Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang


ditandai oleh adanya kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia)
kronik. Keadaan hiperglikemia kronik tersebut dapat mengenai
banyak orang pada semua lapisan masyarakat di seluruh dunia
(Waspadji, 2017).
Diabetes Mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
bertalian dengan defisiensi absolut atau relativ aktivitas dan atau
sekresi insulin. Karena itu meskipun diabetes asalnya merupakan
endokrin, manifestasi pokoknya adalah penyakit metabolik
(Anonim, 2017).

World Health Organization (WHO) sebelumnya telah


merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara
umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik
dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana dapat defisiensi
insulin absolut atau relativ dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani,
2016).

2.1.2 Gejala Diabetes Mellitus


Menurut (Anonim, 2016).
1. Rasa haus yang berlebihan
2. Sering kencing terutama malam hari
3. Berat badan yang turun dengan cepat
4. Kadang-kadang ada keluhan lemah
5. Kesemutan pada jari tangan dan kaki
6. Cepat lapar
7. Gatal-gatal
8. Penglihatan jadi kabur
9. Gairah seks menurun
10. Luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi
dengan berat badan diatas 4kg

Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan


dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun
sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas
dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi. Faktor resiko yang
berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya
usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak
tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua
faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang
berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2 (Gustaviani, 2016).

2.1.3 Penyebab

Diabetes melitus menurut Kowalak, (2011); Wilkins, (2011); dan Andra,


(2013) mempunyai beberapa penyebab, yaitu:
1. Hereditas
Peningkatan kerentanan sel-sel beta pancreas dan
perkembangan antibodi autoimun terhadap penghancuran sel-sel
beta.
2. Lingkungan (makanan, infeksi, toksin, stress)
Kekurangan protein kronik dapat mengakibatkan hipofungsi
pancreas. Infeksi virus coxsakie pada seseorang yang peka secara
genetic. Stress fisiologis dan emosional meningkatkan kadar hormon
stress (kortisol, epinefrin, glucagon, dan hormon pertumbuhan),
sehingga meningkatkan kadar glukosa darah.
3. Perubahan gaya hidup
Pada orang secara genetik rentan terkena DM karena perubahan
gaya hidup, menjadikan seseorang kurang aktif sehingga
menimbulkan kegemukan dan beresiko tinggi terkena diabetes
melitus.
4. Kehamilan
Kenaikan kadar estrogen dan hormon plasental yang berkaitan
dengan kehamilan, yang mengantagoniskan insulin.
5. Usia
Usia diatas 65 tahun cenderung mengalami diabetes melitus
6. Obesitas
Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam tubuh.
Insulin yang tersedia tidak efektif dalam meningkatkan efek
metabolic.
7. Antagonisasi efek insulin yang disebabkan oleh beberapa
medikasi, antara lain diuretic thiazide, kortikosteroid adrenal,
dan kontraseptif hormonal.

2.1.4 Pencegahan
Pada prinsipnya hampir semua penyakit dapat dicegah. Pencegahan

penyakit dimulai pada beberapa tahap yang dimulai pada tahap

prepatogenesis, patogenesis dan tahap lanjut dengan pendekatan

pencehagan primer, sekunder dan tersier. WHO (2004) menganjurkan

setiap orang yang mempunyai risiko Diabetes atau mempunyai riwayat

keluarga melakukan skrining Diabetes setiap 6 bulan sekali terutama bagi

mereka yang berusia 35 tahun keatas.

Menurut Junaidi (2009) ada tiga jenis pencegahan yang dapat dilakukan

pada penderita Diabetes Mellitus:

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah agar tidak terserang

penyakit Diabetes. Pencegahan primer dilakukan melalui :

1. Pola makan yang seimbang

2. Mempertahankan berat badan dalam batas normal

3. Olah raga secara teratur


4. Meningkatkan konsumsi sayur dan buah

5. Menghindari zat atau obat yang dapat mencetuskan


Diabetes

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan mendeteksi Diabetes secara

dini, mencegah penyakit agar tidak bertambah parah dan

mencegah timbulnya komplikasi. Pencegahannya antara lain:

1. Tetap melakukan pencegahan primer

2. Pengendalian gula darah agar tidak terjadi komplikasi

3. Mengatasi gula darah dengan obat-obatan baik oral maupun


insulin

c. Pencegahan tersier

Tujuan dari pencegahan ini adalah mencegah kecacatan lebih lanjut

dari komplikasi yang sudah terjadi, seperti komplikasi pembuluh

darah pada mata (pemeriksaan fundoskopi setiap 6-12 bulan), otak,

tungkai.

2.1.5 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Menurut (Anonim, 2017).
1. Diabetes Mellitus tipe I (Insulin dependent) :
DM jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan
dewasa muda, namun demikian dapat juga ditemukan pada
setiap umur. Destruksi sel-sel pembuat insulin melalui
mekanisme imunologik menyebabkan hilangnya hampir seluruh
insulin endogen. Pemberian insulin eksogen terutama tidak
hanya untuk menurunkan kadar glukosa plasma melainkan juga
untuk menghindari ketoasidosis diabetika (KAD) dan
mempertahankan kehidupan.
2. Diabetes Mellitus tipe II (non-insulin dependent)
DM jenis ini biasanya timbul pada umur lebih 40 tahun.
Kebanyakan pasien DM jenis ini bertubuh gemuk, dan resistensi
terhadap kerja insulin dapat ditemukan pada banyak kasus.
Produksi insulin biasanya selama kehamilan. Ini meliputi 2-5%
dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena
dampaknya pada janin kurang baik bila memadai untuk
mencegah KAD, namun KAD dapat timbul bila ada stress berat.
Insulin eksogen dapat digunakan untuk mengobati
hiperglikemia yang membandel pada para pasien jenis ini.

2.1.6 Komplikasi Diabetes Mellitus


1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah)
terjadi apabila kadar glukosa darah turun dibawah 50 mg/ dl.
Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau
preparat oral yang ber konsumsi makanan yang terlalu sedikit
atau karena aktivitas fisik yang berat. Hipoglikemia dapat
terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Hipoglikemia
merupakan komplikasi- komplikasi yang tersering dan paling
serius pada terapi insulin. Keparahan dan lamanya
hipoglikemia bisa diperkirakan dari dosis, aktivitas puncak
dan lama aksi jenis insulin yang diberikan secara S.C
(Anonim, 2016).
(1) Hipoglikemia ringan
Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf
simpatis akan terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam
darah menyebabkan gejala seperti perspirasi, tremor,
takikardia, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.
(2) Hipoglikemia Sedang
Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-
sel otak tidak mendapatkan cukup bahan bakar untuk
bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi
pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan
berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, confuse,
penurunan daya ingat, mati rasa didaerah bibir serta
lidah, bicara rero, gerakan tidak terkoordinasi,
perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional,
penglihatan ganda, dan perasaan ingin pingsan.
(3) Hipoglikemia Berat
Fungsi sitem saraf pusat mengalami gangguan
yang sangat berat sehingga pasien memerlukan
pertolongan orang lain untuk mengatasi
Hipoglikemia yang dideritanya. Gejala dapat
mencakup perilaku yang mengalami disorientasi,
serangan kejang, sulit dibangunkan, atau bahkan
kehilangan kesadaran.
b. Diabetes Ketoasidosis
KAD timbul sebagai akibat insufisiensi insulin yang berat
(biasanya dengan bertambah buruknya kebutuhan dasar) dank
arena adanya kelebihan hormone yang pengaruhnya berlawanan
dengan insulin (misalnya glucagon). Predisposisi KAD
merupakan ciri khas pada DM tipe 1 dan dapat merupakan
gejala yang mendorong pasien konsultasi ke dokter. Meskipun
demikian KAD dapat terjadi pada setiap pasien DM yang
mengalami stress cukup berat. Bila pasien di diagnosis KAD
maka perlu dicari penjelasannya, misalnya penghentian terapi
insulin, terkena stress yang menaikkan dasar insulin. Terapi
KAD hendaknya mencakup juga:
1. Pemulihan cairan tubuh, dengan pengelolaan elektrolit
yang tepat
2. Penormalan kembali asidosis dan ketosis yang parah, dan
3. Pengedalian glukosa plasma.
KAD sering timbul denagan didahului oleh penurunan berat
badan, poliuria dan polidipsia. Gejalanya meliputi muntah-
muntah dan nyeri perut yang khas samar-samar dan tanpa
menunjukkan tempatnya (Anonim, 2015).

c. Sindrom Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK)


Sindrom ini timbul terutama pada pasien dengan DM tipe 2
atau jenis lain. Pada pasien dengan sindroma ini maka
hiperglikemia berat dan dehidrasi dapat timbul tanpa disertai
ketoasidosis. SHHNK dpat terjadi sebagai gejala sisa terhadap
stress berat dan dapat terjadi setelah “stroke” atau pemasukan
hidrat arang yang berlebihan. Patogenesis SHHNK biasanya
meliputi gangguan ekskresi glukosa oleh ginjal jadi pada
umumnya didahulukan oleh insufisiensi ginjal azotemia
prerenal. Karena kebutuhan insulin dasar tidak terganggu maka
tidak terjadi produksi keton yang berlebihan (Anonim,2017).
2. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik dari diabetes melitus dapat menyerang
semua sistem organ tubuh. Kategori komplikasi kronik
diabetes yang lazim digunakan adalah penyakit
makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neurologis.
3. Komplikasi Makrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar
sering terjadi pada diabetes. Perubahan aterosklerotik ini
serupa degan pasien-pasien non diabetik, kecuali dalam hal
bahwa perubahan tersebut cenderung terjadi pada usia yang
lebih muda dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien-
pasien diabetes. Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat
terjadi tergantung pada lokasi lesi aterosklerotik.

Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah arteri


koroner, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner.
Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah
serebral, akan menyebabkan stroke infark dengan jenis TIA
(Transient Ischemic Attack). Selain itu aterosklerotik yang
terjadi pada pembuluh darah besar ekstremitas bawah, akan
menyebabkan penyakit okluisif arteri perifer atau penyakit
vaskuler perifer.
4. Komplikasi Mikrovaskeler
(1) Retinopati Diabetik
Disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh
darah kecil pada retina mata, bagian ini mengandung
banyak sekali pembuluh darah dari berbagai jenis pembuluh
darah arteri serta vena yang kecil, arteriol, venula dan
kapiler.
(2) Nefropati Diabetik
Bila kadar gluoksa darah meninggi maka mekanisme
filtrasi ginjal akan mengalami stress yang mengakibatkan
kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya
tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan
tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus
untuk terjadinya nefropati.
(3) Neuropati Diabetikum
Neuropati adalah komplikasi kronik yang paling umum
pada diabetes mellitus lanjut usia. Mekanisme yang
mendasari neuropati adalah hiperglikemia yang disebabkan
metabolik yang jalur polyol dari saraf tepi (Prabhu, 2009)

2.1.5 Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus


1. Terapi Non Farmakologi
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non
farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang
diabetes. Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah
melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada
status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi
medis ini antara lain : menurunkan berat badan, menurunkan
tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar
glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan
sensitivitas resseptor insulin, memperbaiki system koagulasi
darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk
mencapai dan mempertahankan :
a. Kadar glukosa darah mendekati normal, Glukosa puasa
berkisar 90-130 mg/dl
b. Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl
c. Kadar Hb AlC < 7%
d. Tekanan darah < 130/80 mmHg
e. Profil lipid
f. Kolesterol LDL < 100 mg/dl
g. Kolesterol HDL > 40 mg/dl
h. Trigliserida < 150 mg/dl
i. Berat badan senormal mungkin
Pada tingkat individu target pencapaian terapi
gizi medis ini lebih difokuskan pada perubahan pola
makan yang didasarkan pada gaya hidup dan pola
kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus
lain yang perlu diberikan prioritas. Beberapa faktor
yang harus diperhatikan sebelum melakukan
perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi
badan, berat badan, status gizi, status kesehatan,
aktivitas fisik, dan faktor usia (Soebardi, 2016).
2) Terapi Farmakologi
a) Terapi dengan Insulin
Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus
geriatri tidak berbeda dengan pasien dewasa sesuai
dengan algoritma, dimulai dari monoterapi untuk terapi
kombinasi yang digunakan dalam mempertahankan
kontrol glikemik. Apabila terapi kombinasi oral gagal
dalam mengontrol glikemik maka pengobatan diganti
menjadi insulin setiap harinya. Meskipun aturan
pengobatan insulin pada pasien lanjut usia tidak berbeda
dengan pasien dewasa, prevalensi lebih tinggi dari
faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipoglikemia
yang dapat menjadi masalah bagi penderita diabetes
pasien lanjut usia. Alat yang digunakan untuk
menentukan dosis insulin yang tepat yaitu dengan
menggunakan jarum suntik insulin premixed atau
predrawn yang dapat digunakan dalam terapi insulin.

Lama kerja insulin beragam antar individu sehingga


diperlukan penyesuaian dosis pada tiap pasien. Oleh
karena itu, jenis insulin dan frekuensi penyuntikannya
ditentukan secara individual. Umumnya pasien diabetes
melitus memerlukan insulin kerja sedang pada awalnya,
kemudian ditambahkan insulin kerja singkat untuk
mengatasi hiperglikemia setelah makan. Namun, karena
tidak mudah bagi pasien untuk mencampurnya sendiri,
maka tersedia campuran tetap dari kedua jenis insulin
regular (R) dan insulin kerja sedang (Anonim, 2000).

2.2 Gula Darah

2.2.1 Definisi

Glukosa merupakan sumber energi utama bagi sel manusia.


Glukosa dibentuk dari karbohidrat yang dikonsumsi melalui makanan
dan disimpan sebagai glikogen dihati dan otot (Lestari, 2013).

Gula darah terdiri dari glukosa, fruktosa dan galaktosa. Glukosa


merupakan monosakarida yang paling dominan, sedangkan fruktosa
akan meningkat pada diet buah yang banyak, dan galaktosa darah akan
meningkat pada saat hamil dan laktasi. Sebagian besar karbohidrat
yang dapat dicerna di dalam makanan akan membentuk glukosa, yang
kemudian akan dialirkan kedalam darah, dan gula lain akan dirubah
menjadi glukosa di hati (Kasengke, 2015).

2.2.2 Jenis dan Metode Pemeriksaan Glukosa Darah

a. Jenis Pemeriksaan Glukosa Darah

Diketahui beberapa jenis pemeriksaan yang berhubungan


dengan pemeriksaan glukosa darah yaitu :
1) Glukosa darah puasa

Sebelum pemeriksaan ini dilakukan pasien harus puasa 10 –


14 jam.

2) Glukosa darah sewaktu

Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien tanpa perlu


memperhatikan waktu terakhir pasien makan.
3) Glukosa darah 2 jam PP
Pemeriksaan ini sukar sekali distandarisasikan, karena
makanan yang dimakan baik jenis maupun jumlahnya sukar
disamakan dan juga sukar diawasi dalam tenggang waktu 2
jam untuk tidak makan dan minum lagi, juga selama
menunggu pasien perlu duduk istirahat tenang dan tidak
melakukan kegiatan jasmani (berat) serta tidak merokok.

b. Metode Pemeriksaan Glukosa Darah

1. Metode Kimia atau Reduksi

Prinsip: Proses Kondensasi dengan akromatik amin dan


asam asetat glacial pada suasana panas, sehingga terbentuk
senyawa berwarna hiju yang kemudian diukur secara
fotometris.
Beberapa kelemahan / kekurangannya adalah metode
kimia ini memerlukan langkah pemeriksaan yang panjang
dengan pemanasan, sehingga kemungkinan terjadi
kesalahan lebih besar. Selain itu reagen pada metode ortho-
toluidin bersifat korosif.
2. Metode Enzimatik

a) Metode Glukosa Oksidase (GOD-PAP)

Prinsip : Enzim glukosa oksidase menkatalisis


reaksi oksidasi glukosa menjadi glukonolakton dan
hydrogen peroksida.
Enzim glukosa oksidase yang digunakan pada
reaksi pertama menyebabkan sifat reaksi pertama
spesifik untuk glukosa, khususnya B-D glukosa,
sedangkan reaksi kedua tidak spesifik, karena zat yang
bisa teroksidasi dapat menyebabkan hasil pemeriksaan
lebih rendah. Asam urat, asam askorbat, bilirubin dan
glutation menghambat reaksi karena zat-zat ini akan
berkompetisi dengan kromogen bereaksi dengan
hidrogen peroksida sehingga hasil pemeriksaan akan
lebih rendah. Keunggulan dari metode glukosa oksidase
adalah karena murahnya reagen dan hasil yang cukup
memadai.
b) Metode Heksokinase

Prinsip : Heksokinase akan mengkatalis reaksi


fosforilasi glukosa dengan ATP membentuk glukosa 6-
fosfat dan ADP. Enzim kedua yaitu glukosa 6-fosfat
dehidrogenase akan mengkatalis oksidasi glukosa 6-
fosfat dengan nikolinamide adnine dinueleotide
phosphate (NAPP+)

c) Reagen Kering (Gluco DR)

Adalah alat pemeriksaan glukosa darah secara


invitro, dapat dipergunakan untuk mengukur kadar
glukosa darah secara kuantitatif, dan untuk screening
pemeriksaan kadar glukosa darah. Sampel dapat
dipergunakan darah segar kapiler atau darah vena, tidak
dapat menggunakan sampel berupa plasma atau serum
darah.
Prinsip : Tes strip menggunakan enzim glukosa
oksidase dan didasarkan pada teknologi biosensor yang
spesifik untuk pengukuran glukosa, tes strip mempunyai
bagian yang dapat menarik darah utuh dari lokasi
pengambilan/tetesan darah kedalam zona reaksi. Glukosa
oksidase dalam zona reaksi kemudian akan mengoksidasi
glukosa di dalam darah. Intensitas arus electron terukur
oleh alat dan terbaca sebagai konsentrasi glukosa di
dalam sampel darah (Nabyl, 2015).
Pengendalian glukosa darah pada penderita DM
dilihat dari dua hal yaitu glukosa darah sesaat dan
glukosa darah jangka panjang. Pemantauan glukosa
darah sesaat dilihat dari glukosa darah puasa dan 2 jam
post prandial (PP), sedangkan pengontrolan glukosa
darah jangka panjang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan HbA1c. pemeriksaan kadar HbA1c
mencerminkan rata-rata pengontrolan glukosa darah
dalam 2-3 bulan terakhir. Tingginya kadar HbA1c
berkorelasi positif dengan terjadinya komplikasi DM,
baik makro maupun mikro vaskuler (Hariawan &
Suastika, 2018).
Saat ini banyak dipasarkan alat ukur kadar glukosa
darah yaitu Glukometer yang umumnya sederhana dan
mudahn dipakai. Hasil pemeriksaan kadar gula darah
memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh
kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan
sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara
berkala, hasil pemantauan dengan alat glucometer perlu
dibandingkan dengan cara konvensional (Perkeni, 2015).

Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai


patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl).
Kategori Baik Sedang Buruk

Kadar glukosa 110-144 145–179 >180


darah 2 jam (mg/dl)
Kadar glukosa 80-109 110-124 >125
darah puasa (mg/dl)
Metode Enzimatik (Perkeni, 2006)
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia)
pada tahun 2006 menjelaskan bahwa, kadar gula darah
puasa yang berkisar 80-100 mg/dl dinyatakan normal.
Seseorang dikatakan menderita diabetes melitus (DM)
jika memiliki kadar glukosa darah ≥126 mg/dl (Lestari,
2013).

Sejumlah faktor yang mempengaruhi gula darah


tinggi adalah konsumsi makanan, termasuk jumlah
karbohidrat, jenis gula (Glukosa, fruktosa, sukrosa,
laktosa), kandungan pati, proses pengolahan makanan
dan bentuk makanan, serta komponen makanan lainnya
seperti lemak dan zat alami yang proses pencernaannya
lambat. Konsentrasi gula darah puasa dan sebelum
makan menggambarkan tingkat keparahan intoleransi
glukosa, makan kedua atau pengaruh karbohidrat
merupakan faktor lain yang mempengaruhi respon
glikemik. Namun, pada orang dengan diabetes tipe I atau
tipe II, konsumsi berbagai pati atau sukrosa, baik akut
dan hingga 6 minggu, tidak menghasilkan perbedaan
yang signifikan dalam menanggapi glikemik jika
jumlahnya karbohidrat adalah serupa. Oleh karena itu,
jumlah total karbohidrat dalam makanan dan makanan
ringan akan lebih penting daripada sumber atau jenis
makanan. Pada orang dengan diabetes tipe II, pola diet
pemeliharaan berat badan, mengganti karbohidrat dengan
lemak tak jenuh dapat mengurangi glikemia setelah
makan dan triglyceridemia. Karena itu, kontribusi dari
karbohidrat dan lemak tak jenuh untuk asupan energi
harus individual, berdasarkan penilaian gizi, profil
metabolik, dan tujuan pengobatan (ADA, 2015).

Kadar gula darah dipengaruhi oleh beberapa faktor


seperti usia, hormone insulin, emosi, stress, jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsi serta akivitas fisik
yang dilakukan. Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh
factor endogen yaitu humoral factor seperti hormone
insulin, glukosa dan kortisol sebagai system reseptor di
otot dan sel hati. Factor eksogen antara lain jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsi serta aktivitas yang
dilakukan (Lestari, 2016).

2.3 Buah naga

2.3.1 Sejarah Buah naga


Buah naga (Hylocereus sp.) merupakan tanaman jenis kaktus yang
berasal dari Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Meksiko. Tanaman
yang awalnya dikenal sebagai tanaman hias ini mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi karena buahnya berkhasiat menurunkan kadar gula
darah dan kolesterol, mencegah kanker usus, penguat fungsi ginjal dan
tulang, pelindung kesehatan mulut, pencegah pendarahan dan gejala
keputihan, menguatkan daya kerja otak dan meningkatkan ketajaman
mata. Buah naga biasanya dikonsumsi dalam bentuk buah segar sebagai
penghilang dahaga, karena buah naga mengandung kadar air tinggi
sekitar 90% dari berat buah. Rasanya cukup manis karena mengandung
kadar gula mencapai 13-18 briks.
Buah naga juga dapat disajikan dalam bentuk jus, sari buah,
manisan, maupun selai atau beragam bentuk penyajian sesuai selera.
Secara umum buah naga juga mengandung zat besi 0,65 mg, vitamin
B1 0,28-0,043 g, vitamin B2 0,043- 0,045 g, vitamin B3 0,297-0,43 g,
dan vitamin C 8-9 g, selain itu juga memiliki kandungan karbohidrat
yang tinggi yaitu 11,5 g, asam 0,139 g, protein 0,53 g, serat 0,71 g,
kalsium 134,5 mg, fosfor 8,7 mg, magnesium 60,4 mg, vitamin C 9,4
mg. Buah naga dapat dibuat sebagai bahan penambahan makanan yang
memiliki sumber gizi yang baik yaitu bolu kukus (Anonim, 2018).
Menurut Leong, A.L(2011), buah kaktus madu itu cukup kaya
dengan berbagai zat vitamin dan mineral yang sangat membantu
meningkatkan daya tahan tubuh dan bermanfaat bagi metabolisme
dalam tubuh manusia. Penelitian menunjukkan buah naga merah ini
sangat baik untuk sistem peredaran darah, juga memberikan efek
mengurangi tekanan emosi dan menetralkan toksin dalam darah,
mencegah kanker usus, mencegah kandungan kolesterol yang tinggi
dalam darah, menurunkan kadar gula darah dan menurunkan kadar
lemak dalam tubuh.
Menurut Cahyono (2016) terdapat jenis-jenis buah naga, yaitu
Hylocereus costaricensis (buah naga dengan daging super merah),
Selenicereus megalanthus (buah naga dengan kulit kuning daging
putih), Hylocereus undatus (buah naga dengan daging putih), dan
Hylocereus polyrhizus (buah naga dengan daging merah). Kandungan-
kandungan kulit buah naga selain senyawa betalain dan antosianin yaitu
vitamin C, vitamin E, vitamin A, alkaloid, terpenoid, flavonoid, tiamin,
niasin, piridoksin, kobalamin, fenolik, karoten, dan fitoalbumin (Jaafar
et al., 2009).
Menurut Wu et al. (2016) kulit buah naga memiliki keunggulan
yaitu kaya polifenol dan merupakan sumber dari antioksidan. Aktivitas
antioksidan pada kulit buah naga lebih tinggi dibanding dengan
aktivitas antioksidan pada daging buah naga merah, maka dari itu
berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber antioksidan yang
alami. Menurut Nurliyana et al., (2016) menyatakan di dalam 1 mg/ml
kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dapat menghambat
83,48±1,02 % radikal bebas dan daging buah naga (Hylocereus
polyrhizus) hanya dapat menghambat radikal bebas sebesar 27,45±5,03
%. Hal ini kemudian sesuai dengan teori dari (Wu et al, 2017) yang
menyatakan bahwa aktivitas antioksidan kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus) lebih tinggi dibandingkan dengan daging buah
naga merah (Hylocereus polyrhizus).

2.3.2 Cara Penyajian Buah naga


Bahan :
1. 150gr buah naga, Potong-potong
2. 200ml air
Cara membuat :
1. Campur semua bahan dalam blender, proses hingga halus
2. Tuang dalam gelas. Sajikan
3. Minum 2x sehari selama 10 hari

Anda mungkin juga menyukai