Anda di halaman 1dari 23

“ISSUE LEGAL DO NOT RESUSITATION DALAM KEPERAWATAN

MEDIKAL BEDAH dan GAWAT DARURAT”


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Profesional
Dosen Pembimbing Ns. Rizeki D. Fibriansari, M. Kep

Disusun Oleh : Kelompok 10

Siti Alfiyatu Rosidah 172303101012


Ratih Widyawati Eka S 172303101017
Fara Oktavia 172303101026

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan kasih-
Nya, penyusuna nmakalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini
berjudul “Issue Legal Do Not Resusitation Dalam Keperawatan Medikal Bedah
Dan Gawat Darurat”
Makalah ini tidak akan dapat selesai tepat pada waktunya tanpa bantuan
dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini disampaikan terimakasih
kepada:
Ibu Rizeki D Fibriansari, M.Kep Selaku Dosen Pembimbing mata kuliah
Keperawatan Profesional. Penyusunan makalah ini pasti masih ada kekurangan
baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun segi lainnya. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya sehingga bisa memberikan
inspirasi kepada pembaca.

Lumajang, 28 Februari 2020

Penyusun
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia,
karena tanpa kesehatan yang baik manusia akan sulit untuk melakukan semua
aktivitasnya sehari-hari. Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya
kesehatan semakin meningkat. Dengan semakin meningkatknya kesadaran
masyarakat mengenai pentingnya kesehatan, maka semakin meningkat pula
kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya dalam pelayanan kesehatan dan
tindakan legal, maka isu legal dan etik muncul ketika perawatan menjadi sesuatu
hal yang bisa ditawar. Kemudian pada akhirnya menyebabkan seorang pemberi
kesehatan berada dalam pengawasan yang semakin ketat (Potter & Perry, 2005).
Belakangan ini kita sebagai tim kesehatan ataupun tim medis masih sering
mengalami dilema dalam kode etik kesehatan maupun masalah moral. Dimana
kita dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit, apakah kita harus melakukan atau
tidak melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien
kita. Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah Do Not Resuscitate (DNR).
Pasien DNR biasanya sudah diberikan tanda untuk tidak dilakukannya resusitasi
yang biasanya terdapat  pada baju, di ruang perawatan ataupun di pintu masuk,
sudah ada tanda tulisan “DNR”. Pasien DNR tidak benar-benar mengubah
perawatan medis yang diterima. Pasien masih diperlakukan dengan cara yang
sama. Semua ini dimaksudkan hanya jika tubuh pasien meninggal (berhenti
bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim medis tidak akan melakukan
CPR/RJP.
Berdasar pengamatan peneliti pada Desember 2015 di IGD RSUD dr. Saiful
Anwar, Situasi IGD yang crowded dengan banyaknya jumlah kunjungan pasien,
Jumlah kunjungan pasien ke IGD RSUD Dr. Saiful Anwar Malang dalam 3 tahun
terakhir yaitu dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 menunjukkan fluktuasi
yaitu pada tahun 2012 jumlah pasien sebesar 30.498 pasien, tahun 2013 berjumlah
31.416 pasien dan tahun 2014 berjumlah 29.891 pasien. Kematian di IGD selama
tahun 2014 sebanyak 730 pasien (Laporan Tahunan RSUD dr. Saiful Anwar
Malang, 2014).
Menjadi pasien DNR tidak berarti obat berhenti untuk diberikan. Salah satu
alasan utama orang menandatangani perintah DNR adalah karena apa yang terjadi
setelah petugas kesehatan mencoba untuk melakukan RJP atau apa efek setelah
melakukan RJP tersebut. Situasi ini umumnya disebut sebagai "kode." Hal ini
kadang-kadang diberikan nama samaran yang berbeda di rumah sakit yang
berbeda. Tindakan RJP yaitu dada akan dikompresi dengan tangan untuk
menstimulasikan detak jantung dan sirkulasi darah. Sebuah tabung dimasukkan ke
dalam mulut dan tenggorokan kemudian pasien dipasang ventilator untuk
bernafas. Jika jantung pasien dalam irama mematikan kemudian pasien dilakukan
kejut jantung, pasien akan terkejut dengan jumlah listrik yang besar dan kemudian
akan kembali ke irama. Konsekuensi menjadi diresusitasi, salah satu konsekuensi
potensial utama dilakukan RJP adalah kekurangan oksigen ke organ-organ tubuh.
Meskipun penekanan dada sedang dilakukan untuk mengedarkan darah melalui
tubuh, masih belum seefektif detak jantung biasa. Meskipun oksigen dipompa ke
paru-paru mekanik, penyakit itu sendiri dapat mencegah beberapa oksigen
mencapai aliran darah. Semakin lama RJP berlangsung, semakin besar
kemungkinan kerusakan pada organ-organ. Tapi jika tidak dilakukan RJP akan
berdampak dari kerusakan otak, kerusakan ginjal, hati, atau kerusakan paru-
paru.Apa pun bisa rusak berhubungan dengan kurangnya oksigenasi.
Obat-obatan yang dimasukkan ke dalam tubuh juga dapat berkontribusi untuk
kerusakan organ. Obat ini dirancang dengan satu organ adalah hati sebagai pusat
metabolisme dan penetral racun. Obat ini berfungsi untuk me-restart jantung dan
mendapatkannya kembali pada ritme dan meningkatkan tekanan darah. Kadang-
kadang organ-organ lain juga terkena kerusakan dari obat ini. Ada juga
kemungkinan trauma tubuh dari penekanan dada. Hal ini sangat normal untuk
mendengar retak tulang rusuk. Dibutuhkan banyak kekuatan untuk kompresi
jantung dengan sternum dan tulang rusuk yang berada di sampingnya. Terutama
orang tua biasanya mengalami kerusakan karena ini. Kejutan listrik juga dapat
menyebabkan traumatis. Jadi bahkan jika Pasien bangkit kembali, kemungkinan
Pasien pemulihan dan kelangsungan hidup dapat berpotensi jauh lebih rendah
daripada mereka sebelum resusitasi tersebut. Biasanya Pasien berakhir pada
ventilator setelah RJP. Jika pasien memiliki organ yang rusak, kerusakannya
terutama pada otak, ada kemungkinan bukan karena ventilator tapi karena
terlambatnya oksigen masuk ke otak.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana issue legal DNR dalam keperawatan medikal bedah dan gawat
darurat ?
1.3 Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui issu yang berkaitan dengan aspek
legal DNR dalam keperawatan medical bedah dan gawat darurat
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya
resusitasi CPR (cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru
(RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi
permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan.
Cardiopulmonary resuscitation (CPR) memiliki kemampuan untuk
membalikkan kematian dini. Hal ini  juga dapat memperpanjang pasien pada
penyakit terminal, dan meningkatkan ketidaknyamanan. Meskipun keinginan
untuk menghormati otonomi pasien, ada banyak alasan mengapa prosedur CPR
dapat rumit dalam pengaturan perioperatif.

B. SEJARAH
Perintah  Do-Not_Resuscitate (DNR) telah digunakan selama kurang lebih
dua dekade. Argumen untuk  penggunaan DNR meliputi peningkatan otonomi
pasien, menghindari intervensi medis yang sia-sia, dan  biaya rawat inap. ICU
adalah pengaturan di mana pasien dapat dikenakan intervensi medis yang
mahal, menyakitkan, dan tidak manusiawi, terutama pada praktik yang terkait
dengan jantung-paru. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam
situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia. Tugas petugas kesehatan
adalah untuk mengkomunikasikan pengetahuannya tentang kedua
kemungkinan yang akan terjadi dan hasil yang bisa dicapai dari RJP
(Resusitasi Jantung Paru) kepada pasien dan keluarga pasien dan kemudian
untuk membantu pasien (dan / atau keluarga pasien) dalam membuat keputusan
tentang resusitasi. Kunci untuk proses ini adalah tindakan di awal, komunikasi
efektif antara petugas kesehatan, pasien, dan keluarga pasien.
Awalnya digambarkan pada tahun 1960, massage pada dada di dekat
jantung diterapkan pada pasien yang mengalai cardiopulmonal arrest. Singkat
kata, pasien yg dilakukan usaha CPR banyak yang sekarat. Statistik pada orang
miskin tercermin pelayanan yang sembarangan. Literatur menunjukkan bahwa
resusitasi mana diyakini menjadi sia-sia atau nonbeneficial, staf rumah sakit
melakukan upaya resusitasi  palsu ('kode lambat') atau tidak mengaktifkan 'tim
kode' sama sekali.
Beberapa lembaga bahkan mengembangkan cara rahasia untuk
mengidentifikasi orang-orang yang tidak akan memenuhi syarat untuk upaya
resusitasi penuh. Kekhawatiran yang timbul mengenai dokumentasi yang tidak
memadai, akuntabilitas petugas kesehatan, dan fakta bahwa pasien dan
keluarga mereka sering dikecualikan dari proses  pengambilan keputusan.
Tuduhan paternalisme dan pengambilan keputusan rahasia yang dibuat, dan
kekhawatiran yang timbul mengenai kurangnya kepercayaan antara petugas
kesehatan dan masyarakat. Itu tidak sampai pertengahan 1970-an bahwa
keputusan untuk tidak resusitasi pertama kali disahkan. Di Amerika Serikat
American Medical Association direkomendasikan bahwa keputusan untuk
mengorbankan resusitasi secara resmi didokumentasikan dan
dikomunikasikan . Selain itu, ditekankan  bahwa CPR dimaksudkan untuk
pencegahan kematian tiba-tiba tak terduga - bukan pengobatan penyakit,
terminal ireversibel.
Eksplisit DNR kebijakan segera diikuti, dan hak pasien untuk menentukan
nasib sendiri dipromosikan. Pada akar dari perdebatan, diasumsikan bahwa
pasien akan selalu memilih resusitasi, dan bahwa segala sesuatu yang
bertentangan dengan itu diperlukan persetujuan eksplisit mereka. Kritikus
mempertanyakan pendekatan semacam itu dan berpendapat bahwa CPR tidak
pernah dimaksudkan (juga tidak berkhasiat) dalam segala situasi. Oleh karena
itu, CPR seharusnya hanya ditawarkan kepada mereka yang secara medis
diindikasikan. Namun, laporan tahun 1983 Komisi Presiden untuk Studi
Masalah Etis di Kepetugas kesehatanan tidak setuju, upaya resusitasi yang
dilakukan di hampir semua kasus, dan pasien dianggap telah memberikan
persetujuan implisit untuk CPR. Dengan demikian, CPR menjadi standar
perawatan, dan semua pasien 'kode penuh' kecuali jelas didokumentasikan
sebaliknya. CPR menjadi satu-satunya terapi medis yang diperlukan perintah
DNR. Perintah DNR kemudian diambil beberapa waktu untuk mendapatkan
penerimaan luas di semua lingkungan rumah sakit. Sebelum tahun 1990-an,
kebijakan formal untuk mengakomodasi pasien peri-operatif dengan perintah
DNR jarang. Akibatnya, keputusan yang biasanya diserahkan kepada ahli
bedah dan / atau anaesthesiologist, dan DNR secara rutin ditangguhkan selama
periode intraoperatif dan pasca operasi segera. Pada tahun 1991, beberapa
artikel mengkritik praktek ini meluas. Akibatnya, muncul keprihatinan  bahwa
pasien dipaksa untuk berkompromi otonomi mereka dan hak untuk
menentukan nasib sendiri agar memenuhi syarat untuk operasi. Hal ini
menyebabkan kebijakan 'peninjauan kembali yang diperlukan', dan tiga kursus
yang berbeda dari tindakan yang telah diidentifikasi. The American Society of
Anesthesiologists formalized membuat kebijakan ini dalam seperangkat
pedoman yang disetujui pada tahun 1993 dan diperbarui pada tahun 1998.

C. ARGUMEN KELOMPOK PRO vs KONTRA DNR


Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan
yang juga diatur dalam PP 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah
berhentinya fungsi jantung dan paru-paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena
teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semua
terhenti kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat
dipompa untuk berkembang kempis kembali. Konsep mati sering menimbulkan
keraguan karena misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan
demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
Mengenai konsep mati dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara
permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu juga dipertanyakan
karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah
mati. Untuk kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secara
moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi
meskipun tidak terpadu lagi. Bila dibandingkan dengan manusia sebagi mahluk
sosial yaitu individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupan
kekhususannya, kemampuannya mengingat menentukan sikap dan mengambil
keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat, mampu
menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak
baiksecara fisik maupun sosial makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali
ini terdapat dalam batang otak, oleh karena itu jika batang otak telahmati (brain
system death) dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah
mati. Dalam keadaan demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak
meneruskanresusitasi (DNR, do not resuscitation) penentuan saat mati ini juga
dibahas dan ditetapkan dalam world.
Medical Assembly tahun 1968 yang dikenal dengan Deklarasi Sydney.
Disini dinyatakan penentuan saat kematian di kebanyakan negara merupakan
tanggung jawab sah petugas kesehatan. Petugas kesehatan dapat menentukan
sesorang sudah mati dengan menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan
alat khusus yang telahdiketahui oleh semua petugas kesehatan.Yang penting
dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian tersebut sudah tidak
dapat dikembalikan lagi (irreversible) meski menggunakan teknik penghidupan
kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat yang sungguh-
sungguh memuaskan dapat digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat
elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut.
  Namun ada di beberapa negara yang tidak menerapkan kondisi DNR. Di
negara-negara di mana tidak tersedia DNR keputusan untuk mengakhiri
resusitasi dibuat semata-mata oleh petugas kesehatan. Petugas kesehatan
berusaha untuk menyadarkan semua pasien terlepas dari keinginan individu
atau keluarga. Di Israel, penandatanganan formulir DNR diperbolehkan
asalkan keadaan pasien sekarat dan menyadari tindakan mereka.
Di Inggris, DNR digunakan untuk perawatan medis, pasien hanya dapat
diberikan informed consent,  jika mereka memiliki kapasitas sebagaimana
didefinisikan dalam Undang-Undang Kapasitas Mental 2005; jika mereka tidak
memiliki kapasitas kerabat akan sering diminta pendapat mereka keluar dari
rasa hormat namun tidak memiliki kekuatan hukum keras pada keputusan
petugas kesehatan. Dalam situasi ini, itu tugas petugas kesehatan untuk
bertindak dalam 'kepentingan terbaik' mereka, apakah itu berarti meneruskan
atau menghentikan pengobatan, dengan menggunakan penilaian klinis mereka.
Atau, pasien dapat menentukan keinginan mereka dan / atau mengalihkan
mereka pengambilan keputusan yang diwakili menggunakan arahan yang
advance, yang sering disebut sebagai ‘Living Wills’.
Amerika Serikat Di Amerika Serikat dokumentasi tersebut cukup rumit,
dimana di setiap negara menerima bentuk yang  berbeda, dan  petunjuk
advance serta ”living wills” tidak diterima oleh EMS sebagai bentuk sah secara
hukum. Jika pasien memiliki hidup yang menyatakan akan pasien ingin
menjadi DNR tetapi tidak memiliki resusitasi tepat mengisi formulir yang
disponsori negara yang ikut ditandatangani oleh petugas kesehatan, EMS akan
mencoba. Ini adalah fakta yang diketahui sedikit banyak pasien dan petugas
kesehatan perawatan primer yang dapat menyebabkan pasien untuk menerima
perawatan yang mereka tidak inginkan, dan hukum ini saat ini sedang
dievaluasi untuk tantangan konstitusional.
Keputusan DNR oleh pasien pertama kali pada tahun 1976 diligitasi Di
Quinlan. The New Jersey Mahkamah Agung menguatkan hak orang tua Karen
Ann Quinlan untuk memesan penghapusan dia dari ventilasi buatan. Pada
tahun 1991 Kongres meloloskan ke dalam hukum. Penentuan Nasib Sendiri
Pasien diamanatkan rumah sakit menghormati keputusan individu dalam
perawatan kesehatan mereka. 49 negara saat ini memungkinkan keluarga
terdekat untuk membuat keputusan medis kecuali Missouri. Missouri memiliki
Living Will Statute yang membutuhkan dua orang saksi untuk setiap  perintah
sebelumnya ditandatangani yang menghasilkan kode status DNR di rumah
sakit. Di AS, resusitasi cardiopulmonary (CPR) tidak akan dilakukan jika
ditulis valid "DNR". Banyak negara bagian di Amerika tidak mengenali
kehendak hidup atau proxy kesehatan dalam pengaturan pra-rumah sakit dan
personil pra-rumah sakit di daerah tersebut mungkin diperlukan untuk memulai
tindakan resusitasi kecuali bentuk keadaan tertentu yang disponsori tepat diisi
dan cosigned oleh petugas kesehatan.

D. PEDOMAN BAGI PETUGAS KESEHATAN


Pedoman yang dikeluarkan oleh British Medical Association dan Royal
College of Nursing mengatakan  bahwa perintah DNR hanya boleh dikeluarkan
setelah diskusi dengan pasien atau keluarga mereka. Meskipun mungkin sulit
untuk berdiskusi dengan pasien dan keluarga mereka tentang apakah untuk
pasien dapat hidup kembali atau tidak, tapi bagaimanapun juga diskusi
terhadap keluarga pasien diperlukan untuk mengambil keputusan dilakukan
atau tidaknya CPR.
Kasus-kasus yang paling sulit untuk didiskusikan biasanya pasien yang
menderita rasa sakit berlebih, tapi kemungkinan bisa hidup selama beberapa
bulan Dr. Robin Loveday, konsultan mengatakan, "DNR adalah situasi di mana
anda benar-benar membutuhkan  banyak diskusi dengan pasien dan keluarga
mereka untuk membantu mereka membuat keputusan, jika mereka menderita
serangan jantung, apakah tepat untuk memberi harapan mereka hidup beberapa
bulan lagi.
Di Inggris, NHS Trust harus memastikan:
1) Kebijakan resusitasi sepakat bahwa menghormati hak-hak pasien adalah di
tempat seorang direktur non-eksekutif diidentifikasi untuk mengawasi
pelaksanaan kebijakan
2) Kebijakan ini tersedia untuk pasien, keluarga dan perawat
3) Kebijakan tersebut diletakkan di bawah audit dan dipantau dengan teratur

E. PRINSIP ETIK
Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma budaya
harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang beneficence, non
maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di seluruh budaya, tetapi
prioritas prinsip-prinsip tersebut dapat bervariasi antar kebudayaan yang
berbeda. Di Amerika Serikat sebagaian besar penekanan pada otonomi
individual. Di Eropa lebih menekankan pada otonomi penyedia layanan
kesehatan yang menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila timbul
masalah. Sedangkan dia Asia, keputusan kelompok masyarakat mendominasi
keputusan yang diambil. Dikatakan bahwa resusitasi adalah paduan usaha
antara data ilmiah dan nilai-nilai sosial sedangkan pada saat yang sama juga
terdapat upaya mempertahankan otonomi budaya, sehingga petugas kesehatan
harus memainkan peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan
data ilmiah dan keinginan (preferensi) pasien.
1) Prinsip Beneficence
Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-
fungsinya, serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Resusitasi elektif
yang dilakukan pada tahun 1940-an dan awal 1950 seperti perawatan
pernafasan intensif dapat meningkatkan harapan hidup pasien poliomyelitis
bulbar dari 15% menjadi lebih dari 50%. Satu dekade kemudian, 14 dari 20
pasien (70%) yang ditangani dengan pemijatan jantung paru dapat bertahan
hidup.
Kouwenhoven, et. al melaporkan bahwa tingkat pemulangan pasien di RS
John Hopkins berkisar 14% pada tahun 1985 dan dibawah 10% pada tahun
1994. Tingkat kesuksesan sekitar 70% tidak pernah dipublikasikan.
Keuntungan terbesardari tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih dari
20% telah dilaporkan pada henti jantung selama tindakan anestesi, overdosis
obat dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventrikular primer.
Pada tahun 1995, tingkat pemulangan pasien hanya sekitar 17% yang
diikuti oleh pelaksanaan tindakan RJP pada pasien di ruang unit jantung
koroner terpadu dan dimonitor oleh pegawai yang terlatih, jarang sekali pasien
bertahan hidup setelah dilakukan tindakan RJP ketika henti jantung yang
timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan
hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) biala henti
jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker, atau AIDS, dan dengan
tidak adanya penyakit penyebab yang irreversibel, diikuti dengan trauma,
perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonisa. Dibatasinya
pelaksanaan RJP telah meningkatkan derajat harapan hidup pasien sebesar
10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-10% lainnya ditunda untuk dilakukan
RJP. RJP yang dimulai dengan cepat di Seattle menghasilkan tingkat harapan
hidup sebesar 36%, itu merupakan angka tertinggi yang dicapai dibandingkan
dengan data yang terdapat di literatur saat ini. Pada daerah lalu lintas yang
mempunyai sistem yang lebih buruk, angka keberhasilan RJP lebih rendah.
Secara spesifik di kota New York dan Chicago tingkat harapan hidup
setelah tindakan RJP kurang dari 2%, hal itu terjadi karena RJP yang terlambat
terkait dengan padatnya arus lalu lintas. Usia bukan merupakana salah satu
kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP. Walaupun dikatakan proses
penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan penyakit, dengan
terdapatnya perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih
menjadi salah satu perkiraan hasil RJP yang buruk.

2) Prinsip Non Maleficence (Do Not Harm)


Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakana RJP bervariasi antara
10-83%. Pada sslaah satu penelitian, 55 dari 60 anak meninggal karena
pemberian RJP yang berkepanjangan; lima lainnya bertahan hidup pada
kondisi coma persistant atau status vegetatif di rumah sakit. Banyak pasien
dengan disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan otak berada dalam
kondisi yang sama dengan kematian. RJP menjadi berbahaya dan bersifat
merusak ketika resiko kerusakan otak relatif tinggi. Oleh karena gangguan
aliran darah ke otak atau ke jantung dapat menyebakan kerusakan berat, RJP
dapat dikatakan berhasil hanya jika dilakukan tepat waktu. Seorang
investigator dari Swedia melaporkan bahwa harapan hidup melebihi 80% pada
pemberian RJP oleh orang di sekitar korban dan ambulan datang kurang dari 2
menit, akan tetapi angka ini menjadi lebih buruk bahkan kurang dari 6% ketika
ambulan datang lebih dari 6 menit atau tidak ada orang di sekitar korban yang
melakukan RJP. Pada beberapa negara di Amerika Serikat, walaupun petugas
gawat darurat sudah membatasi dilakukannya RJP di lapangan, namun ternyata
masih dapat ditemukan bukti RJP yang tidak dikehendaki. Bahkan didapatkan
7% pasien yang dipulangkan dari rumah sakit tidak menghendaki
dilakukannya RJP. T i n d a k a n RJP dikatakan tidak merusak jika
keuntungan yang didapatkan lebih besar. 
3) Prinsip Otonomi
Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan disebagian besar
negara dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu membutuhkan
kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau menolak
tindakan medis termasuk RJP. Di Amerika Serikat, pasien dewasa dianggap
memiliki kapasitas dalam mengambil keputusan kecuali jika pengadilan telah
menyatakan bahwa mereka tidak kompeten untuk membuat keputusan tindakan
medis sedangkan di negara lain keputusan pengadilan tidak diperlukan untuk
penderita-penderita dengan incompetency seperti pada penderita penyakit jiwa.

4) Informed consent
Mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi yang
akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan medik yang
diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko dan manfaat dari tindakan medis
tersebut. Pasien juga harus dinilai kapa- sitasnya dalam mengambil keputusan.
Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap mempunyai kapasitas, dan bila
kapasitas dalam mengambil keputusan tersebut terganggu. Oleh karena obat-
obatan, penyakit-penyakit penyerta, maka kapasitas pasien harus dikembalikan
terlebih dahulu. Dalam keadaan darurat, dan preferensi pasien belum jelas,
dengan waktu yang terbatas untuk mengambil keputusan maka adalah bijaksana untuk
memberikan perawatan medis yang stan- dard. Pasien biasanya tidak mempunyai
rencana tentang apa yang terjadi pada akhir kehidupannya (end of life),
banyak yang tidak ingin menyiapkan advanced directives, living wills (surat
wasiat) atau mendiskusikan RJP. Petugas kesehatan juga jarang
mendiskusikan hal-hal tersebut dengan pasien- pasiennya, bahkan jika
pasien tersebut menderita sakit yang parah. Banyak pasien memiliki
pemahaman yang samar-samar tentang RJP dan konsekuensi-konsekuensinya.
Masyarakat umumnya berharap banyak tentang kemungkinan untuk bertahan
hidup dari serangan jantung. Beberapa penderita mungkin akan menolak
dilakukan RJP karena mereka mengetahui adanya defisit sensorik berat yang
timbul setelah serangan tersebut. Akan tetapi banyak penelitian tentang kualitas
hidup penderita yang selamat dari serangan jantung menyatakan bahwa risiko
tersebut dapat diterima. Baik petugas kesehatan dan penderita mungkin mempunyai
persepsi yang berbeda tentang kualitas hidup. Petugas kesehatan mempunyai kewajiban
untuk menerangkan kepada pasien tentang RJP dan hasilnya. Pengambilan
keputusan yang tepat dapat terjadi bila penderita mempunyai pemahaman yang
baik tentang persepsi dan hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul
karena banyak petugas kesehatan tidak dapat memprediksi secara akurat
tentang kemungkinan hidup dari serangan jantung, sehingga
penderita tidak dapat dipaksa untuk mengambil persetujuan tentang
tindakan RJP. Baik Kant maupun Rawls mengatakan sebuah keputusan moral
otonom harus rasional dan tidak memihak salah satu pembuat
keputusan. Rawls mengatakan dengan jelas bahwa pembuat keputusan, para
pemilih, tidak mengetahui masa depan mereka dalam suatu komunitas. Dari prinsip
tersebut para ahli menyimpulkan bahwa pasien harus dapat
menentukan  pengobatannya sendiri. Prinsip tersebut mengharuskan kita
mengkaji ulang dan menyelesaikan dua masalah. Pertama, pasien selalu memikirkan
hasil dari keputusan tindakan medis tersebut oleh karena itu tidak harus selalu
berdasarkan prinsip otonomi bahkan ketika keputusan tentang tindakan medis
tersebut tidak dapat meeredakan rasa nyeri, atau penderitaan. Kedua,
merupakan prinsip keadilan yang menghasilkan kemampuan untuk menerima sesuatu,
bukan otonomi. Dalam formulasi terbarunya Beuchamp dan Childress lebih akurat
mengatakan prinsip ini sebagai “penghormatan terhadap otonomi”. Ada
beberapa bukti bahwa wali pengganti yang bertindak atas nama
pasien pada saat pasien telah kehi- langan kapasitas pengambilan
keputusan, ternyata pasien tidak secara tepat dapat mengatakan
keinginan yang sebenarnya. Sekitar sepertiga penderita ginjal kronik mene-
rima keputusan yang diambil oleh wali pengganti, ternyata keputusan itu
bertentangan dengan keinginannya. 

5) Prinsip Keadilan (Justice) 


Pemikiran tentang prinsip keadilan meliputi dibuatnya hak-hak
untuk menerima sesuatu,  persaingan untuk mendapatkan kepentingan
pribadi dan menyeimbangkan tujuan sosial. Masalahnya adalah seharusnya
diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis kepada
yang memerlukannya dengan efek yang bermanfaat, karena keadilan
diperlukan untuk mengurangi ketidaksamaan dalam perlakuan yang sering timbul
dalam masyarakat. Dokter harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan
masyarakat untuk merawat mereka berdasarkan sumber penghasilan yang
secara umum disediakan seperti dari asuransi pribadi, atau pemerintah atau
dukungan institusi secara langsung. Akan tetapi, untuk menentukan apakah
diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal dalam memberikan
pelayanan medis harus dinilai seberapa penting masalah yang dihadapi, o l e h karena itu
diusulkan pelayanan kesehatan dasar sebaiknya:
a) mencegah, mengobati, dan mengusahakan one- year survival lebih dari
75 persen
b) menghasilkan lebih sedikit toksisitas atau disabilitas  jangka panjang
c) dapat memberikan manfaat dan
d) secara nyata lebih mengun- tungkan daripada memberatkan. 

6) Prinsip kesia-siaan (Principle Of Futility)


“ Futility” adalah kata yang berarti tidak adanya ke- untungan. Kata “sia-
sia” berasal dari bahasa Latin “futilis”, yang berarti mudah meleleh atau
mengalir. Penggunaan kata ini berasal dari legenda Yunani ketika Raja Argos
dibunuh atas kejahatan yang dilakukannya, kemudian istri dan anak- anaknya
dikutuk selama-lamanya untuk mengumpulkan air dengan menggunakan ember
yang bocor ke suatu tempat sehingga saat sampai di tempat tujuan
ember tersebut kosong. Definisi “sia- sia”, “tidak berguna” atau “futility”
digunakan untuk menggambarkan ketidakbergunaan atau tidak
adanya efek, khususnya tidak adanya efek yang diinginkan dan jika
diasumsikan bahwa efek yang diinginkan intervensi medis adalah untuk
sesuatu yang bermanfaat bagi pasien maka sia-sia menggambarkan ketiadaan
manfaat tersebut. Dalam  Roget ’ s Link Thesaurus sia-sia digunakan dengan
konsep umum inutility, sama dengan kata-kata seperti tidak berguna,
inefficacy, kebodohan, ketidakmampuan, unfruitfulness, suatu
pekerjaan yang sia-sia bahkan tidak berharga dan hanya lelucon dan
dengan konsep umum absurditas seperti “kedunguan,” ”omong kosong,
“kesalahan”, “kekacauan,”, “keledai,” “omong kosong” “kesa  Dikatakan juga
kesiasiaan menggambarkan tidak ada manfaat tanpa pertimbangan. Bagaimana
jika tindakan intervensi medis yang dilakukan memberikan sedikit manfaat.
Ketika kehidupan seseorang digambarkan dengan penyakit lanjut,
ketergantungan penuh dengan orang lain, demensia, sedangkan keuntungan
yang didapat dari tindakan RJP ternyanta tidak adekuat dan tidak sesuai yang
diharapkan. Memberikan hak sepenuhnya kepada pasien untuk memutuskan
tindakan yang akan dilakukan tidak akan menyelesaikan masalah. Ketika
permasalahan yang terkait dengan kematian dan koma menjadi sangat sulit
maka perlu ketegasan tentang tujuan sebenarnya yang akan dicapai. Jika
resusitasi adalah sia-sia maka setiap kerugian yang terjadi akan membawa
sesuatu yang tidak menguntungkan/ membahayakan keseimbangan, sehingga
melakukan tindakan tanpa tujuan yang berguna adalah suatu hal yang tidak
efektif. Tomlinson dan brody mengakui bahwa untuk menyatakan suatu
tindakan atau intervensi medik harus melibatkan keseimbangan yang kompleks
antara ketidak pastian dan kewajiban akan tanggungjawab. Schneiderman dan
Jacker telah mempelajari tentang makna kesia-siaan dan membuat definisi
kuantitatif dari sia-sia yang membutuhkan kepastian bahwa intervensi tersebut
minimal 100 kali gagal digunakan. Hal itu menunjukkan bahwa tindakan
tersebut tidak memiliki suatu kejelasan tertentu, sehingga diperlukan diskusi
yang mendalam dengan pasien atau keluarga untuk mengevaluasi keuntungan
dan beban atau tanggung jawab yang masih tersisa.
Di unit perawatan intensif (ICU) pasien yang meninggal sebagai akibat dari
keputusan dipertahankanya atau ditariknya alat-alat pendukung kehidupan
adalah sekitar 70-90%. Persentase tersebut meningkat secara signifikan dari
waktu ke waktu, dan alasan yang paling umum untuk dilakukannya tindakan
medis untuk mempertahankan alat0alat penunjang kehidupan tersebut adalah
persepsi bahwa pasien mempunyai prognosis yang buruk.
RJP adalah tindakan medis yang paling sering dipertahankan dan ventilasi
mekanis adalah tindakan medis yang paling sering ditarik kembali. Upaya
untuk mengukur kesia-siaan adalah berdasarkan pada penilaian RJP fisiologis
atau fitur prognosis lainya yang ternyata memberikan hasil yang tidak banyak
bermanfaat. Berbagai definisi kesia-siaan termasuk disini adalah gagal untuk
memperpanjang hidup gagal untuk mencapai efek fisiologis pada tubuh untuk
mencapai manfaat terapeutik bagi pasien.
Waisel dan Troug menyimpulkan tiga perbedaan yang konseptual dari
definisi kesia- siaan. Kesia-siaan fisiologis terjadi apabila gagal atau tidak
dapat memberikan tujuan fisiologis. Sebagai contoh ketika RJP tidak
menghasilkan denyut nadi atau ketika transfusi tidak menghasilkan tekanan
darah, maka intervensi tersebut adalah sia-sia dari perspektif definisi sebuah
kesia-siaan fisiologis. Schneiderman et al, berpendapat bahwa konsep kesia-
siaan fisiologis bukan merupakan nilai bebas, penilaian terapi tersebut adalah
sebuah “pilihan nilai” dan bahwa pilihan yang dibuat adalah nilai pengukuran
fungsi organ daripada nilai hasil untuk pasien. Definisi kesia-siaan lainnya
adalah kesia-siaan yang berpusat pada asas manfaat (benefit centered), yang
didefinisikan sebagai kesia-siaan yang terdiri dari pertimbangan kuantitatif dan
kualitatif. Perkiraan kuantitatif kesia-siaan adalah saat intervensi medis
dianggap sia-sia jika gagal dalam jumlah yang ditentukan terakhir kali
mencoba, dan disarankan usaha tersebut berhasil apabila dilakukan 100 kali
sebagai ambang batas mknimal yang dianggap oleh penilaian profesional pada
umumnya. Komponen kualitatif menggambarkan kesia-siaan yang terjadi saat
kualitas hidup pasien jatuh di bawah ambang batas minimal yang dianggap
oleh penilaian professional pada umumnya. Murphy dan Finucane
menggusulkan definisi kesia-siaan operasional sebagai perlakuan yang sangat
tidak mungkin untuk berhasil dan banyak orang awam maupun kalangan
profesional menganggap bahwa hal tersebut tidak sepadan dengan biaya.
The American Thoracic Society mengadopsi makna kesia-siaan dengan
lebih konservatif, namun definisinya lebih samar-samar, dimana dikatakan
bahwa intervensi medis tersebut dikatakan sia-sia jika sudah sangat tidak
mungkin untuk menghasilkan makna kehidupan. Oleh karena itu, The
American Thoracic Society memberikan definisi kesia-siaan berasal dari
campuran antara kuantitatif (sangat tidak mungkin) dan kualitatif (bermakna
untuk bertahan hidup).
American Heart Association mengambil definisi kualitatif kesia-siaan
secara ekstrem, dikatakan bahwa RJP adalah sia-sia karena tidak ada yang
selamat seperti yang dilaporkan pada sebuah penelitian yang didesain dengan
baik, dan dibuat untuk mempertimbangkan bahwa tindakan RJP adalah tidak
sia-sia. Definisi yang dikemukakan oleh American Heart Association tersebut
tampaknya untuk mendukung tidak dilakukan RJP pada situasi-situasi yang
akan membawa lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya, dan
definisi kesia-saian tersebut konsisten dengan definisi kesia-siaan yang ada
yaitu tidak ada manfaatnya.
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Pendahuluan
DNR atau Do Not Resuscitate merupakan keputusan untuk tidak melanjutkan
tindakan CPR, keputusan diambil setelah 30 menit tidak menunjukan ada Return
of spontaneous circulation (ROSC) dari pasien. Pasien-pasien dengan DNR
termasuk dalam kategori sebagai pasien menjelang ajal (end of life). Menurut
Emergency Nursing Association salah satu kompetensi perawat IGD yaitu
memecahkan masalah dengan mengunakan prinsip etik dalam pengambilan
keputusan dan merupakan tanggung jawab dalam memberikan perawatan
menjelang ajal atau (Maria, 2017). Penentuan DNR diputuskan oleh dokter
dikolaborsikan dengan pertimbangan yang dikemukakan atau diusulkan oleh
perawat sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan. Pengalaman dalam
pengambilan keputusan DNR terkait siapa yang berhak menentukan diagnosa
DNR sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan (Tia, Retty & Ika, 2015).

3.2 Pembahasan
DNR atau do not resuscitation adalah tindakan yang dilakukan kepada pasien
untuk mendapatkan kenyamanan tidak dilakukan CPR atau cardio pulmonary
resuscitation serta menghentikan alat bantu hidup berdasarkan keputusan dan
pertimbangan baik dari keluarga dan atau tim medis yang ada (Tia & Cornelia,
2017). Penentuan DNR dapat didasarkan pada kondisi pasien seperti umur, jenis
kelamin, harapan hidup (Tia & Cornelia, 2017) sejalan dengan itu Junod,
Marobia, A de Torrente (2018) dalam penelitianya mengemukakan penentuan
DNR ditentukan mulai dari umur, jenis kelamin, status kesehatan pasien (medical
diagnosis) dan tingkat perkembangan mental klien berdasarkan status pasien dari
dokumen yang perawat susun. (maria, 2017). Ada pun menurut Brizzi (2012)
kriteria pasian DNR yaitu pasien yang berusia >75 tahun dan mengalami kondisi
seperti penurunan fungsi organ, mengalam stroke serta perdarahan pada
intraventicular terkait tidak berhasilnya proses CPR yang telah dilakukan.
Penentuan DNR harus didasarkan atas kesepakatan antara dokter dan perawat
didasari dengan hasil anamnesa yang telah dilakukan atas persetujuan dari
keluarga pasien. Kolaboras dan kerjasama dapat mengarahkan agar tim medis
dapat bertanggung jawab dalam setiap penanganan perawatan pasien. Semakin
baik kolaborasi dan kerjasama maka tindakan perawatan akan masimal (Maria,
2017).
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Aspek legal keperawatan  adalah suatu aturan keperawatan  dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung
jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak dan kewajibannya.
Aspek legal keperawatan meliputi kewenangan berkaitan  dengan izin
melaksanakan praktik profesi, sehingga tidak terlepas dari Undang-Undang dan
Peraturan tentang praktek Keperawatan. Fungsi hukum dari aspek legal dalam
praktik keperawatan merupakan suatu pedoman atau kerangka dalam menjalankan
praktik keperawatan. Dengan hukum tersebut, perawat dapat menentukan batas –
batas kewenangan serta hak dan tanggung jawab sebagai perawat.
Tanggung jawab (responsibilitas) adalah eksekusi terhadap tugas- tugas yang
berhubungandengan peran tertentu dari perawat. Tanggung gugat (akuntabilitas)
adalah mempertanggungjawabkan perilaku dan hasil ± hasilnya termasuk dlam
lingkup peran profesional seseorang sebagaimana tercermin dalam
laporan pendidik secara tertulis tentang perilaku tersebut dan hasil ± hasilnya.
Terhadap dirinya sendiri, pasien, profesi, sesama karyawan dan masyarakat.
Perawat memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat kepada pasien, sehingga
aspek legal keperawatan sebagai pedoman perawat perlu dijalankan dengan
sebaik-baiknya.

4.2 Saran
Seluruh perawat agar meningkatkan pemahamannya terhadap berbagai trend
dan isu keperawatan medikal bedah di Indonesia sehingga dapat dikembeangkan
dalam tatanan layanan keperawatan. Diharapkan agar perawat bisa
menindaklanjuti trend dan isu tersebut melalui kegiatan riset sebagai dasar untuk
pengembangan Evidence Based Nursing Practice di Lingkungan Rumah Sakit
dalam Lingkup Keperawatan Medikal Bedah dan Kegawat Daruratan
DAFTAR PUSTAKA

Pradjonggo, T. S., 2016. Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum
Pidana Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Issue No 1, pp. 56-63.

Setiani, B., 2018. Pertanggungjawaban Hukum Perawat Dalam Hal Pemenuhan


Kewajiban Dan Kode Etik Dalam Keperawatan. Jurnal Ilmiah Ilmu
Keperawatan Indonesia , Vol. 8 (No.4 ), pp. 497-506.

Widyaswara, P. A., Wihastuti, T. A. & Fathoni, M., 2016. Analisis Faktor-Faktor


Yang Berhubungan Dengan Outcome Pasien Cedera Kepala Di Igd Rsud
Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan, Volume 12(No.3 ), pp. 154-164.

Zuhan, A., Rahman, H. & Januarman, 2016. Profil Penanganan Luka pada Pasien
Trauma di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Jurnal Kedokteran, vol 5(No 3), pp. 21-26.

Anda mungkin juga menyukai