Anda di halaman 1dari 10

A.

Latar Belakang

Dalam perkembangan zaman isu HAM menjadi isu global yang tidak dapat kita
kesampingkan terutama oleh suatu negara apabila ingin berada dalam pergaulan
internasional, dengan konsep yang dianggap universal yang mencerminkan
masyarakat beradab kini telah menjadi faktor yang berpengaruh terhadap
pembentukan maupun pelaksanaan norma di masyarakat, maka dari itu pelaksanaan
sanksi adat perlu dikaji kembali dengan maksud agar pelaksanaan sanksi adat tersebut
tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat luas yang didukung oleh
hukum Nasional.

Hukum adat adalah hukum yang selalu berubah sesuai dengan perubahan masyarakat,
adanya sanksi adat yang timbul, berkembang dan lenyap itu disesuaikan dengan
perubahan masyarakat dimana sanksi adat yang telah ditinggalkan oleh masyarakat itu
dikarenakan dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat ataupun
juga karena sanksi adat itu dilarang tegas oleh pihak yang berwenang dengan
peraturan perundang-undangan . Dalam hal ini hukum adat serta sanksi adat
merupakan fenomena yang ada di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya di Bali.
Sanksi adat adat lahir dari upaya peciptaan keteraturan di masyarakat.

Diantara beberapa jenis sanksi adat di Bali yang masih berlaku, sanksi kasepekang
(dikucilkan) termasuk jenis sanksi adat yang paling berat. Pada prinsipnya
kasepekang itu adalah salah satu bentuk sanksi adat yang berupa pengucilan yang
dikenakan kepada warga desa (karma desa pakraman) yang melanggar ketentuan-
ketentuan adat dan terhadap pelanggar tersebut dikenakan sanksi yang pada intinya
tidak mendapat pemberitahuan (tan polih arah-arahan), tidak mendapat layanan
kentongan (tan polih suaran kul-kul), dan tidak mendapat bantuan banjar (tan polih
panyanggran banjar) dan mereka masih tetap berhak menggunakan fasilitas yang
dimiliki oleh desa pakraman seperti kuburan (setra) dan pura sebagai tempat
persembahyangan. Saat ini penerapan sanksi kasepekang telah diterapkan melebihi
makna yang terkandung di dalam sanksi adat tersebut, yaitu penjatuhkan sanksi yang
dilakukan secara sewenang-wenang.

Sanksi adat kasapekang di Bali saat ini dianggap telah bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia, dimana dalam aturan HAM tindakan diskriminasi sangat dilarang,
dapat dilihat dalam Pasal 1 Angka 3 yang menyatakan “diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelechan, atau pengucilan yang langsung atau tidak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya.

B. Pembahasan
1. Apakah penerapan sanksi adat kasepekang bertentangan dengan HAM?

Setiap desa adat (desa pakraman) di Bali, mempunyai aturan (tertulis maupun tidak
tertulis) yang berlaku bagi warga desa adat bersangkutan. Aturan ini dikenal dengan
awig-awig. Apabila dikemudian hari ada warga desa pakraman yang melanggar awig-
awig tersebut maka ia akan dikenakan sanksi adat.

Sanksi dikalangan masyarakat tradisional atau masyarakat adat, dikenal dengan


sebutan “sanksi adat”, atau reaksi adat. untuk di Bali, sanksi adat itu umumnya
disebut danda atau pamidanda. Tujuan sanksi adat ini adalah untuk mengembalikan
keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat.

Jadi sanksi adat atau danda di Bali adalah sanksi yang dikenakan oleh desa pakraman
atau kelembagaan adat lainnya kepada seorang atau kelompok orang dan atau
keluarganya, karena dianggap terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap norma
adat dan norma agama Hindu, dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan
sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib) dalam masyarakat.

Sedangkan menurut I Made Widnyana, sanksi adat merupakan salah satu reaksi adat
terhadap tidak dilaksanakannya peraturan-peraturan adat. Sanksi adat ini
dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya
pelanggaran adat. Sanksi adat ini selalu disertai dengan suatu kejadian atau perbuatan
yang harus dipertanggungjawaban oleh si pelaku maupun keluarganya. Biasanya,
perbuatan atau kejadian dalam melaksanakan sanksi adat itu selalu disertai dengan
suatau upacara yang di Bali dikenal dengan istilah pemarisuddhan yaitu upacara
pembersihan desa (adat) dari perasaan kotor alam gaib. Perbuatan ini bukanlah
dimaksudkan sebagai suatu siksaan atau suatu penderitaan, akan tetapi untuk
mengembalikan keseimbangan kosmis.
Diantara beberapa jenis sanksi adat yang masih berlaku di Bali, sanksi kasepekang
(dikucilkan) termasuk jenis sanksi adat yang berat. Sanksi ini biasanya dijatuhkan
oleh desa kepada seseorang atau beberapa orang warganya, disebabkan karena warga
tersebut dianggap membangkang secara terus menerus atau (dikenal dengan istilah
ngatuel), terhadap pasikian pasubayan (kesepakatan bersama) yang dituangkan dalam
bentuk awig-awig desa adat mereka yang kasepekang tidak mendapat pelayanan adat
selama ia belum memperbaiki diri dan menyatakan tunduk terhadap ketentuan-
ketentuan yang berlaku. Namun pada prinsipnya kasepekang itu adalah salah satu
bentuk sanksi adat yang berupa pengucilan yang dikenakan kedapa warga desa
(karma desa pakraman) dimana telah melanggar ketentuan-ketentuan adat dan
terhadap pelanggar tersebut dikenakan sanksi yang pada intinya tidak mendapat
pemberitahuan (tan polih arah-arahan), tidak mendapat layanan kentongan (tan polih
suaran kul-kul), dan tidak mendapat bantuan banjar (tan polih panyanggran banjar)
dan mereka masih tetap berhak menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh desa
pakraman seperti kuburan (setra) dan pura sebagai tempat persembahyangan.

Pada dasarnya manusia memiliki sebuah hak yang mutlak yang dibawa sejak lahir
manusia itu kedunia, hak ini seringkali disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Hak asasi manusia merupakan suatu hal yang fundamental yang dimliki oleh setiap
manusia yang tidak boleh diintervensi oleh orang lain dalam bentuk apapun karena
hak asasi manusia bisa dikategorikan hak yang dianugrahkan oleh tuhan. Dewasa ini
sebagian orang tidak bisa memporsikan tentang sebuah aturan yang bersifat turun
temurun (hukum adat) dan aturan dari sebuah negara atau hukum positif tentang
dampak terhadap Hak Asasi Manusia, apakah berdampak adil ataukah terjadi
diskriminasi yang berkedok sebuah aturan.

Penerapan sanksi adat kasepekang bertentangan dengan HAM, karena sanksi tersebut
melakukan sesuatu pembatasan, pelecehan dan pengucilan yang dilakukan baik itu
secara langsung atau tidak langsung yang didasarkan pada perbedaan manusia baik itu
etnis, agama, suku, dan ras. Sanksi Kasepekang tidak saja menimbulkan penderitaan
bagi orang yang dijatuhi sanksi karena mereka tidak bisa berkomunikasi dengan
sesama warga, akan tetapi juga menimbulkan rasa takut bagi warga desa yang lain,
yang mungkin sekali-kali ingin menyapa orang yang kasepekang maka ia pun akan
diancam terkena sanksi.
Penerapan sanksi adat kasepekang sekarang ini tidak lagi berjalan pada prinsip semula
melainkan sudah mengarah kepada perbuatan anarkis atau perbuatan kesewenang-
wenangan desa pakraman kepada krama (warga) desa pakraman seperti tidak
diijinkan menggunakan setra, pura bahkan tidak dilayani secara administrasi
(kedinasan).

Jika ditinjau dari Universal Declaration of Human Rights kasus diatas telah
bertentangan dengan HAM. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 yang
menyatakan “All are equal before the law and are entitled without any discrimination
to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any
discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such
discrimination.” (Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama
terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan
terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.)

Pada kasus desa yang menjatuhkan sanksi adat kasepekang terhadap 5 keluarga di
Desa Sulang Kabupaten Klungkung tersebut telah menyimpang dari ketentuan Pasal 7
diatas, karena penerapan dari sanksi tersebut telah melebihi ketentuan dari sanksi adat
kasepekang, sehingga penerapannya lebih mengarah kepada tindakan diskriminasi.

Selanjutnya, ditinjau dari United Nations Declaration on The Rights of Indigenous


Peoples yaitu Pasal 2 yang menyatakan: “Indigenous peoples and individuals are free
and equal to all other peoples and individuals and have the right to be free from any
kind of discrimination, in the exercise of their rights, in particular that based on their
indigenous origin or identity.” (Masyarakat adat dan warga-warganya bebas dan
sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya,
dan mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam menjalankan
hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka).

Dalam pasal diatas, menegaskan kembali bahwa masyarakat adat, dalam


melaksanakan hak-haknya, harus bebas dari segala bentuk diskriminasi, apa pun
jenisnya. Maka dari itu sanksi adat kasepekang yang telah diterapkan pada kasus
diatas menurut kami telah dilakukan secara sewenang-wenang oleh para warga desa
yang dimana tindakan tersebut merupakan tindakan diskriminasi.
Kemudian, jika ditinjau dari UUD NRI 1945 yaitu Pasal 28 I Ayat (2) UUD NRI yang
menyatakan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.” Jika dikaitkan dengan kasus diatas tindakan warga yang
sewenang-wenang dalam menerapkan sanksi adat kasepekang itu dapat dikatakan
sebagai tindakan diskriminasi, yang tentunya melanggar ketentuan pasal diatas.

Dan yang terakhir, kasepekang bertentangan dengan HAM juga dikuatkan oleh Pasal
34 Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menyatakan: “Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,
diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.” Jika dilihat pada kasus diatas,
pelaksanaan sanksi adat kasepekang telah berjalan tidak sesuai dengan semestinya dan
dalam kenyataan dilapangan eksekusi sanksi adat kasepekang seringkali dilakukan
secara anarkis oleh para warga desa.

2. Jika merujuk pada pandangan bahwa HAM merupakan nilai yang bersifat universal,
apakah sanksi adat kasepekang yang merujuk pada nilai tradisional dapat diabaikan?

HAM bersifat universal adalah hak asasi manusia yang dipandang secara luas, umum,
atau menyeluruh yang bisa kita ketahui hanya dari kata “universal”nya saja. Di dalam
dimensi hak asas manusia atau HAM dianggap sebagai suatu hal yang paling
mendasar yang ada di dalam kehidupan setia manusia di dunia ini tanpa terkecuali.

Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi,


melindungi HAM, sertaa menghormati kebebasn pokok manusia secara universal
ditegaskan secara berulang-ulang diantaranya dalam Pasal 1 ayat (3) yang
menyatakan: “Untuk memajukan kerja sama internasional dalam memecahkan
masalah-masalah internasional di bidang ekonomi, sosial, budaya, kemanusiaan, dan
menggalakkan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa
atau agama…”

Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen-


instrumen hukum yang mengatur tentang HAM salah satunya dikeluarkannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
merupakan langkah besar yang diambil oleh masyarakat internasional pada tahun
1948.
Selama dekade terakhir, hukum internasional telah berkembang menjadi lebih baik
dengan mempertimbangkan hak masyarakat adat. Meski dalam perakteknya hak dari
masyarakat adat tidak selalu dijamin dan ditegakkan, selain itu hak masyarakat adat
tersebut kurang mendapatkan pengakuan hukum fomal meskipun dalam beberapa
tahun terakhir negara telah mengesahkan undang-undang untuk melindungi hak-hak
masyarakat hukum adat. Kemudian perjuangan masyarakat hukum adat telah
mencapai puncaknya setelah majelis umum PBB melalui pemungutan suara mayoritas
berhasil mengadopsi United Nations Declaratin on the Rights of Indigenous Peoples
(UNDRIP) pada 13 September 2007.

Dewasa ini, jika kita melihat seperti pada contoh kasus diatas yaitu penjatuhan sanksi
adat kasepekang dilakukan secara berlebihan oleh masyarakat adat. Jika kita lihat
dalam deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat maka sanksi adat kasepekang
seperti pada kasus diatas bertentangan dengan Pasal 2 yang menyatakan: “masyarakat
adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok
masyarakat dan warga-warga lainnya, dan mempunyai hak untuk bebas dari segala
bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan
atas asal usul atau identitas mereka.”

Meskipun dalam penerapan sanksi adat kesepakang pada masa ini dirasa sudah
berlebhan dan cenderung dilakukan secara anarkis, tetapi sanksi adat kasepekang
yang merujuk pada nilai tradisional tersebut tidak dapat diabaikan. Karena itu
merupakan hak masyarakat adat untuk memberikan efek jera terhadap masyarakatnya
yang tidak mau mematuhi aturan yang berlaku di desa adat setempat. Di Indonesia
hak masyarakat adat diakui keberadannya dalam pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI 1945
yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.”

Dalam kenyataannya kasepekang masih banyak terjadi akan tetapi aturan hukum
terhadap kasepekang ini belum memiliki aturan yang jelas, dapat dilihat dalam
keputusan Nomor 01/Kep/Psm 2/MDP Bali/X/2007 tahun 2007 yang dikeluarkan oleh
Majelis Desa Pakraman Bali yang menyatakan "Penjatuhan sanksi adat kasepekang,
dilarang sementara, sampai adanya rumusan yang memadai mengenai pengertian dan
tatacara mengenai penjatuhan sanksi adat tersebut, yang berlaku bagi semua desa
pakraman di Bali".

Hal ini dapat dijadikan dasar bahwa sanksi kasepekang tidak serta merta diabaikan
namun perlu disesuaikan, dengan adanya keputusan tersebut artinya sanksi
kasepekang untuk sementara waktu dibekukan sambil menunggu perumusan atau
penyesuaian dari sanksi kasepekang tersebut.

Prof. Windia berpandangan sanksi adat yang terbukti menjadi sorotan berbagai karena
dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan HAM seperti sanksi adat
kasepekang sebaiknya ditinggalkan atau disesuaikan sehingga lebih menjamin
tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu mengembalikan keseimbangan dalam
masyarakat dan menciptakan kedamaian sekala niskala.

Pandangan HAM yang bersifat Universal secara sederhana menyebutkan adanya


pandangan relativisme cultural, pandangan relativisme cultural adalah pandangan
yang menyatakan bahwa semua keyakinan, adat istiadat, dan etika bersifat relatife
bagi setiap orang, tergantung konteks sosialnya sendiri (khas budaya hanya berlaku
bagi orang-orang tertentu di dalam budaya tertentu) apa yang dianggap bermoral
dalam satu masyarakat bisa dianggap tidak bermoral di tempat lain, sehingga
pandangan ini menganggap kalau tidak ada standar moralitas yang bersifat universal.

Hal ini dapat dijadikan dasar bahwa sanksi kasepekang tidak serta merta diabaikan
namun perlu disesuaikan, seharusnya membuat citra baru dalam hukum adat Bali
yang lebih beradab. Saatnya berpikir untuk merubah penerapan sanksi adat
kasepekang yang berlebihan dilaksanakan masyarakat desa adat, selama ini di Bali
cenderung mensakralkan peraturan adat sehingga enggan untuk mengubahnya,
termasuk jika sanksi itu melanggar HAM.

C. Kesimpulan
Penerapan sanksi adat kasepekang seperti kasus diatas dapat dikatakan bertentangan
dengan HAM, karena sanksi tersebut melakukan sesuatu pembatasan, pelecehan dan
pengucilan yang dilakukan baik itu secara langsung atau tidak langsung yang
didasarkan pada perbedaan manusia baik itu etnis, agama, suku, dan ras. Sanksi
Kasepekang tidak saja menimbulkan penderitaan bagi orang yang dijatuhi sanksi
karena mereka tidak bisa berkomunikasi dengan sesama warga, akan tetapi juga
menimbulkan rasa takut bagi warga desa yang lain, yang mungkin sekali-kali ingin
menyapa orang yang kasepekang maka ia pun akan diancam terkena sanksi. Jadi
dalam sanksi adat kasepekang tersebut bukan hanya hak warga yang dikenakan sanksi
adat kasepekang saja yang di rampas, tetapi warga lainnya yang ingin bertegur sapa
juga ikut terampas. Pernyataan diatas didukung oleh 4 (empat) dasar hukum yaitu
dalam Article 7 Universal Declaration of Human Rights, Article 2 United Nations
Declaration on The Rights of Indigenous Peoples, Pasal 28 I Ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 34 Undang-Undang
Republik Indonesia No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Jadi instrument hukum Universal Declaration of Human Right Pasal 1 Ayat (3),
United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) Pasal 2,
Undang-Undang Dasar NRI 1945 Pasal 18B Ayat 2 dan Keputusan Nomor
01/Kep/Psm 2/ MDP Bali/X/2007 Tahun 2007, menjadi dasar bahwa sanksi
kasepekang itu tidak serta merta dapat diabaikan, namun perlu disesuaikan.
Seharusnya membuat citra baru hukum dalam adat bali yang lebih beradab, dimana
dewasa ini saatnya berfikir untuk merubah penerapan sanksi adat kasepekang yang
berlebihan dilaksanakan masyarakat desa adat, yang dimana selama ini di Bali
cendrung mengskaralkan peraturan adat sehingga enggan untuk menggubahnya,
termasuk jika sanksi itu melanggar HAM.
TUGAS HUKUM HAM LANJUTAN

“SANKSI ADAT KESEPEKANG DAN HAM”

Anggota Kelompok 7:
Putu Dewi Maharani (1804551047)
Putu Jelsi Melina (1804551050)
Kadek Warakania Ardhanareswari (1804551054)
Ni Made Dinda Marlina Sitha Dewi (1804551055)
Ni Kadek Arcani (1804551059)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020

Anda mungkin juga menyukai