Penulisan Hukum
(Skripsi)
Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Disusun oleh :
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Disusun oleh :
FARIDA DWI IRIANINGRUM
NIM : E. 1104134
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : ………………………………
Tanggal : ………………………………
TIM PENGUJI
MENGETAHUI
Dekan,
iii
ABSTRAK
Kata kunci : perkawinan, suami isteri, perjanjian perkawinan, melindungi aset dan
kepentingan.
iv
MOTTO
Dan rendahkanlah dirimu dengan penuh kasih sayang terhadap kedua orang
tuamu. Dan doakanlah (untuk mereka) : ” Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka
berdua sebagaimana mereka telah memelihara aku dengan sayangnya pada waktu
aku masih kecil”.
Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah : ” Allah lebih mengetahui
apa yang kamu lakukan”.
Dan janganlah engkau membuat Tuhan selain Allah, agar engkau tak duduk
tercela dan terhina (ditinggalkan dari pertolongan Allah).
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu benar-benar
orang yang shaleh. Maka sesungguhnya Dia Tuhan Yang Mahapengampun
terhadap orang-orang yang bertobat.
(John Mayer)
(NN)
v
KATA PENGANTAR
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberi ijin dan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Pranoto, S.H M.H. selaku Pembimbing penulisan skripsi yang telah
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan
bagi tersusunnya skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh karyawan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya
kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan
semoga dapat Penulis amalkan dalam kehidupan masa depan Penulis.
5. Ayah dan Ibu tersayang yang telah memberikan segalanya kepada Penulis,
mendukung dan mendoakan.
vi
8. Sahabatku Mbak Mitha, Mbak Kingkin, Mbak Ristha, Mbak Ari, yang selalu
mendukungku....”Bahagianyaaa punya kalian...!!!”.
13. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan bantuan pikiran maupun tenaga, sehingga skripsi ini dapat selesai
dengan baik.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
MOTTO .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Kerangka Teori
1........................................................................................ Tinja
uan Umum Tentang Perkawinan........................................... 13
a. ................................................................................. Penge
rtian Perkawinan ............................................................. 13
b. ................................................................................. Syara
t-syarat Perkawinan Yang Sah ........................................ 14
viii
c. ................................................................................. Tujua
n Perkawinan................................................................... 16
d. ................................................................................. Laran
gan Perkawinan ............................................................... 20
2........................................................................................ Penge
rtian Perjanjian Perkawinan .................................................. 21
B. Kerangka Pemikiran.................................................................... 23
ix
Hukum yang Digunakan bila Terjadi Perceraian.................. 66
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 79
B. Saran............................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
xiii
Sehingga akan lebih jelas mengenai pembagian-pembagiannya, mengurangi
permasalahan yang biasanya timbul pada saat perceraian.
xiv
Perjanjian perkawinan dalam sistem Burgerlijk Wetboek (B.W.) tidak
berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, tetapi berlaku bagi
golongan Tionghoa. Dimana semua kekayaan dari masing-masing suami dan
isteri, baik yang dibawa pada permulaan perkawinan maupun yang mereka
peroleh selama perkawinan berlangsung, dicampur menjadi satu kekayaan
selaku milik bersama dari suami dan isteri.
Calon suami dan calon isteri diberi kesempatan untuk saling berjanji
sebelumnya, bahwa tidak akan ada campur kekayaan secara bulat, melainkan
akan ada campur kekayaan secara terbatas atau akan tidak ada sama sekali
suatu campur kekayaan.
xv
mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan orang-orang yang
menurunkannya.
B. Rumusan Masalah :
C. Tujuan Penelitian :
Suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang
hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin
dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
2. Tujuan Subyektif
xvi
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan
dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian :
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai praktek dari teori penelitian dalam bidang hukum dan juga
sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode
penelitian ilmiah.
xvii
c. Sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan
dalam studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UNS.
E. Metode Penelitian :
1. Jenis Penelitian
Jenis data yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah jenis
data sekunder yaitu dengan mengambil studi kepustakaan, dokumen, hasil
penelitian terdahulu, peraturan perundangan yang berlaku dan terkait
dengan masalah yang diteliti.
2) Peraturan Dasar.
3) Peraturan perundang-undangan :
xviii
b) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf.
e) Peraturan-peraturan Daerah.
5) Yurisprudensi.
6) Traktat.
xix
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Penafsiran Gramatikal
xx
dalam percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus
bahasa atau meminta penjelasan dari ahli bahasa (Yudha Bhakti
Ardhiwisastra, 2000 : 9).
c. Interpretasi Historis
e. Interpretasi Komparatif
xxi
Interpretasi komparatif adalah suatu bentuk penafsiran dengan
memperbandingkan, karena dengan memperbandingkan hendak dicari
kejelasan mengenai suatu ketentuan Undang-undang.
g. Interpretasi Restriktif
h. Interpretasi Ekstensif
xxii
Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang
lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk
dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu. Dalam penyempitan
hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-
penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum.
Peraturan yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau
hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau kontruksi
dengan memberi ciri-ciri.
l. Metode Eksposisi
Agar skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa
yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab
ini Penulis akan membuat sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
xxiii
Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori Penulis akan
menguraikan tinjauan umum tentang perkawinan, dan pengertian
mengenai perjanjian perkawinan. Sedangkan dalam kerangka
pemikiran Penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran
beserta keterangan dari bagan tersebut.
BAB IV : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xxiv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori.
a. Pengertian Perkawinan.
xxv
dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah
(Soemiyati, 1986 : 8).
2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun.
5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu
(iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian,
masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.
xxvi
a) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon.
Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami yang
terdahulu.
xxvii
d) Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat
dari 300 hari terhitung sejak bubarnya perkawinan yang
terakhir.
e) Harus ada izin dari pihak ketiga, baik dari orang tuanya atau
walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah
kawin.
c. Tujuan Perkawinan.
xxviii
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar
cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur
oleh syari’ah (Soemiyati, 1986 : 12).
xxix
dengan segala kemampuan yang ada untuk berobat kepada dokter-
dokter dan minta tolong kepada orang-orang yang dianggap
mampu untuk menolong mereka dalam usahanya memperoleh
keturunan. Disamping itu menurut tuntutan agama Islam, yang
disebutkan dalam salah satu Hadist : ”bahwa apabila orang yang
meninggal dunia hanya tiga perkara saja yang masih bisa memberi
pertolongan kepadanya, yaitu : pertama sedekah yang telah
dikeluarkannya, kedua ilmunya yang masih memberikan manfaat
bagi orang banyak dan ketiga anak yang saleh (baik) yang
memohonkan doa untuknya”. Selain itu, anak-anak itulah nanti
yang diharapkan dapat membantu orangtua pada hari tuanya kelak.
xxx
3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
xxxi
berumah tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawab di
dalam mengemudikan rumah tangga. Suami sebagai kepala
keluarga mulai memikirkan bagaimana cara mencari rezeki yang
halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, sebaliknya isteri
juga berusaha memikirkan cara bagaimana mengatur kehidupan
dalam rumah tangga (Soemiyati, 1986 : 17).
d. Larangan Perkawinan.
8) Antara suami isteri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai untuk kedua kalinya, mereka tidak boleh
xxxii
melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain (Salim H.S, 2002 : 65).
xxxiii
Sementara itu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
Buku I tentang Hukum Perkawinan pasal 47 adalah perjanjian tertulis yang
dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau pada saat perkawinan
berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan.
xxxiv
2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst)
yang cukup besar.
B. Kerangka Pemikiran.
Perjanjian perkawinan
Akibat
Keterangan gambar 1 :
Pihak-pihak yang dimaksud di dalam skripsi ini adalah calon suami dan calon
isteri. Dimana calon suami dan calon isteri tersebut yang akan melakukan
perkawinan sudah pasti mempunyai aset dan kepentingan yang harus
dilindungi dari tindakan yang dapat merugikan yang mungkin akan terjadi.
Cara untuk menjaga keamanan aset dan kepentingan tersebut, maka dibuatlah
xxxv
perjanjian perkawinan. Sehingga akibat dari perjanjian perkawinan ini adalah
melindungi aset dan kepentingan dari suami dan isteri setelah menikah, karena
isi perjanjian perkawinan yang dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku
dan sah dapat mengikat suami dan isteri seperti Undang-undang, maka
pembuatan perjanjian perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua
belah pihak dan tanpa paksaan.
xxxvi
BAB III
xxxvii
Hukum yang berlaku di Perancis selama bertahun-tahun bahkan
berabad-abad lamanya dalam keadaan tidak ada kesatuan hukum.
Kodifikasi Hukum Perdata Perancis baru selesai dibentuk pada tahun 1804
dengan nama Code Civil des Francais dan mulai berlaku sejak tanggal 21
Maret 1804.
Pada tanggal 7 Maret sampai 1 Oktober 1838 Code Civil des
Francais ini berlaku sebagai Kitab Undang-undang Belanda, oleh karena
pada waktu itu Negeri Belanda menjadi jajahan dari Perancis.
Setelah negeri Belanda terbebas dari penjajahan Perancis sekitar
tahun 1813, maka dibentuk suatu panitia kodifikasi Hukum Perdata
berdasarkan Undang-undang Dasar (Grondwet). Kepanitiaan itu diketuai
oleh Mr. J. Kemper. Hasil kerja kepanitiaan tersebut ditolak oleh ahli
hukum bangsa Belgia karena acuannya berbeda, yakni ahli hukum
Nederland Selatan (Belgia) menghendaki agar rancangan hukum itu
disusun menurut Code Civil Perancis. Sedangkan tim Mr. J. Kemper
menyusun berdasarkan Hukum Belanda Kuno dan diberi nama “Ontwerp
Kemper” (Rencana kemper). Dalam pembahasan di parlemen Rencana
Kemper ini mendapat serangan dari kalangan Perwakilan Rakyat yang
berasal dari Nederland Selatan (Belgia) yang bermuara ditolaknya
Rencana Kemper tersebut. Hal ini terjadi pada tahun 1822 dan Mr. Joan
Melchoir Kemper meninggal pada tahun 1824.
Setelah Mr. Joan Melchoir Kemper meninggal, kepanitiaan diketuai
oleh Nicolai dengan metode kerja dan pendekatan kerja dari bawah yaitu
dengan bertanya kepada kehendak mayoritas wakil rakyat. Kerja ini
berhasil baik dan selesai pada tahun 1826 dengan isi lebih berkiblat ke
Code Civil Perancis tidak seperti rencana Mr. J.M. Kemper. Hasil Nicolai
tersebut ditolak oleh kalangan Nederland Utara, kemudian direvisi yang
tidak berarti. Dan dengan adanya Koninklijk Besluit tanggal 10 April 1838
(Staatblaad 1838 Nomor 21) KUHPerdata Belanda dinyatakan berlaku
sejak tanggal 1 Oktober 1838. Untuk Hindia Belanda (Indonesia)
berdasarkan asas konkordansi diberlakukan pula bagi golongan Eropa di
xxxviii
Indonesia. Dibentuklah komisi dengan tugas menyusun itu dengan diketuai
oleh Mr. Cj. Scholten Van Out Haarlem berdasar Firman Raja tanggal 15
Agustus 1839 Nomor 102. Dalam kepanitiaan itu dilengkapi dengan dua
anggota yaitu : Mr. I. Schneim dan Mr. I.F.H. Van Nos. Adapun peraturan
yang telah dihasilkan adalah sebagai berikut :
a. Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Nederlandsch Indie
(Ketentuan Umum Perundang-undangan di Indonesia).
b. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
c. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
d. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der justitie
(RO=Peraturan Susunan Pengadilan dan Pengurusan Justisi).
e. Enige Bepalingen Betreffende Misdrijven began Tergelegenheid van
Faillissement en bij Kennelijk over Mogen, Mitsgaders bij Surseance
van Betaling (Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan
dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu
membayar).
Berdasar Firman Raja Belanda tertanggal 16 Mei 1846 Nomor 1
dengan Staatsblaad 1847 Nomor 23 kelima peraturan tersebut dinyatakan
berlaku di Hindia Belanda (Indonesia). Dari uraian tersebut dapat
diketengahkan bahwa secara material KUHPerdata (B.W.) itu berasal dari
Code Civil Perancis (Hukum Perancis) dan Code Iuris Civilis (Hukum
Romawi) (H.A. Dardiri Hasyim, 2004 : 11).
2. Kedudukan Hukum Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.)
dalam Kerangka Hukum Nasional.
Hindia Belanda (Kepulauan Indonesia) selama lebih kurang 350
tahun berada di cengkeraman penjajah Belanda. Selama itu pula hukum
yang berlaku di sini adalah meneladani hukum yang berlaku di negeri
Belanda. Keadaan seperti itu berlangsung terus hingga saat Belanda
menyerah kepada bala tentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Sejak
saat itu hingga 17 Agustus 1945 di daerah bekas jajahan yang bernama
Hindia Belanda itu, berlakulah tatanan hukum dari pemerintah bala tentara
xxxix
Jepang. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah bala tentara Jepang tidak
begitu banyak, hal ini dapat dimengerti, mengingat Jepang hanya berkuasa
di Indonesia, untuk waktu kurang lebih tiga setengah tahun saja. Walaupun
demikian dengan suatu peraturan peralihan, pemerintah bala tentara
Jepang mengeluarkan Undang-undang Nomor 1/2602, 7 Maret 1942,
tentang tata cara menjalankan pemerintahan.
Sesudah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, maka berlakulah
tatanan hukum negara RI. Tata hukum negara Republik Indonesia saat itu
pun sebagian besar masih merupakan peninggalan peraturan Hindia
Belanda. Berlakunya tatanan seperti itu adalah berdasarkan pada :
a. Pasal II Aturan Peralihan dari UUD 1945, yang menentukan bahwa :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
b. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi oleh Peraturan Pemerintah RI
Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945 yang menentukan bahwa : “Segala
badan negara dan peraturan yang sampai berdirinya negara Republik
Indonesia, pada 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang Dasar masih tetap berlaku asal saja tidak
bertentangan dengan Undang-undang Dasar tersebut”.
Dengan demikian maka pada saat kita merdeka, di negara kita
tidak pernah terdapat kekosongan hukum, karena dengan bijak telah
dipatok dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sendiri.
Meskipun negara RI telah memproklamirkan kemerdekaannya,
tetapi Belanda dengan bantuan tentara Sekutu masih ingin kembali
menguasai bekas jajahannya di Indonesia. Karena itu terjadilah perang
untuk mempertahankan kemerdekaan negara RI yang baru lahir itu.
Selama empat tahun lebih Belanda berusaha untuk menduduki wilayah
Indonesia, sampai akhirnya mereka mengakui kedaulatan Indonesia
pada 27 Desember 1949. Sejak saat itu kembalilah semua wilayah
xl
yang telah mereka duduki kepada kekuasaan pemerintah RI, kecuali
Irian Barat.
Berdasarkan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar di Den
Haag, maka berdirilah negara Republik Indonesia Serikat
beranggotakan semua negara bagian, yang sebelumnya telah dibentuk
oleh pemerintah Belanda selama pendudukan mereka.
Negara RI yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 pun,
merupakan anggota dari negara serikat tersebut. Ini berarti bahwa
tatanan hukum yang berlaku sejak 17 Agustus 1945 hanya berlaku bagi
wilayah negara RI yang merupakan bagian dari RIS saja, dan tidak
berlaku untuk semua wilayah RIS.
Untuk wilayah RIS berlakulah tatanan hukum negara RIS sejak
27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Peraturan dari zaman RIS
ini tidak begitu banyak, sebagian terbesar masih merupakan peraturan-
peraturan yang ada sebelum masa RIS.
c. Berdasarkan Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 mengatakan bahwa
“Peraturan-peraturan, Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata
usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap
berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan
sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan
tata usaha atas kuasa konstitusi ini”.
Sebelum zaman RIS tersebut, kita mengenal zaman RI
Proklamasi. Dengan demikian maka peraturan sebelumnya adalah
peraturan dari zaman RI 1945, sedangkan peraturan pada zaman RI
1945 tersebut pada umumnya adalah peraturan dari zaman Hindia
Belanda yang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
diberlakukan bagi negara Republik Indonesia.
Pada 17 Agustus 1950 negara RIS dinyatakan bubar, dan
kembalilah negara RI sebagai negara kesatuan yang wilayahnya sama
xli
dengan wilayah negara RI proklamasi, minus Irian Barat. Irian Barat
yang pada saat lahirnya negara kesatuan RI ini, masih tetap di bawah
kekuasaan pemerintah Belanda. Dengan demikian, maka sejak saat itu
berlakulah tatanan hukum negara RI kesatuan. Sebelum negara RI
kesatuan berdiri, telah ada tatanan hukum dari pemerintah RIS.
d. Berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, mengatakan bahwa “Peraturan-
peraturan, Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang
sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak
berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik
Indonesia sendiri. Selama dan sekedar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, diubah oleh Undang-
undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang
Dasar ini”. UUDS 1950 yang memberlakukan tata hukum sebelum ini,
berlaku dari tanggal 17 Agustus 1950 hingga 5 juli 1959.
e. Dengan dekrit Presiden RI 5 Juli 1959, negara RI dinyatakan kembali
ke UUD 1945, dengan demikian maka Aturan Peralihan yang terdapat
di dalamnya, memperlakukan kembali tata hukum yang pernah ada di
masa-masa sebelumnya hingga sekarang. Dengan demikian kedudukan
hukum berlakunya KUHPerdata (B.W.) yang berlaku sampai saat ini
adalah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,yang menyatakan :
“Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang
Dasar ini”.
Pasal II Aturan Perlihan tersebut, memberikan landasan berlakunya
KUHPerdata (B.W.) di Indonesia (H.A. Dardiri Hasyim, 2004 : 14).
B. Sejarah Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Sepanjang sejarah Indonesia, wacana Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan selalu melibatkan 3 pihak atau kepentingan, yaitu
kepentingan agama, negara dan perempuan. Perbincangan seputar perkawinan
cenderung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak
xlii
dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama
sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan yang signifikan
atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil
memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada
dalam agama. Sementara negara sebagai institusi modern pun tak bisa
mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya.
Undang-undang Perkawinan dibentuk karena kebutuhan masyarakat
yang sejak zaman kerajaan Islam telah memiliki Peradilan Agama. Dalam
peradilan dikenal 2 kekuasaan, yaitu :
1. Kekuasaan absolut, yaitu kekuasaan yang menyangkut materi hukum.
2. Kekuasaan relatif, yaitu kekuasaan yang menyangkut wilayah hukum.
Mengenai sejarah pembentukan Undang-undang Perkawinan ini, pada
awalnya para penjajah tidak ikut campur terhadap urusan Peradilan Agama.
Tetapi pada tahun 1820, Belanda mulai turut campur terhadap urusan
Peradilan Agama dengan mengeluarkan instruksi kepada Bupati-bupati
dengan mengatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian waris
dikalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama Islam. Kemudian
pada tahun 1823 dengan resolusi Gubernur Jenderal tanggal 3 Juni 1823
Nomor 12 diresmikan Pengadilan Agama kota Palembang yang dikepalai oleh
seorang penghulu dan banding dapat dimintakan kepada Sultan. Kewenangan
Peradilan Agama secara tegas dinyatakan dalam Staatsblaad Nomor 58
(http://ikadabandung.wordpress.com).
Tahun 1882 merupakan tahun bersejarah bagi Peradilan Agama. Pada
tahun 1882 dikeluarkan Staatsblaad 1882 Nomor 152 tentang pembentukan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Namun Staatsblaad 1882 Nomor 152
ini tidak mengubah wewenang absolut Pengadilan Agama. Namun pada tahun
1931 dibentuk Staatsblaad 1931 Nomor 53 tentang 3 pokok ketentuan bagi
Peradilan Agama yaitu (http://ikadabandung.wordpress.com) :
1. Pengadilan Agama, Raad Agama, atau Priesterraad diubah menjadi
Penghulu Gerecht yang dipimpin oleh seorang penghulu sebagai hakim,
didampingi oleh 2 orang penasehat dan seorang panitera (griffier),
xliii
2. Pengadilan Agama hanya memeriksa perkara-perkara yang bersangkutan
dengan nikah, talak, rujuk, hadhanat, dan wakaf,
3. Diadakan Mahkamah Islam Tinggi (MIT) sebagai Peradilan Banding atas
putusan-putusan Pengadilan Agama.
Namun ketentuan ini tidak pernah berjalan. Sehingga pada tahun 1937
dibentuklah Staatsblaad 1937 Nomor 610. Dimana dalam Pasal 2 ayat 1
ditetapkan bahwa Pengadilan Agama hanya berwenang untuk memeriksa dan
memutuskan perselisihan hukum suami isteri yang beragama Islam tentang
nikah, talak dan rujuk.
Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan
tentang Pengadilan Agama. Antara lain pembentukan Undang-undang Nomor
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Akan tetapi, dari
segi kebutuhan pengadilan yang memerlukan hukum formil dan hukum
materiil, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk belum dapat dikatakan sebagai hukum formil maupun
materiil. Karena Undang-undang tersebut lebih menekankan pada pentingnya
pencatatan perkawinan. Kekosongan hukum materiil Pengadilan Agama
disiasati oleh ulama dengan menjadikan kitab-kitab kuning sebagai hukum
materiilnya. Pada tahun 1953, Departemen Agama menetapkan 13 kitab fikih
yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama
(http://ikadabandung.wordpress.com).
Menjadikan kitab kuning sebagai hukum materiil Pengadilan Agama
bukanlah pekerjaan mudah. Salah satu karakter fikih adalah keragaman
pendapat sehingga melahirkan aliran-aliran. Oleh karena itu, kerumitan yang
dihadapi hakim adalah memilih pendapat-pendapat para fuqaha sehingga
memberikan peluang kepada hakim untuk memberikan putusan yang berbeda
terhadap kasus yang sama. Pengadilan yang melahirkan keragaman putusan
karena perbedaan hukum materiil dapat dikatakan sebagai pengadilan yang
keputusannya tidak memiliki kepastian hukum. Oleh karena itu, pembentukan
hukum materiil bagi Pengadilan Agama merupakan keniscayaan sejarah; ia
sangat dibutuhkan masyarakat Islam agar para hakim memiliki pegangan yang
xliv
seragam, meskipun kemungkinan perbedaan masih tetap ada karena perbedaan
cara tafsir terhadap Undang-undang.
Usaha pembentukan Undang-undang Perkawinan di Indonesia dimulai
sejak tahun 1950. Pada waktu itu, Menteri Agama mengeluarkan Surat
Keputusan tanggal 1 Oktober 1950 Nomor b/2/4299 tentang pembentukan
Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat
Islam yang diketuai oleh Mr. Mohammad Hassan yang memiliki dua tugas,
yaitu :
1. Melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawinan yang
telah ada.
2. Menyusun rancangan Undang-undang perkawinan yang sesuai dengan
dinamika dan perkembangan zaman.
Pada tanggal 1 Desember 1952 oleh Panitia tersebut disampaikan
Rancangan Undang-undang Perkawinan (Peraturan Umum) serta Daftar
Pertanyaan Umum mengenai Undang-undang tersebut kepada boleh dikatakan
semua organisasi-organisasi yang berpusat maupun lokal dengan permintaan,
supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soal-
soal tersebut terakhir pada tanggal 1 Februari 1953. Selain daripada berusaha
kearah kodifikasi dan unifikasi, Rancangan Undang-undang telah mencoba
untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan dasar-dasar
perkawinan (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 :
16).
Panitia tersebut dalam rapatnya bulan Mei 1953, memutuskan untuk (R.
Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 17) :
1. Menyusun Rancangan Undang-undang Pokok yang pendek saja dan
berlaku untuk umum tanpa menyinggung masalah agama.
2. Menyusun Rancangan Undang-undang Organik yang mengatur
perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam,
Katolik, dan Protestan.
xlv
3. Menyusun Rancangan Undang-undang untuk golongan yang tidak
termasuk dalam salah satu golongan agama itu (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, 1986 : 13 )
Kemudian pada bulan April 1954 panitia menyampaikan Rancangan
Undang-undang Perkawinan umat Islam kepada Menteri Agama Republik
Indonesia. Tahun 1957 Menteri Agama menyampaikan Rancangan Undang-
undang tersebut dalam sidang kabinet, akan tetapi sampai sekian lama tidak
ada penyelesaiannya. Akhirnya pada tahun 1958 beberapa anggota DPR
wanita di bawah pimpinan Ny. Sumari mengajukan usul inisiatif Rancangan
Undang-undang Perkawinan yang pada pokoknya berisikan peraturan
perkawinan umum untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa membedakan
agama dan suku bangsa (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono
Tjitrowinoto, 1986 : 17).
Adanya usul inisiatif Rancangan Undang-undang ini, Pemerintah
mengadakan reaksi dengan mengajukan Rancangan Undang-undang
Perkawinan Umat Islam di DPR, sedangkan Rancangan Undang-undang ini
pun tidak pernah dapat diselesaikan oleh DPR.
Di dalam hubungan ini, suatu lembaga semi pemerintah yang tidak kalah
pentingnya ialah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang dibentuk dengan
keputusan Presiden tanggal 6 Mei 1961, secara mendalam dan beralasan
mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan baru.
Pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
sebagai badan perencana telah mengeluarkan keputusan yang menyangkut
Hukum Keluarga.
Pada tahun 1963 diadakan Seminar Hukum Nasional di Jakarta yang
diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bersama-sama
dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia.
Pada tahun 1966, Menteri Kehakiman menugaskan Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional untuk menyusun RUU perkawinan yang bersifat nasional.
Pada tanggal 22 Mei 1967, pemerintah menyampaikan RUU perkawinan
khusus untuk umat Islam kepada DPR. Dan pada tanggal 7 September 1968,
xlvi
pemerintah mengajukan RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan
kepada DPR. Akan tetapi, dua RUU ini pun tidak lolos menjadi Undang-
undang.
Sementara itu santer terdengar suara yang mendesak pemerintah untuk
segera membentuk suatu Undang-undang Perkawinan. Ada beberapa
organisasi yang menyuarakan hal itu antara lain dari Ikatan Sarjana Wanita
Indonesia dan Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Islam Wanita
Indonesia. Dengan adanya hal ini, nyatalah adanya keinginan dan hasrat yang
besar dari masyarakat, khususnya kaum wanita untuk memiliki Undang-
undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara di seluruh wilayah
Indonesia.
Pada tanggal 31 Juli 1973 dengan surat Nomor 02/PU/VII/1973,
Presiden menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang perkawinan
kepada DPR dan menarik kembali dua Rancangan Undang-undang yang sudah
diajukan sebelumnya, maka (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono
Tjitrowinoto, 1986 : 19) :
1. Pada tanggal 13 Agustus 1973 dalam rapat pimpinan DPR RI telah
diputuskan untuk membahas Rancangan Undang-undang tentang
Perkawinan.
2. Pada tanggal 30 Agustus 1973, dalam sidang Pleno DPR RI, Menteri
Kehakiman atas nama Pemerintah menyampaikan keterangan pemerintah
mengenai Rancangan Undang-undang tersebut yang dilanjutkan dengan
pembahasan umum. Dalam pembahasan umum, Rancangan Undang-
undang mendapat kritik yang tajam, baik dari pihak politisi maupun dari
ulama pada umumnya yang berafiliasi dengan berbagai ormas Islam yang
ada.
Pasal-pasal yang diperdebatkan oleh para anggota DPR dan para
pemuka agama adalah pencatatan sebagai syarat sah perkawinan.
Pencatatan perkawinan telah diundangkan oleh pemerintah dengan
pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946. Akan tetapi, dalam
xlvii
Undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan mengenai syarat-syarat
pernikahan.
Secara implisit, dapat dipahami bahwa perkawinan tanpa dicatat oleh
PPN adalah sah. Akan tetapi, laki-laki yang melakukan perkawinan tanpa
dicatat oleh PPN akan dikenai sanksi berupa denda. Dalam Rancangan
Undang-undang Perkawinan dinyatakan secara eksplisit bahwa salah satu
syarat sah nikah adalah pencatatan oleh petugas pencatat nikah. Seperti
dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2. Namun Pasal 2 ayat 1 Rancangan Undang-
undang Perkawinan mendapat sorotan dari para pihak, antara lain dari
Partai Persatuan Pembangunan yang menyatakan bahwa pencatatan
sebagai syarat sah perkawinan dianggap mengabaikan syarat-syarat
perkawinan yang telah dijelaskan oleh ulama dalam berbagai kitab fikih.
Dengan kata lain, pemerintah dianggap telah menjadikan pencatatan
perkawinan sebagai syarat sah perkawinan yang pokok. Sedangkan syarat
sah yang ditentukan oleh ulama dalam kitab-kitab fikih dianggap sebagai
syarat pelengkap.
RUU perkawinan yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR dinilai
tidak sejalan dengan perkawinan menurut Alquran dan Sunah. Oleh karena
itu, ia mendapat tanggapan dan sorotan yang tajam dari berbagai kalangan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengirim surat nomor A-6/174/73
Tentang Rancangan Undang-undang Perkawinan tanggal 30 Juli 1973 (29
Jumadil Akhir 1393 H.) yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Rancangan Undang-undang
Perkawinan bertentangan secara diametral dengan ajaran-ajaran Islam.
Surat tersebut dilampiri dengan pasal-pasal RUU Perkawinan yang
dianggap oleh Muhammadiyah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tujuh
ketentuan RUU yang dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam adalah
(http://ikadabandung.wordpress.com) :
a) Pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan,
b) Tidak ada pembatasan jumlah isteri dalam poligami (poligini),
c) Batas usia perkawinan (21 tahun bagi pria dan 18 tahun bagi wanita),
xlviii
d) Tidak memasukkan susuan (radha’at) sebagai penghalang perkawinan,
e) Perbedaan agama tidak menjadi penghalang perkawinan,
f) Waktu tunggu bagi isteri yang dicerai suaminya, dan
g) Dua kali cerai menjadi penghalang perkawinan.
3. Pada tanggal 17 dan 18 September 1973, DPR RI memberikan pandangan
umumnya atas Rancangan Undang-undang tersebut.
4. Pada tanggal 27 September 1973, Menteri Agama atas nama pemerintah
memberikan jawaban atas pandangan umum para anggota DPR RI
tersebut.
5. Pada tanggal 8 Oktober 1973, Komisi III dan IX DPR RI mengadakan
rapat gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan
Rancangan Undang-undang.
6. Pada tanggal 9 Oktober 1973, pimpinan DPR RI mengadakaan lobbying
dengan pimpinan fraksi-fraksi.
7. Pada tanggal 10 Oktober 1973, Komisi III dan IX mengadakan rapat
gabungan juga membicarakan tentang prosedur teknis pembahasan
Rancangan Undang-undang.
8. Pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan kedua komisi tersebut di atas,
melakukan inventarisasi persoalan-persoalan dari rancangan Undang-
undang tersebut dengan koordinator wakil-wakil ketua Domo Pranoto dan
Sumiskun.
9. Pada tanggal 6 Desember 1973, setelah melalui proses pembicaraan
tingkat ke-1 dan 2 sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka
dibentuklah sebuah Panitia Kerja dari gabungan Komisi III dan IX, yang
terdiri atas 10 orang anggota tetap dan disamping itu ditunjuk sejumlah 15
orang anggota pengganti yang bertugas menggantikan anggota-anggota
tetap bilamana ada yang berhalangan hadir.
10. Pada tanggal 22 Desember 1973, DPR RI dalam rapat pleno terbuka dan
sebagai pembicaraan tingkat ke-IV telah menerima Rancangan Undang-
undang tersebut di atas untuk disahkan sebagai Undang-undang.
xlix
Dalam Laporan Panitia Kerja RUU Perkawinan pada tanggal 22
Desember 1973 disampaikan bahwa Panitia Kerja telah berhasil
menyepakati dua pasal, yaitu pasal 1 dan 2. Rumusan pasal 1 yang
disepakati oleh panitia adalah : “perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan rumusan pasal 2 yang disepakati
oleh Panitia Kerja adalah : “(1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukumnya masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Pembahasan Rancangan Undang-undang Perkawinan di DPR terus
berjalan sehingga menghasilkan Rancangan Undang-undang Perkawinan
tahap II, yaitu Rancangan Undang-undang Perkawinan hasil pembicaraan
di DPR. Di dalam Rancangan Undang-undang Perkawinan tahap II pun
masih terdapat pasal-pasal yang dalam pandangan ulama tidak sejalan
dengan ajaran Islam.
Rancangan Undang-undang Perkawinan yang diajukan oleh
Pemerintah RI kepada DPR pada tahun 1973, merupakan kelanjutan dari
peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku sebelumnya.
Peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku ketika RUU
Perkawinan diajukan adalah sebagai berikut
(http://ikadabandung.wordpress.com) :
a) Hukum agama Islam yang telah diterima (diresipir) dalam Hukum
Adat untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam.
b) Hukum Adat bagi orang-orang Indonesia asli lainnya.
c) Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (Staatsblaad 1933 Nomor
74) untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen.
d) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dengan sedikit perubahan)
untuk orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia
keturunan Cina.
l
e) Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk orang-orang Eropa dan
Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan
mereka.
f) Hukum adat (mereka) untuk orang-orang Timur Asing lainnya dan
Warga Negara Keturunan Timur Asing lainnya.
Secara simplistik, hukum perkawinan yang berlaku bagi masyarakat
Indonesia ketika itu ada tiga, yaitu :
a) Fikih (hukum) perkawinan yang terdapat dalam berbagai kitab fikih.
b) Kitab undang-undang Hukum Perdata.
c) Hukum adat.
Oleh karena itu, dalam pandangan umat Islam isi RUU Perkawinan banyak
menyimpang sehingga melahirkan perdebatan.
11. Pada tanggal 2 Januari 1974 dengan Lembaran Negara 1974 Nomor 1
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 akhirnya diundangkan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Setelah mengalami proses lebih kurang 15 bulan sejak diundangkannya
Undang-undang tentang perkawinan itu, telah dapat diundangkan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-
undang Perkawinan tersebut.
C. Perjanjian Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
1. Perjanjian Perkawinan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
a. Wewenang membuat Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian perkawinan dalam prakteknya memang kurang
diminati oleh calon suami dan calon isteri, karena perjanjian ini
dianggap terlalu matrealistis dan tidak sesuai dengan adat ketimuran
kita. Selain itu perjanjian perkawinan belum merupakan lembaga
hukum yang populer di Indonesia, namun demi untuk menampung
kebutuhan sebagian anggota masyarakat dan perkembangan hukum
li
dikemudian hari, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan memberikan ketentuan mengenai hal tersebut di dalamnya.
Mengenai hal pengaturan perjanjian perkawinan, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya di dalam Pasal
29 yang terdiri dari 4 ayat. Isi dari Pasal 29 ayat 1, yaitu :
“ Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut”.
Menurut analisa Penulis berdasar metode penafsiran gramatikal
di dalam isi Pasal 29 ayat 1 tersebut di atas tidak secara tegas
mengatakan bahwa perjanjian yang dimaksud itu adalah perjanjian
perkawinan. Di dalam pasal tersebut hanya disebutkan bahwa kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, tetapi karena Pasal
29 ditempatkan di dalam Bab V tentang perjanjian perkawinan, maka
disimpulkan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud dalam Pasal 29
ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan
adalah perjanjian perkawinan. Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal
ini tidak termasuk taklik-talak.
Selain itu analisa lain dari Penulis di dalam Pasal 29 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga
menyatakan bahwa “.... kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis....”, karena yang akan
melangsungkan perkawinan adalah calon suami-isteri, maka yang
dimaksud kedua belah pihak dalam ketentuan Pasal 29 ayat 1 tersebut
adalah kedua calon suami-isteri yang akan menikah tersebut.
b. Bentuk Perjanjian Perkawinan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mensyaratkan atau mengatur secara rinci bentuk hukum tertentu untuk
sahnya suatu perjanjian perkawinan seperti dalam B.W.. Satu-satunya
syarat yang disebutkan adalah bahwa perjanjian tersebut harus tertulis
lii
dan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Atas
dasar itu, para pihak dapat meletakkan perjanjian perkawinan mereka,
baik dalam akta di bawah tangan maupun dalam bentuk autentik.
Apabila suatu perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta di
bawah tangan, maka hal tersebut berarti bahwa para pihak dapat
membuatnya sendiri. Asalkan kemudian perjanjian tersebut disahkan
kepada Pegawai Pencatat Nikah (J. Satrio, 1991 : 223).
Apakah Pegawai Pencatat Nikah dapat menolak perjanjian
perkawinan yang diberikan kepadanya oleh calon suami-isteri?
Apabila hal itu dapat dilakukan, akan timbul pertanyaan yang kedua
mengenai dasar atau alasan apa yang digunakan sebagai pegangan
untuk bertindak demikian?
Penulis menganalisa dengan menggunakan metode penafsiran
teleologis atau sosiologis bahwa dalam ketentuan Pasal 29 ayat 2, yaitu
“perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan”. Mungkin kita berfikir akan
kemungkinan terjadi isi perjanjian yang bertentangan dengan
kesusilaan, Undang-undang atau ketertiban umum, karena semua
perjanjian termasuk pula perjanjian perkawinan akan batal demi
hukum kalau isinya mengandung ketentuan-ketentuan yang demikian.
Itupun secara berlebihan ditegaskan lagi dalam Pasal 31 ayat 2.
Mengenai hal ini perlu adanya penjelasan lebih lanjut, agar terdapat
kepastian hukum, terutama bagi mereka yang tunduk pada Hukum
Adat, karena Hukum Adat tidak mengenal lembaga perjanjian
perkawinan. Lain halnya bagi mereka yang tunduk pada B.W.,
ketentuan umum mengenai perjanjian perkawinan seperti yang ada
pada Pasal 139 dan selanjutnya dapat dipakai sebagai peraturan
pelaksanaan.
c. Pembuatan dan Perubahan Perjanjian Perkawinan.
Mengenai saat pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
liii
menetapkan saat tersebut dalam Pasal 29 ayat 1 dan ayat 4. Di dalam
Pasal 29 ayat 1 menyebutkan bahwa saat pembuatan perjanjian
perkawinan adalah pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan. Mengenai perubahan terhadap perjanjian perkawinan,
Pasal 29 ayat 4 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
mengatakan : “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut
tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga”.
Pasal 29 ayat 4 dapat disimpulkan, bahwa pada asasnya
perjanjian perkawinan tersebut bersifat tetap sepanjang perkawinan.
Atas asas tersebut dimungkinkan adanya penyimpangan, tetapi dengan
dibatasi dengan syarat-syarat :
1) Atas persetujuan dari kedua belah pihak.
Kata persetujuan menegaskan bahwa perubahan perjanjian
kawin tidak boleh terjadi karena paksaan. Harus ada keikhlasan
dari kedua belah pihak. Mengingat perubahan atas suatu perjanjian
perkawinan seperti untuk setiap perjanjian yang lain harus
dilakukan pula dengan membuat suatu perjanjian yang baru,
sedang salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah
adanya sepakat yang bebas.
Yang lebih penting adalah syarat “kedua belah pihak”.
Maksud dari kedua belah pihak disini adalah suami dan isteri.
Selain itu dalam perubahan perjanjian perkawinan, orang tua dan
bekas wali tidak perlu turut campur lagi, mengingat orang-orang
yang dalam status menikah termasuk juga yang pernah menikah
adalah orang-orang yang cakap untuk bertindak dalam hukum.
2) Tidak merugikan pihak ketiga
Mengapa disebutkan secara jelas mengenai pihak ketiga?
Karena memang pihak ketiga seperti kreditur khususnya adalah
orang yang berkepentingan dengan keadaan harta perkawinan suatu
liv
keluarga. Jaminan atas piutang-piutangnya sedikit banyak
bergantung dari keadaan dan bentuk harta perkawinan debiturnya.
Sehingga dalam hal ini pihak ketiga sangat berkepentingan.
Apabila pembentuk Undang-undang tidak mencantumkan
syarat yang kedua seperti tersebut di atas, dikhawatirkan
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan isteri,
yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggung-
jawab mereka atas hutang mereka terhadap pihak ketiga.
Apabila suami-isteri tersebut melakukan perubahan
perjanjian perkawinan yang merugikan pihak ketiga, maka
perubahan tersebut dapat dibatalkan kalau ada tuntutan dari pihak
ketiga tersebut dan hanya terhadap pihak ketiga yang
kepentingannya dirugikan saja. Sedangkan untuk selebihnya
perjanjian perkawinan yang baru tersebut tetap berlaku penuh.
Syarat kedua ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan.
Selanjutnya kita perhatikan ketentuan, bahwa perjanjian
perkawinan hanya boleh dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan pada Pasal 29 ayat 1. Apakah hal itu berarti bahwa
perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang perkawinan?
Telah dikatakan, selama perkawinan berlangsung, suami dan isteri
dapat merubah perjanjian perkawinan mereka asal dipenuhi syarat-
syarat tersebut di atas. Undang-undang tidak menetapkan seberapa
besar perubahan tersebut dapat diadakan, karena Undang-undang
sendiri tidak memberikan pembatasan, maka para pihak dapat
mengadakan perubahan yang seluas-luasnya, dari mulai
memisahkan sama sekali harta perkawinan mereka sampai adanya
percampuran harta secara bulat antara mereka, yang berarti tidak
adanya harta pribadi dalam perkawinan tersebut. Apabila suami
dan isteri dapat merubah bentuk harta perkawinan mereka
sedemikian luasnya, dengan hanya pembatasan atas persetujuan
lv
bersama dan tidak boleh merugikan pihak ketiga, maka apa
salahnya kalau suami isteri yang pada saat atau sebelum
perkawinan belum membuat perjanjian perkawinan sekarang
mereka membuatnya, asal atas persetujuan bersama dan tidak
merugikan pihak ketiga? Apabila dari Pasal 29 ayat 1 ditafsirkan,
bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang
perkawinan, maka larangan yang demikian adalah sungguh tidak
logis. Apa dasarnya? Lain halnya dengan sistem yang dianut dalam
B.W., yang dengan konsekuen berpegang pada prinsip, bahwa
perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan
berlangsung dan sepanjang perkawinan tanpa perkecualian tidak
dapat diubah. Hal demikian baru logis adanya ketentuan, bahwa
sesudah dilangsungkan perkawinan orang tidak boleh lagi
membuat perjanjian perkawinan (J. Satrio, 1991 : 225).
Lain halnya dengan KUHPerdata, karena KUHPerdata dalam
Pasal 149 dengan konsisten menyebutkan bahwa setelah perkawinan
berlangsung, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara
apapun.
d. Saat Berlakunya Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan. Seperti dalam Pasal 29 ayat 3 yang berbunyi:
“Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”.
Tidak adanya ketentuan lain mengenai saat berlakunya perjanjian
perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan, harus diartikan bahwa
Undang-undang tersebut tidak menghendaki dipilihnya saat lain
daripada yang telah ditetapkan oleh Undang-undang tersebut.
Perjanjian perkawinan ini berlaku baik bagi suami-isteri yang
bersangkutan maupun terhadap pihak ketiga (J. Satrio, 1991 : 229).
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mensyaratkan mengenai syarat pengumuman terlebih dahulu. Sehingga
di sini darimana pihak ketiga tahu bahwa debiturnya memakai
lvi
perjanjian perkawinan? Lain halnya dalam KUHPerdata, dalam Pasal
152 disebutkan bahwa “....tidak akan berlaku bagi pihak ketiga
sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar umum,
yang harus diselenggarakan di Kepaniteraan pada Pengadilan
Negeri....”. Sehingga pihak ketiga akan tahu bahwa debiturnya
menggunakan perjanjian perkawinan.
Diaturnya perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 29, maka sebenarnya
perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974. Namun perincian pengaturannya tidak lengkap
seperti dalam B.W., karena di dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur mengenai siapa saja yang
berwenang membuat perjanjian perkawinan, bentuk-bentuk perjanjian
perkawinan yang diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan,
pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan dan saat berlakunya
perjanjian perkawinan. Sehingga terkadang membuat keragu-raguan dan
kecemasan bagi para calon pembuat perjanjian perkawinan, apakah dengan
membuat perjanjian perkawinan merupakan pilihan yang tepat bagi
mereka, karena perjanjian perkawinan berdampak sangat luas terhadap
pengaturan harta perkawinan mereka dan bagi pihak ketiga apabila mereka
terlibat.
Berdasar Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang berisi :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor
158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan
tidak berlaku”.
lvii
Maka pengaturan di dalam B.W. dan peraturan-peraturan lainnya tidak
berlaku lagi atau tidak dipakai lagi sepanjang Undang-undang Perkawinan
ini sudah mengaturnya.
Namun terdapat beberapa hal yang tidak diatur secara mendetail di
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sehingga B.W. masih dapat digunakan sebagai pegangan untuk
pelaksanaannya.
2. Perjanjian Perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.)
a. Bentuk Perjanjian Perkawinan.
lviii
2) Pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan.
lix
(gemeenschap) yang artinya ialah : tiap-tiap kebersamaan, baik
kebersamaan harta kekayaan secara bulat maupun kebersamaan
harta kekayaan terbatas.
lx
memberikan izin untuk kawin. Tetapi, mereka dapat mempersulit
calon suami isteri itu dengan jalan menarik kembali izin kawinnya.
lxi
untuk minta cerai. Meskipun kedua hal tersebut tidak secara tegas
diatur dalam B.W., namun tidak diperkenankan dimuat dalam
perjanjian perkawinan.
lxii
Beberapa sarjana hukum berpendapat, bahwa dalam hal ini,
passiva harus dibagi menurut imbangan activa.
lxiii
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat menentukan lain
mengenai harta bersama selama perkawinan. Seperti terdapat dalam
Pasal 139 KUHPerdata.
Pertimbangannya adalah :
lxiv
2) Dalam perkawinan dengan harta terpisah :
a) Agar barang-barang tertentu atau semua barang-barang yang
dibawa suami atau isteri dalam perkawinan, tidak masuk dalam
persatuan harta perkawinan.
b) Agar harta pribadi tersebut terlepas dari beheer suami, dan
isteri mengurus sendiri harta tersebut (J. Satrio, 1991 : 148).
e. Tujuan Perjanjian Perkawinan.
6) Sebagai testamen dari ”pihak ketiga” kepada suami dan atau isteri
(Pasal 178 B.W.).
lxv
Baik testamen maupun schenking yang dimaksud oleh point 4)
hingga 6) mungkin saja terjadi, jika kebersamaan harta kekayaan
dibatasi atau ditiadakan.
a) Tinjauan umum.
(1) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan
rugi terjadi bila calon suami isteri menyatakan dengan tegas
lxvi
bahwa mereka menghendaki bentuk perjanjian perkawinan
itu dalam akte perjanjian perkawinan (Pasal 155 B.W.).
(2) Calon suami isteri meniadakan kebersamaan harta
kekayaan (Pasal 144 B.W.).
lxvii
kebersamaan keuntungan dan kerugian maka hal ini berarti
bahwa tidak akan ada kebersamaan seluruh harta perkawinan.
Pada pemutusan kebersamaan itu kemudian suami isteri akan
membagi untung rugi itu selama perkawinan.
lxviii
itu umumnya tercatat atas nama pemiliknya. Sehingga dalam
perkawinan dengan persatuan untung dan rugi dan juga pada
persatuan hasil (pendapatan) tidak selalu ada 3 kelompok harta
dalam keluarga tersebut, mungkin hanya ada 2 saja.
lxix
harta pribadi suami dan/atau isteri, dengan demikian dalam
keluarga tersebut ada kemungkinan terbentuknya dua atau tiga
kelompok harta, yaitu harta pribadi suami, harta pribadi isteri
dan harta persatuan untung dan rugi (J. Satrio, 1991 : 177).
d) Keuntungan.
e) Kerugian.
Menurut Pasal 157 B.W. yang dimaksud dengan kerugian
adalah tiap berkurangnya harta kekayaan disebabkan karena
pengeluaran yang melampaui pendapatan.
lxx
Rumusan tersebut menurut Pitlo hanya cocok untuk
”kerugian” dalam arti saldo, yaitu hutang-hutang yang pada
saat berakhirnya persatuan (terbatas) masih belum dilunasi.
Asas pokoknya adalah semua hutang yang dibuat untuk
kepentingan suami isteri bersama-sama masuk dalam
persatuan.
Berpegang pada asas tersebut, maka yang merupakan
passiva harta pribadi suami atau isteri adalah :
(1) Hutang-hutang yang sudah dipunyai pada waktu dan
karenanya dibawa ke dalam perkawinan oleh suami isteri.
(2) Hutang-hutang pribadi.
(3) Tagihan isteri atas kelalaian-kelalaian suami dalam
melaksanakan beheer atas harta pribadi isteri (J. Satrio,
1991 : 182).
lxxi
Hutang-hutang si isteri sendiri, bukan termasuk dalam hutang
kebersamaan sehingga dengan demikian harus dibayar oleh isteri.
lxxii
harta secara bulat atau dengan harta terpisah, pasti ada akibat yang
terjadi.
lxxiii
Sesuai dengan tujuan diadakannya perkawinan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka segala hal yang dapat menjadi pemicu berakhirnya
perkawinan sebaiknya dihindari. Di sini Penulis akan memberikan
gambaran mengenai sebab putusnya suatu perkawinan.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 38, perkawinan dapat putus karena 3 hal, yaitu :
a. Kematian
b. Perceraian, dan
c. Atas keputusan Pengadilan
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 199 B.W., suatu perkawinan dapat
putus oleh sebab :
a. Kematian.
b. Ketidakhadiran di tempat oleh salah satu pihak selama 10 tahun dan
diikuti dengan perkawinan baru oleh suami atau isteri sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Pasal 199 jo pasal 493-495 B.W..
c. Keputusan hakim sesudah pisah meja dan tempat tidur yang
didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil (Pasal 199 jo Pasal 200-206b
B.W.).
d. Perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga Bab
10 (Pasal 207-232a B.W.).
Penulis akan menguraikan sedikit penjelasan dari salah satu
penyebab putusnya perkawinan dari bermacam-macam penyebab putusnya
perkawinan tersebut di atas, yaitu perceraian.
2. Tinjauan Umum tentang Perceraian.
a. Pengertian Perceraian.
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu (Subekti,
1995 : 42).
Pendapat lain mengenai perceraian adalah salah satu cara
pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui
lxxiv
keputusan hakim yang didaftarkannya pada Catatan Sipil (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 135).
Sementara itu perceraian dalam istilah Figh disebut ”talak” atau
”furqah”. Adapun arti daripada talak ialah membuka ikatan
membatalkan perjanjian. Sedangkan ”Furqah” artinya bercerai, yaitu
lawan dari berkumpul (Soemiyati, 1986 : 103).
Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu
istilah, yang berarti : perceraian antara suami isteri. Perkataan talak
dalam istilah Figh mempunyai dua arti, yaitu arti yang umum dan arti
yang khusus.
Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk
perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh
Hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau
perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri
(Soemiyati, 1986 : 103).
Talak dalam artinya yang khusus ialah perceraian yang
dijatuhkan oleh pihak suami (Soemiyati, 1986 : 104).
b. Alasan-alasan Perceraian.
Dalam Pasal 209 B.W., disebutkan beberapa alasan dari
perceraian, yaitu :
1) Zina.
2) Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk.
3) Dikenakan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan.
4) Pencideraan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah
seorang dari suami isteri itu terhadap yang lainnya sedemikian
rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau
mendatangkan luka-luka yang berbahaya.
Sedangkan alasan perceraian dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
lxxv
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19,
adalah :
1) Salah satu pihak zina, pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sulit untuk disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
c. Gugurnya Hak untuk Menuntut Perceraian.
lxxvi
4) Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menuntut gugat cerai
telah diajukan sebagai alasan untuk gugat pisah meja dan tempat
tidur (Pasal 235 B.W.),
5) Salah satu pihak meninggal dunia sebelum putusan cerai
dijatuhkan.
d. Akibat-akibat Perceraian.
Akibat perceraian dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah :
1) Bapak dan ibu tetap berkewajiban untuk mendidik dan memelihara
anak dan apabila ada perselisihan mengenai penguasaan maka
Pengadilan yang memberi keputusan.
2) Bapak bertanggung-jawab dalam pembiayaan atas pemeliharaan
dan mendidik anak. Apabila bapak dalam kenyataannya tidak
mampu melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban kepada bekas isteri.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dicantumkan suatu asas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, dengan pengertian
bahwa untuk itu perlu dipersukar terjadinya perceraian.
3. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan Hukum yang
Digunakan bila Terjadi Perceraian.
Mengenai banyaknya pengaturan akan hukum perkawinan ini,
sebenarnya bangsa Indonesia telah lama mempunyai cita-cita untuk
memiliki satu peraturan tentang perkawinan yang bersifat nasional, dalam
arti berlaku untuk seluruh golongan masyarakat bangsa Indonesia dan
berlaku untuk seluruh wilayah negara Indonesia. Cita-cita tersebut disebut
dengan cita-cita akan unifikasi peraturan perkawinan dan cita-cita tersebut
telah diwujudkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
lxxvii
Perkawinan (beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya), yang telah
mendapat pengesahan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974,
dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974, karena itu orang
seringkali menyebutnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau
Undang-undang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
terdiri atas 14 Bab yang meliputi 67 pasal ini, mengatur hal-hal sebagai
berikut (K. Wantjik Saleh, 1976 : 4) :
a. Dasar perkawinan (Bab I : Pasal 1 sampai dengan pasal 5).
b. Syarat-syarat perkawinan (Bab II : Pasal 6 sampai dengan pasal 12).
c. Pencegahan perkawinan (Bab III : Pasal 13 sampai dengan pasal 21).
d. Batalnya perkawinan (Bab IV : Pasal 22 sampai dengan pasal 28).
e. Perjanjian perkawinan (Bab V : Pasal 29).
f. Hak dan kewajiban suami isteri (Bab VI : Pasal 30 sampai dengan
pasal 34).
g. Harta benda dalam perkawinan (Bab VII : Pasal 35 sampai dengan
pasal 37).
h. Putusnya perkawinan serta akibatnya (Bab VIII : Pasal 38 sampai
dengan pasal 41).
i. Kedudukan anak (Bab IX : Pasal 42 sampai dengan pasal 44).
j. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (Bab X : Pasal 45
sampai dengan pasal 54).
k. Perwalian (Bab XI : Pasal 50 sampai dengan pasal 54).
l. Pembuktian asal usul anak (Bab XII : Bagian Pertama ; Pasal 55).
m. Perkawinan di luar Indonesia (Bab XII : Bagian Kedua ; Pasal 56).
n. Perkawinan campuran (Bab XII : Bagian Ketiga ; Pasal 57 sampai
dengan pasal 62).
o. Pengadilan (Bab XII : Bagian Keempat ; Pasal 63).
p. Ketentuan peralihan (Bab XIII : Pasal 64 sampai dengan pasal 65).
q. Ketentuan penutup (Bab XIV : Pasal 66 sampai dengan pasal 67).
lxxviii
Kita dapat katakan, bahwa Undang-undang Perkawinan (Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974) berisi ketentuan-ketentuan tentang hukum
keluarga. Hubungan yang muncul dari hubungan kekeluargaan meliputi
antara lain (J. Satrio, 1991 : 4) :
a. Perkawinan, dalam mana termasuk hubungan hukum kekayaan antara
suami isteri
b. Hubungan orang tua dan anak
c. Hubungan wali dan anak yang dibawah perwaliannya
d. Hubungan curator dan curandus
Sehingga hukum keluarga meliputi perkawinan dengan semua segi-
seginya, akibat yang timbul dari adanya perkawinan (peristiwa-peristiwa
hukum yang hanya mungkin timbul karena adanya perkawinan) dan
bahkan seringkali mengatur hubungan antara orang dengan anak luar
kawinnya, yang tidak dapat dikatakan merupakan akibat suatu perkawinan,
karena memang antara si bapak dengan si ibu yang melahirkan anak
tersebut tidak ada ikatan perkawinan. Walaupun demikian kiranya tidak
ada tempat yang lebih tepat untuk mengatur hal tersebut selain dalam
hukum keluarga dan sampai kini tidak ada yang menyatakan keberatannya
(J. Satrio, 1991 : 4).
Perkawinan mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri
pribadi mereka-mereka yang melangsungkan perkawinan. Hak dan
kewajiban yang mengikat pribadi suami-isteri tetapi lebih dari itu
mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami isteri tersebut.
Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan hukum kekayaan terjalin
sedemikian eratnya sehingga keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum
kekayaannya dan hukum harta perkawinan tidak lain merupakan hukum
kekayaan keluarga (J. Satrio, 1991 : 4).
Mengenai cara pengaturan dan asas-asas hukum perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka akan
nampak pada kita bahwa Undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal
lxxix
yang pokok saja, mengenai asas-asas saja, sedang penjabarannya lebih
lanjut didasarkan atas ketentuan lain atau akan dituangkan dalam peraturan
pelaksanaannya yang akan dibuat kemudian (tersendiri). Kesimpulan yang
demikian didasarkan atas adanya kata-kata “....menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya....”, “....menurut perundang-undangan
yang berlaku....”, “....diatur menurut hukumnya masing-masing” atau
“....diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri”. Selain
mempunyai cara-cara pengaturan seperti tersebut di atas, Undang-undang
Perkawinan ini juga didasarkan atas asas-asas tertentu yang perlu
mendapat perhatian kita untuk dapat memahaminya lebih lanjut.
Berdasar ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang berbunyi :
lxxx
diundangkan, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tertanggal 1 April 1975 dengan
judul Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang memuat Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974. Tetapi sayang sekali, karena di dalamnya hanya memuat
peraturan pelaksanaan sebagian dari Undang-undang Perkawinan saja.
Sehingga ada bagian-bagian yang belum siap peraturan pelaksanaannya.
Jika ada pengadilan-pengadilan yang memperoleh perkara mengenai
permasalahan yang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka timbul
keragu-raguan pada Pengadilan-pengadilan yang sesudah tanggal tersebut
menerima perkara. Karena akan menggunakan ketentuan hukum yang
mana sebagai patokan atau pegangan.
Adanya permasalahan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Nomor M.A./Pemb./0807/75 dengan judul Petunjuk-petunjuk M.A.
mengenai Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dan P.P. Nomor 9 tahun 1975 untuk memberikan pedoman kepada Badan
Peradilan yang ada di bawahnya untuk mengatasi keragu-raguan dalam
menangani kasus-kasus yang belum ada peraturan pelaksanaannya.
Walaupun Surat M.A. bukan merupakan ketentuan umum, tetapi
mengingat peraturan tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan
Tinggi, masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan
keputusannya dengan surat tersebut. Mengingat M.A. adalah sebagai
penjaga gawang yang terakhir.
Mengenai pengertian “belum dapat diberlakukan secara efektif”
adalah berarti belum bisa diterapkan dalam kasus yang muncul dalam
praktek karena belum ada peraturan pelaksanaannya. M.A. sendiri telah
mengemukakan pendiriannya seperti itu, seperti yang nampak pada
keputusannya tanggal 15 Februari 1977 Nomor 726K/Sip/1976, dalam
mana dipertimbangkan, bahwa “sekalipun Undang-undang Nomor 1
lxxxi
Tahun 1974 tentang Perkawinan telah berlaku, tetapi untuk
pelaksanaannya masih memerlukan peraturan pelaksanaannya dan karena
hingga kini peraturan pelaksanaannya yang mengatur sebagai pengganti
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam B.W. belum ada, maka bagi
penggugat dan tergugat yang adalah WNI keturunan Cina masih berlaku
ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan yang tercantum dalam
KUHPerdata (B.W.).
Ada berbagai pemikiran, apakah surat M.A. tersebut benar harus
ditafsirkan demikian yang dengan kata lain berarti Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk sementara sepanjang mengenai
bagian yang belum ada peratuan pelaksanaannya paling tidak untuk
mereka-mereka yang tunduk pada B.W. boleh kita abaikan atau dengan
perkataan lain kita anggap seakan-akan tidak ada. Apakah penafsiran
seperti itu sudah betul atau belum? Penulis mencoba menghubungkan
kata-kata “….belum dapat diperlakukan secara efektif….” dengan anak
kalimat selanjutnya “....dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih
diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama”.
Analisis Penulis dari kalimat ini adalah bahwa penyebab Undang-undang
perkawinan belum dapat dilaksanakan secara efektif adalah karena belum
adanya peraturan pelaksanaan. Namun peraturan pokoknya sudah ada,
hanya peraturan pelaksanaannya saja yang belum. Kemudian kata-kata
“….dengan sendirinya....”, bisa diartikan peraturan pelaksanaannya masih
menggunakan ketentuan lama. Sehingga pokoknya atau asasnya kita pakai
ketentuan Undang-undang Perkawinan sedangkan pelaksanaannya masih
menggunakan ketentuan lama.
Akan tetapi bahwa seluruh ketentuan-ketentuan hukum tersusun di
dalam suatu sistem, di dalam mana tidak boleh ada pertentangan antara
ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain. Konsekuensinya adalah
bahwa kalau kita mau menggunakan ketentuan lama sebagai peraturan
pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, maka keduanya harus
didasarkan atas asas-asas yang sama.
lxxxii
Mengenai ketentuan perjanjian perkawinan, dimana isi perjanjian
perkawinan berdampak sangat luas terhadap harta perkawinan, maka kita
harus berhati-hati mengenai pengaturannya. Apabila kita akan menerapkan
ketentuan hukum dalam Undang-undang Perkawinan sebagai pokok
terhadap mereka yang tunduk pada B.W. dan menggunakan ketentuan B.W.
sebagai peraturan pelaksanaannya, kita harus mengetahui terlebih dahulu
apakah antara keduanya tidak ada perbedaan dalam asasnya. Akan tetapi,
antara B.W. dan Undang-undang Perkawinan terdapat perbedaan asas yang
cukup besar. Sehingga tidak begitu saja ketentuan B.W. dipakai terutama
bagi orang-orang yang tunduk pada B.W.
Sehingga kata-kata “….masih diperlakukan ketentuan-ketentuan
hukum dan perundang-undangan yang lama” berarti benar-benar belum
dapat dilaksanakan dan bagi mereka masih berlaku ketentuan lama atau
B.W. dengan konsekuensinya untuk sementara ketentuan dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagi mereka boleh kita
abaikan.
Kita akan meninjau Undang-undang Pekawinan dengan Hukum
Adat. Permasalahan disini tetap sama, yaitu peraturan pokoknya sudah ada
dan peraturan pelaksanaannya belum ada. Tetapi permasalahan akan lain
kalau peraturan pelaksanaan yang akan dipinjam adalah dari Hukum Adat,
karena menurut pendapat para pakar hukum perdata, hukum harta
perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mendasarkan pada asas
Hukum Adat. Sehingga mengenai pengaturan perjanjian perkawinan juga
didasarkan pada Hukum Adat, karena isi perjanjian perkawinan adalah
mengenai harta dalam perkawinan.
Hal ini tidak berarti yang berlaku adalah Hukum Adat. Tetapi hukum
harta perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mengambil prinsip
yang sama dengan Hukum Adat, karena asasnya sama, maka kita tidak
heran kalau mereka berpendapat bahwa hukum harta perkawinan menurut
Undang-undang Perkawinan sudah dapat dilaksanakan tanpa menunggu
peraturan pelaksanaannya.
lxxxiii
Mahkamah Agung sendiri dalam salah satu keputusannya
mempertimbangkan, bahwa “.... terutama setelah Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 berlaku sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga....”. Di sini
dapat disimpulkan bahwa M.A. sendiri pernah berpendapat bahwa
Undang-undang Perkawinan sudah berlaku tanpa menunggu peraturan
pelaksanaannya lebih lanjut.
Tinjauan lain adalah terhadap Keputusan Pengadilan sesudah tahun
1975 yang mengadili perkara mengenai harta perkawinan. Bahwa perkara
yang mana pihaknya tunduk kepada Hukum Adat, banyak keputusan yang
mendasarkan pada Hukum Adat. Hal ini nampak pada masih
digunakannya istilah harta gono-gini, harta suarang atau serikat dan harta
asal. Memang antara hukum harta perkawinan menurut Hukum Adat dan
menurut Undang-undang Perkawinan ada persamaan asas yang cukup
besar. Tetapi bukan berarti bahwa hukum harta perkawinan menurut
Undang-undang Perkawinan adalah Hukum Adat, yang benar adalah
mendasarkan pada asas Hukum Adat. Apalagi berdasarkan Pasal 66
Undang-undang Perkawinan semua ketentuan hukum lama mengenai hal-
hal yang sudah ada pengaturannya di dalam Undang-undang Perkawinan
tidak berlaku lagi, tentunya termasuk juga istilah-istilah Hukum Adat,
yang sudah ada istilahnya tersendiri dalam Undang-undang Perkawinan,
dengan cara berfikir seperti itu, maka Hukum Adat selanjutnya hanya
dipakai sebagai peraturan pelaksanaannya saja dan ketentuan Undang-
undang Perkawinan tetap sebagai pokok.
Kenyataan bahwa Pengadilan tanpa penjelasan apa-apa masih
menggunakan istilah-istilah adat, memberikan petunjuk kepada kita bahwa
pengadilan masih berpendapat bahwa bagi mereka yang tunduk pada
Hukum Adat masih berlaku Hukum Adat. Namun bagi mereka yang
tunduk pada B.W., Undang-undang Perkawinan belum dapat dilaksanakan.
Jadi Surat M.A. ditafsirkan khususnya untuk hukum harta perkawinan
masih berlaku ketentuan-ketentuan lama.
lxxxiv
Pendapat dan pikiran seperti tersebut berlangsung bertahun-tahun,
sampai M.A. memberikan suatu keputusan yang mengejutkan, yaitu
Keputusan Nomor 2690K/Pdt/1985 yang menetapkan, bahwa untuk
penjualan harta besama harus ada persetujuan dari suami atau isterinya,
dan persetujuan di sini diartikan sebagai persetujuan secara tegas.
Sekalipun keputusan tersebut bukan merupakan ketentuan umum dan
belum tentu M.A. dalam kasus-kasus berikutnya yang sejenis akan
memberikan keputusan yang sama. Namun mengapa keputusan tersebut
mengejutkan? Sebelum itu M.A. dalam Keputusannya Nomor
263K/Sip/1976 tertanggal 13 November 1978 sudah mengatakan bahwa
penjualan harta bersama harus dengan persetujuan isteri atau paling tidak
istri ikut hadir pada waktu jual beli diadakan. Mengapa pada waktu itu
tidak ada reaksi apa-apa, seakan-akan bukan kejutan? Karena dalam
keputusan tersebut para pihaknya adalah orang-orang yang tunduk pada
Hukum Adat dan antara Hukum Adat dan Undang-undang Perkawinan ada
persamaan dalam asasnya. Orang tidak merasakan perubahan dalam
pelaksanaan hukum harta perkawinan dalam keputusan tersebut. Tetapi
masalahnya menjadi lain kalau para pihaknya dalam peristiwa tersebut
adalah orang-orang yang tunduk pada B.W.. Keputusan tersebut diatas
pengaruhnya akan besar sekali terhadap mereka, karena mereka dalam
tindakan hukumnya selama ini mendasarkan kepada ketentuan yang
selama ini mereka anggap masih tetap berlaku yaitu ketentuan B.W.
khususnya Pasal 124. Atas dasar apa yang dikemukakan di atas, maka
Keputusan M.A. tersebut yang mengatakan bahwa “Yurisprudensi M.A.
Nomor 681K/Sip/1975 dan berdasarkan Pasal 36 ayat 1 Undang-undang
Perkawinan sudah menentukan bahwa untuk penjualan harta bersama
harus ada persetujuan isteri atau suami”, bila dibenarkan bagi mereka-
mereka yang tunduk pada Hukum Adat, tetapi adalah tidak tepat bagi
mereka yang tunduk pada B.W.
Mengingat perjanjian perkawinan berisi mengenai harta dalam
perkawinan, dan berdasar Surat Edaran M.A. mengenai Petunjuk-petunjuk
lxxxv
Mahkamah Agung mengenai Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 Tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam point 4 yaitu,
“Harta benda dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak serta perwalian, ternyata tidak diatur dalam P.P.
tersebut karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan
sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan
hukum dan perundang-undangan lama”. Sekalipun Surat Mahkamah
Agung bukan merupakan ketentuan umum, tetapi mengingat peraturan
tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan tinggi, yang tidak
lain adalah badan yang akan menampung masalah-masalah yang tidak
dapat diselesaikan secara damai antara pihak, dengan Mahkamah Agung
sebagai penjaga gawang yang terakhir, maka dapat diharapkan bahwa
anggota masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan
keputusannya dengan Surat tersebut.
Perbedaan pendapat dalam menemukan kepastian hukum itu adalah
hal yang biasa, namun di sini bahwa persetujuan-persetujuan antara pihak-
pihak yang berkepentingan, yang kemudian menjadi “perjanjian” disebut
juga sebagai sumber hukum formil. Activa membuat perjanjian oleh pihak-
pihak itu dinamakan : perbuatan hukum. Selanjutnya hasil dari activa itu
ialah terciptanya ketentuan-ketentuan yang merupakan isi dari perjanjian
tersebut, dan merupakan ketentuan yang mengikat para pihak yang
membuatnya secara syah. Syahnya suatu perjanjian yang dibuat oeh para
pihak yang berkepentingan, memang harus dipenuhi beberapa persyaratan
yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam peraturan hukum atau
Undang-undang (J.D. Sihombing Purwoatmodjo, C. Gunarti
Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 131).
Di Indonesia, berlaku ketentuan dari Pasal 1320 B.W., yaitu bahwa
untuk syahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu :
a. Sepakat (persesuaian kehendak) mereka yang mengikatkan diri.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian.
c. Mengenai hal tertentu.
lxxxvi
d. Oleh suatu sebab yang halal.
Dalam sistem Buku III B.W., bahwa Buku III B.W. terdiri atas suatu
bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-
peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang
bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Bagian khususnya memuat peraturan-peraturan mengenai
perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan yang
sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa-menyewa,
perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian (schenking) dan lain
sebagainya (Subekti, 1995 : 127).
Buku III B.W. ini menganut asas kebebasan dalam membuat
perjanjian yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 B.W., yang berisi :
lxxxvii
memaksa dan bersifat melengkapi. Sering disebutkan sebagai hukum yang
mengatur, tetapi hal ini sebenarnya tidak tepat, karena setiap hukum
adalah bersifat mengatur (J.D. Sihombing Purwoatmodjo, C. Gunarti
Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 138).
Sehingga disini Penulis dapat menyimpulkan berdasar metode
penafsiran sistematis bahwa karena di dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai
perjanjian perkawinan, maka berdasar Pasal 66 Undang-undang tersebut
bahwa ketentuan lama dapat dipakai sebagai peraturan pelaksanaan bisa
digunakan. Sebatas Undang-undang Perkawinan belum mengatur saja.
Namun di dalam Buku III B.W. pasal 1338 menyatakan bahwa persetujuan
yang dibuat sesuai dengan Undang-undang dapat berlaku sebagai Undang-
undang bagi yang membuatnya, karena perjanjian antara pihak-pihak juga
merupakan sumber hukum formil. Sehingga di dalam perjanjian
perkawinan, ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan dalam
Hakim memutus persoalan apabila kedua belah pihak dalam hal ini suami-
isteri bercerai adalah isi perjanjian perkawinan tersebut.
Mengenai tujuan awal dibuatnya perjanjian perkawinan, antara lain
adalah :
lxxxviii
(aanbrengst) atau terhadap benda-benda yang diperolehnya sepanjang
perkawinan yang beratasnamakan isteri (Pasal 140 ayat 3 B.W.).
f. Sebagai testamen dari pihak ketiga kepada suami dan atau isteri
(Pasal 178 B.W.).
lxxxix
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Penulis memberikan beberapa kesimpulan dari skripsi ini, antara lain :
1. Bahwa perjanjian perkawinan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan diperkenankan. Pengaturan mengenai perjanjian
perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 29. Namun mengenai
pengaturannya tidak selengkap seperti di dalam B.W.. Pasal 29 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur
mengenai saat berlakunya perjanjian perkawinan, siapa yang berwenang
dalam pembuatan perjanjian perkawinan, bentuk perjanjian perkawinan
dan mengenai pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan. Berdasar
ketentuan dalam Pasal 66, maka pengaturan dalam B.W. masih dapat
dipakai lagi. Sejauh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak mengaturnya.
2. Ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan apabila suami isteri
bercerai dimana perkawinan mereka menggunakan perjanjian perkawinan
adalah isi dari perjanjian perkawinan itu sendiri. Sesuai dengan Pasal 1338
KUHPerdata, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat
secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sehingga isi dari perjanjian perkawinan dapat menjadi
Undang-undang bagi pihak yang membuatnya, pihak yang dimaksud di
sini adalah suami isteri. Apabila kedua belah pihak tidak mengatur
ketentuannya, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam KUHPerdata.
Dan karena perjanjian perkawinan dipakai oleh Hakim sebagai pegangan
dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan, diharapkan
sesuai dengan tujuan dipakainya perjanjian perkawinan, maka aset dan
kepentingan suami isteri tersebut dapat terlindungi.
xc
B. Saran.
Penulis memberikan saran, yaitu : karena Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan hasil dari keinginan dan cita-
cita masyarakat Indonesia untuk mempunyai Undang-undang Perkawinan
secara nasional dan berlaku bagi seluruh wilayah negara Indonesia,
seharusnya mengenai pengaturannya bisa lebih diperinci seperti pengaturan
yang terdapat di dalam B.W.. Sehingga kepastian dalam pemakaian ketentuan
hukum bisa dipegang dan tujuan utama pembuatan perjanjian perkawinan
untuk melindungi kepentingan dan aset para pihak dapat tercapai.
xci
DAFTAR PUSTAKA
A. Ridwan Halim. 1986. Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab. Jakarta : Ghalia
Indonesia
Akar-akar RUU Perkawinan Tahun 1973 di Indonesia.
http://ikadabandung.wordpress.com. (23 Februari 2008 pukul 15.13).
Ali Afandi. 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta :
PT Rineka Cipta.
Citra Umbara. 2007. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung.
Dardiri Hasyim H.A.. 2004. Amandemen KUH Perdata Dalam Kerangka Sistem
Hukum Nasional. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
I.S. Adiwimarta. 1992. H.F.A. Vollmar Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I.
Jakarta : CV Rajawali.
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Komar Andasasmita. 1983. Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia.
Bandung : Alumni.
Lexy J. Moleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Salim H.S. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (B.W.). Jakarta : Sinar
Grafika.
Satrio, J. 1991. Hukum Harta Perkawinan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Sihombing Purwoatmodjo J.D, Gunarti Purwoatmodjo, Rachmadi. 1999.
Pengantar Ilmu Hukum. Surakarta : Departemen Pendidikan Dan
kebudayaan Republik Indonesia Universitas Sebelas Maret.
Simorangkir J.C.T, Rudy T. Erwin, Prasetyo J.T.. 2002. Kamus Hukum. Jakarta :
Sinar Grafika.
Soedharyo Soimin. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Sinar
Grafika.
xcii
Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan). Yogyakarta :
Liberty.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
--------------------.2003. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Soetojo Prawirohamidjojo, R., Asis Safioedin. 1982. Hukum Orang Dan
Keluarga. Bandung : Alumni.
Soetojo Prawirohamidjojo R, Marthalena Pohan. 2000. Hukum Orang Dan
Keluarga (Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University
Press.
Soetojo Prawirohamidjojo, R., Soebijono Tjitrowinoto. 1986. Pluralisme Dalam
Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia. Surabaya : Airlangga
University Press.
Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT. Intermasa
Sudikno Mertokusumo, Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra
Aditya Bakti
Surat Edaran Mahkamah Agung Mengenai Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung
Mengenai Pelaksanaan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. http://www.gtzggpas.or.id. (25 Februari
2008 pukul 10.20).
Wantjik Saleh, K. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia
Wirjono Prodjodikoro, R. 1981. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta :
Sumur Bandung.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung :
Alumni.
xciii