Anda di halaman 1dari 93

STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN

DAN AKIBAT HUKUMNYA

Penulisan Hukum
(Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk


Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Farida Dwi Irianingrum


NIM : E. 1104134

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN


AKIBAT HUKUMNYA

Disusun oleh :

FARIDA DWI IRIANINGRUM


NIM : E 1104134

Disetujui untuk Dipertahankan


Dosen Pembimbing

PRANOTO, S.H., M.H.


NIP. 131 842 685

ii
PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN


AKIBAT HUKUMNYA

Disusun oleh :
FARIDA DWI IRIANINGRUM
NIM : E. 1104134

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :

Hari : ………………………………
Tanggal : ………………………………

TIM PENGUJI

1. Moch. Najib I, S.H., M.H. : ................................................................


Ketua

2. Hernawan Hadi, S.H., M.Hum. : ................................................................


Sekretaris

3. Pranoto, S.H.,M.H. : ................................................................


Anggota

MENGETAHUI
Dekan,

MOH. JAMIN, S.H., M.Hum.


NIP. 131 570 154

iii
ABSTRAK

Farida Dwi Irianingrum, 2008. Studi Tentang Perjanjian Perkawinan Dan


Akibat Hukumnya. Fakultas Hukum UNS.

Di dalam suatu perkawinan, masalah harta perkawinan dan kepentingan


yang akan timbul sering kurang mendapat perhatian oleh sepasang suami isteri.
Sebab mereka dalam melaksanakan perkawinan adalah untuk selama-lamanya.
Tetapi bila ternyata perkawinan tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan
kemudian bercerai, mereka baru mempersoalkan masing-masing haknya, terutama
mengenai pembagian harta perkawinan. Permasalahan ini akan berbeda apabila
suami isteri pada saat sebelum melangsungkan perkawinan membuat perjanjian
perkawinan terlebih dahulu. Sehingga segala kepentingan dan aset dari suami
isteri dapat terlindungi. Isi perjanjian perkawinan bebas dilakukan asalkan tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif terhadap asas-asas
hukum. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder, dimana data
sekunder dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder, maka untuk memperoleh data adalah dengan
studi pustaka. Tekhnik analisis data yang digunakan adalah metode penafsiran.
Pengaturan perjanjian perkawinan, dapat dilihat antara lain di dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab V pasal 29 ayat 1
sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab VII pasal 139
sampai dengan pasal 154, Kompilasi Hukum Islam Bab VII pasal 45 sampai
dengan pasal 52. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di
dalamnya telah disebutkan bahwa perjanjian perkawinan juga diatur di dalam
Undang-undang ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan
diperkenankan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun pengaturannya tidak lengkap seperti di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Berdasar ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa segala
perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Sehingga isi dari perjanjian perkawinan dapat menjadi
Undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Pihak yang dimaksud di sini
adalah suami isteri. Apabila kedua belah pihak tidak mengatur mengenai
ketentuannya, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam KUHPerdata. Perjanjian
perkawinan ini dipakai oleh Hakim sebagai pegangan dalam memutus perkara
mengenai harta dalam perkawinan, sesuai dengan tujuan awal dibuatnya
perjanjian perkawinan, yaitu melindungi aset dan kepentingan, maka diharapkan
semua kepentingan tersebut dapat terlindungi dengan perjanjian perkawinan ini.

Kata kunci : perkawinan, suami isteri, perjanjian perkawinan, melindungi aset dan
kepentingan.

iv
MOTTO

Dan rendahkanlah dirimu dengan penuh kasih sayang terhadap kedua orang
tuamu. Dan doakanlah (untuk mereka) : ” Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka
berdua sebagaimana mereka telah memelihara aku dengan sayangnya pada waktu
aku masih kecil”.

(QS. Al Isra’ : 24)

Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah : ” Allah lebih mengetahui
apa yang kamu lakukan”.

(QS. Al-Hajj : 68)

Dan janganlah engkau membuat Tuhan selain Allah, agar engkau tak duduk
tercela dan terhina (ditinggalkan dari pertolongan Allah).

(QS. Al-Isra’ : 22)

Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu benar-benar
orang yang shaleh. Maka sesungguhnya Dia Tuhan Yang Mahapengampun
terhadap orang-orang yang bertobat.

(QS. Al-Isra’ : 25)

Yang pertama belum tentu yang terbaik,

Tetapi yang terbaik biasanya yang terakhir.

(John Mayer)

Teman mengerti ketika kamu berkata, ”Aku lupa!”.

Menunggu dengan setia ketika kamu berkata, ”Tunggu sebentar!”.

Tetap tinggal meski kamu berkata, ”Tinggalkan aku sendiri!”.

(NN)

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat serta karunia dan Hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga
Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Studi
tentang Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukumnya”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu


persyaratan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, tanpa adanya bantuan dari berbagai


pihak tidaklah mungkin skripsi ini dapat tersusun. Sehingga pada kesempatan ini
pula perkenankanlah Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberi ijin dan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.

2. Bapak Pranoto, S.H M.H. selaku Pembimbing penulisan skripsi yang telah
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan
bagi tersusunnya skripsi ini.

3. Bapak Muhammad Adnan, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik Penulis


yang telah membimbing Penulis selama studi di Fakultas Hukum UNS.

4. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh karyawan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya
kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan
semoga dapat Penulis amalkan dalam kehidupan masa depan Penulis.

5. Ayah dan Ibu tersayang yang telah memberikan segalanya kepada Penulis,
mendukung dan mendoakan.

6. Kakak ku Si B dan adik ku Mega yang telah membantuku.

7. Saudara-saudara ku yang telah membantu doa dan dukungan.

vi
8. Sahabatku Mbak Mitha, Mbak Kingkin, Mbak Ristha, Mbak Ari, yang selalu
mendukungku....”Bahagianyaaa punya kalian...!!!”.

9. Pak Jendral, terimakasih untuk doa, dukungan dan semangatnya. Terimakasih


untuk segalanya...”Matur suwun, buat semua cerita, tawa dan tangis. Semoga
kata indah selalu ada buat kita!!”.

10. Icha ”Margendul”...”Terimakasih, karena selalu menemani aku keliling


kampus dan cari data”.

11. Semua penduduk Gopala Valentara FH UNS, teman-teman Diksar


XXI...”Terimakasih untuk semua bantuan dan kisahnya..Hallo
geng??GOVA!!!!!”.

12. Teman-teman di Fakultas Hukum, mbak-mbak, abang-abang, Pakdhe Gustav,


teman-teman di kost Kunti, teman-teman satu kelas yang selama aku kuliah
selalu membantuku...”Terimakasih! VIVA JUSTICIA...kami bangga ada di
sini”.

13. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan bantuan pikiran maupun tenaga, sehingga skripsi ini dapat selesai
dengan baik.

Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih banyak kekurangannya,


oleh sebab itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan.

Demikianlah mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan


manfaat bagi kita semua.

Surakarta, Maret 2008

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................... iii

ABSTRAK ...................................................................................................... iv

MOTTO .......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR.................................................................................... vi

DAFTAR ISI................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
E. Metode Penelitian ....................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................... 11

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1........................................................................................ Tinja
uan Umum Tentang Perkawinan........................................... 13
a. ................................................................................. Penge
rtian Perkawinan ............................................................. 13
b. ................................................................................. Syara
t-syarat Perkawinan Yang Sah ........................................ 14

viii
c. ................................................................................. Tujua
n Perkawinan................................................................... 16
d. ................................................................................. Laran
gan Perkawinan ............................................................... 20
2........................................................................................ Penge
rtian Perjanjian Perkawinan .................................................. 21
B. Kerangka Pemikiran.................................................................... 23

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata... 25


1. Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dalam Kerangka Hukum Nasional ........................................ 25
2. Kedudukan Hukum Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW) dalam Kerangka Hukum Nasional.................. 27
B. Sejarah Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan ............................................................ 30
C. Perjanjian Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan................................................. 39
1........................................................................................ Perja
njian Perkawinan dalam Pasal 29 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ........................... 39
2........................................................................................ Perja
njian Perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (BW) ............. 46
D. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan
Hukum yang Dipakai Bila Terjadi Perceraian ............................ 62
1........................................................................................ Berak
hirnya Perkawinan................................................................. 62
2........................................................................................ Tinja
uan Umum Tentang Perceraian............................................. 63
3........................................................................................ Akiba
t Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan

ix
Hukum yang Digunakan bila Terjadi Perceraian.................. 66

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 79
B. Saran............................................................................................ 80

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran.

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Permohonan ijin pra penelitian.

Lampiran 2 : Akta perjanjian perkawinan.

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah :

Perkawinan adalah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang


perempuan baik lahir bathin sebagai suami isteri yang bertujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Persoalan perkawinan adalah persoalan manusia yang banyak seginya,
mencakup seluruh segi kehidupan manusia yang mudah menimbulkan emosi
dan perselisihan. Oleh karena itu sangat penting adanya kepastian hukum
bahwa telah terjadi suatu aqad (perjanjian) perkawinan. Dalam hal
perkawinan diperlukan suatu kepastian hukum agar mudah diadakan alat-alat
buktinya.

Mewujudkan keluarga yang harmonis, sejahtera, bahagia dan kekal


untuk selama-lamanya dalam suatu pertalian lahir dan bathin antara dua
pribadi, maka pada dasarnya setiap perkawinan diperlukan harta yang menjadi
dasar materiil bagi kehidupan keluarga. Di dalam suatu perkawinan, masalah
harta perkawinan sering kurang mendapat perhatian oleh sepasang suami
isteri. Sebab mereka dalam melaksanakan perkawinan adalah untuk selama-
lamanya. Mereka berfikir bahwa perkawinannya akan langgeng dan tidak akan
ada masalah serta kehidupan dan hubungan antara suami isteri selalu berjalan
dengan mesra. Sehingga mereka tidak mempersoalkan hak yang satu terhadap
hak yang lain. Pembatasan mengenai apa yang menjadi milik suami, apa yang
menjadi milik isteri dan apa yang menjadi milik mereka bersama belum
menarik perhatian mereka. Tetapi bila ternyata perkawinan tidak berjalan
sesuai dengan keinginan dan kemudian bercerai, mereka baru mempersoalkan
masing-masing haknya, terutama mengenai pembagian harta perkawinan.
Permasalahan ini akan berbeda apabila suami isteri pada saat sebelum
melangsungkan perkawinan membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu.

xiii
Sehingga akan lebih jelas mengenai pembagian-pembagiannya, mengurangi
permasalahan yang biasanya timbul pada saat perceraian.

Seperti contoh, artis perempuan yang lebih sukses daripada suaminya


atau angka partisipasi kerja perempuan yang juga semakin meningkat,
perbaikan taraf hidup, tingkat pendidikan yang juga lebih baik, dan lain
sebagainya, sehingga fenomena ini dapat mendorong dalam pembuatan
perjanjian perkawinan.

Di negara Indonesia perjanjian perkawinan ini belum termasuk umum di


kalangan masyarakat, karena perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang
tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, egois, tidak etis,
tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya. Tak heran jika masyarakat
sempat heboh ketika artis Desy Ratnasari membuat perjanjian perkawinan
sebelum ia melangsungkan perkawinan. Seandainya artis Made Hughes
membuat perjanjian perkawinan sebelum ia melangsungkan perkawinan, maka
hartanya tidak bisa diputuskan untuk dibagi dua dan tidak akan terjadi ribut-
ribut mengenai pembagian harta perkawinan.

Mengenai harta perkawinan, banyak Undang-Undang yang


mengaturnya. Antara lain peraturan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, peraturan menurut Hukum Burgerlijk Wetboek
(B.W.) dan peraturan menurut Hukum Islam.

Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan kekayaan isteri masing-


masing terpisah satu dengan yang lain. Barang-barang milik masing-masing
pada waktu perkawinan dimulai, tetap menjadi milik masing-masing. Karena
pada dasarnya tidak ada percampuran harta

Hukum Burgerlijk Wetboek (B.W.) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan sebaliknya menganggap bahwa apabila suami dan
isteri pada waktu akan melakukan perkawinan tidak mengadakan perjanjian
apa-apa diantara mereka, maka akibat dari perkawinan itu adalah percampuran
kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan.

xiv
Perjanjian perkawinan dalam sistem Burgerlijk Wetboek (B.W.) tidak
berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, tetapi berlaku bagi
golongan Tionghoa. Dimana semua kekayaan dari masing-masing suami dan
isteri, baik yang dibawa pada permulaan perkawinan maupun yang mereka
peroleh selama perkawinan berlangsung, dicampur menjadi satu kekayaan
selaku milik bersama dari suami dan isteri.

Calon suami dan calon isteri diberi kesempatan untuk saling berjanji
sebelumnya, bahwa tidak akan ada campur kekayaan secara bulat, melainkan
akan ada campur kekayaan secara terbatas atau akan tidak ada sama sekali
suatu campur kekayaan.

Perjanjian perkawinan dapat melindungi hak dari anak-anak dari


perkawinan pertama bilamana suami atau isteri yang sudah bercerai, baik cerai
mati atau cerai hidup akan menikah lagi, misalnya duda yang mempunyai
anak dari perkawinan sebelumnya akan menikah untuk kedua kalinya dengan
seorang perempuan yang tidak kaya dan kebetulan duda tersebut adalah
seorang yang kaya raya, dan dia juga tidak membuat perjanjian kawin
mengenai pemisahan harta, maka anak-anak dari perkawinan pertama akan
dirugikan. Apabila kelak perkawinan tersebut tidak berhasil, maka isteri
memperoleh separo dari milik bersama suami isteri yang sebenarnya hanya
terdiri atas harta kekayaan si suami, yaitu bapak dari anak-anak tersebut,
kecuali apabila berlaku sebaliknya, yang akan dinikahi adalah yang
mempunyai harta kekayaan yang paling banyak. Anak-anak dari perkawinan
pertama tersebut tidak dirugikan.

Isi perjanjian kawin bebas dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan


kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat
karena sebab (causa) palsu dan terlarang. Tidak dibuat janji-janji yang
menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai kepala
perkawinan, hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouder-lijke
macht), hak-hak yang ditentukan Undang-undang bagi mempelai yang hidup
terlama (langstlevende echtgenoot) dan tidak dibuat perjanjian yang

xv
mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan orang-orang yang
menurunkannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Penulis ingin memberikan sumbangan


pemikiran kepada masyarakat mengenai perjanjian perkawinan. Sehingga
Penulis mengadakan penelitian dengan judul :

”STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT


HUKUMNYA”

B. Rumusan Masalah :

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, serta untuk


mencapai sasaran penelitian secara tepat, maka Penulis merumuskan beberapa
pokok perumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

2. Apa akibat hukum perjanjian perkawinan dan ketentuan hukum manakah


yang mengatur bila terjadi perceraian?

C. Tujuan Penelitian :

Suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang
hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin
dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui apakah perjanjian perkawinan diperkenankan oleh


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Untuk mengetahui apa akibat hukum perjanjian perkawinan dan


ketentuan hukum manakah yang mengatur apabila terjadi perceraian.

2. Tujuan Subyektif

xvi
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan
dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan


pengalaman Penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan
praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi Penulis.

c. Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu


hukum.

D. Manfaat Penelitian :

Penelitian akan menjadi bernilai apabila ia dapat memberikan manfaat.


Adapun kegunaan atau manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari
penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk mengembangkan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku


perkuliahan dan membandingkan dengan kenyataan yang ada di
lapangan.

b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah wacana atau


referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu
hukum.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai praktek dari teori penelitian dalam bidang hukum dan juga
sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode
penelitian ilmiah.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang ingin


membuat perjanjian perkawinan sebelum mereka melangsungkan
perkawinan.

xvii
c. Sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan
dalam studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UNS.

E. Metode Penelitian :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


penelitian hukum normatif terhadap asas-asas hukum yang berlaku.
Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder.

2. Jenis Data Penelitian

Jenis data yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah jenis
data sekunder yaitu dengan mengambil studi kepustakaan, dokumen, hasil
penelitian terdahulu, peraturan perundangan yang berlaku dan terkait
dengan masalah yang diteliti.

3. Sumber Data Penelitian

Penelitian hukum ini, menggunakan data sekunder yang dari sudut


kekuatan mengikatnya digolongkan kedalam (menurut Gregory Churchill :
1978 dalam bukunya Soerjono Soekanto, 2006 : 51) :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan


terdiri dari (untuk Indonesia) :

1) Norma atau kaedah dasar, yakni Pembukaan Undang-Undang


Dasar 1945.

2) Peraturan Dasar.

a) Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945.

b) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

3) Peraturan perundang-undangan :

a) Undang-undang dan peraturan yang setaraf.

xviii
b) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf.

c) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf.

d) Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf.

e) Peraturan-peraturan Daerah.

4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti misalnya, Hukum


Adat.

5) Yurisprudensi.

6) Traktat.

7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih


berlaku, seperti misalnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(yang merupakan terjemahan yang secara yuridis formil bersifat
tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht).

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan


hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun


penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder ; contohnya
adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.

Penyusun dalam melakukan penelitian ini akan menggunakan :

a. Bahan hukum primer berupa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Surat
Edaran Mahkamah Agung mengenai Petunjuk-petunjuk Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan hukum sekunder berupa hasil-hasil penelitian dan hasil-hasil


karya dari kalangan hukum.

c. Bahan hukum tertier berupa kamus hukum.

xix
4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat


penting dalam penulisan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
teknik pengumpulan data sekunder. Untuk memperoleh data sekunder
adalah dengan penelitian atau kepustakaan atau library research guna
memperoleh bahan-bahan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat
dijadikan landasan teori, yang antara lain meliputi : peraturan perundang-
undangan, kebijaksanaan dan publikasi yang dibuat oleh pemerintah,
buku-buku literatur, dan bahan lainnya yang tentunya berhubungan dengan
masalah yang sedang diteliti dan dapat menunjang dalam penulisan skripsi
ini.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data


dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
data (Lexy J. Moleong, 2000 : 103).

Penyusun dalam melakukan penelitian menggunakan metode


penafsiran. Metode penafsiran ini digunakan dalam hal peraturan
perundang-undangannya belum jelas.

Terdapat beberapa macam metode penafsiran antara lain :

a. Penafsiran Gramatikal

Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat sekali.


Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat Undang-
undang untuk menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuat Undang-
undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara jelas harus
memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan
tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya pembuat Undang-
undang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam hal ini
hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim dipakai

xx
dalam percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus
bahasa atau meminta penjelasan dari ahli bahasa (Yudha Bhakti
Ardhiwisastra, 2000 : 9).

b. Penafsiran Sistematis atau Logis

Peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari


keseluruhan sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum
terletak di dalam sistem hukum. Di luar sistem hukum, lepas dari
hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu
peraturan hukum tidak mempunyai arti.

Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan


menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain
atau dengan keseluruhan sistem hukum disebut penafsiran sistematik.
Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari
sistem perundang-undangan atau sistem hukum.

c. Interpretasi Historis

Interpretasi historis adalah penafsiran makna Undang-undang


menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya.
Interpretasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan
penafsiran menurut sejarah terjadinya Undang-undang.

d. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis

Penafsiran jenis ini dilakukan dengan lebih memperhatikan


tujuan dari pembentuk undang-undang daripada bunyi kata-kata saja.

Interpretasi teleologis atau sosiologis terjadi bila makna undang-


undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial
yang baru.

e. Interpretasi Komparatif

xxi
Interpretasi komparatif adalah suatu bentuk penafsiran dengan
memperbandingkan, karena dengan memperbandingkan hendak dicari
kejelasan mengenai suatu ketentuan Undang-undang.

f. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis

Penafsiran ini mempunyai peranan untuk mencari pemecahan


dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku,
yaitu dalam rancangan Undang-undang.

g. Interpretasi Restriktif

Metode ini mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik


tolak pada artinya menurut bahasa. Di sini untuk menjelaskan suatu
ketentuan undang-undang ruang lingkup Undang-undang itu dibatasi.

h. Interpretasi Ekstensif

Merupakan metode penafsiran dengan memberikan penafsiran


yang melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.

i. Argumentum Per Analogiam (Analogi)

Memakai penafsiran analogi, peristiwa yang serupa, sejenis atau


mirip dengan yang diatur dalam Undang-undang diperlakukan yang
sama. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam Undang-undang itu
diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam
Undang-undang tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa
yang diatur dalam Undang-undang.

j. Argumentum a Contrario (a contrario)

Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh


Undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh
Undang-undang. Pada a contrario titik berat diletakkan pada
ketidaksamaan peristiwanya.

k. Penyempitan hukum (Rechtsverfijning)

xxii
Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang
lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk
dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu. Dalam penyempitan
hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-
penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum.
Peraturan yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau
hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau kontruksi
dengan memberi ciri-ciri.

l. Metode Eksposisi

Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum.


Metode eksposisi atau konstruksi hukum adalah metode untuk
menjelaskan kata-kata atau membentuk pengerian, bukan untuk
menjelaskan barang

Penulis di dalam skripsi ini, hanya menggunakan beberapa metode


saja dalam penafsirannya. Namun di dalam penemuan hukum, metode-
metode di atas dapat digunakan baik sendiri-sendiri atau digunakan
bersama-sama. Sehingga penemuan hukum tidak terlepas dari metode
penafsiran di atas.

F. Sistematika Penulisan Hukum :

Agar skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa
yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab
ini Penulis akan membuat sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini Penulis akan mengemukakan tentang latar


belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan
hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

xxiii
Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori Penulis akan
menguraikan tinjauan umum tentang perkawinan, dan pengertian
mengenai perjanjian perkawinan. Sedangkan dalam kerangka
pemikiran Penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran
beserta keterangan dari bagan tersebut.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini memuat sejarah pembentukan Kitab Undang-undang


Hukum Perdata, sejarah pembentukan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan memuat hasil penelitian,
yaitu apakah perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan apa akibat
hukum perjanjian perkawinan dan ketentuan hukum manakah
yang mengatur apabila terjadi perceraian.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xxiv
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori.

1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan.

a. Pengertian Perkawinan.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sementara itu berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 2 Buku


I tentang Hukum Perkawinan, yang dimaksud perkawinan menurut
Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.

Sedangkan pengertian perkawinan menurut Wirjono


Prodjodikoro adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk
dalam peraturan tersebut (Wirjono Prodjodikoro, 1981 : 7).

Menurut Scholten, perkawinan adalah suatu hubungan hukum


antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama
dengan kekal, yang diakui oleh negara (R. Soetojo Prawirohamidjojo,
Asis Safioedin, 1982 : 31).

Perkawinan menurut Ahmad Azhar di dalam istilah agama


disebut ”nikah” ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan

xxv
dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah
(Soemiyati, 1986 : 8).

b. Syarat-Syarat Perkawinan Yang Sah.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


terdapat dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu
syarat intern dan syarat ekstern.

Syarat intern, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan


melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat intern itu meliputi (Salim
H.S, 2002 : 62) :

1) Persetujuan kedua belah pihak.

2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun.

3) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya yaitu


ada dispensasi dari Pengadilan atau Camat atau Bupati.

4) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin.

5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu
(iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian,
masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.

Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-


formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat ekstern itu
meliputi (Salim H.S, 2002 : 62) :

1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan


Rujuk.

2) Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang


memuat :

xxvi
a) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon.
Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami yang
terdahulu.

b) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan.

Syarat untuk melangsungkan perkawinan dalam KUHPerdata


dibagi dua macam, yaitu syarat materiil dan syarat formal.

Syarat materiil, yaitu syarat yang menyangkut pribadi para pihak


yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus
diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh
Undang-undang. Syarat-syarat ini diatur di dalam Pasal 27 sampai
dengan pasal 49 B.W. serta terbagi lagi dalam syarat-syarat :

1) Syarat materiil mutlak

Syarat tersebut harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan


melangsungkan perkawinan tanpa memandang dengan siapa ia
akan melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat ini berlaku umum,
jika salah satu dari syarat ini tidak dipenuhi, maka perkawinan
tidak dapat dilangsungkan. Dalam hal yang demikian dapat
dikatakan, bahwa ada rintangan perkawinan yang mutlak. Syarat-
syarat tersebut ada lima macam, yaitu (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 19) :

a) Kedua belah pihak masing-masing harus tidak terikat dengan


suatu perkawinan lain (Pasal 27 B.W.).

b) Kesepakatan yang bebas dari kedua belah pihak (Pasal 28


B.W.).

c) Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang


ditentukan oleh undang-undang. Bagi laki-laki minimal
berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun.

xxvii
d) Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat
dari 300 hari terhitung sejak bubarnya perkawinan yang
terakhir.

e) Harus ada izin dari pihak ketiga, baik dari orang tuanya atau
walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah
kawin.

2) Syarat materiil relatif

Syarat materiil relatif, adalah ketentuan yang merupakan


larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu.
Larangan itu ada tiga macam, yaitu :

a) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam


kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan,

b) Larangan kawin karena zina,

c) Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah


adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.

Syarat formal, yaitu syarat yang berhubungan dengan tata cara


atau formalitas-formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses
perkawinan. Syarat-syarat ini hanya berlaku bagi golongan Eropa, dan
tidak berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa. Syarat ini dibagi
dalam dua tahapan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum
perkawinan dilangsungkan adalah :

1) Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman maksud


kawin (Pasal 50 sampai dengan pasal 51 KUHPerdata).

2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan


dilangsungkannya perkawinan (Salim H.S, 2002 : 63-64).

c. Tujuan Perkawinan.

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan


hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan

xxviii
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar
cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur
oleh syari’ah (Soemiyati, 1986 : 12).

Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai


berikut :

1) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat


tabiat kemanusiaan.

2) Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.

3) Memperoleh keturunan yang sah.

Dari rumusan di atas, filosof Islam Imam Ghazali (dalam buku


karangan Soemiyati, 1986 : 12) membagi tujuan dan faedah
perkawinan kepada lima hal, seperti berikut :

1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan


keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

Memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan


yang pokok dari perkawinan itu sendiri. Memperoleh anak dalam
perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung dua segi
kepentingan, yaitu : kepentingan untuk diri pribadi dan
kepentingan yang bersifat umum (universil).

Kepentingan yang bersifat pribadi yaitu setiap orang yang


melaksanakan perkawinan tentu mempunyai keinginan untuk
memperoleh keturunan atau anak. Bisa dirasakan bagaimana
perasaan suami isteri yang hidup berumah-tangga tanpa
mempunyai anak, tentu kehidupannya akan terasa sepi dan hampa.
Biarpun keadaan rumah-tangga mereka serba berkecukupan, harta
cukup, kedudukan tinggi dan lain-lain serba cukup, tetapi kalau
tidak mempunyai keturunan, kebahagiaan rumah-tangga belum
sempurna. Biasanya suami isteri demikian itu akan selalu berusaha

xxix
dengan segala kemampuan yang ada untuk berobat kepada dokter-
dokter dan minta tolong kepada orang-orang yang dianggap
mampu untuk menolong mereka dalam usahanya memperoleh
keturunan. Disamping itu menurut tuntutan agama Islam, yang
disebutkan dalam salah satu Hadist : ”bahwa apabila orang yang
meninggal dunia hanya tiga perkara saja yang masih bisa memberi
pertolongan kepadanya, yaitu : pertama sedekah yang telah
dikeluarkannya, kedua ilmunya yang masih memberikan manfaat
bagi orang banyak dan ketiga anak yang saleh (baik) yang
memohonkan doa untuknya”. Selain itu, anak-anak itulah nanti
yang diharapkan dapat membantu orangtua pada hari tuanya kelak.

Kita dapat menarik kesimpulan dari uraian di atas bahwa


anak itu merupakan penolong baik dalam kehidupannya di dunia
maupun di akhirat kelak bagi diri orang tuanya yang bersangkutan.

Aspek yang umum atau universil yang berhubungan dengan


keturunan atau anak ialah karena anak-anak itulah yang menjadi
penyambung keturunan seseorang dan yang akan selalu
berkembang untuk meramaikan dan memakmurkan dunia ini.
Hanya dengan perkawinanlah penyambung keturunan dengan cara
yang sah dan teratur dapat terlaksana.

2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

Tuhan menciptakan manusia dalam jenis kelamin yang


berbeda-beda, yaitu jenis laki-laki dan jenis perempuan. Sudah
menjadi kodrat bahwa antara kedua jenis itu saling mengandung
daya tarik. Dilihat dari sudut biologis daya tarik itu ialah
kebirahian atau seksuil. Sifat kebirahian yang biasanya didapati
pada diri manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah
merupakan tabiat kemanusiaan (menschelijke natuur), dengan
perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan dapat
disalurkan secara sah (Soemiyati, 1986 : 15).

xxx
3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

Salah satu faktor yang menyebabkan manusia mudah


terjerumus kedalam kejahatan dan kerusakan ialah pengaruh hawa
nafsu dan seksuil. Dengan tidak adanya saluran yang sah untuk
memenuhi kebutuhan seksuilnya, biasanya manusia baik laki-laki
maupun wanita akan mencari jalan yang tidak halal (Soemiyati,
1986 : 15).

4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis


pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan
kasih sayang.

Ikatan perkawinan kalau kita bandingkan dengan ikatan-


ikatan yang lain yang biasanya dilaksanakan dalam hidup
bermasyarakat, merupakan ikatan yang paling teguh dan paling
kuat. Mengapa hal itu bisa terjadi, sedangkan kita semua
mengetahui bahwa pada umumnya antara laki-laki dan wanita
sebelum melaksanakan perkawinan pada umumnya tidak ada
ikatan apapun. Satu-satunya alat untuk memperkokoh ikatan
perkawinan itu adalah rasa cinta dan kasih sayang antara laki-laki
dan wanita secara timbal balik. Di atas dasar cinta dan kasih
sayang inilah kedua belah pihak yang melakukan ikatan
perkawinan itu berusaha membentuk rumah tangga yang bahagia.
Dari rumah tangga tadi kemudian lahir anak-anak, kemudian
bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya
sehingga tersusun masyarakat besar (Soemiyati,1986 : 16).

5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan


yang halal, dan memperbesar rasa tanggung-jawab.

Sebelum melakukan perkawinan pada umumnya para pemuda


maupun pemudi tidak memikirkan soal penghidupan. Karena
segala keperluan masih ditanggung oleh orang tua. Tetapi setelah

xxxi
berumah tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawab di
dalam mengemudikan rumah tangga. Suami sebagai kepala
keluarga mulai memikirkan bagaimana cara mencari rezeki yang
halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, sebaliknya isteri
juga berusaha memikirkan cara bagaimana mengatur kehidupan
dalam rumah tangga (Soemiyati, 1986 : 17).

d. Larangan Perkawinan.

Larangan untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 8


sampai dengan pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Ada delapan larangan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan, yaitu :

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun


ke atas.

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu


antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu


atau bapak tiri.

4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara


susuan, dan bibi atau paman susuan.

5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau


kemenakan dari isteri, dalam hal seseorang suami beristeri lebih
dari seorang.

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain


yang berlaku dilarang kawin.

7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.

8) Antara suami isteri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai untuk kedua kalinya, mereka tidak boleh

xxxii
melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain (Salim H.S, 2002 : 65).

KUHPerdata juga mengatur tentang larangan perkawinan antara


calon pasangan suami isteri. Larangan untuk kawin diatur di dalam
Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 KUHPerdata. Ada tiga larangan
untuk melangsungkan perkawinan, yaitu :

1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam


kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan.

2) Larangan kawin karena zina.

3) Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya


perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.

2. Pengertian Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan umumnya oleh masyarakat sering disebut


dengan perjanjian pra nikah (Prenuptial Agreement). Tetapi pengertian
dari masing-masing perjanjian tersebut menurut Penulis sebenarnya
berbeda. Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang diadakan oleh kedua
calon mempelai sebelum perkawinan berlangsung. Tetapi dalam bahasa
hukum atau Undang-undang, yang sering digunakan adalah perjanjian
kawin, bukan perjanjian pra nikah.

Selanjutnya dalam skripsi ini Penulis menggunakan sebutan


perjanjian perkawinan untuk menjaga konsistensi dalam penulisan dan
untuk menyesuaikan dengan judul skripsi.

Perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan pasal 29 ayat 1 adalah perjanjian tertulis yang dibuat
oleh kedua pihak atas persetujuan bersama pada waktu atau pada saat
perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
mengenai kedudukan harta dalam perkawinan, setelah mana isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

xxxiii
Sementara itu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
Buku I tentang Hukum Perkawinan pasal 47 adalah perjanjian tertulis yang
dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau pada saat perkawinan
berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan.

Perjanjian perkawinan (huwelijks atau huwelijkse voorwaarden)


adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon suami isteri sebelum
dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-akibat
perkawinan yang menyangkut harta kekayaan (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 74).

Sementara itu pengertian perjanjian perkawinan dalam buku


karangan Salim H.S. adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan
suami-isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk
mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka (Salim H.S,
2002 : 72).

Perjanjian perkawinan menurut Soetojo Prawirohamidjojo ialah


perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau
pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat
perkawinan terhadap harta kekayaan mereka (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 57).

Perjanjian perkawinan ini sifatnya lebih bercorak hukum


kekeluargaan (familierechtelijk), sehingga tidak semua ketentuan hukum
perjanjian yang termaktub dalam Buku III B.W. berlaku, misalnya suatu
aksi (gugat) berdasarkan suatu kekhilafan tidak dapat dilakukan
(error/dwaling) (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 :
74).

Pada umumnya perjanjian perkawinan ini dibuat :

1) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada


salah satu pihak daripada pihak yang lain.

xxxiv
2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst)
yang cukup besar.

3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata


salah satu jatuh failliet, yang lain tidak tersangkut.

4) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing


akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri (R. Soetojo Prawirohamidjojo,
Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 58).

B. Kerangka Pemikiran.

Calon suami/suami Perkawinan Calon isteri/isteri

Aset dan kepentingan

Perjanjian perkawinan

Akibat

Melindungi aset dan kepentingan

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran.

Keterangan gambar 1 :

Pihak-pihak yang dimaksud di dalam skripsi ini adalah calon suami dan calon
isteri. Dimana calon suami dan calon isteri tersebut yang akan melakukan
perkawinan sudah pasti mempunyai aset dan kepentingan yang harus
dilindungi dari tindakan yang dapat merugikan yang mungkin akan terjadi.
Cara untuk menjaga keamanan aset dan kepentingan tersebut, maka dibuatlah

xxxv
perjanjian perkawinan. Sehingga akibat dari perjanjian perkawinan ini adalah
melindungi aset dan kepentingan dari suami dan isteri setelah menikah, karena
isi perjanjian perkawinan yang dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku
dan sah dapat mengikat suami dan isteri seperti Undang-undang, maka
pembuatan perjanjian perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua
belah pihak dan tanpa paksaan.

xxxvi
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata.


1. Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam
Kerangka Hukum Nasional.
Terbentuknya KUHPerdata melalui proses yang sangat panjang
dengan memakan waktu lama dan melalui alur yang rumit. B.W. dari
KUHPerdata Belanda dan KUHPerdata Belanda dari Code Civil Perancis
dan sebutan terakhir ini adalah Hukum Romawi.
Pada waktu Julius Caesar berkuasa di Eropa Barat, Hukum Romawi
telah berlaku di Perancis berdampingan dengan Hukum Perancis Kuno
yang berasal dari Hukum Germania. Pada saat wilayah Perancis terbelah
menjadi dua yaitu Perancis bagian utara dan selatan maka hukum pun
terbagi menjadi dua. Bagian utara adalah daerah hukum yang tidak tertulis,
yaitu berlaku hukum kebiasaan Perancis Kuno yang berasal dari Hukum
Germania sebelum resepsi Hukum Romawi, sedangkan daerah selatan
menjadi daerah hukum tertulis berlaku Hukum Romawi yang tertuang
dalam Corpus Iuris Civilis.
Corpus Iuris Civilis pada zaman itu dianggap sebagai hukum yang
paling sempurna, yang terdiri dari empat bagian, yaitu :
a. Institutiones, memuat pengertian lembaga Hukum Romawi, kumpulan
Undang-undang.
b. Pandecta, memuat himpunan pendapat ahli Hukum Romawi.
c. Codex, memuat himpunan Undang-undang yang dibukukan atas
perintah Kaisar Romawi.
d. Novelles, memuat himpunan penjelasan maupun komentar terhadap
Codex atau kumpulan undang-undang yang dikeluarkan sesudah Codex
selesai.

xxxvii
Hukum yang berlaku di Perancis selama bertahun-tahun bahkan
berabad-abad lamanya dalam keadaan tidak ada kesatuan hukum.
Kodifikasi Hukum Perdata Perancis baru selesai dibentuk pada tahun 1804
dengan nama Code Civil des Francais dan mulai berlaku sejak tanggal 21
Maret 1804.
Pada tanggal 7 Maret sampai 1 Oktober 1838 Code Civil des
Francais ini berlaku sebagai Kitab Undang-undang Belanda, oleh karena
pada waktu itu Negeri Belanda menjadi jajahan dari Perancis.
Setelah negeri Belanda terbebas dari penjajahan Perancis sekitar
tahun 1813, maka dibentuk suatu panitia kodifikasi Hukum Perdata
berdasarkan Undang-undang Dasar (Grondwet). Kepanitiaan itu diketuai
oleh Mr. J. Kemper. Hasil kerja kepanitiaan tersebut ditolak oleh ahli
hukum bangsa Belgia karena acuannya berbeda, yakni ahli hukum
Nederland Selatan (Belgia) menghendaki agar rancangan hukum itu
disusun menurut Code Civil Perancis. Sedangkan tim Mr. J. Kemper
menyusun berdasarkan Hukum Belanda Kuno dan diberi nama “Ontwerp
Kemper” (Rencana kemper). Dalam pembahasan di parlemen Rencana
Kemper ini mendapat serangan dari kalangan Perwakilan Rakyat yang
berasal dari Nederland Selatan (Belgia) yang bermuara ditolaknya
Rencana Kemper tersebut. Hal ini terjadi pada tahun 1822 dan Mr. Joan
Melchoir Kemper meninggal pada tahun 1824.
Setelah Mr. Joan Melchoir Kemper meninggal, kepanitiaan diketuai
oleh Nicolai dengan metode kerja dan pendekatan kerja dari bawah yaitu
dengan bertanya kepada kehendak mayoritas wakil rakyat. Kerja ini
berhasil baik dan selesai pada tahun 1826 dengan isi lebih berkiblat ke
Code Civil Perancis tidak seperti rencana Mr. J.M. Kemper. Hasil Nicolai
tersebut ditolak oleh kalangan Nederland Utara, kemudian direvisi yang
tidak berarti. Dan dengan adanya Koninklijk Besluit tanggal 10 April 1838
(Staatblaad 1838 Nomor 21) KUHPerdata Belanda dinyatakan berlaku
sejak tanggal 1 Oktober 1838. Untuk Hindia Belanda (Indonesia)
berdasarkan asas konkordansi diberlakukan pula bagi golongan Eropa di

xxxviii
Indonesia. Dibentuklah komisi dengan tugas menyusun itu dengan diketuai
oleh Mr. Cj. Scholten Van Out Haarlem berdasar Firman Raja tanggal 15
Agustus 1839 Nomor 102. Dalam kepanitiaan itu dilengkapi dengan dua
anggota yaitu : Mr. I. Schneim dan Mr. I.F.H. Van Nos. Adapun peraturan
yang telah dihasilkan adalah sebagai berikut :
a. Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Nederlandsch Indie
(Ketentuan Umum Perundang-undangan di Indonesia).
b. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
c. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
d. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der justitie
(RO=Peraturan Susunan Pengadilan dan Pengurusan Justisi).
e. Enige Bepalingen Betreffende Misdrijven began Tergelegenheid van
Faillissement en bij Kennelijk over Mogen, Mitsgaders bij Surseance
van Betaling (Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan
dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu
membayar).
Berdasar Firman Raja Belanda tertanggal 16 Mei 1846 Nomor 1
dengan Staatsblaad 1847 Nomor 23 kelima peraturan tersebut dinyatakan
berlaku di Hindia Belanda (Indonesia). Dari uraian tersebut dapat
diketengahkan bahwa secara material KUHPerdata (B.W.) itu berasal dari
Code Civil Perancis (Hukum Perancis) dan Code Iuris Civilis (Hukum
Romawi) (H.A. Dardiri Hasyim, 2004 : 11).
2. Kedudukan Hukum Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.)
dalam Kerangka Hukum Nasional.
Hindia Belanda (Kepulauan Indonesia) selama lebih kurang 350
tahun berada di cengkeraman penjajah Belanda. Selama itu pula hukum
yang berlaku di sini adalah meneladani hukum yang berlaku di negeri
Belanda. Keadaan seperti itu berlangsung terus hingga saat Belanda
menyerah kepada bala tentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Sejak
saat itu hingga 17 Agustus 1945 di daerah bekas jajahan yang bernama
Hindia Belanda itu, berlakulah tatanan hukum dari pemerintah bala tentara

xxxix
Jepang. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah bala tentara Jepang tidak
begitu banyak, hal ini dapat dimengerti, mengingat Jepang hanya berkuasa
di Indonesia, untuk waktu kurang lebih tiga setengah tahun saja. Walaupun
demikian dengan suatu peraturan peralihan, pemerintah bala tentara
Jepang mengeluarkan Undang-undang Nomor 1/2602, 7 Maret 1942,
tentang tata cara menjalankan pemerintahan.
Sesudah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, maka berlakulah
tatanan hukum negara RI. Tata hukum negara Republik Indonesia saat itu
pun sebagian besar masih merupakan peninggalan peraturan Hindia
Belanda. Berlakunya tatanan seperti itu adalah berdasarkan pada :
a. Pasal II Aturan Peralihan dari UUD 1945, yang menentukan bahwa :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
b. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi oleh Peraturan Pemerintah RI
Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945 yang menentukan bahwa : “Segala
badan negara dan peraturan yang sampai berdirinya negara Republik
Indonesia, pada 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang Dasar masih tetap berlaku asal saja tidak
bertentangan dengan Undang-undang Dasar tersebut”.
Dengan demikian maka pada saat kita merdeka, di negara kita
tidak pernah terdapat kekosongan hukum, karena dengan bijak telah
dipatok dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sendiri.
Meskipun negara RI telah memproklamirkan kemerdekaannya,
tetapi Belanda dengan bantuan tentara Sekutu masih ingin kembali
menguasai bekas jajahannya di Indonesia. Karena itu terjadilah perang
untuk mempertahankan kemerdekaan negara RI yang baru lahir itu.
Selama empat tahun lebih Belanda berusaha untuk menduduki wilayah
Indonesia, sampai akhirnya mereka mengakui kedaulatan Indonesia
pada 27 Desember 1949. Sejak saat itu kembalilah semua wilayah

xl
yang telah mereka duduki kepada kekuasaan pemerintah RI, kecuali
Irian Barat.
Berdasarkan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar di Den
Haag, maka berdirilah negara Republik Indonesia Serikat
beranggotakan semua negara bagian, yang sebelumnya telah dibentuk
oleh pemerintah Belanda selama pendudukan mereka.
Negara RI yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 pun,
merupakan anggota dari negara serikat tersebut. Ini berarti bahwa
tatanan hukum yang berlaku sejak 17 Agustus 1945 hanya berlaku bagi
wilayah negara RI yang merupakan bagian dari RIS saja, dan tidak
berlaku untuk semua wilayah RIS.
Untuk wilayah RIS berlakulah tatanan hukum negara RIS sejak
27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Peraturan dari zaman RIS
ini tidak begitu banyak, sebagian terbesar masih merupakan peraturan-
peraturan yang ada sebelum masa RIS.
c. Berdasarkan Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 mengatakan bahwa
“Peraturan-peraturan, Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata
usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap
berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan
sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan
tata usaha atas kuasa konstitusi ini”.
Sebelum zaman RIS tersebut, kita mengenal zaman RI
Proklamasi. Dengan demikian maka peraturan sebelumnya adalah
peraturan dari zaman RI 1945, sedangkan peraturan pada zaman RI
1945 tersebut pada umumnya adalah peraturan dari zaman Hindia
Belanda yang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
diberlakukan bagi negara Republik Indonesia.
Pada 17 Agustus 1950 negara RIS dinyatakan bubar, dan
kembalilah negara RI sebagai negara kesatuan yang wilayahnya sama

xli
dengan wilayah negara RI proklamasi, minus Irian Barat. Irian Barat
yang pada saat lahirnya negara kesatuan RI ini, masih tetap di bawah
kekuasaan pemerintah Belanda. Dengan demikian, maka sejak saat itu
berlakulah tatanan hukum negara RI kesatuan. Sebelum negara RI
kesatuan berdiri, telah ada tatanan hukum dari pemerintah RIS.
d. Berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, mengatakan bahwa “Peraturan-
peraturan, Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang
sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak
berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik
Indonesia sendiri. Selama dan sekedar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, diubah oleh Undang-
undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang
Dasar ini”. UUDS 1950 yang memberlakukan tata hukum sebelum ini,
berlaku dari tanggal 17 Agustus 1950 hingga 5 juli 1959.
e. Dengan dekrit Presiden RI 5 Juli 1959, negara RI dinyatakan kembali
ke UUD 1945, dengan demikian maka Aturan Peralihan yang terdapat
di dalamnya, memperlakukan kembali tata hukum yang pernah ada di
masa-masa sebelumnya hingga sekarang. Dengan demikian kedudukan
hukum berlakunya KUHPerdata (B.W.) yang berlaku sampai saat ini
adalah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,yang menyatakan :
“Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang
Dasar ini”.
Pasal II Aturan Perlihan tersebut, memberikan landasan berlakunya
KUHPerdata (B.W.) di Indonesia (H.A. Dardiri Hasyim, 2004 : 14).
B. Sejarah Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Sepanjang sejarah Indonesia, wacana Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan selalu melibatkan 3 pihak atau kepentingan, yaitu
kepentingan agama, negara dan perempuan. Perbincangan seputar perkawinan
cenderung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak

xlii
dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama
sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan yang signifikan
atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil
memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada
dalam agama. Sementara negara sebagai institusi modern pun tak bisa
mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya.
Undang-undang Perkawinan dibentuk karena kebutuhan masyarakat
yang sejak zaman kerajaan Islam telah memiliki Peradilan Agama. Dalam
peradilan dikenal 2 kekuasaan, yaitu :
1. Kekuasaan absolut, yaitu kekuasaan yang menyangkut materi hukum.
2. Kekuasaan relatif, yaitu kekuasaan yang menyangkut wilayah hukum.
Mengenai sejarah pembentukan Undang-undang Perkawinan ini, pada
awalnya para penjajah tidak ikut campur terhadap urusan Peradilan Agama.
Tetapi pada tahun 1820, Belanda mulai turut campur terhadap urusan
Peradilan Agama dengan mengeluarkan instruksi kepada Bupati-bupati
dengan mengatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian waris
dikalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama Islam. Kemudian
pada tahun 1823 dengan resolusi Gubernur Jenderal tanggal 3 Juni 1823
Nomor 12 diresmikan Pengadilan Agama kota Palembang yang dikepalai oleh
seorang penghulu dan banding dapat dimintakan kepada Sultan. Kewenangan
Peradilan Agama secara tegas dinyatakan dalam Staatsblaad Nomor 58
(http://ikadabandung.wordpress.com).
Tahun 1882 merupakan tahun bersejarah bagi Peradilan Agama. Pada
tahun 1882 dikeluarkan Staatsblaad 1882 Nomor 152 tentang pembentukan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Namun Staatsblaad 1882 Nomor 152
ini tidak mengubah wewenang absolut Pengadilan Agama. Namun pada tahun
1931 dibentuk Staatsblaad 1931 Nomor 53 tentang 3 pokok ketentuan bagi
Peradilan Agama yaitu (http://ikadabandung.wordpress.com) :
1. Pengadilan Agama, Raad Agama, atau Priesterraad diubah menjadi
Penghulu Gerecht yang dipimpin oleh seorang penghulu sebagai hakim,
didampingi oleh 2 orang penasehat dan seorang panitera (griffier),

xliii
2. Pengadilan Agama hanya memeriksa perkara-perkara yang bersangkutan
dengan nikah, talak, rujuk, hadhanat, dan wakaf,
3. Diadakan Mahkamah Islam Tinggi (MIT) sebagai Peradilan Banding atas
putusan-putusan Pengadilan Agama.
Namun ketentuan ini tidak pernah berjalan. Sehingga pada tahun 1937
dibentuklah Staatsblaad 1937 Nomor 610. Dimana dalam Pasal 2 ayat 1
ditetapkan bahwa Pengadilan Agama hanya berwenang untuk memeriksa dan
memutuskan perselisihan hukum suami isteri yang beragama Islam tentang
nikah, talak dan rujuk.
Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan
tentang Pengadilan Agama. Antara lain pembentukan Undang-undang Nomor
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Akan tetapi, dari
segi kebutuhan pengadilan yang memerlukan hukum formil dan hukum
materiil, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk belum dapat dikatakan sebagai hukum formil maupun
materiil. Karena Undang-undang tersebut lebih menekankan pada pentingnya
pencatatan perkawinan. Kekosongan hukum materiil Pengadilan Agama
disiasati oleh ulama dengan menjadikan kitab-kitab kuning sebagai hukum
materiilnya. Pada tahun 1953, Departemen Agama menetapkan 13 kitab fikih
yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama
(http://ikadabandung.wordpress.com).
Menjadikan kitab kuning sebagai hukum materiil Pengadilan Agama
bukanlah pekerjaan mudah. Salah satu karakter fikih adalah keragaman
pendapat sehingga melahirkan aliran-aliran. Oleh karena itu, kerumitan yang
dihadapi hakim adalah memilih pendapat-pendapat para fuqaha sehingga
memberikan peluang kepada hakim untuk memberikan putusan yang berbeda
terhadap kasus yang sama. Pengadilan yang melahirkan keragaman putusan
karena perbedaan hukum materiil dapat dikatakan sebagai pengadilan yang
keputusannya tidak memiliki kepastian hukum. Oleh karena itu, pembentukan
hukum materiil bagi Pengadilan Agama merupakan keniscayaan sejarah; ia
sangat dibutuhkan masyarakat Islam agar para hakim memiliki pegangan yang

xliv
seragam, meskipun kemungkinan perbedaan masih tetap ada karena perbedaan
cara tafsir terhadap Undang-undang.
Usaha pembentukan Undang-undang Perkawinan di Indonesia dimulai
sejak tahun 1950. Pada waktu itu, Menteri Agama mengeluarkan Surat
Keputusan tanggal 1 Oktober 1950 Nomor b/2/4299 tentang pembentukan
Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat
Islam yang diketuai oleh Mr. Mohammad Hassan yang memiliki dua tugas,
yaitu :
1. Melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawinan yang
telah ada.
2. Menyusun rancangan Undang-undang perkawinan yang sesuai dengan
dinamika dan perkembangan zaman.
Pada tanggal 1 Desember 1952 oleh Panitia tersebut disampaikan
Rancangan Undang-undang Perkawinan (Peraturan Umum) serta Daftar
Pertanyaan Umum mengenai Undang-undang tersebut kepada boleh dikatakan
semua organisasi-organisasi yang berpusat maupun lokal dengan permintaan,
supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soal-
soal tersebut terakhir pada tanggal 1 Februari 1953. Selain daripada berusaha
kearah kodifikasi dan unifikasi, Rancangan Undang-undang telah mencoba
untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan dasar-dasar
perkawinan (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 :
16).
Panitia tersebut dalam rapatnya bulan Mei 1953, memutuskan untuk (R.
Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 17) :
1. Menyusun Rancangan Undang-undang Pokok yang pendek saja dan
berlaku untuk umum tanpa menyinggung masalah agama.
2. Menyusun Rancangan Undang-undang Organik yang mengatur
perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam,
Katolik, dan Protestan.

xlv
3. Menyusun Rancangan Undang-undang untuk golongan yang tidak
termasuk dalam salah satu golongan agama itu (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, 1986 : 13 )
Kemudian pada bulan April 1954 panitia menyampaikan Rancangan
Undang-undang Perkawinan umat Islam kepada Menteri Agama Republik
Indonesia. Tahun 1957 Menteri Agama menyampaikan Rancangan Undang-
undang tersebut dalam sidang kabinet, akan tetapi sampai sekian lama tidak
ada penyelesaiannya. Akhirnya pada tahun 1958 beberapa anggota DPR
wanita di bawah pimpinan Ny. Sumari mengajukan usul inisiatif Rancangan
Undang-undang Perkawinan yang pada pokoknya berisikan peraturan
perkawinan umum untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa membedakan
agama dan suku bangsa (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono
Tjitrowinoto, 1986 : 17).
Adanya usul inisiatif Rancangan Undang-undang ini, Pemerintah
mengadakan reaksi dengan mengajukan Rancangan Undang-undang
Perkawinan Umat Islam di DPR, sedangkan Rancangan Undang-undang ini
pun tidak pernah dapat diselesaikan oleh DPR.
Di dalam hubungan ini, suatu lembaga semi pemerintah yang tidak kalah
pentingnya ialah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang dibentuk dengan
keputusan Presiden tanggal 6 Mei 1961, secara mendalam dan beralasan
mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan baru.
Pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
sebagai badan perencana telah mengeluarkan keputusan yang menyangkut
Hukum Keluarga.
Pada tahun 1963 diadakan Seminar Hukum Nasional di Jakarta yang
diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bersama-sama
dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia.
Pada tahun 1966, Menteri Kehakiman menugaskan Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional untuk menyusun RUU perkawinan yang bersifat nasional.
Pada tanggal 22 Mei 1967, pemerintah menyampaikan RUU perkawinan
khusus untuk umat Islam kepada DPR. Dan pada tanggal 7 September 1968,

xlvi
pemerintah mengajukan RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan
kepada DPR. Akan tetapi, dua RUU ini pun tidak lolos menjadi Undang-
undang.
Sementara itu santer terdengar suara yang mendesak pemerintah untuk
segera membentuk suatu Undang-undang Perkawinan. Ada beberapa
organisasi yang menyuarakan hal itu antara lain dari Ikatan Sarjana Wanita
Indonesia dan Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Islam Wanita
Indonesia. Dengan adanya hal ini, nyatalah adanya keinginan dan hasrat yang
besar dari masyarakat, khususnya kaum wanita untuk memiliki Undang-
undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara di seluruh wilayah
Indonesia.
Pada tanggal 31 Juli 1973 dengan surat Nomor 02/PU/VII/1973,
Presiden menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang perkawinan
kepada DPR dan menarik kembali dua Rancangan Undang-undang yang sudah
diajukan sebelumnya, maka (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono
Tjitrowinoto, 1986 : 19) :
1. Pada tanggal 13 Agustus 1973 dalam rapat pimpinan DPR RI telah
diputuskan untuk membahas Rancangan Undang-undang tentang
Perkawinan.
2. Pada tanggal 30 Agustus 1973, dalam sidang Pleno DPR RI, Menteri
Kehakiman atas nama Pemerintah menyampaikan keterangan pemerintah
mengenai Rancangan Undang-undang tersebut yang dilanjutkan dengan
pembahasan umum. Dalam pembahasan umum, Rancangan Undang-
undang mendapat kritik yang tajam, baik dari pihak politisi maupun dari
ulama pada umumnya yang berafiliasi dengan berbagai ormas Islam yang
ada.
Pasal-pasal yang diperdebatkan oleh para anggota DPR dan para
pemuka agama adalah pencatatan sebagai syarat sah perkawinan.
Pencatatan perkawinan telah diundangkan oleh pemerintah dengan
pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946. Akan tetapi, dalam

xlvii
Undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan mengenai syarat-syarat
pernikahan.
Secara implisit, dapat dipahami bahwa perkawinan tanpa dicatat oleh
PPN adalah sah. Akan tetapi, laki-laki yang melakukan perkawinan tanpa
dicatat oleh PPN akan dikenai sanksi berupa denda. Dalam Rancangan
Undang-undang Perkawinan dinyatakan secara eksplisit bahwa salah satu
syarat sah nikah adalah pencatatan oleh petugas pencatat nikah. Seperti
dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2. Namun Pasal 2 ayat 1 Rancangan Undang-
undang Perkawinan mendapat sorotan dari para pihak, antara lain dari
Partai Persatuan Pembangunan yang menyatakan bahwa pencatatan
sebagai syarat sah perkawinan dianggap mengabaikan syarat-syarat
perkawinan yang telah dijelaskan oleh ulama dalam berbagai kitab fikih.
Dengan kata lain, pemerintah dianggap telah menjadikan pencatatan
perkawinan sebagai syarat sah perkawinan yang pokok. Sedangkan syarat
sah yang ditentukan oleh ulama dalam kitab-kitab fikih dianggap sebagai
syarat pelengkap.
RUU perkawinan yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR dinilai
tidak sejalan dengan perkawinan menurut Alquran dan Sunah. Oleh karena
itu, ia mendapat tanggapan dan sorotan yang tajam dari berbagai kalangan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengirim surat nomor A-6/174/73
Tentang Rancangan Undang-undang Perkawinan tanggal 30 Juli 1973 (29
Jumadil Akhir 1393 H.) yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Rancangan Undang-undang
Perkawinan bertentangan secara diametral dengan ajaran-ajaran Islam.
Surat tersebut dilampiri dengan pasal-pasal RUU Perkawinan yang
dianggap oleh Muhammadiyah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tujuh
ketentuan RUU yang dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam adalah
(http://ikadabandung.wordpress.com) :
a) Pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan,
b) Tidak ada pembatasan jumlah isteri dalam poligami (poligini),
c) Batas usia perkawinan (21 tahun bagi pria dan 18 tahun bagi wanita),

xlviii
d) Tidak memasukkan susuan (radha’at) sebagai penghalang perkawinan,
e) Perbedaan agama tidak menjadi penghalang perkawinan,
f) Waktu tunggu bagi isteri yang dicerai suaminya, dan
g) Dua kali cerai menjadi penghalang perkawinan.
3. Pada tanggal 17 dan 18 September 1973, DPR RI memberikan pandangan
umumnya atas Rancangan Undang-undang tersebut.
4. Pada tanggal 27 September 1973, Menteri Agama atas nama pemerintah
memberikan jawaban atas pandangan umum para anggota DPR RI
tersebut.
5. Pada tanggal 8 Oktober 1973, Komisi III dan IX DPR RI mengadakan
rapat gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan
Rancangan Undang-undang.
6. Pada tanggal 9 Oktober 1973, pimpinan DPR RI mengadakaan lobbying
dengan pimpinan fraksi-fraksi.
7. Pada tanggal 10 Oktober 1973, Komisi III dan IX mengadakan rapat
gabungan juga membicarakan tentang prosedur teknis pembahasan
Rancangan Undang-undang.
8. Pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan kedua komisi tersebut di atas,
melakukan inventarisasi persoalan-persoalan dari rancangan Undang-
undang tersebut dengan koordinator wakil-wakil ketua Domo Pranoto dan
Sumiskun.
9. Pada tanggal 6 Desember 1973, setelah melalui proses pembicaraan
tingkat ke-1 dan 2 sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka
dibentuklah sebuah Panitia Kerja dari gabungan Komisi III dan IX, yang
terdiri atas 10 orang anggota tetap dan disamping itu ditunjuk sejumlah 15
orang anggota pengganti yang bertugas menggantikan anggota-anggota
tetap bilamana ada yang berhalangan hadir.
10. Pada tanggal 22 Desember 1973, DPR RI dalam rapat pleno terbuka dan
sebagai pembicaraan tingkat ke-IV telah menerima Rancangan Undang-
undang tersebut di atas untuk disahkan sebagai Undang-undang.

xlix
Dalam Laporan Panitia Kerja RUU Perkawinan pada tanggal 22
Desember 1973 disampaikan bahwa Panitia Kerja telah berhasil
menyepakati dua pasal, yaitu pasal 1 dan 2. Rumusan pasal 1 yang
disepakati oleh panitia adalah : “perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan rumusan pasal 2 yang disepakati
oleh Panitia Kerja adalah : “(1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukumnya masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Pembahasan Rancangan Undang-undang Perkawinan di DPR terus
berjalan sehingga menghasilkan Rancangan Undang-undang Perkawinan
tahap II, yaitu Rancangan Undang-undang Perkawinan hasil pembicaraan
di DPR. Di dalam Rancangan Undang-undang Perkawinan tahap II pun
masih terdapat pasal-pasal yang dalam pandangan ulama tidak sejalan
dengan ajaran Islam.
Rancangan Undang-undang Perkawinan yang diajukan oleh
Pemerintah RI kepada DPR pada tahun 1973, merupakan kelanjutan dari
peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku sebelumnya.
Peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku ketika RUU
Perkawinan diajukan adalah sebagai berikut
(http://ikadabandung.wordpress.com) :
a) Hukum agama Islam yang telah diterima (diresipir) dalam Hukum
Adat untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam.
b) Hukum Adat bagi orang-orang Indonesia asli lainnya.
c) Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (Staatsblaad 1933 Nomor
74) untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen.
d) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dengan sedikit perubahan)
untuk orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia
keturunan Cina.

l
e) Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk orang-orang Eropa dan
Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan
mereka.
f) Hukum adat (mereka) untuk orang-orang Timur Asing lainnya dan
Warga Negara Keturunan Timur Asing lainnya.
Secara simplistik, hukum perkawinan yang berlaku bagi masyarakat
Indonesia ketika itu ada tiga, yaitu :
a) Fikih (hukum) perkawinan yang terdapat dalam berbagai kitab fikih.
b) Kitab undang-undang Hukum Perdata.
c) Hukum adat.
Oleh karena itu, dalam pandangan umat Islam isi RUU Perkawinan banyak
menyimpang sehingga melahirkan perdebatan.
11. Pada tanggal 2 Januari 1974 dengan Lembaran Negara 1974 Nomor 1
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 akhirnya diundangkan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Setelah mengalami proses lebih kurang 15 bulan sejak diundangkannya
Undang-undang tentang perkawinan itu, telah dapat diundangkan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-
undang Perkawinan tersebut.
C. Perjanjian Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
1. Perjanjian Perkawinan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
a. Wewenang membuat Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian perkawinan dalam prakteknya memang kurang
diminati oleh calon suami dan calon isteri, karena perjanjian ini
dianggap terlalu matrealistis dan tidak sesuai dengan adat ketimuran
kita. Selain itu perjanjian perkawinan belum merupakan lembaga
hukum yang populer di Indonesia, namun demi untuk menampung
kebutuhan sebagian anggota masyarakat dan perkembangan hukum

li
dikemudian hari, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan memberikan ketentuan mengenai hal tersebut di dalamnya.
Mengenai hal pengaturan perjanjian perkawinan, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya di dalam Pasal
29 yang terdiri dari 4 ayat. Isi dari Pasal 29 ayat 1, yaitu :
“ Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut”.
Menurut analisa Penulis berdasar metode penafsiran gramatikal
di dalam isi Pasal 29 ayat 1 tersebut di atas tidak secara tegas
mengatakan bahwa perjanjian yang dimaksud itu adalah perjanjian
perkawinan. Di dalam pasal tersebut hanya disebutkan bahwa kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, tetapi karena Pasal
29 ditempatkan di dalam Bab V tentang perjanjian perkawinan, maka
disimpulkan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud dalam Pasal 29
ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan
adalah perjanjian perkawinan. Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal
ini tidak termasuk taklik-talak.
Selain itu analisa lain dari Penulis di dalam Pasal 29 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga
menyatakan bahwa “.... kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis....”, karena yang akan
melangsungkan perkawinan adalah calon suami-isteri, maka yang
dimaksud kedua belah pihak dalam ketentuan Pasal 29 ayat 1 tersebut
adalah kedua calon suami-isteri yang akan menikah tersebut.
b. Bentuk Perjanjian Perkawinan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mensyaratkan atau mengatur secara rinci bentuk hukum tertentu untuk
sahnya suatu perjanjian perkawinan seperti dalam B.W.. Satu-satunya
syarat yang disebutkan adalah bahwa perjanjian tersebut harus tertulis

lii
dan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Atas
dasar itu, para pihak dapat meletakkan perjanjian perkawinan mereka,
baik dalam akta di bawah tangan maupun dalam bentuk autentik.
Apabila suatu perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta di
bawah tangan, maka hal tersebut berarti bahwa para pihak dapat
membuatnya sendiri. Asalkan kemudian perjanjian tersebut disahkan
kepada Pegawai Pencatat Nikah (J. Satrio, 1991 : 223).
Apakah Pegawai Pencatat Nikah dapat menolak perjanjian
perkawinan yang diberikan kepadanya oleh calon suami-isteri?
Apabila hal itu dapat dilakukan, akan timbul pertanyaan yang kedua
mengenai dasar atau alasan apa yang digunakan sebagai pegangan
untuk bertindak demikian?
Penulis menganalisa dengan menggunakan metode penafsiran
teleologis atau sosiologis bahwa dalam ketentuan Pasal 29 ayat 2, yaitu
“perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan”. Mungkin kita berfikir akan
kemungkinan terjadi isi perjanjian yang bertentangan dengan
kesusilaan, Undang-undang atau ketertiban umum, karena semua
perjanjian termasuk pula perjanjian perkawinan akan batal demi
hukum kalau isinya mengandung ketentuan-ketentuan yang demikian.
Itupun secara berlebihan ditegaskan lagi dalam Pasal 31 ayat 2.
Mengenai hal ini perlu adanya penjelasan lebih lanjut, agar terdapat
kepastian hukum, terutama bagi mereka yang tunduk pada Hukum
Adat, karena Hukum Adat tidak mengenal lembaga perjanjian
perkawinan. Lain halnya bagi mereka yang tunduk pada B.W.,
ketentuan umum mengenai perjanjian perkawinan seperti yang ada
pada Pasal 139 dan selanjutnya dapat dipakai sebagai peraturan
pelaksanaan.
c. Pembuatan dan Perubahan Perjanjian Perkawinan.
Mengenai saat pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

liii
menetapkan saat tersebut dalam Pasal 29 ayat 1 dan ayat 4. Di dalam
Pasal 29 ayat 1 menyebutkan bahwa saat pembuatan perjanjian
perkawinan adalah pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan. Mengenai perubahan terhadap perjanjian perkawinan,
Pasal 29 ayat 4 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
mengatakan : “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut
tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga”.
Pasal 29 ayat 4 dapat disimpulkan, bahwa pada asasnya
perjanjian perkawinan tersebut bersifat tetap sepanjang perkawinan.
Atas asas tersebut dimungkinkan adanya penyimpangan, tetapi dengan
dibatasi dengan syarat-syarat :
1) Atas persetujuan dari kedua belah pihak.
Kata persetujuan menegaskan bahwa perubahan perjanjian
kawin tidak boleh terjadi karena paksaan. Harus ada keikhlasan
dari kedua belah pihak. Mengingat perubahan atas suatu perjanjian
perkawinan seperti untuk setiap perjanjian yang lain harus
dilakukan pula dengan membuat suatu perjanjian yang baru,
sedang salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah
adanya sepakat yang bebas.
Yang lebih penting adalah syarat “kedua belah pihak”.
Maksud dari kedua belah pihak disini adalah suami dan isteri.
Selain itu dalam perubahan perjanjian perkawinan, orang tua dan
bekas wali tidak perlu turut campur lagi, mengingat orang-orang
yang dalam status menikah termasuk juga yang pernah menikah
adalah orang-orang yang cakap untuk bertindak dalam hukum.
2) Tidak merugikan pihak ketiga
Mengapa disebutkan secara jelas mengenai pihak ketiga?
Karena memang pihak ketiga seperti kreditur khususnya adalah
orang yang berkepentingan dengan keadaan harta perkawinan suatu

liv
keluarga. Jaminan atas piutang-piutangnya sedikit banyak
bergantung dari keadaan dan bentuk harta perkawinan debiturnya.
Sehingga dalam hal ini pihak ketiga sangat berkepentingan.
Apabila pembentuk Undang-undang tidak mencantumkan
syarat yang kedua seperti tersebut di atas, dikhawatirkan
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan isteri,
yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggung-
jawab mereka atas hutang mereka terhadap pihak ketiga.
Apabila suami-isteri tersebut melakukan perubahan
perjanjian perkawinan yang merugikan pihak ketiga, maka
perubahan tersebut dapat dibatalkan kalau ada tuntutan dari pihak
ketiga tersebut dan hanya terhadap pihak ketiga yang
kepentingannya dirugikan saja. Sedangkan untuk selebihnya
perjanjian perkawinan yang baru tersebut tetap berlaku penuh.
Syarat kedua ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan.
Selanjutnya kita perhatikan ketentuan, bahwa perjanjian
perkawinan hanya boleh dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan pada Pasal 29 ayat 1. Apakah hal itu berarti bahwa
perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang perkawinan?
Telah dikatakan, selama perkawinan berlangsung, suami dan isteri
dapat merubah perjanjian perkawinan mereka asal dipenuhi syarat-
syarat tersebut di atas. Undang-undang tidak menetapkan seberapa
besar perubahan tersebut dapat diadakan, karena Undang-undang
sendiri tidak memberikan pembatasan, maka para pihak dapat
mengadakan perubahan yang seluas-luasnya, dari mulai
memisahkan sama sekali harta perkawinan mereka sampai adanya
percampuran harta secara bulat antara mereka, yang berarti tidak
adanya harta pribadi dalam perkawinan tersebut. Apabila suami
dan isteri dapat merubah bentuk harta perkawinan mereka
sedemikian luasnya, dengan hanya pembatasan atas persetujuan

lv
bersama dan tidak boleh merugikan pihak ketiga, maka apa
salahnya kalau suami isteri yang pada saat atau sebelum
perkawinan belum membuat perjanjian perkawinan sekarang
mereka membuatnya, asal atas persetujuan bersama dan tidak
merugikan pihak ketiga? Apabila dari Pasal 29 ayat 1 ditafsirkan,
bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang
perkawinan, maka larangan yang demikian adalah sungguh tidak
logis. Apa dasarnya? Lain halnya dengan sistem yang dianut dalam
B.W., yang dengan konsekuen berpegang pada prinsip, bahwa
perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan
berlangsung dan sepanjang perkawinan tanpa perkecualian tidak
dapat diubah. Hal demikian baru logis adanya ketentuan, bahwa
sesudah dilangsungkan perkawinan orang tidak boleh lagi
membuat perjanjian perkawinan (J. Satrio, 1991 : 225).
Lain halnya dengan KUHPerdata, karena KUHPerdata dalam
Pasal 149 dengan konsisten menyebutkan bahwa setelah perkawinan
berlangsung, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara
apapun.
d. Saat Berlakunya Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan. Seperti dalam Pasal 29 ayat 3 yang berbunyi:
“Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”.
Tidak adanya ketentuan lain mengenai saat berlakunya perjanjian
perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan, harus diartikan bahwa
Undang-undang tersebut tidak menghendaki dipilihnya saat lain
daripada yang telah ditetapkan oleh Undang-undang tersebut.
Perjanjian perkawinan ini berlaku baik bagi suami-isteri yang
bersangkutan maupun terhadap pihak ketiga (J. Satrio, 1991 : 229).
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mensyaratkan mengenai syarat pengumuman terlebih dahulu. Sehingga
di sini darimana pihak ketiga tahu bahwa debiturnya memakai

lvi
perjanjian perkawinan? Lain halnya dalam KUHPerdata, dalam Pasal
152 disebutkan bahwa “....tidak akan berlaku bagi pihak ketiga
sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar umum,
yang harus diselenggarakan di Kepaniteraan pada Pengadilan
Negeri....”. Sehingga pihak ketiga akan tahu bahwa debiturnya
menggunakan perjanjian perkawinan.
Diaturnya perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 29, maka sebenarnya
perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974. Namun perincian pengaturannya tidak lengkap
seperti dalam B.W., karena di dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur mengenai siapa saja yang
berwenang membuat perjanjian perkawinan, bentuk-bentuk perjanjian
perkawinan yang diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan,
pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan dan saat berlakunya
perjanjian perkawinan. Sehingga terkadang membuat keragu-raguan dan
kecemasan bagi para calon pembuat perjanjian perkawinan, apakah dengan
membuat perjanjian perkawinan merupakan pilihan yang tepat bagi
mereka, karena perjanjian perkawinan berdampak sangat luas terhadap
pengaturan harta perkawinan mereka dan bagi pihak ketiga apabila mereka
terlibat.
Berdasar Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang berisi :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor
158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan
tidak berlaku”.

lvii
Maka pengaturan di dalam B.W. dan peraturan-peraturan lainnya tidak
berlaku lagi atau tidak dipakai lagi sepanjang Undang-undang Perkawinan
ini sudah mengaturnya.
Namun terdapat beberapa hal yang tidak diatur secara mendetail di
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sehingga B.W. masih dapat digunakan sebagai pegangan untuk
pelaksanaannya.
2. Perjanjian Perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.)
a. Bentuk Perjanjian Perkawinan.

Menurut ketentuan pasal 147 B.W., perjanjian perkawinan harus


dibuat :

1) Dengan akte notaris

Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan perjanjian


perkawinan, juga :

a) Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena


akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup;

b) Untuk adanya kepastian hukum.

c) Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.

d) Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas


ketentuan pasal 149 B.W. (setelah dilangsungkannya
perkawinan, maka dengan cara apapun juga, perjanjian
perkawinan itu tidak dapat diubah) (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 59).

Namun di dalam pasal 29 ayat 4 Undang-undang Nomor


1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan
tersebut dapat dirubah asalkan perubahan tersebut tidak
merugikan pihak ketiga dan kedua belah pihak ada persetujuan
untuk merubahnya.

lviii
2) Pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan.

Syarat ini diadakan dengan maksud agar setelah perkawinan


dilangsungkan dapat diketahui dengan pasti, mengenai perjanjian
perkawinan berikut isi perjanjian perkawinan itu. Perjanjian
perkawinan berlaku sepanjang perkawinan berlangsung dan tidak
dapat diubah. Jadi selama perkawinan berlangsung hanya berlaku
satu macam hukum harta perkawinan, kecuali bila terjadi pisah
harta kekayaan atau pisah meja dan tempat tidur (scheiding van
tafel en bed).

Prinsip tentang berlakunya satu macam hukum harta


perkawinan dipegang oleh pembuat undang-undang. Hal ini dapat
dilihat dari (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000
: 77) :

a) Pasal 197 B.W. yang menyatakan, bahwa bilamana pisah harta


kekayaan ditiadakan, maka keadaan sebelum ”pisah” pulih
kembali, seolah-olah keadaan itu tidak pernah terjadi. Istilah
”kebersamaan” (gemeenschap) dalam pasal 197 B.W.
maksudnya, adalah tiap-tiap kebersamaan, baik kebersamaan
harta kekayaan secara bulat, maupun kebersamaan harta
kekayaan terbatas.

Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan


terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan
apabila dibuat perjanjian perkawinan, maka perjanjian
perkawinan itu berlaku kembali.

b) Pasal 248 B.W. yang berisikan ketentuan apabila terjadi


perdamaian (verzoening) antara suami istri setelah pisah meja
dan tempat tidur, maka keadaan hukum ”pisah” pulih kembali,
dalam arti, seolah-olah tidak pernah terjadi perpisahan apapun.
Di dalam pasal 197 B.W. digunakan istilah ”kebersamaan”

lix
(gemeenschap) yang artinya ialah : tiap-tiap kebersamaan, baik
kebersamaan harta kekayaan secara bulat maupun kebersamaan
harta kekayaan terbatas.

Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan


terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan bila
mana dibuat perjanjian perkawinan maka perjanjian
perkawinan itu berlaku lagi.

c) Pasal 232a B.W. (S. 1923-31 jo. S. 1928-546) : prinsip tersebut


diatas juga berlaku bila terjadi ”kawin ulang” (reparatie
huwelijk, pasal 33 B.W.), setelah perkawinan bubar karena
perceraian.

Selama perkawinan belum dilangsungkan, perjanjian


perkawinan itu masih dapat diubah. Menurut ketentuan pasal 148
ayat 1 B.W. perubahannya harus dilakukan dengan akte notaris.
Perubahan tersebut dianggap sah jika disepakati oleh mereka yang
dahulu menjadi ”pihak” (partij). Pasal 148 ayat 2 B.W.
menyebutkan : tidak hanya mereka saja yang memberikan izin
kesepakatan, akan tetapi juga mereka yang memberikan hadiah
pada calon suami isteri (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena
Pohan, 2000 : 77).

Apabila ”bantuan” itu tidak diperoleh, maka perjanjian


perkawinannya tidak dapat diubah. Pada umumnya, perjanjian
perkawinan yang telah dibuat dapat ditiadakan. Suami isteri dapat
kawin tanpa perjanjian perkawinan dengan status kebersamaan
harta perkawinan secara bulat (algehele gemeenschap van
goederen).

Pihak-pihak yang harus memberikan ”bantuan” yang


diperlukan oleh calon suami isteri adalah mereka yang harus

lx
memberikan izin untuk kawin. Tetapi, mereka dapat mempersulit
calon suami isteri itu dengan jalan menarik kembali izin kawinnya.

Apabila mereka yang memberikan hadiah (schenking)


menolak memberikan bantuan utuk mengubah perjanjian
perkawinan, maka dengan melepaskan schenking tersebut, calon
suami isteri masih dapat kawin dengan membuat perjanjian
perkawinan yang lain atau kawin dengan kebersamaan harta
perkawinan secara bulat (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena
Pohan, 2000 : 78).

b. Isi Perjanjian Perkawinan.

Asas-asas yang ditentukan dalam B.W. menyatakan, bahwa calon


suami isteri bebas untuk menentukan isi perjanjian perkawinan yang
mereka kehendaki. Pasal 139 B.W. menentukan bahwa dalam
perjanjian perkawinan, kedua calon suami isteri dapat menyimpang
dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam kebersamaan harta
kekayaan, dengan syarat penyimpangan-penyimpangan itu tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (openbare orde).

Ketentuan yang demikian juga terdapat dalam pasal 23 A.B. yang


berlaku umum bagi setiap perjanjian, dengan demikian ketentuan pasal
139 B.W. tersebut diatas tidak diperlukan lagi karena dianggap terlalu
berlebihan

Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi


perjanjian perkawinan dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 85) :

1) Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan pasal 23 A.B.


tersebut diatas dan pasal 1335 B.W. yang menentukan, bahwa
perjanjian yang dibuat karena sebab (causa) palsu dan terlarang
tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal tersebut sama dengan
larangan untuk kawin dengan lebih dari seorang istri atau larangan

lxi
untuk minta cerai. Meskipun kedua hal tersebut tidak secara tegas
diatur dalam B.W., namun tidak diperkenankan dimuat dalam
perjanjian perkawinan.

2) Tidak dibuat janji-janji yang menyimpang dari :

a) Hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai kepala


perkawinan (Pasal 140 ayat 1 KUHPerdata), misalnya hak
suami untuk menentukan tempat kediaman atau untuk
mengurus kebersamaan harta (Pasal 124 B.W.).

b) Hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouder-lijke


macht), misalnya hak untuk mengurus harta kekayaan anak-
anak dan mengambil keputusan-keputusan mengenai
pendidikan atau mengasuh anak-anak (isi kekuasaan orang tua
ditentukan dalam Pasal 298 dan seterusnya).

c) Hak-hak yang ditentukan undang-undang bagi mempelai yang


hidup terlama (langstlevende echtgenoot) misalnya, untuk
menjadi wali dan berwenang untuk menunjuk seorang wali
dengan testament ( 2) a), b), c) diatur dalam pasal 140 B.W.).

3) Tidak dibuat perjanjian yang mengandung pelepasan hak atas harta


peninggalan orang-orang yang menurunkannya. Hal ini (Pasal 141
B.W.) dirasakan berlebihan (overbodig), oleh karena Pasal 1063
B.W. telah mengatur pula larangan untuk melepaskan hak mewaris
dari orang yang masih hidup.

Disamping itu, masih ada ketentuan lain yaitu Pasal 1334


ayat 2 B.W. yang melarang untuk melepaskan warisan yang belum
terbuka (jatuh meluang atau sama dengan de nog niet opengevallen
erfenis), meskipun dengan kesepakatan orang yang bersangkutan
sendiri.

4) Tidak dibuat perjanjian bahwa salah satu pihak akan memikul


hutang yang lebih besar, dari bagiannya dalam activa.

lxii
Beberapa sarjana hukum berpendapat, bahwa dalam hal ini,
passiva harus dibagi menurut imbangan activa.

Pitlo berpendapat bahwa perjanjian itu harus dianggap tidak


ada, sebab hal tersebut bertentangan dengan undang-undang.
Demikian berlakulah ketentuan-ketentuan tentang kebersamaan
harta perkawinan, artinya suami isteri masing-masing akan
menanggung separo bagian.

5) Calon suami isteri tidak boleh membuat perjanjian (beding) dengan


kata-kata umum (in algemene bewoordingen) bahwa hukum harta
perkawinan mereka akan diatur oleh Undang-undang negara asing,
atau oleh adat kebiasaaan, undang-undang, kitab undang-undang
atau peraturan-peraturan setempat yang berlaku di Indonesia.
Ketentuan ini diadakan untuk kepastian hukum. Jadi, yang
diperbolehkan adalah jika isi Undang-undang negara asing atau
hukum adat kebiasaan itu dirumuskan sedetail atau sejelas-
jelasnya.

c. Harta Benda Dalam Perkawinan.

Harta benda dalam perkawinan yang dapat ditentukan lain oleh


para pihak dalam perjanjian perkawinan menurut Penulis sedikit
terdapat perbedaan antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan
Kompilasi Hukum Islam.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat


menentukan lain mengenai harta bawaan. Seperti terdapat dalam pasal
35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang berbunyi ”Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain”.

lxiii
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat menentukan lain
mengenai harta bersama selama perkawinan. Seperti terdapat dalam
Pasal 139 KUHPerdata.

Harta bawaan dan harta bersama menurut Kompilasi Hukum


Islam memang sejak awal terpisah atau tidak ada percampuran harta.
Namun harta bawaan dapat ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.

Sehingga dalam KUHPerdata, harta bawaan dan harta bersama


semuanya dianggap menjadi satu yaitu harta perkawinan. Jadi tidak
ada pembedaan jenis harta. Tetapi jenis harta dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dibedakan menjadi harta
bawaan dan harta bersama.

d. Pertimbangan-pertimbangan Diadakan Perjanjian Perkawinan.

Pertimbangannya adalah :

1) Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat.


Agar isteri terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan
tindakan-tindakan beheer suami yang tidak baik. Tanpa adanya
pembatasan yang diperjanjikan isteri dalam perjanjian perkawinan,
suami mempunyai wewenang penuh atas harta persatuan, untuk
menghindarkan kemungkinan adanya tindakan-tindakan
beschikking atas barang-barang tak bergerak dan surat-surat
berharga tertentu milik isteri, yang dianggap oleh isteri bisa
merugikan dirinya, dapatlah isteri memperjanjikan dalam
perjanjian perkawinan, bahwa tanpa persetujuannya, suami tak
diperkenankan memindahtangankan ataupun membebani barang-
barang tak bergerak si isteri serta surat-surat pendaftaran dalam
buku besar tentang piutang umum, surat berharga lainnya dan
piutang atas nama isteri. Jadi disini yang diperjanjikan adalah
pembatasan atas wewenang beheer suami.

lxiv
2) Dalam perkawinan dengan harta terpisah :
a) Agar barang-barang tertentu atau semua barang-barang yang
dibawa suami atau isteri dalam perkawinan, tidak masuk dalam
persatuan harta perkawinan.
b) Agar harta pribadi tersebut terlepas dari beheer suami, dan
isteri mengurus sendiri harta tersebut (J. Satrio, 1991 : 148).
e. Tujuan Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan itu dibuat dengan tujuan (R. Soetojo


Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 74) :

1) ”Membatasi” atau ”meniadakan sama sekali” kebersamaan harta


kekayaan menurut Undang-undang.

2) Pemberian-pemberian hadiah (schenking) dari suami kepada isteri


atau sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik antara suami
dan isteri (Pasal 168 B.W.).

3) ”Membatasi kekuasaan suami” terhadap barang-barang


kebersamaan yang ditentukan oleh Pasal 124 ayat 2 B.W., sehingga
”tanpa bantuan” isterinya, sang suami tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan yang bersifat memutus (beschikken). Hal yang
sama berlaku juga terhadap benda-benda bergerak maupun tak
bergerak yang dibawa isteri (aanbrengst) atau terhadap benda-
benda yang diperolehnya sepanjang perkawinan yang
beratasnamakan isteri (Pasal 140 ayat 3 B.W.).

4) Sebagai testamen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau


testamen timbal balik (Pasal 169 B.W.).

5) Pemberian hadiah (schenking) oleh ”pihak ketiga” kepada suami


dan atau isteri (Pasal 176 B.W.).

6) Sebagai testamen dari ”pihak ketiga” kepada suami dan atau isteri
(Pasal 178 B.W.).

lxv
Baik testamen maupun schenking yang dimaksud oleh point 4)
hingga 6) mungkin saja terjadi, jika kebersamaan harta kekayaan
dibatasi atau ditiadakan.

Dilain pihak, dalam point 5) dan 6) seperti yang telah disebutkan,


perjanjian kawin tersebut tidak hanya mengikat suami dan isteri saja,
akan tetapi juga mengikat pihak ketiga yang menjadi pihak (partij)
dalam perjanjian tersebut dan ikut serta menandatangani aktenya.

Selain penjelasan-penjelasan di atas, menurut ketentuan Pasal


140 ayat 2 B.W., seorang isteri masih dapat mengadakan pengurusan
atau pemeliharaan (beheer) atas harta kekayaan pribadinya.

f. Kebersamaan Harta Kekayaan Terbatas yang Diatur oleh Undang-


Undang.

Sampai sekarang, sebagian besar perkawinan dilangsungkan


tanpa perjanjian perkawinan, sehingga terjadi kebersamaan harta
secara bulat (algehele gemeenschap van goederen). Akan tetapi, suami
isteri mempunyai kebebasan untuk membatasi kebersamaan harta
tersebut menurut kehendak mereka, dengan catatan tidak melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, suami
isteri dapat mengadakan beranekaragam kebersamaan harta terbatas.

Perlu diketahui bahwa kebersamaan harta terbatas yang beraneka


ragam itu tidak semuanya diatur oleh Undang-undang. Undang-undang
hanya mengatur kebersamaan terbatas, yaitu : kebersamaan untung dan
rugi (gemeenschap van winst en verlies) dan kebersamaan hasil dan
pendapatan (gemeenschap van vruchten en inkomsten) (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 89).

1) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan rugi.

a) Tinjauan umum.
(1) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan
rugi terjadi bila calon suami isteri menyatakan dengan tegas

lxvi
bahwa mereka menghendaki bentuk perjanjian perkawinan
itu dalam akte perjanjian perkawinan (Pasal 155 B.W.).
(2) Calon suami isteri meniadakan kebersamaan harta
kekayaan (Pasal 144 B.W.).

Dasar pemikiran (grondgedachte) untuk mengambil


bentuk perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan
rugi, adalah :

(1) Suami isteri masing-masing tetap memiliki sendiri-sendiri


harta kekayaan yang dimiliki pada saat perkawinan
dilangsungkan dan apa yang diperolehnya sepanjang
perkawinan yang sifatnya cuma-cuma (om niet).

(2) Semua barang yang diperoleh selama perkawinan mereka


menjadi milik bersama (R. Soetojo Prawirohamidjojo,
Marthalena Pohan, 2000 : 90).

Perjanjian perkawinan dengan persatuan atau


kebersamaan keuntungan dan kerugian terjadi bilamana bakal
suami isteri menyatakan dengan tegas-tegas bahwa mereka
menghendaki bentuk perjanjian perkawinan itu dalam akta
perjanjian perkawinannya, atau karena mereka dalam akta
perjanjian perkawinan itu menyatakan bahwa di dalamnya tidak
diadakan kebersamaan harta perkawinan sehingga dalam hal ini
dengan sendirinya ada kebersamaan keuntungan dan kerugian.

Apabila dalam akta perjanjian perkawinan itu juga


dikatakan bahwa tidak ada kebersamaan keuntungan dan
kerugian dan dari akta perjanjian perkawinan itu tidak dapat
kita simpulkan lain maka dianggap telah terjadi perjanjian
perkawinan tanpa ada kebersamaan sama sekali.

Pasal 155 B.W. lebih kurang menyatakan bahwa jika oleh


calon suami isteri hanya dijanjikan bahwa akan ada

lxvii
kebersamaan keuntungan dan kerugian maka hal ini berarti
bahwa tidak akan ada kebersamaan seluruh harta perkawinan.
Pada pemutusan kebersamaan itu kemudian suami isteri akan
membagi untung rugi itu selama perkawinan.

Ketentuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa (J. Satrio,


1991 : 175) :

(1) Antara suami isteri tidak ada persatuan bulat harta


perkawinan.
(2) Antara mereka masih ada persatuan harta yang terbatas,
yaitu persatuan untung dan rugi saja.
(3) Keuntungan dan kerugian menjadi hak dan tanggungan
suami isteri bersama-sama.
(4) Harta yang dibawa ke dalam perkawinan atau yang sudah
dipunyai pada saat pernikahan oleh suami isteri tetap
menjadi hak masing-masing yang suami atau isteri
membawanya atau memilikinya.
(5) Karena jarang ada orang yang menikah dengan tidak
membawa apa-apa ke dalam perkawinan, maka dalam
perkawinan tersebut akan terbentuklah lebih dari satu
kelompok harta, yaitu :
(a) Harta persatuan yang terbatas, yang berupa persatuan
untung dan rugi.
(b) Harta pribadi suami.
(c) Harta pribadi isteri.

Akan tetapi Pasal 165 B.W. mengatakan bahwa barang-


barang bergerak yang dibawa oleh suami maupun isteri harus
dicatat dalam perjanjian perkawinan atau dalam daftar yang
ditandatangani oleh suami, isteri dan notaris serta dilampirkan
dalam perjanjian perkawinan yang bersangkutan. Benda-benda
tetap (tidak bergerak) tidak disebut, karena benda-benda seperti

lxviii
itu umumnya tercatat atas nama pemiliknya. Sehingga dalam
perkawinan dengan persatuan untung dan rugi dan juga pada
persatuan hasil (pendapatan) tidak selalu ada 3 kelompok harta
dalam keluarga tersebut, mungkin hanya ada 2 saja.

b) Lahirnya Persatuan untung dan rugi

Pasal 144 B.W. lebih kurang menyatakan bahwa jika tidak


diadakan kebersamaan harta perkawinan maka hal ini bukanlah
berarti tidak diadakan kebersamaan keuntungan dan kerugian,
kecuali jika hal itu dengan tegas-tegas dinyatakan demikian (R.
Soetojo Prawirohamidjojo, Asis Safioedin, 1982 : 107).

Hal itu berarti bahwa, kalau suami isteri dalam perjanjian


perkawinan hanya memperjanjikan, bahwa antara mereka tidak
ada persatuan harta, maka di dalam harta perkawinan mereka
otomatis ada persatuan untung dan rugi, dengan demikian
adanya persatuan untung dan rugi dapat terjadi, karena (J.
Satrio, 1991 : 176) :

(1) Para pihak secara tegas memperjanjikan dalam perjanjian


perkawinan mereka, atau
(2) Para pihak hanya memperjanjikan bahwa antara mereka
tidak akan ada persatuan harta.
c) Akibat hukum persatuan untung dan rugi.
Semua keuntungan yang diperoleh dan semua kerugian
yang diderita sepanjang perkawinan menjadi bagian dan beban
suami isteri menurut perbandingan yang sama besarnya (J.
Satrio, 1991 : 176).
Namun kepada para pihak diberi kemungkinan untuk
menentukan lain (Pasal 156 B.W.). Dengan demikian dalam
persatuan untung dan rugi ada persatuan yang terbatas, yaitu
bahwa hanya untung dan rugi merupakan untung dan rugi
suami dan isteri. Di dalam perkawinan seperti ini umumnya ada

lxix
harta pribadi suami dan/atau isteri, dengan demikian dalam
keluarga tersebut ada kemungkinan terbentuknya dua atau tiga
kelompok harta, yaitu harta pribadi suami, harta pribadi isteri
dan harta persatuan untung dan rugi (J. Satrio, 1991 : 177).
d) Keuntungan.

Pitlo berpendapat bahwa pengertian untung dan rugi


(winst en verlies) dapat digunakan dalam dua arti, yaitu :

(1) Sebagai saldo (sisa) yang ada pada akhir perkawinan


mereka.

(2) Sebagai keuntungan (winst) berupa semua activa.


Sedangkan kerugian (verlies) adalah semua passiva atas
kebersamaan harta perkawinan itu. (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 90)

Pasal 157 menyatakan, bahwa yang dianggap sebagai


keuntungan adalah semua pertambahan nilai harta suami isteri
sepanjang perkawinan, yang muncul sebagai hasil dan
pendapatan dari :

(1) Barang-barang milik suami dan isteri.


(2) Kerja dan usaha suami dan isteri.
(3) Penanaman sisa pendapatan yang tak dibelanjakan.

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa


penanaman kembali harta pribadi tetap menjadi harta pribadi.
Hasil yang keluar daripadanya merupakan harta bersama. Jadi
pokoknya merupakan harta pribadi, tetapi hasilnya masuk
persatuan.

e) Kerugian.
Menurut Pasal 157 B.W. yang dimaksud dengan kerugian
adalah tiap berkurangnya harta kekayaan disebabkan karena
pengeluaran yang melampaui pendapatan.

lxx
Rumusan tersebut menurut Pitlo hanya cocok untuk
”kerugian” dalam arti saldo, yaitu hutang-hutang yang pada
saat berakhirnya persatuan (terbatas) masih belum dilunasi.
Asas pokoknya adalah semua hutang yang dibuat untuk
kepentingan suami isteri bersama-sama masuk dalam
persatuan.
Berpegang pada asas tersebut, maka yang merupakan
passiva harta pribadi suami atau isteri adalah :
(1) Hutang-hutang yang sudah dipunyai pada waktu dan
karenanya dibawa ke dalam perkawinan oleh suami isteri.
(2) Hutang-hutang pribadi.
(3) Tagihan isteri atas kelalaian-kelalaian suami dalam
melaksanakan beheer atas harta pribadi isteri (J. Satrio,
1991 : 182).

2) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan hasil dan pendapatan


(R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 95).

Bahwa pada umumnya orang berpendapat kebersamaan


tersebut dalam banyak hal sama dengan kebersamaan untung dan
rugi. Perbedaannya, apabila kebersamaan tersebut menunjukkan
kerugian (saldo negatif) maka suami yang mengurus kebersamaan
itu, dengan kata lain, suami yang harus memikul seluruh kerugian.
Apabila kebersamaan itu menimbulkan keuntungan, maka
keuntungan ini dibagi antara suami isteri. Jadi bagi isteri yang tidak
mengurus kebersamaan hanya ada kemungkinan untuk mendapat
sebagian dari keuntungan, dan tidak ada kemungkinan untuk
diwajibkan turut memikul sebagian dari kerugian. Hutang-hutang
bersama termasuk dalam kebersamaan, untuk hutang-hutang, pihak
isteri tidak bertanggung jawab, dan itu harus dibayar oleh
kebersamaan. Apabila harta bersama tidak cukup untuk membayar
hutang-hutang tersebut, maka sisanya harus dibayar oleh suami.

lxxi
Hutang-hutang si isteri sendiri, bukan termasuk dalam hutang
kebersamaan sehingga dengan demikian harus dibayar oleh isteri.

g. Peniadaan Terhadap Setiap Kebersamaan Harta Kekayaan.

Setiap kebersamaan harta kekayaan pada umumnya ditiadakan.


Untuk meniadakan setiap kebersamaan, maka dalam akte perjanjian
perkawinan harus ditentukan dengan tegas bahwa kebersamaan harta
dan kebersamaan untung dan rugi ditiadakan (Pasal 144 B.W.). Sudah
merupakan kebiasaan dalam praktek notaris, bahwa dalam akte
tersebut kebersamaan hasil dan pendapatan juga ditiadakan karena
sesungguhnya hak tersebut tidak perlu sifatnya (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 96).

Setiap peniadaan kebersamaan hanya ada dua kemungkinan


dalam harta kekayaan, yaitu harta kekayaan milik pribadi suami dan
milik pribadi isteri. Tidak ada kemungkinan adanya harta kekayaan
ketiga yang termasuk dalam suatu kebersamaan harta kekayaan
terbatas (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 96).

h. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata maupun Undang-


undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah suatu
perjanjian mengenai harta benda suami isteri selama perkawinan
mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh
Undang-undang, karena pada kedua peraturan tersebut pada dasarnya
harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjadi harta
bersama. Sehingga perjanjian perkawinan ini dibuat untuk
mengadakan penyimpangan terhadap persatuan harta kekayaan
tersebut.

Ada berbagai macam alasan orang memperjanjikan terpisahnya


harta atau harta tertentu dan/atau pengelolaan atas harta tertentu di
dalam perjanjian kawin. Dimana dalam perkawinan dengan persatuan

lxxii
harta secara bulat atau dengan harta terpisah, pasti ada akibat yang
terjadi.

Adapun alasan dan akibat yang mungkin timbul dari perjanjian


perkawinan ini, antara lain :

1) Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat. Dimana


mempunyai akibat istri terlindungi dari kemungkinan-
kemungkinan tindakan semena-mena suami atas harta tak bergerak
dan harta bergerak tertentu lainnya, yang dibawa isteri ke dalam
perkawinan. Tanpa adanya pembatasan yang diperjanjikan isteri
dalam perjanjian perkawinan, suami mempunyai wewenang penuh
atas harta persatuan. Termasuk semua harta yang dibawa isteri ke
dalam persatuan tersebut.

2) Dalam perkawinan dengan harta terpisah, adanya perjanjian


merupakan perlindungan bagi isteri terhadap kemungkinan
dipertanggung-jawabkannya harta tersebut terhadap utang-utang
yang dibuat oleh suami atau sebaliknya.

Akibat hukum lain dari dibuatnya perjanjian perkawinan sudah


pasti adalah pisahnya harta yang didapat pada saat sebelum
perkawinan berlangsung maupun selama perkawinan berlangsung
sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan.

Apabila salah satu pihak tidak menjalankan isi dari perjanjian


perkawinan, maka hal itu dapat dijadikan alasan dalam penggugatan
cerai. Perjanjian perkawinan juga dapat mengikat kepada pihak ketiga
selama pihak ketiga juga terlibat dalam pembuatan perjanjian
perkawinan tersebut.

D. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan Hukum yang


Dipakai bila Terjadi Perceraian.
1. Berakhirnya Perkawinan.

lxxiii
Sesuai dengan tujuan diadakannya perkawinan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka segala hal yang dapat menjadi pemicu berakhirnya
perkawinan sebaiknya dihindari. Di sini Penulis akan memberikan
gambaran mengenai sebab putusnya suatu perkawinan.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 38, perkawinan dapat putus karena 3 hal, yaitu :
a. Kematian
b. Perceraian, dan
c. Atas keputusan Pengadilan
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 199 B.W., suatu perkawinan dapat
putus oleh sebab :
a. Kematian.
b. Ketidakhadiran di tempat oleh salah satu pihak selama 10 tahun dan
diikuti dengan perkawinan baru oleh suami atau isteri sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Pasal 199 jo pasal 493-495 B.W..
c. Keputusan hakim sesudah pisah meja dan tempat tidur yang
didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil (Pasal 199 jo Pasal 200-206b
B.W.).
d. Perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga Bab
10 (Pasal 207-232a B.W.).
Penulis akan menguraikan sedikit penjelasan dari salah satu
penyebab putusnya perkawinan dari bermacam-macam penyebab putusnya
perkawinan tersebut di atas, yaitu perceraian.
2. Tinjauan Umum tentang Perceraian.
a. Pengertian Perceraian.
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu (Subekti,
1995 : 42).
Pendapat lain mengenai perceraian adalah salah satu cara
pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui

lxxiv
keputusan hakim yang didaftarkannya pada Catatan Sipil (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 135).
Sementara itu perceraian dalam istilah Figh disebut ”talak” atau
”furqah”. Adapun arti daripada talak ialah membuka ikatan
membatalkan perjanjian. Sedangkan ”Furqah” artinya bercerai, yaitu
lawan dari berkumpul (Soemiyati, 1986 : 103).
Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu
istilah, yang berarti : perceraian antara suami isteri. Perkataan talak
dalam istilah Figh mempunyai dua arti, yaitu arti yang umum dan arti
yang khusus.
Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk
perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh
Hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau
perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri
(Soemiyati, 1986 : 103).
Talak dalam artinya yang khusus ialah perceraian yang
dijatuhkan oleh pihak suami (Soemiyati, 1986 : 104).
b. Alasan-alasan Perceraian.
Dalam Pasal 209 B.W., disebutkan beberapa alasan dari
perceraian, yaitu :
1) Zina.
2) Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk.
3) Dikenakan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan.
4) Pencideraan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah
seorang dari suami isteri itu terhadap yang lainnya sedemikian
rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau
mendatangkan luka-luka yang berbahaya.
Sedangkan alasan perceraian dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

lxxv
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19,
adalah :
1) Salah satu pihak zina, pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sulit untuk disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
c. Gugurnya Hak untuk Menuntut Perceraian.

Hak untuk menuntut perceraian menjadi gugur, apabila (R.


Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan , 2000 : 145) :

1) Terjadi perdamaian (verzoening atau rujuk) antara suami dengan


isteri. Perdamaian guna menggugurkan hak untuk menuntut
perceraian dapat terjadi, baik sebelum maupun sesudah gugat
diajukan (Pasal 216 B.W.).
2) Dasar tuntutan perceraian adalah Pasal 209 sub 2 B.W., dan pihak
yang meninggalkan rumah bersama tanpa alasan yang sah telah
beralih ke rumah tersebut (Pasal 218 B.W.).
3) Suami atau isteri yang telah dipidana oleh hakim pidana karena
berzinah atau telah dijatuhi pidana selama 5 tahun atau lebih berat,
dan pihak yang lain tidak mengajukan gugat cerai dalam waktu 6
bulan setelah keputusan tersebut mempunyai kekuatan yang tetap.

lxxvi
4) Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menuntut gugat cerai
telah diajukan sebagai alasan untuk gugat pisah meja dan tempat
tidur (Pasal 235 B.W.),
5) Salah satu pihak meninggal dunia sebelum putusan cerai
dijatuhkan.
d. Akibat-akibat Perceraian.
Akibat perceraian dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah :
1) Bapak dan ibu tetap berkewajiban untuk mendidik dan memelihara
anak dan apabila ada perselisihan mengenai penguasaan maka
Pengadilan yang memberi keputusan.
2) Bapak bertanggung-jawab dalam pembiayaan atas pemeliharaan
dan mendidik anak. Apabila bapak dalam kenyataannya tidak
mampu melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban kepada bekas isteri.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dicantumkan suatu asas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, dengan pengertian
bahwa untuk itu perlu dipersukar terjadinya perceraian.
3. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan Hukum yang
Digunakan bila Terjadi Perceraian.
Mengenai banyaknya pengaturan akan hukum perkawinan ini,
sebenarnya bangsa Indonesia telah lama mempunyai cita-cita untuk
memiliki satu peraturan tentang perkawinan yang bersifat nasional, dalam
arti berlaku untuk seluruh golongan masyarakat bangsa Indonesia dan
berlaku untuk seluruh wilayah negara Indonesia. Cita-cita tersebut disebut
dengan cita-cita akan unifikasi peraturan perkawinan dan cita-cita tersebut
telah diwujudkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

lxxvii
Perkawinan (beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya), yang telah
mendapat pengesahan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974,
dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974, karena itu orang
seringkali menyebutnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau
Undang-undang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
terdiri atas 14 Bab yang meliputi 67 pasal ini, mengatur hal-hal sebagai
berikut (K. Wantjik Saleh, 1976 : 4) :
a. Dasar perkawinan (Bab I : Pasal 1 sampai dengan pasal 5).
b. Syarat-syarat perkawinan (Bab II : Pasal 6 sampai dengan pasal 12).
c. Pencegahan perkawinan (Bab III : Pasal 13 sampai dengan pasal 21).
d. Batalnya perkawinan (Bab IV : Pasal 22 sampai dengan pasal 28).
e. Perjanjian perkawinan (Bab V : Pasal 29).
f. Hak dan kewajiban suami isteri (Bab VI : Pasal 30 sampai dengan
pasal 34).
g. Harta benda dalam perkawinan (Bab VII : Pasal 35 sampai dengan
pasal 37).
h. Putusnya perkawinan serta akibatnya (Bab VIII : Pasal 38 sampai
dengan pasal 41).
i. Kedudukan anak (Bab IX : Pasal 42 sampai dengan pasal 44).
j. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (Bab X : Pasal 45
sampai dengan pasal 54).
k. Perwalian (Bab XI : Pasal 50 sampai dengan pasal 54).
l. Pembuktian asal usul anak (Bab XII : Bagian Pertama ; Pasal 55).
m. Perkawinan di luar Indonesia (Bab XII : Bagian Kedua ; Pasal 56).
n. Perkawinan campuran (Bab XII : Bagian Ketiga ; Pasal 57 sampai
dengan pasal 62).
o. Pengadilan (Bab XII : Bagian Keempat ; Pasal 63).
p. Ketentuan peralihan (Bab XIII : Pasal 64 sampai dengan pasal 65).
q. Ketentuan penutup (Bab XIV : Pasal 66 sampai dengan pasal 67).

lxxviii
Kita dapat katakan, bahwa Undang-undang Perkawinan (Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974) berisi ketentuan-ketentuan tentang hukum
keluarga. Hubungan yang muncul dari hubungan kekeluargaan meliputi
antara lain (J. Satrio, 1991 : 4) :
a. Perkawinan, dalam mana termasuk hubungan hukum kekayaan antara
suami isteri
b. Hubungan orang tua dan anak
c. Hubungan wali dan anak yang dibawah perwaliannya
d. Hubungan curator dan curandus
Sehingga hukum keluarga meliputi perkawinan dengan semua segi-
seginya, akibat yang timbul dari adanya perkawinan (peristiwa-peristiwa
hukum yang hanya mungkin timbul karena adanya perkawinan) dan
bahkan seringkali mengatur hubungan antara orang dengan anak luar
kawinnya, yang tidak dapat dikatakan merupakan akibat suatu perkawinan,
karena memang antara si bapak dengan si ibu yang melahirkan anak
tersebut tidak ada ikatan perkawinan. Walaupun demikian kiranya tidak
ada tempat yang lebih tepat untuk mengatur hal tersebut selain dalam
hukum keluarga dan sampai kini tidak ada yang menyatakan keberatannya
(J. Satrio, 1991 : 4).
Perkawinan mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri
pribadi mereka-mereka yang melangsungkan perkawinan. Hak dan
kewajiban yang mengikat pribadi suami-isteri tetapi lebih dari itu
mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami isteri tersebut.
Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan hukum kekayaan terjalin
sedemikian eratnya sehingga keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum
kekayaannya dan hukum harta perkawinan tidak lain merupakan hukum
kekayaan keluarga (J. Satrio, 1991 : 4).
Mengenai cara pengaturan dan asas-asas hukum perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka akan
nampak pada kita bahwa Undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal

lxxix
yang pokok saja, mengenai asas-asas saja, sedang penjabarannya lebih
lanjut didasarkan atas ketentuan lain atau akan dituangkan dalam peraturan
pelaksanaannya yang akan dibuat kemudian (tersendiri). Kesimpulan yang
demikian didasarkan atas adanya kata-kata “....menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya....”, “....menurut perundang-undangan
yang berlaku....”, “....diatur menurut hukumnya masing-masing” atau
“....diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri”. Selain
mempunyai cara-cara pengaturan seperti tersebut di atas, Undang-undang
Perkawinan ini juga didasarkan atas asas-asas tertentu yang perlu
mendapat perhatian kita untuk dapat memahaminya lebih lanjut.
Berdasar ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang berbunyi :

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan


perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158),
dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Ketentuan tersebut menghapus semua ketentuan yang mengenai
perkawinan, sepanjang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain yang sudah disebutkan di dalam
isi pasal tersebut, Pasal 66 juga menghapus peraturan-peraturan lain yang
meliputi semua ketentuan yang ada di luar peraturan-peraturan yang telah
disebutkan di atas, termasuk di dalamnya ketentuan-ketentuan yang tidak
tertulis atau Hukum Adat.
Dari isi pasal tersebut, untuk ketentuan-ketentuan yang perlu
pengaturan lebih lanjut sebelum ada peraturan pelaksanaannya belum
dapat dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan isi Pasal 67, yang
mengatakan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal

lxxx
diundangkan, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tertanggal 1 April 1975 dengan
judul Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang memuat Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974. Tetapi sayang sekali, karena di dalamnya hanya memuat
peraturan pelaksanaan sebagian dari Undang-undang Perkawinan saja.
Sehingga ada bagian-bagian yang belum siap peraturan pelaksanaannya.
Jika ada pengadilan-pengadilan yang memperoleh perkara mengenai
permasalahan yang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka timbul
keragu-raguan pada Pengadilan-pengadilan yang sesudah tanggal tersebut
menerima perkara. Karena akan menggunakan ketentuan hukum yang
mana sebagai patokan atau pegangan.
Adanya permasalahan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Nomor M.A./Pemb./0807/75 dengan judul Petunjuk-petunjuk M.A.
mengenai Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dan P.P. Nomor 9 tahun 1975 untuk memberikan pedoman kepada Badan
Peradilan yang ada di bawahnya untuk mengatasi keragu-raguan dalam
menangani kasus-kasus yang belum ada peraturan pelaksanaannya.
Walaupun Surat M.A. bukan merupakan ketentuan umum, tetapi
mengingat peraturan tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan
Tinggi, masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan
keputusannya dengan surat tersebut. Mengingat M.A. adalah sebagai
penjaga gawang yang terakhir.
Mengenai pengertian “belum dapat diberlakukan secara efektif”
adalah berarti belum bisa diterapkan dalam kasus yang muncul dalam
praktek karena belum ada peraturan pelaksanaannya. M.A. sendiri telah
mengemukakan pendiriannya seperti itu, seperti yang nampak pada
keputusannya tanggal 15 Februari 1977 Nomor 726K/Sip/1976, dalam
mana dipertimbangkan, bahwa “sekalipun Undang-undang Nomor 1

lxxxi
Tahun 1974 tentang Perkawinan telah berlaku, tetapi untuk
pelaksanaannya masih memerlukan peraturan pelaksanaannya dan karena
hingga kini peraturan pelaksanaannya yang mengatur sebagai pengganti
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam B.W. belum ada, maka bagi
penggugat dan tergugat yang adalah WNI keturunan Cina masih berlaku
ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan yang tercantum dalam
KUHPerdata (B.W.).
Ada berbagai pemikiran, apakah surat M.A. tersebut benar harus
ditafsirkan demikian yang dengan kata lain berarti Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk sementara sepanjang mengenai
bagian yang belum ada peratuan pelaksanaannya paling tidak untuk
mereka-mereka yang tunduk pada B.W. boleh kita abaikan atau dengan
perkataan lain kita anggap seakan-akan tidak ada. Apakah penafsiran
seperti itu sudah betul atau belum? Penulis mencoba menghubungkan
kata-kata “….belum dapat diperlakukan secara efektif….” dengan anak
kalimat selanjutnya “....dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih
diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama”.
Analisis Penulis dari kalimat ini adalah bahwa penyebab Undang-undang
perkawinan belum dapat dilaksanakan secara efektif adalah karena belum
adanya peraturan pelaksanaan. Namun peraturan pokoknya sudah ada,
hanya peraturan pelaksanaannya saja yang belum. Kemudian kata-kata
“….dengan sendirinya....”, bisa diartikan peraturan pelaksanaannya masih
menggunakan ketentuan lama. Sehingga pokoknya atau asasnya kita pakai
ketentuan Undang-undang Perkawinan sedangkan pelaksanaannya masih
menggunakan ketentuan lama.
Akan tetapi bahwa seluruh ketentuan-ketentuan hukum tersusun di
dalam suatu sistem, di dalam mana tidak boleh ada pertentangan antara
ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain. Konsekuensinya adalah
bahwa kalau kita mau menggunakan ketentuan lama sebagai peraturan
pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, maka keduanya harus
didasarkan atas asas-asas yang sama.

lxxxii
Mengenai ketentuan perjanjian perkawinan, dimana isi perjanjian
perkawinan berdampak sangat luas terhadap harta perkawinan, maka kita
harus berhati-hati mengenai pengaturannya. Apabila kita akan menerapkan
ketentuan hukum dalam Undang-undang Perkawinan sebagai pokok
terhadap mereka yang tunduk pada B.W. dan menggunakan ketentuan B.W.
sebagai peraturan pelaksanaannya, kita harus mengetahui terlebih dahulu
apakah antara keduanya tidak ada perbedaan dalam asasnya. Akan tetapi,
antara B.W. dan Undang-undang Perkawinan terdapat perbedaan asas yang
cukup besar. Sehingga tidak begitu saja ketentuan B.W. dipakai terutama
bagi orang-orang yang tunduk pada B.W.
Sehingga kata-kata “….masih diperlakukan ketentuan-ketentuan
hukum dan perundang-undangan yang lama” berarti benar-benar belum
dapat dilaksanakan dan bagi mereka masih berlaku ketentuan lama atau
B.W. dengan konsekuensinya untuk sementara ketentuan dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagi mereka boleh kita
abaikan.
Kita akan meninjau Undang-undang Pekawinan dengan Hukum
Adat. Permasalahan disini tetap sama, yaitu peraturan pokoknya sudah ada
dan peraturan pelaksanaannya belum ada. Tetapi permasalahan akan lain
kalau peraturan pelaksanaan yang akan dipinjam adalah dari Hukum Adat,
karena menurut pendapat para pakar hukum perdata, hukum harta
perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mendasarkan pada asas
Hukum Adat. Sehingga mengenai pengaturan perjanjian perkawinan juga
didasarkan pada Hukum Adat, karena isi perjanjian perkawinan adalah
mengenai harta dalam perkawinan.
Hal ini tidak berarti yang berlaku adalah Hukum Adat. Tetapi hukum
harta perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mengambil prinsip
yang sama dengan Hukum Adat, karena asasnya sama, maka kita tidak
heran kalau mereka berpendapat bahwa hukum harta perkawinan menurut
Undang-undang Perkawinan sudah dapat dilaksanakan tanpa menunggu
peraturan pelaksanaannya.

lxxxiii
Mahkamah Agung sendiri dalam salah satu keputusannya
mempertimbangkan, bahwa “.... terutama setelah Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 berlaku sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga....”. Di sini
dapat disimpulkan bahwa M.A. sendiri pernah berpendapat bahwa
Undang-undang Perkawinan sudah berlaku tanpa menunggu peraturan
pelaksanaannya lebih lanjut.
Tinjauan lain adalah terhadap Keputusan Pengadilan sesudah tahun
1975 yang mengadili perkara mengenai harta perkawinan. Bahwa perkara
yang mana pihaknya tunduk kepada Hukum Adat, banyak keputusan yang
mendasarkan pada Hukum Adat. Hal ini nampak pada masih
digunakannya istilah harta gono-gini, harta suarang atau serikat dan harta
asal. Memang antara hukum harta perkawinan menurut Hukum Adat dan
menurut Undang-undang Perkawinan ada persamaan asas yang cukup
besar. Tetapi bukan berarti bahwa hukum harta perkawinan menurut
Undang-undang Perkawinan adalah Hukum Adat, yang benar adalah
mendasarkan pada asas Hukum Adat. Apalagi berdasarkan Pasal 66
Undang-undang Perkawinan semua ketentuan hukum lama mengenai hal-
hal yang sudah ada pengaturannya di dalam Undang-undang Perkawinan
tidak berlaku lagi, tentunya termasuk juga istilah-istilah Hukum Adat,
yang sudah ada istilahnya tersendiri dalam Undang-undang Perkawinan,
dengan cara berfikir seperti itu, maka Hukum Adat selanjutnya hanya
dipakai sebagai peraturan pelaksanaannya saja dan ketentuan Undang-
undang Perkawinan tetap sebagai pokok.
Kenyataan bahwa Pengadilan tanpa penjelasan apa-apa masih
menggunakan istilah-istilah adat, memberikan petunjuk kepada kita bahwa
pengadilan masih berpendapat bahwa bagi mereka yang tunduk pada
Hukum Adat masih berlaku Hukum Adat. Namun bagi mereka yang
tunduk pada B.W., Undang-undang Perkawinan belum dapat dilaksanakan.
Jadi Surat M.A. ditafsirkan khususnya untuk hukum harta perkawinan
masih berlaku ketentuan-ketentuan lama.

lxxxiv
Pendapat dan pikiran seperti tersebut berlangsung bertahun-tahun,
sampai M.A. memberikan suatu keputusan yang mengejutkan, yaitu
Keputusan Nomor 2690K/Pdt/1985 yang menetapkan, bahwa untuk
penjualan harta besama harus ada persetujuan dari suami atau isterinya,
dan persetujuan di sini diartikan sebagai persetujuan secara tegas.
Sekalipun keputusan tersebut bukan merupakan ketentuan umum dan
belum tentu M.A. dalam kasus-kasus berikutnya yang sejenis akan
memberikan keputusan yang sama. Namun mengapa keputusan tersebut
mengejutkan? Sebelum itu M.A. dalam Keputusannya Nomor
263K/Sip/1976 tertanggal 13 November 1978 sudah mengatakan bahwa
penjualan harta bersama harus dengan persetujuan isteri atau paling tidak
istri ikut hadir pada waktu jual beli diadakan. Mengapa pada waktu itu
tidak ada reaksi apa-apa, seakan-akan bukan kejutan? Karena dalam
keputusan tersebut para pihaknya adalah orang-orang yang tunduk pada
Hukum Adat dan antara Hukum Adat dan Undang-undang Perkawinan ada
persamaan dalam asasnya. Orang tidak merasakan perubahan dalam
pelaksanaan hukum harta perkawinan dalam keputusan tersebut. Tetapi
masalahnya menjadi lain kalau para pihaknya dalam peristiwa tersebut
adalah orang-orang yang tunduk pada B.W.. Keputusan tersebut diatas
pengaruhnya akan besar sekali terhadap mereka, karena mereka dalam
tindakan hukumnya selama ini mendasarkan kepada ketentuan yang
selama ini mereka anggap masih tetap berlaku yaitu ketentuan B.W.
khususnya Pasal 124. Atas dasar apa yang dikemukakan di atas, maka
Keputusan M.A. tersebut yang mengatakan bahwa “Yurisprudensi M.A.
Nomor 681K/Sip/1975 dan berdasarkan Pasal 36 ayat 1 Undang-undang
Perkawinan sudah menentukan bahwa untuk penjualan harta bersama
harus ada persetujuan isteri atau suami”, bila dibenarkan bagi mereka-
mereka yang tunduk pada Hukum Adat, tetapi adalah tidak tepat bagi
mereka yang tunduk pada B.W.
Mengingat perjanjian perkawinan berisi mengenai harta dalam
perkawinan, dan berdasar Surat Edaran M.A. mengenai Petunjuk-petunjuk

lxxxv
Mahkamah Agung mengenai Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 Tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam point 4 yaitu,
“Harta benda dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak serta perwalian, ternyata tidak diatur dalam P.P.
tersebut karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan
sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan
hukum dan perundang-undangan lama”. Sekalipun Surat Mahkamah
Agung bukan merupakan ketentuan umum, tetapi mengingat peraturan
tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan tinggi, yang tidak
lain adalah badan yang akan menampung masalah-masalah yang tidak
dapat diselesaikan secara damai antara pihak, dengan Mahkamah Agung
sebagai penjaga gawang yang terakhir, maka dapat diharapkan bahwa
anggota masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan
keputusannya dengan Surat tersebut.
Perbedaan pendapat dalam menemukan kepastian hukum itu adalah
hal yang biasa, namun di sini bahwa persetujuan-persetujuan antara pihak-
pihak yang berkepentingan, yang kemudian menjadi “perjanjian” disebut
juga sebagai sumber hukum formil. Activa membuat perjanjian oleh pihak-
pihak itu dinamakan : perbuatan hukum. Selanjutnya hasil dari activa itu
ialah terciptanya ketentuan-ketentuan yang merupakan isi dari perjanjian
tersebut, dan merupakan ketentuan yang mengikat para pihak yang
membuatnya secara syah. Syahnya suatu perjanjian yang dibuat oeh para
pihak yang berkepentingan, memang harus dipenuhi beberapa persyaratan
yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam peraturan hukum atau
Undang-undang (J.D. Sihombing Purwoatmodjo, C. Gunarti
Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 131).
Di Indonesia, berlaku ketentuan dari Pasal 1320 B.W., yaitu bahwa
untuk syahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu :
a. Sepakat (persesuaian kehendak) mereka yang mengikatkan diri.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian.
c. Mengenai hal tertentu.

lxxxvi
d. Oleh suatu sebab yang halal.
Dalam sistem Buku III B.W., bahwa Buku III B.W. terdiri atas suatu
bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-
peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang
bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Bagian khususnya memuat peraturan-peraturan mengenai
perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan yang
sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa-menyewa,
perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian (schenking) dan lain
sebagainya (Subekti, 1995 : 127).
Buku III B.W. ini menganut asas kebebasan dalam membuat
perjanjian yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 B.W., yang berisi :

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-undang


berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam isi Pasal 1338 tersebut, maka Penulis dapat menyimpulkan


bahwa semua persetujuan ataupun perjanjian yang dibuat dapat berlaku
sebagai Undang-undang dan mengikat kedua belah pihak yang
membuatnya. Buku III B.W. memberikan kebebasan seseorang membuat
suatu perjanjian. Asalkan perjanjian tersebut tidak melanggar ketertiban
umum atau kesusilaan yang diatur di dalam Buku III B.W.. Tetapi pada
umumnya juga diperbolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang
termuat dalam Buku III B.W. itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan
yang disediakan dalam Buku III B.W. ini dipakai untuk para pihak yang
berkontrak tidak menentukan atau tidak membuat peraturan sendiri.
Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam Buku III B.W., pada
umumnya hanya merupakan hukum pelengkap saja.
Hukum pelengkap, yaitu hukum yang mempunyai sifat fakultatif
artinya mengikat mutlak atau tidak wajib dipenuhi, dan dapat
dikesampingkan jika di dalam hubungan konkrit (perjanjian) para pihak
membuat peraturan sendiri. Maka hukum pelengkap adalah bersifat tidak

lxxxvii
memaksa dan bersifat melengkapi. Sering disebutkan sebagai hukum yang
mengatur, tetapi hal ini sebenarnya tidak tepat, karena setiap hukum
adalah bersifat mengatur (J.D. Sihombing Purwoatmodjo, C. Gunarti
Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 138).
Sehingga disini Penulis dapat menyimpulkan berdasar metode
penafsiran sistematis bahwa karena di dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai
perjanjian perkawinan, maka berdasar Pasal 66 Undang-undang tersebut
bahwa ketentuan lama dapat dipakai sebagai peraturan pelaksanaan bisa
digunakan. Sebatas Undang-undang Perkawinan belum mengatur saja.
Namun di dalam Buku III B.W. pasal 1338 menyatakan bahwa persetujuan
yang dibuat sesuai dengan Undang-undang dapat berlaku sebagai Undang-
undang bagi yang membuatnya, karena perjanjian antara pihak-pihak juga
merupakan sumber hukum formil. Sehingga di dalam perjanjian
perkawinan, ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan dalam
Hakim memutus persoalan apabila kedua belah pihak dalam hal ini suami-
isteri bercerai adalah isi perjanjian perkawinan tersebut.
Mengenai tujuan awal dibuatnya perjanjian perkawinan, antara lain
adalah :

a. Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta


kekayaan menurut undang-undang.

b. Mengenai pemberian-pemberian hadiah (schenking) dari suami


kepada isteri atau sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik
antara suami dan isteri (Pasal 168 B.W.).

c. Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan


yang ditentukan oleh Pasal 124 ayat 2 B.W., sehingga tanpa bantuan
isterinya, suami tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang
bersifat memutus (beschikken). Hal yang sama berlaku juga terhadap
benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibawa isteri

lxxxviii
(aanbrengst) atau terhadap benda-benda yang diperolehnya sepanjang
perkawinan yang beratasnamakan isteri (Pasal 140 ayat 3 B.W.).

d. Sebagai testamen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau


testamen timbal balik (Pasal 169 B.W.).

e. Pemberian hadiah (schenking) oleh pihak ketiga kepada suami dan


atau isteri (Pasal 176 B.W.).

f. Sebagai testamen dari pihak ketiga kepada suami dan atau isteri
(Pasal 178 B.W.).

g. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada


salah satu pihak daripada pihak yang lain.

h. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst)


yang cukup besar.

i. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata


salah satu jatuh failliet, yang lain tidak tersangkut.

j. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing


akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri.

Sehingga karena perjanjian perkawinan dipakai oleh Hakim sebagai


pegangan dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan,
diharapkan sesuai dengan tujuan dipakainya perjanjian perkawinan, maka
aset dan kepentingan para pihak dalam hal ini adalah suami dan isteri
dapat terlindungi.

lxxxix
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan.
Penulis memberikan beberapa kesimpulan dari skripsi ini, antara lain :
1. Bahwa perjanjian perkawinan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan diperkenankan. Pengaturan mengenai perjanjian
perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 29. Namun mengenai
pengaturannya tidak selengkap seperti di dalam B.W.. Pasal 29 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur
mengenai saat berlakunya perjanjian perkawinan, siapa yang berwenang
dalam pembuatan perjanjian perkawinan, bentuk perjanjian perkawinan
dan mengenai pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan. Berdasar
ketentuan dalam Pasal 66, maka pengaturan dalam B.W. masih dapat
dipakai lagi. Sejauh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak mengaturnya.
2. Ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan apabila suami isteri
bercerai dimana perkawinan mereka menggunakan perjanjian perkawinan
adalah isi dari perjanjian perkawinan itu sendiri. Sesuai dengan Pasal 1338
KUHPerdata, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat
secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sehingga isi dari perjanjian perkawinan dapat menjadi
Undang-undang bagi pihak yang membuatnya, pihak yang dimaksud di
sini adalah suami isteri. Apabila kedua belah pihak tidak mengatur
ketentuannya, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam KUHPerdata.
Dan karena perjanjian perkawinan dipakai oleh Hakim sebagai pegangan
dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan, diharapkan
sesuai dengan tujuan dipakainya perjanjian perkawinan, maka aset dan
kepentingan suami isteri tersebut dapat terlindungi.

xc
B. Saran.
Penulis memberikan saran, yaitu : karena Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan hasil dari keinginan dan cita-
cita masyarakat Indonesia untuk mempunyai Undang-undang Perkawinan
secara nasional dan berlaku bagi seluruh wilayah negara Indonesia,
seharusnya mengenai pengaturannya bisa lebih diperinci seperti pengaturan
yang terdapat di dalam B.W.. Sehingga kepastian dalam pemakaian ketentuan
hukum bisa dipegang dan tujuan utama pembuatan perjanjian perkawinan
untuk melindungi kepentingan dan aset para pihak dapat tercapai.

xci
DAFTAR PUSTAKA

A. Ridwan Halim. 1986. Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab. Jakarta : Ghalia
Indonesia
Akar-akar RUU Perkawinan Tahun 1973 di Indonesia.
http://ikadabandung.wordpress.com. (23 Februari 2008 pukul 15.13).
Ali Afandi. 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta :
PT Rineka Cipta.
Citra Umbara. 2007. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung.
Dardiri Hasyim H.A.. 2004. Amandemen KUH Perdata Dalam Kerangka Sistem
Hukum Nasional. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
I.S. Adiwimarta. 1992. H.F.A. Vollmar Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I.
Jakarta : CV Rajawali.
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Komar Andasasmita. 1983. Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia.
Bandung : Alumni.
Lexy J. Moleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Salim H.S. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (B.W.). Jakarta : Sinar
Grafika.
Satrio, J. 1991. Hukum Harta Perkawinan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Sihombing Purwoatmodjo J.D, Gunarti Purwoatmodjo, Rachmadi. 1999.
Pengantar Ilmu Hukum. Surakarta : Departemen Pendidikan Dan
kebudayaan Republik Indonesia Universitas Sebelas Maret.
Simorangkir J.C.T, Rudy T. Erwin, Prasetyo J.T.. 2002. Kamus Hukum. Jakarta :
Sinar Grafika.
Soedharyo Soimin. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Sinar
Grafika.

xcii
Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan). Yogyakarta :
Liberty.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
--------------------.2003. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Soetojo Prawirohamidjojo, R., Asis Safioedin. 1982. Hukum Orang Dan
Keluarga. Bandung : Alumni.
Soetojo Prawirohamidjojo R, Marthalena Pohan. 2000. Hukum Orang Dan
Keluarga (Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University
Press.
Soetojo Prawirohamidjojo, R., Soebijono Tjitrowinoto. 1986. Pluralisme Dalam
Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia. Surabaya : Airlangga
University Press.
Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT. Intermasa
Sudikno Mertokusumo, Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra
Aditya Bakti
Surat Edaran Mahkamah Agung Mengenai Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung
Mengenai Pelaksanaan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. http://www.gtzggpas.or.id. (25 Februari
2008 pukul 10.20).
Wantjik Saleh, K. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia
Wirjono Prodjodikoro, R. 1981. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta :
Sumur Bandung.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung :
Alumni.

xciii

Anda mungkin juga menyukai