Anda di halaman 1dari 4

NAMA : ANAS MAULANA

NIM : F1C1 17 037

KELAS : KIMIA A

TUGAS : KIMIA KATALIS

DOSEN : LA ODE ABDUL KADIR, S.Si., M.Si.

REVIEW KATALIS MERAH PUTIH

Penguasaan teknologi produksi katalis memiliki nilai sangat strategis bagi


ekonomi suatu negara. Pengembangan katalis industrial membutuhkan tim peneliti
yang kuat. Oleh karena itu pengembangan katalis di Indonesia saat ini, sebaiknya
dilakukan bersama oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi dan industri. Penelitan
dasar hingga menghasilkan formula katalis yang baik dilakukan dilembaga penelitian
dan/atau perguruan tinggi, sedangkan pengujian kinerja katalis menggunakan reaktor
skala pilot dan skala komersial, dilakukan di industri. Selain itu industri juga dapat
membantu menyediakan dana dan sarana pengujian, terutama pengujian dalam
reaktor komersial. Namun, peluang untuk menemukan industri yang berkenan
menjadi pasangan kerja sama bukan merupakan hal yang mudah di Indonesia.
Sejak 1996 Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis ITB (saat itu
Laboratorium Konversi Termokimia) telah menerapkan pola kerjasama seperti
digambarkan pada Gambar 7. Bersama mitra industri, kami menentukan sasaran
penelitian. Penelitian dasar hingga formulasi katalis dilaksanakan dilab Teknik
Reaksi Kimia dan Katalisis (Lab TRK), sedangkan pengujian kinerja katalis dalam
skala pilot dan unit demonstrasi dilaksanakan diindustri mitra. Penelitian merupakan
sarana yang baik untuk mendidik para mahasiswa sebagai calon peneliti, sehingga
dalam pengembangan katalis dan teknologi proses, mahasiswa S1, S2 dan S3 selalu
dilibatkan. Adapun katalis yang ditemukan oleh oleh prof. Subagjo bersama para
peneliti lain adalah Pengembangan Katalis Perengkahan Stearin, Pengembangan Unit
Pembangkit Hipokhlorit, Pengembangan Adsorben H2S berbasis Besi Oksida,
Pengembangan Katalis Hydrotreating Nafta, Pengembangan Katalis Hydrotreating
Diesel, Pengembangan Katalis Hidrodeoksigenasi Minyak Nabati, Pengembangan
Katalis Hidrogenasi Ester-lemak menjadi Alkohol-lemak, Pengembangan Proses dan
Katalis Fischer Tropsch dan lain-lain. Semua katalis tersebut dinamakan atau dijuluki
dengan sebuatan formulasi katalis merah putih. Proses uji katalis merah putih ini
tidak digunkan langsung secara komersil melainkan dengan beberapa tahap yakni
tahap pertama di lakukan dalam skala lab dengan volume katalis antara 10-60 gram,
kedua skala pilot dengan volume katalis 200-1000 gram dan yang ketiga adalah skala
industri dengan volume katalis ratusan ton.

Katalis adalah jantung bagi industri kimia. Di Indonesia, rintisan


pengembangannya dilakukan ITB dan Pertamina untuk pengolahan minyak dan gas,
antara lain minyak diesel hijau. Katalis dibuat dari senyawa zat mineral yang dicetak
dalam beragam bentuk dan warna berupa butiran yang sangat keras menyerupai
beras, pelet, atau bulatan seperti mutiara. Fungsinya untuk mengarahkan hingga
mempercepat reaksi bahan baku olahan di industri hingga mencapai keseimbangan
menjadi senyawa yang stabil. Dengan katalis, reaksi bahan proses dapat lebih efisien
dari segi waktu, bahan baku, dan energi, serta ramah lingkungan.
Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Subagjo mengungkapkan perjalanan panjang
para peneliti di ITB dalam menghasilkan katalis di Indonesia. Kemampuan katalis
yang erat kaitannya dengan pemenuhan tuntutan efisiensi waktu, bahan baku, dan
energi, serta pelestarian lingkungan menjadi parameter kesuksesan untuk membuat
katalis dengan sifat dan kinerja yang baik.
Tahun 1983, Subagjo kala itu, bersama Dr. Irwan Noezar, Prof. Sudarno dan
Prof. Soehadi Reksowardojo, berhasil mengembangkan Unit Pembangkit Hipoklorit,
yaitu sebuah alat untuk mengkonversi larutan air garam dapur menjadi desinfektan air
minum. “Unit tersebut sempat dibeli oleh Kementerian Kehutanan untuk desinfeksi
air minum di daerah terpencil, namun sayangnya setelah Menteri Kehutanan RI
diganti, pembelian terhenti. Beberapa perusahaan air minum lebih memilih
menggunakan kaporit impor daripada harus membangkitkan sendiri hipokhlorit dari
larutan garam dapur, “ ujar Prof. Subagjo.
Tahun 1982, Prof. Subagjo bersama Prof. Sudarno, melakukan pengembangan
katalis untuk perengkahan stearin yang merupakan sisa pabrik minyak goreng yang
belum dimanfaatkan dengan baik. Menggunakan katalis zeolit, bahan sisa tersebut
dapat dikonversi menjadi BBM terutama bensin. Lagi-lagi para peneliti ITB harus
menerima kegagalan, proposal untuk pembuatan katalis tersebut ditolak industri
karena dinilai tidak menguntungkan secara ekonomi. Penolakan tersebut berujung
pada melambatnya gerak penelitian para pakar teknik kimia di ITB. “Padahal akhir-
akhir ini proses perengkahan minyak nabati merupakan alternatif yang menarik untuk
menghasilkan ‘Bensin Hijau’.
Tahun 1996, beberapa skema kerjasama dengan industri mulai dijalin. Bila
sebelumnya, para peneliti menyodorkan proposalnya, maka tidak sejak tahun ini.
Beberapa industri mulai menggandeng ITB untuk menghasilkan katalis yang
dibutuhkannya. Tahun 1996, PT. PIM (Pupuk Iskandar Muda) menggandeng ITB
melalui skema kerjasama untuk mengembangakan adsorben H2S dalam gas bumi.
Tiga tahun kemudian, di tahun 1999, peneliti ITB berhasil memperoleh formula
adsorben yang memiliki kapasitas adsorpsi dua kali lipat kapasitas adsorben yang
diimpor oleh PT. PIM. Adsorben tersebut kemudian diberi nama PIMIT-B1,
kepanjangan dari PIM-ITB kesatu.
Tahun 2010, pabrik PIMIT-B1 berhasil dibangun, namun kondisi ini tidak
bertahan lama, karena PT PIM mendapatkan pasokan gas yang lebih bersih, sehingga
tidak dibutuhkan lagi adsorben PIMIT-B1. Sehingga harus memasarkan ke industri
lain, dan ini menjadi persoalan baru yang juga tidak mudah, karena kepercayaan
industri terhadap produksi dalam negeri tergolong rendah. Tahun 2004, Pertamina
menjalin kerjasama dengan ITB untuk penelitian dan pengembangan katalis
Hydrotreating Nafta dilakukan oleh mahasiswa S3 ITB, Maria Ulfah, dengan dibantu
mahasiswa S2 dan S1, dibawah bimbingan para pakar teknik kimia di ITB. Formula
katalis Hydrotreating Nafta dengan kinerja baik diperoleh di Tahun 2007.
Tahun 2010, bersama Research and Development PT. Pertamina, katalis
tersebut diuji coba menggunakan reaktor skala pilot, dan kemudian dinyatakan
memiliki aktivitas lebih tinggi dibandingkan katalis komersial. Katalis ini kemudian
diberi nama PITN 100-2T, yaitu katalis Pertamina-ITB, dan dijuluki katalis merah
putih pertama di Indonesia.
Tahun 2012, setelah pengujian di unit komersial selama 1 tahun, katalis merah
putih dinyatakan memiliki unjuk kerja lebih baik dan lebih stabil dibandingkan katalis
impor, sehingga PT Pertamina memutuskan selalu menggunakan katalis hasil
pengembangan kerjasama ITB dengan Pertamina untuk proses Hydrotreating, baik
untuk nafta, kerosin, maupun diesel.
Tahun-tahun berikutnya, ITB mengembangkan lebih lanjut katalis PITN 100-
2T, seperti PITD 120-1.3T yang merupakan hasil kerjasama Pertamina ITB untuk
Treating Diesel (PITD). Dan kemudian berlanjut terbentuknya katalis PIDO 130-1.3T
yaitu katalis yang mengkonversi minyak nabati menjadi hidrokarbon parafinik. Prof.
Subagjo mengatakan sangat gembira bahwa dalam perjalanan panjang tersebut dapat
membawa ITB kembali mengambil perannya sebagai pandu menuju kemandirian
bangsa di bidang teknologi katalis.

Anda mungkin juga menyukai