Anda di halaman 1dari 9

PBB, BPHTB dan Bea Materai

PBB DAN BPHTB

1. Pengertian PBB & BPHTB


      A.  PBB
°   Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan
bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa tambak perairan) serta laut
wilayah Republik Indonesia.
°   Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan/atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan.
b. Jalan tol.
c. Kolam renang.
d. Tempat olahraga.
e. Galangan kapal, dermaga.
f. Taman mewah.
g. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.
h. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut
atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang
lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh
manfaat dari padanya.
°   Surat Pemberitahuan Objek Pajak ( SPOP ) adalah surat yang digunakan oleh
Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketetuan undang-undang PBB.
°   Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh
Direktorat Jendral Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib
Pajak.

       B. BPHTB
      Dalam pembahasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, akan dijumpai
beberapa pengertian-pengertian yang sudah baku, antara lain :
°   Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
°   Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.
°   Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan deserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor
16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan peundanga-undangan yang
berlaku lainnya.

2. Dasar Hukum PBB & BPHTB


      A. PBB
Dasar hukum pengenaan PBB adalah UU No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang
Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan,
Keputusan Menteri Keuangan No.201/KMK.04/2002 tentang Penyesuaian Besar Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagai Dasar Perhitungan Pajak Bumi dan
Bangunan, dan Keputusan menteri Keuangan No. 552/KMK.04/2002 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Keuangan No.82/KMK.04/2002 tentang Pembagian Hasil Penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

       B. BPHTB
Sebagai dasar hukum pengenaan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan adalah
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2000 dan beberapa aturan pelaksanaannya.

3. Subyek dan Obyek PBB & BPHTB


       A. Subyek PBB
Subyek pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas
bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Hal ini berarti bahwa tanda pembayaran/pelunasan
pajak bukan merupakan bukti kepemilikan. PBB melekat pada pemiliknya meskipun dapat
dialihkan kepada penyewanya atau pihak lain. Jika suatu objek pajak belum diketahui secara
pasti siapa WPnya, maka yang menjadi subyek pajak diatur sebagai berikut :
1.Jika suatu subyek pajak memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik
orang lain bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena
perjanjian, objek pajak yang memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau bangunan
ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
2.Suatu subyek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau
badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai Wajib
Pajak.
3.Subyek pajak yang dalam waktu lama berada di luar wilayah letak pajak objek pajak,
sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka
orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak.
  
      Obyek PBB
      Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan.
      B. Subyek BPHTB
Subyek pajak atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Oleh karena itu,
subyek pajak dibebani oleh kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut
Undang-undang BPHTB.

       Obyek BPHTB


Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang
meliputi :
1.Pemindahan hak karena :
   a. jual beli
b. tukar-menukar
c. hibah
d. hibah wasiat
e. waris
f . pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
h. penunjukan pembeli dala lelang
i. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
j. penggabungan usaha
k. peleburan usaha
l. pemekaran usaha
m. hadiah
2.Pemberian hak baru karena :
a. kelanjutan pelepasan hak yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan
hukum negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
b. di luar pelepasan hak yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau
badan hukum dari negara atau pemegang hak milik menurut peraturan peundang-undangan
yang berlaku.

4. Tarif PBB & BPHTB


      A. PBB
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan atas Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
sebesar 0,5 % ( lima persepuluh persen ).
     B. BPHTB
Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah 5%.

5. Tata Cara Perhitungan, Penyetoran dan Pelaporan PBB & BPHTB (SPOP & SPPT)
      A.  PBB
      Tata Cara Perhitungan
PBB = Tarif pajak x NJKP
        = 0,5 % x [ persentase NJKP x (NJOP – NJOPTKP) ]

Rumus perhitungan di atas dapat dibuat dengan urutan perhitungan sebagai berikut :
Nilai jual Objek Pajak bumi/tanah: luas x NJOP per m2                            xxx
Nilai jual Objek Pajak bangunan: luas x NJOP per m2                               xxx (+)
Nilai jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan PBB                        xxx
Nilai jual Objek Pajak Tidak Kenai Pajak                                         xxx (-)
Nilai jual Objek Pajak sebagai dasar perhitungan PBB                       xxx
Nilai jual kena Pajak persentase (%) x NJOP                                    xxx
PBB : 0,5 % x NJKP                                                                        xxx
                                                                                                         ===
Contoh :
Wajib Pajak CV Perdana mempunyai objek pajak berupa :
- Tanah seluas 800 m2 dengan NJOP Rp 335.000 per m2
- Bangunan (rumah) seluas 400 m2 dengan NJOP Rp 505.000 per m2
- Taman mewah seluas 200 m2 dengan NJOP Rp 98.000 per m2
- Pagar mewah sepanjang 100 m dan tinggi rata-rata 150 cm dengan NJOP Rp 1.200.000 per
m2
Persentase Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) sebesar 20 % dan NJOPTKP ditetapkan
sebesar Rp 10.000.000
Besarnya PBB yang terutang dihitung sebagai berikut :
- NJOP tanah (800 m2 x Rp 335.000)                                                 Rp 268.000.000
- NJOP bangunan :
- Rumah
   (400 m2 x Rp 505.000)                              Rp 202.000.000
- Taman mewah
   (200 m2 x Rp 98.000)                                Rp   19.600.000
- Pagar mewah
   (100 x 1,50 m2 x Rp 1.200.000)                Rp 180.000.000
                                                                                                        Rp 401.600.000 (+)
- NJOP sebagaidasarperhitungan PBB                                               Rp 669.600.000
- NJOPTKP (diketahui)                                                                      Rp   10.000.000 (-)
-NJOP sebagai dasar perhitungan PBB                                                Rp 659.600.000
- NJKP (20% x Rp 659.600.000)                                                       Rp 131.920.000
- PBB :
         0,5% x Rp 131.920.000 = Rp 659.600

Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan


1.Pajak yang terutangberdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) harus
dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
2.Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dilunasi selambat-
lambatnya 1 bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak.
3.Pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar,
dikenakan denda administrasi sebesar 2 % per bulan dari jumlah yang tidak atau kurang
dibayar, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka
waktu paling lama 24bulan, bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
4.Denda administrasi ditambah urang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan
Surat Tagihan Pajak (STP) dan harus dilunasi selambat-lambatnya 1 bulan sejak tanggal
diterimanya STP oleh WP.
5.Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayar pada waktunya ditagih
dengan Surat Paksa.
6.Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur
Kepala Daerah Tk. I dan/atau Bupati dan/atau Walikota Kepala Daerah Tk. II.

       B. BPHTB
Tata Cara Perhitungan
BPHTB = Tarif paja x NPOPKP
              = 5 % x ( NPOP – NPOPTKP )

Perhitungan di atas dapat dibuat dengan urutan sebagai berikut :


Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)                                                 xxx
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)            xxx (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)                         xxx
BPHTB yang terutang/dibayar:
( 5 % x NPOPKP )                                                                            xxx

Jikaperolehanhak atas tanah dan


bangunantersebutkarenawaris/hibahwasiat/pemberianhakpengelolaan, maka BPTHB yang
harusdibayaradalah :
 BPHTB = 50 % x BPHTB yang terutang

Contoh :
Tuan Akbar membeli tanah dan bangunan dengan nilai perolehan objek pajak Rp
500.000.000.
         Besarnya BPHTB yang terutang dihitung sebagai berikut :
NPOP                                                              Rp 500.000.000
NPOPTKP                                                      Rp   60.000.000 (-)
NPOPKP                                                        Rp 440.000.000
                                                                        ============
Pajak BPHTB yang terutang :
         5% x Rp 440.000.000 = Rp 22.000.000

Tata Cara Peyetoran dan Pelaporan


1.BPHTB yang terutang harus dibayar/dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, yaitu sama
dengan saat terutangnya BPHTB.
2.Wajib pajak wajib membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya
surat ketetapan pajak. Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment.
3.BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan/atau Bank BUMN atau
Bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh MenKeu dengan
menggunakan Surat Setoran BPHTB.
4.Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
BPHTB yang terutang kurang dibayar.
5.Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula
Belem terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang terutang
diterbitkannya SKBKBT.
6.Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan BPHTB dan WP dikenakan sanksi
berupa denda dan/atau bunga apabila:
a.BPHTB yang terutang tidak atau kurang bayar
b.dari hasil pemeriksaan Surat Setoran BPHTB terdapat kekurangan pembayaran BPHTB
sebagai akibat salah tulis atau salah hitung.
Pada saat WP memperoleh Surat Tagihan BPHTB jumlah yang harus dibayar oleh WP adalah
sebesar BPHTB terutang yang tidak atau kurang bayar dalam Surat Tagihan BPHTB
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% bukan untuk jangka waktu paling
lama 24 bulan sejak saat terutangnya BPHTB.

Bea Materai

1. Pengertian

Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan
dokumen untuk digunakan di pengadilan.

Secara lengkapnya, Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang
menurut Undang-Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Dokumen yang dikenai
bea meterai antara lain adalah dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang,
dokumen yang bersifat perdata, dan dokumen yang dapat digunakan di muka pengadilan
misalnya dokumen kontrak pengadaan meja kursi kantor, dokumen perjanjian pembangunan
gedung kantor dengan pengusaha jasa konstruksi, dan dokumen kontrak pengadaan jasa
tenaga kebersihan.

Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 yang
disesuaikan dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen. Bea meterai tidak diperlukan
nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun objek pajak. Pembayaran bea meterai terjadi
terlebih dahulu daripada saat terutang. Waktu pembayaran dapat dilakukan secara isidentil
dan tidak terikat waktu.

2. Dasar Hukum

1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.


2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai
dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran,
Warna, Dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005.
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea
Meterai dengan Menggunakan Cara Lain.
5. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
6. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
7. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea
Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
9. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian
Kemudian.
10. Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea
Meterai.

3. Tarif Bea Materai


Berikut beberapa tarif bea materai:

1. Tarif bea materai Rp. 6.000,00 yaitu untuk dokumen berupa:

a. Surat Perjanjian dan surat lainnya yang dibuat dengan tujuan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat pendata.
b. Akta notaris termasuk salinannya.
c. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek yang harga nominalnya lebih dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
d. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yakni:

 surat biasa dan surat kerumahtanggaan.


 surat yang tadinya tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan
untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan maksud semula.

2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan, seperti:

 Nominal hingga Rp250.000,- tidak dikenakan bea materai


 Nominal antara Rp250.000,- hingga Rp1.000.000,- dikenakan bea mterai Rp3.000,-
 Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan bea materai Rp 6.000,-

3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas
pengenaan besarnya harga nominal.

4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang memiliki harga nominal hingga
Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang memiliki harga nominal
lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp6.000,-.

5. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat
kolektif yang memiliki jumlah harga nominal hingga dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea
Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang memiliki harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,-
dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp6.000,-.

4. Saat Terutangnya Bea Meterai


UU No. 13 Tahun 1985 Ps 5
Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal :

1. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;

Saat terutang Bea Meterai atas dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat
dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan
pada saat ditandatangani, misalnya kuintansi, cek, dan sebagainya.

2. dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya
dokumen itu dibuat;
Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak,
adalah pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda
tangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai
terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.
3. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/9173263/Materi_PBB_dan_BPHTB

https://www.pajak.go.id/content/3513-bea-meterai

tax-center.pajak.go.id

Anda mungkin juga menyukai