Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan kasih-
Nya, penyusuna nmakalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini
berjudul “Issue Legal Do Not Resusitation Dalam Keperawatan Medikal Bedah
Dan Gawat Darurat”
Makalah ini tidak akan dapat selesai tepat pada waktunya tanpa bantuan
dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini disampaikan terimakasih
kepada:
Ibu Rizeki D Fibriansari, M.Kep Selaku Dosen Pembimbing mata kuliah
Keperawatan Profesional. Penyusunan makalah ini pasti masih ada kekurangan
baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun segi lainnya. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya sehingga bisa memberikan
inspirasi kepada pembaca.
Penyusun
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Definisi
Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya
resusitasi CPR (cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru
(RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi
permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan.
Cardiopulmonary resuscitation (CPR) memiliki kemampuan untuk
membalikkan kematian dini. Hal ini juga dapat memperpanjang pasien pada
penyakit terminal, dan meningkatkan ketidaknyamanan. Meskipun keinginan
untuk menghormati otonomi pasien, ada banyak alasan mengapa prosedur CPR
dapat rumit dalam pengaturan perioperatif.
B. SEJARAH
Perintah Do-Not_Resuscitate (DNR) telah digunakan selama kurang lebih
dua dekade. Argumen untuk penggunaan DNR meliputi peningkatan otonomi
pasien, menghindari intervensi medis yang sia-sia, dan biaya rawat inap. ICU
adalah pengaturan di mana pasien dapat dikenakan intervensi medis yang
mahal, menyakitkan, dan tidak manusiawi, terutama pada praktik yang terkait
dengan jantung-paru. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam
situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia. Tugas petugas kesehatan
adalah untuk mengkomunikasikan pengetahuannya tentang kedua
kemungkinan yang akan terjadi dan hasil yang bisa dicapai dari RJP
(Resusitasi Jantung Paru) kepada pasien dan keluarga pasien dan kemudian
untuk membantu pasien (dan / atau keluarga pasien) dalam membuat keputusan
tentang resusitasi. Kunci untuk proses ini adalah tindakan di awal, komunikasi
efektif antara petugas kesehatan, pasien, dan keluarga pasien.
Awalnya digambarkan pada tahun 1960, massage pada dada di dekat
jantung diterapkan pada pasien yang mengalai cardiopulmonal arrest. Singkat
kata, pasien yg dilakukan usaha CPR banyak yang sekarat. Statistik pada orang
miskin tercermin pelayanan yang sembarangan. Literatur menunjukkan bahwa
resusitasi mana diyakini menjadi sia-sia atau nonbeneficial, staf rumah sakit
melakukan upaya resusitasi palsu ('kode lambat') atau tidak mengaktifkan 'tim
kode' sama sekali.
Beberapa lembaga bahkan mengembangkan cara rahasia untuk
mengidentifikasi orang-orang yang tidak akan memenuhi syarat untuk upaya
resusitasi penuh. Kekhawatiran yang timbul mengenai dokumentasi yang tidak
memadai, akuntabilitas petugas kesehatan, dan fakta bahwa pasien dan
keluarga mereka sering dikecualikan dari proses pengambilan keputusan.
Tuduhan paternalisme dan pengambilan keputusan rahasia yang dibuat, dan
kekhawatiran yang timbul mengenai kurangnya kepercayaan antara petugas
kesehatan dan masyarakat. Itu tidak sampai pertengahan 1970-an bahwa
keputusan untuk tidak resusitasi pertama kali disahkan. Di Amerika Serikat
American Medical Association direkomendasikan bahwa keputusan untuk
mengorbankan resusitasi secara resmi didokumentasikan dan
dikomunikasikan . Selain itu, ditekankan bahwa CPR dimaksudkan untuk
pencegahan kematian tiba-tiba tak terduga - bukan pengobatan penyakit,
terminal ireversibel.
Eksplisit DNR kebijakan segera diikuti, dan hak pasien untuk menentukan
nasib sendiri dipromosikan. Pada akar dari perdebatan, diasumsikan bahwa
pasien akan selalu memilih resusitasi, dan bahwa segala sesuatu yang
bertentangan dengan itu diperlukan persetujuan eksplisit mereka. Kritikus
mempertanyakan pendekatan semacam itu dan berpendapat bahwa CPR tidak
pernah dimaksudkan (juga tidak berkhasiat) dalam segala situasi. Oleh karena
itu, CPR seharusnya hanya ditawarkan kepada mereka yang secara medis
diindikasikan. Namun, laporan tahun 1983 Komisi Presiden untuk Studi
Masalah Etis di Kepetugas kesehatanan tidak setuju, upaya resusitasi yang
dilakukan di hampir semua kasus, dan pasien dianggap telah memberikan
persetujuan implisit untuk CPR. Dengan demikian, CPR menjadi standar
perawatan, dan semua pasien 'kode penuh' kecuali jelas didokumentasikan
sebaliknya. CPR menjadi satu-satunya terapi medis yang diperlukan perintah
DNR. Perintah DNR kemudian diambil beberapa waktu untuk mendapatkan
penerimaan luas di semua lingkungan rumah sakit. Sebelum tahun 1990-an,
kebijakan formal untuk mengakomodasi pasien peri-operatif dengan perintah
DNR jarang. Akibatnya, keputusan yang biasanya diserahkan kepada ahli
bedah dan / atau anaesthesiologist, dan DNR secara rutin ditangguhkan selama
periode intraoperatif dan pasca operasi segera. Pada tahun 1991, beberapa
artikel mengkritik praktek ini meluas. Akibatnya, muncul keprihatinan bahwa
pasien dipaksa untuk berkompromi otonomi mereka dan hak untuk
menentukan nasib sendiri agar memenuhi syarat untuk operasi. Hal ini
menyebabkan kebijakan 'peninjauan kembali yang diperlukan', dan tiga kursus
yang berbeda dari tindakan yang telah diidentifikasi. The American Society of
Anesthesiologists formalized membuat kebijakan ini dalam seperangkat
pedoman yang disetujui pada tahun 1993 dan diperbarui pada tahun 1998.
E. PRINSIP ETIK
Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma budaya
harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang beneficence, non
maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di seluruh budaya, tetapi
prioritas prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi antar kebudayaan yang
berbeda. Di Amerika Serikat sebagaian besar penekanan pada otonomi
individual. Di Eropa lebih menekankan pada otonomi penyedia layanan
kesehatan yang menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila timbul
masalah. Sedangkan dia Asia, keputusan kelompok masyarakat mendominasi
keputusan yang diambil. Dikatakan bahwa resusitasi adalah paduan usaha
antara data ilmiah dan nilai-nilai sosial sedangkan pada saat yang sama juga
terdapat upaya mempertahankan otonomi budaya, sehingga petugas kesehatan
harus memainkan peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan
data ilmiah dan keinginan (preferensi) pasien.
1) Prinsip Beneficence
Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-
fungsinya, serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Resusitasi elektif
yang dilakukan pada tahun 1940-an dan awal 1950 seperti perawatan
pernafasan intensif dapat meningkatkan harapan hidup pasien poliomyelitis
bulbar dari 15% menjadi lebih dari 50%. Satu dekade kemudian, 14 dari 20
pasien (70%) yang ditangani dengan pemijatan jantung paru dapat bertahan
hidup.
Kouwenhoven, et. al melaporkan bahwa tingkat pemulangan pasien di RS
John Hopkins berkisar 14% pada tahun 1985 dan dibawah 10% pada tahun
1994. Tingkat kesuksesan sekitar 70% tidak pernah dipublikasikan.
Keuntungan terbesardari tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih dari
20% telah dilaporkan pada henti jantung selama tindakan anestesi, overdosis
obat dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventrikular primer.
Pada tahun 1995, tingkat pemulangan pasien hanya sekitar 17% yang
diikuti oleh pelaksanaan tindakan RJP pada pasien di ruang unit jantung
koroner terpadu dan dimonitor oleh pegawai yang terlatih, jarang sekali pasien
bertahan hidup setelah dilakukan tindakan RJP ketika henti jantung yang
timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan
hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) biala henti
jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker, atau AIDS, dan dengan
tidak adanya penyakit penyebab yang irreversibel, diikuti dengan trauma,
perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonisa. Dibatasinya
pelaksanaan RJP telah meningkatkan derajat harapan hidup pasien sebesar
10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-10% lainnya ditunda untuk dilakukan
RJP. RJP yang dimulai dengan cepat di Seattle menghasilkan tingkat harapan
hidup sebesar 36%, itu merupakan angka tertinggi yang dicapai dibandingkan
dengan data yang terdapat di literatur saat ini. Pada daerah lalu lintas yang
mempunyai sistem yang lebih buruk, angka keberhasilan RJP lebih rendah.
Secara spesifik di kota New York dan Chicago tingkat harapan hidup
setelah tindakan RJP kurang dari 2%, hal itu terjadi karena RJP yang terlambat
terkait dengan padatnya arus lalu lintas. Usia bukan merupakana salah satu
kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP. Walaupun dikatakan proses
penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan penyakit, dengan
terdapatnya perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih
menjadi salah satu perkiraan hasil RJP yang buruk.
4) Informed consent
Mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi yang
akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan medik yang
diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko dan manfaat dari tindakan medis
tersebut. Pasien juga harus dinilai kapa- sitasnya dalam mengambil keputusan.
Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap mempunyai kapasitas, dan bila
kapasitas dalam mengambil keputusan tersebut terganggu. Oleh karena obat-
obatan, penyakit-penyakit penyerta, maka kapasitas pasien harus dikembalikan
terlebih dahulu. Dalam keadaan darurat, dan preferensi pasien belum jelas,
dengan waktu yang terbatas untuk mengambil keputusan maka adalah bijaksana untuk
memberikan perawatan medis yang stan- dard. Pasien biasanya tidak mempunyai
rencana tentang apa yang terjadi pada akhir kehidupannya (end of life),
banyak yang tidak ingin menyiapkan advanced directives, living wills (surat
wasiat) atau mendiskusikan RJP. Petugas kesehatan juga jarang
mendiskusikan hal-hal tersebut dengan pasien- pasiennya, bahkan jika
pasien tersebut menderita sakit yang parah. Banyak pasien memiliki
pemahaman yang samar-samar tentang RJP dan konsekuensi-konsekuensinya.
Masyarakat umumnya berharap banyak tentang kemungkinan untuk bertahan
hidup dari serangan jantung. Beberapa penderita mungkin akan menolak
dilakukan RJP karena mereka mengetahui adanya defisit sensorik berat yang
timbul setelah serangan tersebut. Akan tetapi banyak penelitian tentang kualitas
hidup penderita yang selamat dari serangan jantung menyatakan bahwa risiko
tersebut dapat diterima. Baik petugas kesehatan dan penderita mungkin mempunyai
persepsi yang berbeda tentang kualitas hidup. Petugas kesehatan mempunyai kewajiban
untuk menerangkan kepada pasien tentang RJP dan hasilnya. Pengambilan
keputusan yang tepat dapat terjadi bila penderita mempunyai pemahaman yang
baik tentang persepsi dan hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul
karena banyak petugas kesehatan tidak dapat memprediksi secara akurat
tentang kemungkinan hidup dari serangan jantung, sehingga
penderita tidak dapat dipaksa untuk mengambil persetujuan tentang
tindakan RJP. Baik Kant maupun Rawls mengatakan sebuah keputusan moral
otonom harus rasional dan tidak memihak salah satu pembuat
keputusan. Rawls mengatakan dengan jelas bahwa pembuat keputusan, para
pemilih, tidak mengetahui masa depan mereka dalam suatu komunitas. Dari prinsip
tersebut para ahli menyimpulkan bahwa pasien harus dapat
menentukan pengobatannya sendiri. Prinsip tersebut mengharuskan kita
mengkaji ulang dan menyelesaikan dua masalah. Pertama, pasien selalu memikirkan
hasil dari keputusan tindakan medis tersebut oleh karena itu tidak harus selalu
berdasarkan prinsip otonomi bahkan ketika keputusan tentang tindakan medis
tersebut tidak dapat meeredakan rasa nyeri, atau penderitaan. Kedua,
merupakan prinsip keadilan yang menghasilkan kemampuan untuk menerima sesuatu,
bukan otonomi. Dalam formulasi terbarunya Beuchamp dan Childress lebih akurat
mengatakan prinsip ini sebagai “penghormatan terhadap otonomi”. Ada
beberapa bukti bahwa wali pengganti yang bertindak atas nama
pasien pada saat pasien telah kehi- langan kapasitas pengambilan
keputusan, ternyata pasien tidak secara tepat dapat mengatakan
keinginan yang sebenarnya. Sekitar sepertiga penderita ginjal kronik mene-
rima keputusan yang diambil oleh wali pengganti, ternyata keputusan itu
bertentangan dengan keinginannya.
3.1 Pendahuluan
DNR atau Do Not Resuscitate merupakan keputusan untuk tidak melanjutkan
tindakan CPR, keputusan diambil setelah 30 menit tidak menunjukan ada Return
of spontaneous circulation (ROSC) dari pasien. Pasien-pasien dengan DNR
termasuk dalam kategori sebagai pasien menjelang ajal (end of life). Menurut
Emergency Nursing Association salah satu kompetensi perawat IGD yaitu
memecahkan masalah dengan mengunakan prinsip etik dalam pengambilan
keputusan dan merupakan tanggung jawab dalam memberikan perawatan
menjelang ajal atau (Maria, 2017). Penentuan DNR diputuskan oleh dokter
dikolaborsikan dengan pertimbangan yang dikemukakan atau diusulkan oleh
perawat sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan. Pengalaman dalam
pengambilan keputusan DNR terkait siapa yang berhak menentukan diagnosa
DNR sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan (Tia, Retty & Ika, 2015).
3.2 Pembahasan
DNR atau do not resuscitation adalah tindakan yang dilakukan kepada pasien
untuk mendapatkan kenyamanan tidak dilakukan CPR atau cardio pulmonary
resuscitation serta menghentikan alat bantu hidup berdasarkan keputusan dan
pertimbangan baik dari keluarga dan atau tim medis yang ada (Tia & Cornelia,
2017). Penentuan DNR dapat didasarkan pada kondisi pasien seperti umur, jenis
kelamin, harapan hidup (Tia & Cornelia, 2017) sejalan dengan itu Junod,
Marobia, A de Torrente (2018) dalam penelitianya mengemukakan penentuan
DNR ditentukan mulai dari umur, jenis kelamin, status kesehatan pasien (medical
diagnosis) dan tingkat perkembangan mental klien berdasarkan status pasien dari
dokumen yang perawat susun. (maria, 2017). Ada pun menurut Brizzi (2012)
kriteria pasian DNR yaitu pasien yang berusia >75 tahun dan mengalami kondisi
seperti penurunan fungsi organ, mengalam stroke serta perdarahan pada
intraventicular terkait tidak berhasilnya proses CPR yang telah dilakukan.
Penentuan DNR harus didasarkan atas kesepakatan antara dokter dan perawat
didasari dengan hasil anamnesa yang telah dilakukan atas persetujuan dari
keluarga pasien. Kolaboras dan kerjasama dapat mengarahkan agar tim medis
dapat bertanggung jawab dalam setiap penanganan perawatan pasien. Semakin
baik kolaborasi dan kerjasama maka tindakan perawatan akan masimal (Maria,
2017).
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Aspek legal keperawatan adalah suatu aturan keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung
jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak dan kewajibannya.
Aspek legal keperawatan meliputi kewenangan berkaitan dengan izin
melaksanakan praktik profesi, sehingga tidak terlepas dari Undang-Undang dan
Peraturan tentang praktek Keperawatan. Fungsi hukum dari aspek legal dalam
praktik keperawatan merupakan suatu pedoman atau kerangka dalam menjalankan
praktik keperawatan. Dengan hukum tersebut, perawat dapat menentukan batas –
batas kewenangan serta hak dan tanggung jawab sebagai perawat.
Tanggung jawab (responsibilitas) adalah eksekusi terhadap tugas- tugas yang
berhubungandengan peran tertentu dari perawat. Tanggung gugat (akuntabilitas)
adalah mempertanggungjawabkan perilaku dan hasil ± hasilnya termasuk dlam
lingkup peran profesional seseorang sebagaimana tercermin dalam
laporan pendidik secara tertulis tentang perilaku tersebut dan hasil ± hasilnya.
Terhadap dirinya sendiri, pasien, profesi, sesama karyawan dan masyarakat.
Perawat memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat kepada pasien, sehingga
aspek legal keperawatan sebagai pedoman perawat perlu dijalankan dengan
sebaik-baiknya.
4.2 Saran
Seluruh perawat agar meningkatkan pemahamannya terhadap berbagai trend
dan isu keperawatan medikal bedah di Indonesia sehingga dapat dikembeangkan
dalam tatanan layanan keperawatan. Diharapkan agar perawat bisa
menindaklanjuti trend dan isu tersebut melalui kegiatan riset sebagai dasar untuk
pengembangan Evidence Based Nursing Practice di Lingkungan Rumah Sakit
dalam Lingkup Keperawatan Medikal Bedah dan Kegawat Daruratan
DAFTAR PUSTAKA
Pradjonggo, T. S., 2016. Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum
Pidana Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Issue No 1, pp. 56-63.
Zuhan, A., Rahman, H. & Januarman, 2016. Profil Penanganan Luka pada Pasien
Trauma di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Jurnal Kedokteran, vol 5(No 3), pp. 21-26.