, sakit, dan berdenyut, mengindikasikan nyeri
nosiseptif. Nyeri neuropatik biasanya bersifat panas seperti terbakar, seperti
tertembak, atau seperti sensasi elektrik (Williams, 2006). Ketika gambaran
yang klien berikan sesuai dengan pola yang ada pada pengkajian, perawat
kemudian mampu untuk membuat analisis yang lebih jelas akan sifat dan

19
jenis nyeri. Hal ini akan memicu pemberian manajemen nyeri yang lebih
tepat karena perawat menangani nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik secara
berbeda.
 Pola Nyeri. Minta klien untuk menjelaskan aktivitas yang menyebabkan
nyeri, seperti gerakan fisik atau makanan. Selain itu, minta klien untuk
mendemonstrasikan gerakan yang menyebabkan respons yang menyakitkan,
seperti batuk atau berbalik ke arah tertentu. Tanyakan pada klien apabila
nyeri semakin memburuk pada waktu tertentu dalam satu hari, atau apabila
nyeri timbul sebentar-sebentar atau konstan.
 Faktor Presipitasi. Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu
munculnya nyeri. Sebagai contoh, aktivitas fisik yang berat dapat
menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan yang
sangat dingin atau sangat panas), stressor fisik dan emosional juga dapat
memicu timbulnya nyeri.
 Tindakan yang dapat mengurangi nyeri. Penting bagi perawat untuk
tahu apakah klien memiliki cara yang efektif dalam mengobati nyeri, seperti
mengubah posisi, berjalan, mengayun, menggosok, makan, meditasi,
berdoa, atau memberikan sensasi hangat atau dingin pada lokasi nyeri.
Pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat mengurangi nyeri uga
mencakup pengidentifikasian para dokter seperti dokter ahli penyakit
dalam, ahli bedah tulang, ahli akupuntur, dokter gigi, dsb.
 Gejala-gejala yang menyertai. Ada beberapa gejala yang menyertai
seperti cemas, depresi, lelah, anoreksia, gangguan pola tidur, ataupun rasa
bersalah, yang dapat menjadi penyebab memburuknya nyeri. Perawat perlu
mengkaji gejala-gejala yang berhubungan dan mengevaluasi efeknya
terhadap persepsi nyeri klien. Melaporkan dan mengobati gejala yang
berhubungan tersebut memperbesar kemungkinan berhasilnya manajemen
nyeri.
 Efek Nyeri Terhadap Klien. Nyeri mengubah gaya hidup seseorang dan
memengaruhi kesejahteraan psikologis. Nyeri kronis/menetap menyebabkan
penderitaan, kehilangan kontrol, kesepian, ketidakmampuan, kelelahan, dan

20
gangguan kualitas hidup selama masa hidup klien. Dengan menyadari efek-
efek nyeri terhadap klien, perawat akan memiliki pemahaman yang lebih
baik tentang pengalaman klien dan memberikan manajemen nyeri terbaik.
 Efek Perilaku. Ketika klien mengalami nyeri, perawat melakukan
pengkajian ekspresi, respons verbal, gerakan wajah dan tubuh, serta
interaksi sosial. Laporan verbal akan adanya nyeri merupakan bagian
penting dari suatu pengkajian. Perawat perlu untuk mau mendengarkan dan
mengerti. Banyak klien yang tidak dapat mengomunikasikan rasa nyerinya.
Bayi atau klien yang tidak sadar, mengalami disorientasi atau kebingungan,
kehilangan kemampuan memahami kata-kata, atau yang berbicara dengan
menggunakan bahasa asing adalah orang-orang yang tidak mampu untuk
menjelaskan pengalaman nyerinya.
 Pengaruh terhadap Aktivitas Sehari-hari. Klien yang hidup dengan
nyeri setiap hari memiliki sedikit kemampuan untuk berpartisipasi dalam
aktivitas harian. Pengkajian terhadap perubahan ini menyatakan tingkat
ketidakmampuan dan penyesuaian diri klien yang penting untuk membantu
klien dalam berpartisipasi dalam perawatan diri klien. Tujuan utama
perawat adalah untuk meningkatkan fungsi/peran klien. Tergantung lokasi
nyerinya, beberapa klien memiliki kesulitan untuk melakukan aktivitas
harian secara mandiri. Sebagai contoh, beberapa nyeri membatasi mobilitas
klien hingga suatu titik di mana klien tidak mampu lagi untuk mandi di
kamar mandi. Klien dengan radang sendi yang berat merasakan nyeri ketika
memegang peralatan makan atau ketika menurunkan tubuh mereka saat
akan menggunakan toilet duduk. Kaji kebutuhan klien terhadap bantuan
untuk melakukan aktivitas perawatan diri, dan bekerja samalah dengan
anggota tim kesehatan (ahli terapi fisik, dan terapi okupasional).
Pertimbangkan juga kebutuhan akan anggota keluarga atau teman untuk
membantu klien dalam melakukan perawatan kebersihan diri.
Nyeri sungguh dapat mengancam kemampuan klien untuk bekerja.
Semakin banyak aktivitas fisik yang dibutuhkan ketika bekerja, maka
semakin besar risiko ketidaknyamanan ketika nyeri dihubungkan dengan

21
pergerakan tubuh. Kaji pekerjaan yang klien lakukan dan kemampuan klien
untuk melakukan peran dalam pekerjaannya. Kaji tugas sehari-hari yang
dilakukan di rumah dengan cara yang sama dengan tugas yang dilakukan di
luar rumah. Kaji juga apakah klien perlu untuk menghentikan aktivitasnya
sesekali karena nyeri, dan selanjutnya membantu klien memilih cara-cara
untuk meminimalisasi atau mengontrol nyeri sehingga klien mampu untuk
tetap produktif.

9. Manajemen Jatuh

a. Pengertian Jatuh
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau
saksi mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo, 2004).
b. Faktor yang Memengaruhi Jatuh
Chun Ruby (2017); Pearson & Andrew (2011), menyertakan
bahwa faktor risiko jatuh dibagi menjadi faktor intrinsik (Patient-related
risk factors) dan faktor ektrinsik (Healthcare factors related to falls).
 Faktor Intrinsik
Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan
mengapa seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain
dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh (Stanley, 2006). Faktor
risiko yang berasal dari dalam tubuh pasien biasanya berasal dari
penyakit yang menyertai pasien seperti:
 Gangguan sensori dan Gangguan neurologi
Gangguan sensori dapat menurunkan kemampuan
seseorang dalam menilai dan mengantisipasi bahaya yang terdapat
dilingkunganya. Gangguan ini biasa terjadi pada golongan usia
dewasa-tua dimana perlemahan dan memburuknya pengelihatan
karena usia secara signifikan dapat meningkatkan risiko dari jatuh.
Selain itu juga pasien dengan gangguan neurologi seperti pingsan

22
dan penurunan kesadaran dapat menyebabkan pasien mendadak
jatuh sehingga pasien perlu dibutuhkan pengawasan dan observasi
khusus secara terus-menerus.
 Gangguan kognitif
Dimensia, delirium, dan penyakit perkinson memiliki
hubungan yang jelas dengan risiko terjadinya jatuh terutama saat
perilaku agitasi dan berkeliaran muncul. Selain itu penurunan
kognitif dan kognisi secara umum dapat mempercepat risiko jatuh
pada pasien dewasa tua tanpa penyakit delirium atau tanpa
penyakit dimensia (Feil dan Gardner, 2012).
 Gaya berjalan dan Gangguan keseimbangan
Gangguan berjalan dan keseimbangan sangat sering terjadi
pada lansia karena proses alami dari penuaan. Proses tersebut
menyebabkan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan,
dan penurunan kelenturan sendi. Selain proses penuaan riwayat
berjalan berjongkok dan mengunakan tongkat juga dapat
meningkatkan risiko dari jatuh, penyakit stroke dapat menjadi
salah satu penyebab gangguan keseimbangan, hal tersebut karena
pasien mengalami kelumpuhan sehingga mengakibatkan pasien
sulit berjalan atau bergerak.
 Gangguan Urinaria
Gangguan ini dapat menyebabkan pasien lebih sering
keluar-masuk menuju kamar mandi, sehingga meningkatkan risiko
jatuh pada pasien.
 Pengobatan
Banyak pasien tidak memahami pemakaian berbagai
macam obat dapat meningkatkan risiko jatuh. Pasien dengan
pemakaian obat antihipertensi dan psikiatrik lebih sering terjadi
jatuh (Majkusova & Jarosova, 2014). Pengobatan kardiovasikular
seperti deutetik dan antihipertensi dapat mengakibatkan efek
samping hipotensi yang dapat menyebabkan pasien jatuh.

23
 Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan
sekitarnya) (Nugroho, 2000). Faktor ini sebagian besar terjadi karena
kondisi bahaya dari lingkungan atau tempat atau ruangan di mana
pasien dirawat, seperti:
 Kondisi lingkungan pasien
Pencahayaan ruangan yang kurang terang, lantai licin,
tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak stabil atau terletak
dibawah, tempat tidur yang tinggi, WC yang rendah atau
berjongkok, obat-obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan
dapat meningkatkan risiko dari jatuh (Darmojo, 2004).
 Lampu panggilan dan Alarm kursi atau tempat tidur
Lampu panggilan dan alarm kursi atau tempat tidur
berperan penting dalam pencegahan pasien jatuh karena pasien
yang ingin menuju kamar mandi dapat memberitahu perawat
melalui alarm yang tersedia untuk segera dibantu.
 Tenaga profesional kesehatan dan sistem pelayanan
Selain kondisi lingkungan yang membahayakan pasien,
sistem dari pelayanan kesehatan juga berpengaruh terhadap
terjadinya pasien jatuh. Severo et al (2014), menyebutkan salah
faktor ektrinsik jatuh adalah tatanan rumah sakit dan proses
kesehatan profesional kesehatan khususnya dalam keperawatan.
c. Akibat dan Komplikasi Jatuh
 Dampak Fisiologis
Dampak fisik yang disebabkan oleh jatuh berupa lecet, memar,
luka sobek, fraktur, cidera kepala, bahkan dalam kasus yang fatal jatuh
dapat mengakibatkan kematian.
 Dampak Psikologis
Jatuh yang tidak menimbulkan dampak fisik dapat memicu dampak
psikologis seperti; ketakutan, anxiety, distress, depresi, dan dapat
mengurangi aktivitas fisik (Miake-Lye et al, 2013).

24
 Dampak Finansial
Pasien yang mengalami jatuh pada unit rawat inap dapat
menambah biaya perawatan, hal tersebut karena jatuh dapat
menyebabkan luka pada pasien.
d. Manajemen Jatuh
Pelaksanaan program kegiatan manajemen risiko pasien jatuh
merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah maupun menangani
pasien dengan risiko jatuh maupun pasien yang mengalami jatuh. Kegiatan
manajemen risiko pasien jatuh dilaksanakan oleh seluruh petugas
khususnya perawat dalam melakukan screening risiko jatuh terhadap
semua pasien. Hal ini juga di tunjang dengan adanya hubungan
pengetahuan perawat yang baik dengan pelaksanaan keselamatan pasien
(patient safety). Penilaian ini menunjukkan bahwa penerapan manajemen
pasien risiko memerlukan kebijakan, prosedur yang diikuti dengan
supervisi dan monitoring.

10. Teknik Pengkajian Jatuh

Pengkajian pasien dengan risiko jatuh dapat dilakukan dengan


multifactorial assessment dalam jangka waktu pasien dirawat. Tindakan yang
dilaksanakan dalam pengkajian multifaktor adalah dengan mengkaji masalah
kognitif pasien, masalah urinaria pasien, riwayat jatuh, akibat dari jatuh,
mengawasi sandal yang dipakai pasien (licin atau hilang), masalah kesehatan
yang dapat meningkatkan risiko jatuh, pengobatan yang sedang dijalani,
masalah keseimbangan, masalah pergerakan pasien, sindrome sincope, dan
gangguan pengelihatan yang diderita oleh pasien.

Selain itu, pengkajian lingkungan dimana pasien dirawat memiliki bagian


penting dalam risiko dari insiden pasien jatuh. Terdapat berbagai jenis alat
pengkajian risiko jatuh yang telah dibuat, salah satunya dengan Morse Fall
Scale (MFS) yang dipakai dalam mengidentifikasi risiko pasien jatuh orang
dewasa.

25
a. Morse Fall Scale (MFS)

Morse Fall Score Adalah metode cepat dan simpel untuk


melakukan pengkajian pasien yang memiliki kemungkinan jatuh atau
risiko jatuh dan digunakan untuk melakukan penilaian kepada pasien umur
≥ 16 tahun. MFS memiliki 6 variabel yaitu :

 Riwayat jatuh : Bila terdapat riwayat jatuh saat ini atau sebelum 3 bulan
beri skor 25, bila tidak beri skor 0.
 Diagnosa sekunder : Bila pasien memiliki lebih dari 1 diagnosa medis
maka beri skor 15, bila tidak beri skor 0.
 Alat bantu : Bila pasien bed rest atau butuh bantuan perawat untuk
berpindah beri skor 0, bila pasien membutuhkan tongkat, cane, atau alat
penompang untuk berjalan berikan skor 15, dan bila pasien berjalan
berpegangan pada perabotan yang ada seperti meja atau kursi berikan
skor 30.
 Terpasang infus : Bila terpasang infus beri skor 20, dan bila tidak beri
skor 0.
 Gaya berjalan : Bila pasien memiliki gangguan gaya berjalan seperti
kesulitan bangun, kepala menunduk, atau berjalan tidak seimbang beri
skor 20, bila gaya berjalan pasien lemah tanpa kehilangan
keseimbangan beri skor 10, dan bila pasien berjalan dengan normal beri
skor 0.
 Status mental : Bila pasien memiliki over-estimasi terhadap
kemampuan tubuhnya beri skor 15, dan bila pasien menyadari
kemampuan fisik dan tidak memaksakan beri skor 0.

Hasil interpretasi dari MFS dikatagorikan menjadi; tidak berisiko


(No Risk) dengan skor MFS sebesar 0-24, pasien berisiko rendah (Low
Risk) dengan skor MFS sebesar 25-44, sedangkan pasien berisiko tinggi
jatuh (High Risk) memiliki skor MFS ≥ 45. Setiap skor MFS memiliki
tindakan yang berbeda, pada pasien tanpa risiko jatuh tindakan yang

26
dilakukan adalah cukup melaksanakan tindakan keperawatan dasar, pada
pasien dengan risiko rendah jatuh dilakukan tindakan implementasi
standar pencegahan pasien jatuh, dan untuk pasien dengan risiko tinggi
jatuh perlu dilakukan implementasi yang lebih intens dalam pencegahan
pasien jatuh.

b. Intervensi Pencegahan Pasien Jatuh

Tindakan intervensi pencegahan jatuh menurut Pearson & Andrew


(2011), melakukan perubahan fisiologis pasien seperti perubahan aktivitas
tolileting pada pasien dewasa tua dengan gangguan kognitif atau
inkontenesia urin; perubahan lingkungan seperti menaikan batas tempat
tidur, menurunkan kasur, melapisi lantai dengan matras, dan restrain
pasien secara terbatas berdasarkan keperluan; dilanjutkan pendidikan dan
pelatihan staf kesehatan dalam program pencegahan pasien jatuh.

Intervensi dalam mencegah terjadinya pasien jatuh dimulai dengan


melakukan asesmen risiko jatuh Morse Fall Scale (MFS). Hasil dari
penilaian MFS dilanjutkan dengan prosedur intervensi sesuai dengan
tinggi rendahnya skor MFS yang muncul. Menurut Ziolkowski dari
Departement of Helath and Human Service St. Joseph Health Petaluna
Valley (2014), Intervensi pencegahan pasien risiko jatuh dapat dibagi
menjadi :

1. Intervensi Risiko Rendah


a) Intervensi lanjutan akan dilakukan pada semua pasien rawat inap.
b) Orientasi pasien/keluarga dengan lingkungan dan kegiatan rutin.
c) Tempatkan lampu panggilan (alarm pemberitahuan) dalam
jangkauan dan mengingatkan pasien untuk meminta bantuan.
d) Pastikan tempat tidur pasien dalam posisi rendah dan terkunci.
e) Bed alarm diaktifkan pada semua pasien saat pasien tidur (selain
unit kelahiran anak) kecuali pasien menolak.

27
f) Dekatkan barang-barang pasien dalam jangkauan.
g) Menyediakan alas kaki anti selip yang dibutuhkan pasien untuk
berjalan.
h) Minimalkan pasien berjalan atau bahaya tergelincir.
i) Kunjungi pasien lebih sering (setiap jam) dan nilai keamanan dan
kenyamanan pasien.
j) Pertimbangkan pencahayaan tambahan

2. Intervensi Risiko Tinggi atau Sedang


a) Identifikasi secara visual pasien dengan memasang gelang kuning
pada pergelangan tangan.
b) Pertimbangkan penempatan ruangan pasien pada area dengan
visibilitas tinggi atau dekat dengan ruang jaga perawat
c) Monitor pasien dan ruangan untuk keamanan kira-kira setiap satu
jam. Tempatkan lampu panggilan dan secara terus-menerus
menempatkan barang pribadi dalam jangkauan pasien.
d) Rintis Fall Risk Care Plan; Sebuah rencana perawatan yang
dikembangkan dengan intervensi tepat sesuai kebutuhan pasien.
e) Aktifkan alarm bed sepanjang waktu saat pasien di tempat tidur.
Pastikan bed terhubung dengan sistem lampu panggilan juga pasang
alarm pada kursi yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
f) Awasi pasien secara langsung (dengan observasi visual) saat
menuju kamar mandi atau kamar kecil.
g) Bantu pasien dengan atau pengawasan semua transfer dan
ambulatory mengunakan gait belt dan alat bantu jalan lainya.
h) Jika pasien menunjukan sikap impulsif, memiliki risiko jatuh
sedang atau tinggi atau riwayat jatuh, mungkin dibutuhkan tempat
tidur khusus dengan tambahan tikar atau matras pada sisi tempat
tidurnya untuk mencegah bahaya sekunder dari jatuh.

28
i) Sediakan dan review (ulangi) edukasi pencegahan jatuh kepada
pasien dan keluarga. Intervensi yang dilakukan pada pasien dengan
risiko

29

Anda mungkin juga menyukai