Penguasaan teknologi produksi katalis memiliki nilai sangat strategis bagi
ekonomi suatu negara. Pengembangan katalis industrial membutuhkan tim peneliti yang kuat. Oleh karena itu pengembangan katalis di Indonesia saat ini, sebaiknya dilakukan bersama oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi dan industri. Penelitan dasar hingga menghasilkan formula katalis yang baik dilakukan dilembaga penelitian dan/atau perguruan tinggi, sedangkan pengujian kinerja katalis menggunakan reaktor skala pilot dan skala komersial, dilakukan di industri. Selain itu industri juga dapat membantu menyediakan dana dan sarana pengujian, terutama pengujian dalam reaktor komersial. Namun, peluang untuk menemukan industri yang berkenan menjadi pasangan kerja sama bukan merupakan hal yang mudah di Indonesia. Sejak 1996 Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis ITB (saat itu Laboratorium Konversi Termokimia) telah menerapkan pola kerjasama seperti digambarkan pada Gambar 7. Bersama mitra industri, kami menentukan sasaran penelitian. Penelitian dasar hingga formulasi katalis dilaksanakan dilab Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis (Lab TRK), sedangkan pengujian kinerja katalis dalam skala pilot dan unit demonstrasi dilaksanakan diindustri mitra. Penelitian merupakan sarana yang baik untuk mendidik para mahasiswa sebagai calon peneliti, sehingga dalam pengembangan katalis dan teknologi proses, mahasiswa S1, S2 dan S3 selalu dilibatkan. Adapun katalis yang ditemukan oleh oleh prof. Subagjo bersama para peneliti lain adalah Pengembangan Katalis Perengkahan Stearin, Pengembangan Unit Pembangkit Hipokhlorit, Pengembangan Adsorben H2S berbasis Besi Oksida, Pengembangan Katalis Hydrotreating Nafta, Pengembangan Katalis Hydrotreating Diesel, Pengembangan Katalis Hidrodeoksigenasi Minyak Nabati, Pengembangan Katalis Hidrogenasi Ester-lemak menjadi Alkohol-lemak, Pengembangan Proses dan Katalis Fischer Tropsch dan lain-lain. Semua katalis tersebut dinamakan atau dijuluki dengan sebuatan formulasi katalis merah putih. Proses uji katalis merah putih ini tidak digunkan langsung secara komersil melainkan dengan beberapa tahap yakni tahap pertama di lakukan dalam skala lab dengan volume katalis antara 10-60 gram, kedua skala pilot dengan volume katalis 200-1000 gram dan yang ketiga adalah skala industri dengan volume katalis ratusan ton.
Katalis adalah jantung bagi industri kimia. Di Indonesia, rintisan
pengembangannya dilakukan ITB dan Pertamina untuk pengolahan minyak dan gas, antara lain minyak diesel hijau. Katalis dibuat dari senyawa zat mineral yang dicetak dalam beragam bentuk dan warna berupa butiran yang sangat keras menyerupai beras, pelet, atau bulatan seperti mutiara. Fungsinya untuk mengarahkan hingga mempercepat reaksi bahan baku olahan di industri hingga mencapai keseimbangan menjadi senyawa yang stabil. Dengan katalis, reaksi bahan proses dapat lebih efisien dari segi waktu, bahan baku, dan energi, serta ramah lingkungan. Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Subagjo mengungkapkan perjalanan panjang para peneliti di ITB dalam menghasilkan katalis di Indonesia. Kemampuan katalis yang erat kaitannya dengan pemenuhan tuntutan efisiensi waktu, bahan baku, dan energi, serta pelestarian lingkungan menjadi parameter kesuksesan untuk membuat katalis dengan sifat dan kinerja yang baik. Tahun 1983, Subagjo kala itu, bersama Dr. Irwan Noezar, Prof. Sudarno dan Prof. Soehadi Reksowardojo, berhasil mengembangkan Unit Pembangkit Hipoklorit, yaitu sebuah alat untuk mengkonversi larutan air garam dapur menjadi desinfektan air minum. “Unit tersebut sempat dibeli oleh Kementerian Kehutanan untuk desinfeksi air minum di daerah terpencil, namun sayangnya setelah Menteri Kehutanan RI diganti, pembelian terhenti. Beberapa perusahaan air minum lebih memilih menggunakan kaporit impor daripada harus membangkitkan sendiri hipokhlorit dari larutan garam dapur, “ ujar Prof. Subagjo. Tahun 1982, Prof. Subagjo bersama Prof. Sudarno, melakukan pengembangan katalis untuk perengkahan stearin yang merupakan sisa pabrik minyak goreng yang belum dimanfaatkan dengan baik. Menggunakan katalis zeolit, bahan sisa tersebut dapat dikonversi menjadi BBM terutama bensin. Lagi-lagi para peneliti ITB harus menerima kegagalan, proposal untuk pembuatan katalis tersebut ditolak industri karena dinilai tidak menguntungkan secara ekonomi. Penolakan tersebut berujung pada melambatnya gerak penelitian para pakar teknik kimia di ITB. “Padahal akhir- akhir ini proses perengkahan minyak nabati merupakan alternatif yang menarik untuk menghasilkan ‘Bensin Hijau’. Tahun 1996, beberapa skema kerjasama dengan industri mulai dijalin. Bila sebelumnya, para peneliti menyodorkan proposalnya, maka tidak sejak tahun ini. Beberapa industri mulai menggandeng ITB untuk menghasilkan katalis yang dibutuhkannya. Tahun 1996, PT. PIM (Pupuk Iskandar Muda) menggandeng ITB melalui skema kerjasama untuk mengembangakan adsorben H2S dalam gas bumi. Tiga tahun kemudian, di tahun 1999, peneliti ITB berhasil memperoleh formula adsorben yang memiliki kapasitas adsorpsi dua kali lipat kapasitas adsorben yang diimpor oleh PT. PIM. Adsorben tersebut kemudian diberi nama PIMIT-B1, kepanjangan dari PIM-ITB kesatu. Tahun 2010, pabrik PIMIT-B1 berhasil dibangun, namun kondisi ini tidak bertahan lama, karena PT PIM mendapatkan pasokan gas yang lebih bersih, sehingga tidak dibutuhkan lagi adsorben PIMIT-B1. Sehingga harus memasarkan ke industri lain, dan ini menjadi persoalan baru yang juga tidak mudah, karena kepercayaan industri terhadap produksi dalam negeri tergolong rendah. Tahun 2004, Pertamina menjalin kerjasama dengan ITB untuk penelitian dan pengembangan katalis Hydrotreating Nafta dilakukan oleh mahasiswa S3 ITB, Maria Ulfah, dengan dibantu mahasiswa S2 dan S1, dibawah bimbingan para pakar teknik kimia di ITB. Formula katalis Hydrotreating Nafta dengan kinerja baik diperoleh di Tahun 2007. Tahun 2010, bersama Research and Development PT. Pertamina, katalis tersebut diuji coba menggunakan reaktor skala pilot, dan kemudian dinyatakan memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan katalis komersial. Katalis ini kemudian diberi nama PITN 100-2T, yaitu katalis Pertamina-ITB, dan dijuluki katalis merah putih pertama di Indonesia. Tahun 2012, setelah pengujian di unit komersial selama 1 tahun, katalis merah putih dinyatakan memiliki unjuk kerja lebih baik dan lebih stabil dibandingkan katalis impor, sehingga PT Pertamina memutuskan selalu menggunakan katalis hasil pengembangan kerjasama ITB dengan Pertamina untuk proses Hydrotreating, baik untuk nafta, kerosin, maupun diesel. Tahun-tahun berikutnya, ITB mengembangkan lebih lanjut katalis PITN 100- 2T, seperti PITD 120-1.3T yang merupakan hasil kerjasama Pertamina ITB untuk Treating Diesel (PITD). Dan kemudian berlanjut terbentuknya katalis PIDO 130-1.3T yaitu katalis yang mengkonversi minyak nabati menjadi hidrokarbon parafinik. Prof. Subagjo mengatakan sangat gembira bahwa dalam perjalanan panjang tersebut dapat membawa ITB kembali mengambil perannya sebagai pandu menuju kemandirian bangsa di bidang teknologi katalis.